Anda di halaman 1dari 21

Bed Site Teaching

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Oleh:
Nurul Khairina Iswan 1710312027

Preseptor :
Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp.KK(K), FINSD, FAADV
dr. Tutty Ariani, Sp.DV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2021
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat panjanan ulang
dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau
mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang sebelumnya telah
tersensitisasi. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat
atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan perantaraan sel limfosit T.1

1.2. Epidemiologi

Sebanyak 2-5% dari populasi dipengaruhi, jauh lebih tinggi dalam beberapa
kelompok kerja. Prevalensi kontak alegi pada populasi umum adalah 26-40% pada
orang dewasa dan 21-36% anak-anak. Di Eropa dan sebagian besar didunia yang paling
sering mengakibatkan kontak alegi adalah nikel, thiomersal (Merthiolate) dan
wewangian. Sensitisasi terhadap nikel ditemukan pada orang dewasa 13-17%, remaja
10% dan 7-9% anak-anak. Perempuan biasanya lebih sering patch test dan memiliki
lebih banyak hasil positif daripada laki-laki. Perbedaan gender ini dapat disebabkan
oleh faktor-faktor sosial dan lingkungan, perempuan lebih mungkin untuk memiliki
kepekaan nikel karena peningkatan memakai perhiasan dan laki-laki lebih mungkin
untuk memiliki kepekaan kromat dari pajanan.2,3,4

Sejumlah penelitian telah meneliti prevalensi dan faktor risiko ekzema tangan
pada populasi umum. Sensitisasi kontak telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang bermakna. Di banyak bagian dunia, lebih dari 20% dari populasi orang dewasa
menderita alergi kontak. Profil dari sensitisasi dapat berbeda di setiap negara. Namun,
nikel sulfat adalah alergen yang paling banyak ditemukan. Patch test merupakan gold
standard untuk diagnosis DKA. Kualitas kontrol patch test adalah prasyarat dan sasaran
dari epidemiologi klinis dermatitis kontak. Publikasi berdasarkan data pasien yang
mengunjungi klinik dermatologi dan/atau unit Patch test tidak dapat digunakan secara
langsung untuk menurunkan kejadian populasi terkait atau perkiraan prevalensi.4

1.3 Etiologi

Dermatitis kontak alergi dapat disebabkan oleh sejumlah besar alergen yang
berada di dalam lingkup kerja atau dalam kehidupan pribadi. Reaksi alergi yang
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV. Seringkali alergen adalah
haptens seperti nikel, komponen obat lokal diterapkan atau kosmetik, atau beberapa
jenis bahan kimia yang ditambahkan ke pakaian dan sepatu. Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya : potensi sensitisasi allergen, dosis per
unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban
lingkungan, vehikulum, dan pH juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada
lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologi
(misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari).5,6

1.4 Patogenesis

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imun
yang di perantarai oleh sel (cell-mediated immune response) atau reaksi imunologi tipe
IV, suatu hipersensitivitias tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase
sensitisasi dan fase elisitasi.6

Fase Sensitisasi: Hapten yang masuk kedalam epidermis melewati stratum


korneum akan ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses
secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul
HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel langerhans dalam keadaan
istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan
menstimulasi sel T. Akan tetapi, setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga
mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (Interleukin-1) yang akan
mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi tersebut
akan mengubah fenotip sel langerhans dan meningkatkan sekresi sitokin tertentu serta
ekspresi molekul permukaan sel termasuk Major Histocompability Complex kelas I
dan II, Intercellular Adhesion Molecule 1, Lymphocyte Function Associated Antigen
3 dan B7. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNF-α, yang
dapat mengaktifasi sel –T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul
adhesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II, Tumor
Necrosis Factor‒α menekan prouksi E-cadherin yang mengikat sel langerhans pada
epidermis, juga menginduksi aktifitas gelatinolisis sehingga memperlancar sel
langerhans melewati membran basalis bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat
melalui saluran limfe. Di dalam saluran limfe, sel langerhans menerjemahkan kode
yang diberikan sehingga memproses dan mempresentasikan kepada sel-T Helper.6

Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk mensekresi IL-
2 dan mengeskspresi reseptor IL-2. Sitokin kemudian akan menstimulasi proliferasi sel
T spesifik, dan kemudian akan membentuk sel-T memori, fase ini berlangsung selama
2-3 minggu. Sensitasi kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal
dari alergen kontak, karena sinyal antigenik hapten cenderung menyebabkan toleransi
sedangkan sinyal iritan memicu sensitasi.6

Fase elisitasi: fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada
pajanan ulang alergen (hapten). Seperti pada pada fase sensitisasi, hapten akan
ditangkap oleh sel langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh
Human Leucocyte Antigen -DR kemudian diekspresikan di permukaan sel.
Selanjutnya, kompleks HLA-DR antigen akan dipresentasikan kepada sel-T yang
terlah tersensitisasi (sel-T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga
terjadi proses aktifasi. Sel langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk
memproduksi IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang menyebabkan proliferasi dan
ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga mengeluarkan Interferon-γ yang
mengaktifkan keratinosit mengekspresikan ICAM-1 dan HLA-DR, adanya ICAM-1
memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T dan leukosit yang
mengekspresi molekul Lymphocyte function-associated antigen 1, sedangkan HLA-
DR memungkinan keratinosit berinteraksi langsung dengan sel-T CD4+, dan juga
memungkinkan presentasi antigen kepada sel tersebut. HLA-DE juga dapat merupakan
target sel T sitotoksik pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin
antara lain IL-1, IL-6, TNF-α dan Granulocyte macrophage colony-stimulating factor,
semuanya dapat mengaktivasi sel-T, IL-1 dapat menstimulasi keratinosit dan
eikosanoid yang menghasilkan sitokin dan sel mas, sel mas ini yang akan melepaskan
histamin dan berbagai jenis faktor kemotaktik yang menyebabkan dilatasi vaskular dan
meningkatkan permeabilitas sehingga komplemen dapat berdifusi masuk kedalam
dermis dan epidermis. Kejadian tersebut akan menimbulkan respon klinik DKA. Fase
ini berlansung antara 24-48 jam.6

Gambar 1. Respon imun pada dermatitis kontak alergi8

1.5 Gambaran Klinis

Penderita umumnya mengeluhkan gatal. Tingkat keparahan ditentukan oleh


intensitas paparan dan tingkat kesensitifitas seseorang. Tanda utama pada pasien, DKA
akut : eritema, edema, papul, papulovesikel, krusta dan apabila keadaan akut yang terus
berlangsung maka dapat terbentuk bula dan keluhan tersering adalah gatal. Pada DKA
kronik, bisa saja penderita tersebut terpapar alergen yang berulang. Tanda yang khas
pada kulit pasien yaitu kulit menjadi kering, berisisik dan menebal sebagai hasil dari
ankanthosis, hiperkeratosis, edema, hiperpigmentasi, infiltrasi sel hingga ke dermis,
Iikenifikasi dan pecah-pecah.6,7,9,10,11
Pemeriksaan penunjang yang dapat diberikan yaitu tes tempel/patch test,
dengan menempelkan bahan-bahan yang diduga dapat memunculkan reaksi alergi pada
kulit dan ditempelkan dengan memakai Finn Chamber, kemudian dibiarkan sekurang-
kurangnya 48 jam. Setelah dibiarkan selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji
telah menghilang atau minimal. Hasilnya sebagi berikut:5,6

1 = reaksi lemah(non vesikuler) : ertitema, infiltrat, papul (+)

2 = reaksi kuat: edema atau vesikel (++)

3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)

4 = meragukan: hanya macula erimatosa

5 = iritasi: seperti terbakar, pustule atau purpura (IR)

6 = reaksi negatif (-)

7 = excited skin

8 = tidak dites (NT= not tested)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama tes tempel:6,7,9,10

1. Tidak dilakukan pada keadaan akut, dilakukan pada keadaan tenang


2. Uji tempel di buka setelah dua hari
3. Tes sekurang – kurangnya dilakukan satu minggu setelah berhenti pemakaian
kortikosteroid, namun pada pemakain prednison 20mg/hari masih dapat
dilakukan tes patch
4. Penderita dilarang melakukan aktifitas yang menyebabkan uji tempel menjadi
longgar selama 48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah
dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.
5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan , karena dapat menimbulkan reaksi
urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilasis.

Gambar 2. Patch Test7

Histopatologi13

● Pola spongiotik akut


● Ditandai dengan vesikel spongiosis spongiotik intraepidermal
● Ortokeratosis
● Eosinofil dan limfosit-dalam dermis dan
● kadang-kadang di epidermis
● Koleksi dari sel Langerhan di epidermis

Gambar 3. Histopatologi13
1.6 Diagnosis

Diagnosis berdasarkan dari hasil anamnesis yang mendalam serta cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Pemeriksaan fisis sangat penting dengan melihat lokasi
dan pola kelainan kulit sering kalui dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup tenang dan bercahaya.6,7,9,10

1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dermatitis kontak alergi antara lain: 6,7,9,10

1. Dermatitis kontak iritan

Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orna gdari berbagai golongan
umur, ras, dan jenis kelamin. Penyebab munculnya dermatitis ini, misalnya bahan
pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.Gejala klinis dapat
berupa eritema, vesikel, bula, nekrosis, kulit kering, skuama, hiperkeratosis,
likenifikasi, kulit kering, fisur.

2. Dermatitis Atopi

Keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya
sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, berhubungan dengan peningkatan kadar
Imunoglobulin-E dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita.
Kelainan kulit penderita umumnya kering, kehilangan air lewat epidermis meningkat,
pruritus, papul, likenifikasi, eritema erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta.

3. Dermatitis Numular

Lesi berbentuk uang logam (koin) atau agak lonjong, berbatas tegas dengan
efloresensi berupa papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah (oozing).
Penyebabnya stafilokokus dan mikrokokus.Kulit penderita dermatitis numulare
cenderung kering, hidrasi stratum korneum rendah. Gejala klinis: pruritus lesi berupa
vesikel dan papulovesikel, kemudian membesar dengan cara berkonfluensi atau meluas
kesamping, membentuk satu lesi karakteristik seperti uang logam (koin), eritematosa,
sedikit edematous, dan berbatas tegas.

4. Dermatitis Seboroik

Kelainan kulit dermatitis seboroik terdiri atas eritema dan skuama yang
berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. Dermatitis yang ringan
hanyak mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai
bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dan skuama-skuama yang
halus dan kasar atau disebut ketombe (pitiriasis sika). Bentuk yang berat ditandai
dengan adanya bercak-bercak berskuamadan berminyak disertai eksudasi dan krusta
tebal.

5. Psoriasis

Effloresensi kulit pada pasien psoriasis terdiri atas bercak-bercak eritema yang
meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, besar
kelainan bervariasi : lentikular, numular atau plakat, dapat berkonfluensi.

1.8 Penatalaksanaan

1. Medika mentosa

Dermatitis akut dalam bentuk apapun baik diobati dengan kompres lembab
aluminium asetat 5% kompres diterapkan 15 - 30 menit 2-4 kali sehari dan
kortikosteroid topikal potensi pertengahan atau tinggi. Dalam kasus yang parah,
diberikan kortikosteroid oral (sistemik), pemakaian dengan dosis 35-50 mg/hari,
tapering selama 7-10 hari diperlukan. Kasus lebih kronis dapat diobati dengan
kortikosteroid topikal potensi rendah, dan antihistamin sebagai anti pruritus.11,14

2. Non Medika mentosa

Langkah yang paling penting adalah menghindari pencetus. Dengan demikian,


pencetus atau alergen harus diketahui secara tepat dan pasien diberitahukan untuk
berhati-hati apabila menemui atau kontak dengan alergen. Beberapa alergen seperti
nikel atau kromat sangat sulit untuk dihindari. Dalam beberapa kasus, pasien harus
merelakan pekerjaan mereka.14,15

1.9 Prognosis

Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan.


Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis
oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis) atau
terpajan oleh alergen yang tidak mungkin terhindari, misalnya berhubungan dengan
pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.6
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Nn.FSA

Usia : 21 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswi

Pendidikan : Sarjana

Alamat : Gunung Pangilun, Kota Padang

Status Perkawinan : Belum menikah

Nama Ibu Kandung : Ny.NK

Negeri Asal : Padang

Agama : Islam

No. Hp : 0811xxxxx09

Tanggal Pemeriksaan : 28 Juni 2021

3.2 Anamnesis

Seorang pasien perempuan berusia 21 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Dr.M.Djamil Padang pada tanggal 28 Juni 2021, dengan:

Keluhan Utama:

Kulit gatal, merah, perih, dan berair di cuping telinga kiri sejak seminggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:

• Keluhan ini pertama kali dirasakan sejak 2 Juni 2021. Awalnya timbul rasa
gatal disertai bercak kemerahan yang kemudian perih dan berair di cuping
telinga kiri. Kemudian pasien memberikan bio-oil namun tidak ada perbaikan.
• Pasien menggunakan anting berbahan dasar logam di telinga tersebut sejak 6
tahun yang lalu.
• Karena keluhan menetap, pasien kemudian melepaskan antingnya dan memakai
salep kortikosteroid dan keluhan membaik hingga menghilang.
• Setelah keluhan hilang, pasien mengenakan kembali antingnya dan keluhan
yang sama kembali muncul.
• Keluhan kulit gatal dan tampak merah kembali dirasakan, pasien menggaruk
kulitnya secara terus-menerus hingga mengeluarkan cairan bening yang
menyebabkan cuping telinga kiri pasien berair yang kemudian mengering dan
muncul sisik kasar berwarna putih kekuningan.
• Setelah mengalami keluhan yang sama untuk kedua kalinya seminggu yang
lalu, pasien tidak menggunakan anting kirinya lagi hingga saat ini.

Riwayat Penyakit Dahulu:

• Pasien belum pernah mengeluhkan keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga/Riwayat Atopi:

• Pasien memiliki riwayat atopi: asma, rhinitis alergi, dan dermatitis alergi.
• Dermatitis alergi pada pasien biasa muncul apabila pasien sedang stress dan
banyak pikiran dengan lokasi tersering yaitu di punggung tangan dan lengan
bawah.
• Orangtua perempuan dengan riwayat atopi: asma dan dermatitis alergi.
• Orangtua laki-laki tidak ada riwayat atopi tetapi sebagian besar keluarga
orangtua laki-laki memiliki asma.
Riwayat Pengobatan:

Ketika melepaskan antingnya, pasien memberikan salep kortikosteroid dan keluhan


membaik hingga menghilang.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Kebiasaan:

• Pasien seorang mahasiswi yang sedang menjalani kepaniteraan klinik dengan


aktivitas ringan-sedang.
• Mandi teratur 2 kali sehari. Pasien langsung mandi setelah melakukan aktivitas
yang mengeluarkan keringat.
• Pasien sehari-hari menggunakan jilbab yang selalu dicuci dan diganti setiap
hari. Dalaman jilbab juga selalu dicuci dan diganti setiap 1-2 hari sekali.
• Pasien mengenakan masker diluar jilbab (masker hijab), bukan masker earloop.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalisata

Kesadaran : Komposmentis koorperatif

Keadaan Umum : Baik, tampak tidak sakit

Denyut Nadi : 88x/menit

Frekuensi Nafas :16x/menit

Suhu : 36,7 °C

Status Gizi : Baik

Pemeriksaan Thoraks : Dalam batas normal

Pemeriksaan Abdomen : Dalam batas normal


Status Dermatologikus

Lokasi : Cuping telinga kiri

Distribusi : Terlokalisir

Bentuk : Tidak khas

Susunan : Soliter

Batas : Tegas

Ukuran : Numular

Efloresensi : Plak eritem, krusta putih kekuningan, dan erosi kulit.

Foto Pasien

28 Juni 2021:
7 hari sebelumnya, 21 Juni 2021:
Status Venereologikus : Tidak diperiksa

Kelainan Selaput : Tidak ditemukan kelainan

Kelainan Kuku : Tidak ditemukan kelainan

Kelainan Rambut : Tidak ditemukan kelainan

3.4 Resume

Seorang pasien perempuan usia 21 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan


Kelamin RSUP Dr.M.Djamil Padang pada tanggal 28 Juni 2021 dengan keluhan kulit
terasa gatal dan tampak merah di cuping telinga kiri sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya
keluhan ini muncul pertama kali pada tanggal 2 Juni 2021 berupa rasa gatal dan bercak
kulit kemerahan di cuping telinga kiri. Karena gatal, pasien menggaruk bercak tersebut
secara terus-menerus sehingga kulit berair yang kemudian kering menjadi sisik putih
kekuningan yang jika dicongkel akan berair. Pasien menggunakan anting berbahan
dasar logam di telinga tersebut selama kurang lebih 6 tahun.

Pasien mengoleskan bio-oil ke bagian kulit yang sakit namun tidak ada
perbaikan. Karena keluhan tidak mebaik, pasien kemudian melepaskan antingnya dan
mengoleskan salep kortikosteroid dan keluhan membaik hingga hilang. Setelah
sembuh, pasien kembali mengenakan antingnya dan keluhan yang sama muncul
kembali satu minggu ini.

Dari pemeriksaan status dermatologikus didapatkan lesi pada cuping hidung


telinga kiri, distribusi terlokalisir, bentuk tidak khas, susunan soliter, batas tegas,
ukuran nummular, efloresensi tampak plak eritem, krusta putih kekuningan, dan erosi
kulit.

3.5 Diagnosis Kerja

Suspek Dermatitis Kontak Alergi et causa anting berbahan logam


3.6 Diagnosis Banding

• Dermatitis Kontak Iritan

3.7 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin: tidak ada

3.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang: uji tempel (patch test)

3.9 Tatalaksana

3.9.1 Umum

• Hindari kontak dengan alergen penyebab.


• Berhenti menggunakan anting berbahan logam dan menggantinya dengan
bahan dasar yang tidak memicu reaksi alergi.
• Kurangi frekuensi garukan agar lesi tidak semakin meluas.
• Senantiasa menjaga kebersihan.

3.9.2 Khusus

• Topikal: Kortikosteroid → Mometasone Furoat cream 0,1%


• Sistemik: Antihistamin → Cetirizine 10mg

3.10 Prognosis

• Quo ad vitam : Bonam

• Quo ad functionam : Bonam

• Quo ad sanationam : Bonam

• Quo ad kosmetikum : Bonam


RESEP

dr. Nurul
Praktek Umum
SIP/Tahun: 9876/2020
Telpon: 14045
Praktek: Senin-Jum’at Pukul 17.00-selesai
________________________Jl. A. Yani No.1 Padang________________________
Padang, 28 Juni 2021

R/ Mometasone Furoate cream 0,1% 1mg No.I

s.u.e (2 kali sehari pada daerah yang sakit)

R/ Cetirizine tab 10 mg No.VII

s.1.d.d tab 1 (malam hari)

Pro : Nn.FSA

Umur : 21 Tahun

Alamat : Padang
BAB IV

DISKUSI

Telah dilaporkan kasus seorang pasien perempuan berumur 21 tahun datang ke


Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 28 Juni 2021
dengan diagnosis dermatitis Kontak Alergi Kronik et causa anting berbahan logam.

Diagnosis pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa timbul keluhan bercak-bercak
kemerahan yang terasa gatal dan perih di cuping telinga kiri sejak 1 minggu yang lalu.
Keluhan pertama kali dirasakan pada tanggal 2 Juni 2021 yang membaik Ketika anting
dilepaskan dan diberikan salep kortikosteroid.

Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa pada dermatitis kontak alergi yang
terjadi akibat panjanan ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik atau
antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit seseorang yang
sebelumnya telah tersensitisasi. Reaksi alergik yang terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe lambat atau tipe IV menurut klasifikasi Coombs dan Gell dengan
perantaraan sel limfosit T. Gejala berupa eritema, edema, papul, papulovesikel, krusta
dan apabila keadaan akut yang terus berlangsung maka dapat terbentuk bula dan
keluhan tersering adalah gatal.

Dari pemeriksaaan status dermatologikus, ditemukan lesi di cuping telinga kiri,


distribusi terlokalisir, bentuk tidak khas dan susunan soliter, batas tegas, ukuran
nummular, efloresensi plak eritem dengan krusta putih kekuningan, disertai erosi kulit.
Hal ini sesuai dengan gambaran dermatitis kontak alergi. Pasien diberikan tatalaksana
umum dan khusus. Tatalaksana umum pada pasien ini berupa edukasi dan menjelaskan
kepada pasien bahwa penyakitnya disebabkan oleh adanya kontak dengan bahan alergi
logam sehingga dianjurkan untuk menghindari kontak dan mengganti anting dengan
bahan dasar yang tidak memicu reaksi alergi. Senantiasa menjaga kebersihan badan.
Tatalaksana khusus yang diberikan berupa Cefirizin 1 x 10mg 1 kali sehari dan
salep kortikosteroid mometasone furoate 0,1% dioleskan 2 kali sehari pada daerah kulit
yang sakit. Prognosis pada pasien ini adalah quo ada sanationam bonam, quo ad vitam
bonam, quo ad kosmetikum bonam, quo ad functionam bonam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar; 2002.


2. Sterry W. Thieme linical Companions Dermatology. Stuttgart-New York;
2006.
3. Spiewak R. Open Allergy Journal, Patch Testing for Contact Allergic and
Allergic Contact Dermatitis. Krarov. 2008:42-51.
4. Palomo JJ, Moreno A. Epidemiology of Contact Dermatitis. 2011.
5. Brehmer EA. Dermatopathology, A Resident's Guide. New York; 2006.
6. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. In: A D, H M, S A, editors. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
p. 133-38.
7. Elise MH, Jacob SE. Allergic Contact Dermatitis in Children, Prevention,
Diagnosis, and Management. 2011.
8. Shimizu H. Shimizu’s Texbook of Dermatology. Hokkaido: Nakayama shoten;
2007.
9. Wolff K, AG L, IK S, AG B, SP A, JL D. Fitzpatrick’s Dermatology in general
medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
10. Tony B, B S, C N, G C. Rook’s Textbook Of Dermatology. 7th ed.
11. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates; 2000.
12. J B, Coulsen I, English J. Guidelines for the management of contact dermatitis:
an update. BJD Bristish Journal of Dermatology. 2008 10th December.
13. M G, Jane, Kels. Color Atlas of Dermatopathology. New York: Vanderbilt
Avenue; 2007.
14. Buxton PK. ABC of Dermatology. 4th ed. London: tovistock square; 2003.
15. Wolff C, AJ R, S D. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis Of Clinical
Dermatology. 5th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.

Anda mungkin juga menyukai