Anda di halaman 1dari 33

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 INFEKSI MENULAR SEKSUAL

A. DEFINISI INFEKSI MENULAR SEKSUAL


Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah suatu penyakit infeksi yang
kebanyakan ditularkan melalui hubungan seksual {oral, anal, atau lewat
vagina), selain itu juga dapat ditularkan dari ibu ke anak selama kehamilan
dan persalinan. Kuman penyebab infeksi tersebut dapat berupa jamur,
virus dan parasite (Widyastuti, 2009).

Pertama kali penyakit ini disebut ‘Penyakit Kelamin’ atau Veneral


Disease (VD) yang berasal dari kata UeHos(dewi cinta), namun saat ini
sebutan yang paling tepat adalah Sexually Transmitted Infection (STI)
yang berarti penyakit-penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan
kelamin (Daili, 2010).

Penyakit IMS disebabkan oleh lebih dari 30 bakteri yang berbeda,


virus dan parasite dan tersebar terutama melalui kontak seksual, termasuk
vagina, anal dan oral seks (Najmah, 2016). Pada umumnya seseorang
tidak sadar dirinya menderita IMS karena bersifat asimptomatik atau tidak
menunjukkan gejala khusus.

Penyakit ini memiliki pengaruh yang besar pada kesehatan seksual dan
reproduksi di seluruh dunia dan juga termasuk diantara 5 penyakit yang
pelayanan kesehatannya dicari masyarakat untuk mengobati IMS tersebut.
Namun, ketika gejala yang ada timbul pada seseorang, perasaan malu,
stigmatisasi ataupun keduanya membuat banyak individu yang terkena
IMS mencari pengobatan di luar pelayanan kesehatan, yaitu dengan
pengobatan tradisional, pengobatan mandiri dengan alternative atau obat
bebas di pasaran, bahkan tidak berobat sama sekali.

B. ETIOLOGI INFEKSI MENULAR SEKSUAL


Penyakit IMS ini disebabkan oleh lebih dari 30 bakteri yang berbeda,
virus dan parasite dan tersebar terutama melalui kontak seksual, termasuk
vagina, anal dan oral seks (Najmah, 2016).
Berdasarkan Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual
2011, ada 5 jenis IMS yang ditimbulkan berdasarkan patogen
penyebabnya, yaitu :

1. Infeksi bakteri
a. Gonore
1) Penyebab : Neisseria gonorrhoeae
2) Patogenesis Setelah melekat, gonokokus berpenetrasi ke dalam
sel epitel dan melalui jaringan subepitel dimana gonokokus ini
terpajan ke sistem imun (serum, komplemen, imunoglobulin A
(IgA), dll), dan difagositosis oleh neutrofil. Virulensi bergantung
pada apakah gonokokus mudah melekat dan berpenetrasi ke
dalam sel penjamu, begitu pula resistensi terhadap serum,
fagositosis, dan pemusnahan intraseluler oleh
polimorfonukleosit. Faktor yang mendukung virulensi ini adalah
pili, protein membran bagian luar,lipopolisakarida, dan protease
IgA.
3) Manifestasi Klinis gejala infeksi muncul 1 sampai 14 hari
setelah terpapar, meskipun ada kemungkinan terinfeksi gonore
namun tidak memiliki gejala. Diperkirakan hampir setengah
wanita yang terinfeksi gonore tidak merasakan gejala, atau
memiliki gejala non- spesifik (Irianto, 2014).
Pada Pria rasa panas selama buang air kemih dan keluarnya
nanah dari penis (uretra).
Pada Wanita Cairan putih keluar dari vagina, rasa nyeri di
bagian perut, namun pada wanita gonore seringkali tidak
menampilkan gejala-gejala
4) Pemeriksaan diagnostik diagnosis ditegakkan melalui
identifikasi organisme. Pewarnaan Gram sekret uretra positif
pada 95% pria dan pewarnaan Gram sekret endoserviks positif
pada 60% wanita. Kultur penting pada wanita termasuk kultur
rektal dan orofaring. Konfirmasi identitas dapat dibuat dengan
fermentasi gula atau perangkat deteksi antigen spesifik N.
Gonorrhoeae. Tes hibridisasi atau amplifikasi asam nukleat
merupakan tes nonkultur yang berguna untuk screening.
5) Terapi terapi dosis tunggal dengan siprofloksasin oral atau
seftriakson IM, atau amoksisilin oral (dosis tinggi 3 g) pada
daerah dengan resistensi penisilin rendah atau pada kehamilan.

b. Klamidia
1) Penyebab Chlamydia trachomatis
2) Patogenesis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase I dan II. Pada fase I
(fase noninfeksiosa) ini terjadi keadaan laten yang dapat
ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva. Pada fase ini
kuman bersifat intraselular dan berada di dalam vakuol yang
letaknya melekat pada inti sel hospes (badan inklusi).
Selanjutnya pada fase II (fase penularan) jika vakuol pecah,
kuman menyebar keluar dalam bentuk badan elementer yang
dapat menmbulkan infeksi pada sel hospes yang baru.
3) Manifestasi klinis gejala dimulai dalam waktu 5 sampai 10 hari
setelah paparan infeksi.
Gejala pada wanita sakit perut, keputihan abnormal, perdarahan
diluar menstruasi, demam ringan, hubungan sek menyakitkan,
nyeri dan rasa terbakar saat kencing, pembengkakan di dalam
vagina atau di sekitar anus, ingin buang air kecil melebihi
biasanya, perdarahan vagina setelah berhubungan, keluarnya
cairan kekuningan dari leher rahim yang mungkin memiliki bau
yang kuat
Gejala pada pria nyeri atau rasa terbakar saat kencing, cairan
bernanah atau susu dari penis, testis bengkak atau lembek,
pembengkakan di sekitar anus.
Selain gejala diatas, klamidia yang menginfeksi mata dapat
menimbulkan kemerahan, gatal dan tahi mata. Sedangkan
klamidia yang menginfeksi tenggorokan dapat menyebabkan
rasa sakit.
4) Pemeriksaan diagnostik PCR swab genital (vagina, serviks, atau
anus) atau urin
5) Terapi doksisiklin selama 7 hari atau azitromisin dosis tunggal

c. Limfogranuloma Venereum
1) Penyebab Chlamydia trachomatis tgalur LI-L3)
2) Patogenesis Chlamydia trachomatis tidak dapat menembus kulit
atau selaput lendir yang utuh, tetapi memperoleh akses melalui
abrasi atau laserasi minor. Lesi primer adalah ulkus atau vesikel
herpetiformis kecil yang tidak nyeri, biasanya di dinding vagina
posterior. Lesi menetap hanya beberapa hari dan sembuh tanpa
jaringan parut. Infeksi kemudian menjalar melalui pembuluh limfe
ke kelenjar getah bening regional. Kelenjar tersebut membesar
dan membentuk massa yang sangat nyeri kemudian menjadi
abses. Kemudian cairan abses keluar melalui kulit dan dapat
terbentuk saluran-saluran sinus. Infeksi ini berlangsung beberapa
minggu sampai berbulan-bulan dan dapat cukup parah sehingga
menyebabkan obstruksi saluran limfe dan edema kronik.
3) Manifestasi klinis lesi primer di dinding vagina posterior,
limfadenopati inguinalis unilateral yang nyeri, proktokolitis,
peradangan pada jaringan limfe perirektum, fistula dan striktur.
4) Pemeriksaan diagnostik : tes frei dan tes ikatan komplemen.
5) Terapi sulfametoksazol 2 x 400 mg dan trimetroprim 2 x 80 mg,
kurang lebih selama 1-5 minggu tergantung berat ringan
penyakit dengan dosis sehari 2x. Selain itu sulfa dengan dosis 3
x 1 gr sehari atau tetrasiklin 3 x 500 mg sehari.

d. Sifilis
1) Penyebab Treponema Pallidum
2) Patogenesis Endarteritis obliteratif terjadi pada semua tahap
penyakit. Keadaan ini berhubungan dengan infiltrasi perivaskular
oleh makrofag dan sel plasma dalam chancre primer,
hiperkeratosis pada sifilis sekunder kutan, serta nekrosis sentral
dan granulomata pada guma. Treponema masuk ke tubuh
melalui membran mukosa atau kulit yang mengalami abrasi di
mana timbul chancre primer chancre ini sembuh secara spontan
dalam 2-4 minggu dan menghilang bersamaan dengan tahap
sekunder atau diseminat, ketika treponema dapat diidentifikasi
dari lesi kulit, selain itu dari darah, kelenjar getah bening, dan
sistem saraf pusat.
3) Manifestasi klinis Chancre primer pada 95% kasus bersifat
genital dan memiliki karakteristik berikut.Chancre biasanya
merupakan lesi bundar soliter, tidak nyeri, tidak nyeri tekan,
dengan tepi eritematosa berbatas tegas dan memiliki dasar bersih
serta berindurasi. Manifestasi ini berhubungan dengan
limfadenopati inguinal seperti karet, terbuka, tidak nyeri, dan
tidak nyeri tekan. Chancre merupakan ulkus yang dapat sembuh
tanpa membentuk jaringan parut dalam 4-6 minggu.
4) Pemeriksaan diagnostik pemeriksaan mikroskop lapangan gelap
terhadap eksudat dari chancre dan lesi mukokutis, uji antibodi
fluoresen langsung, uji serologik uji nontreponema (uji VDRL
dan RPR) dan uji treponema (uji FTA-ABS dan MHA-TP) atau
uji serologik dengan uji lain.
5) Terapi suntikan penisilin G secara IM sebanyak 1 juta satuan/hr
selama 8-10 hr. Jika alergi terhadap penisilin maka diberikan
tetrasiklin 4 x 500 mg/hr, atau eritromisin 4 x 500 mg/hr, atau
doksisiklin 2 x 100 mg/hr selama 15 atau 30 hari. Golongan
sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mg/hr selama 15 hari

e. Chancroid (Ulkus Mole)


1) Penyebab : Haemophilus ducreyl
2) Patogenesis adanya trauma atau abrasi sangat penting untuk
organisme melakukan penetrasi epidermis. Jumlah inokulum untuk
menimbulkan infeksi tidak diketahui. Pada lesi, organisme terdapat
dalam makrofag dan neutrofil atau bebas berkelompok
(mengumpul) dalam jaringan interstisial.
3) Manifestasi klinis Gejala klasik ulkus mole adalah ulkus yang
superficial dan dangkal dalam ukuran beberapa milimeter sampai
2 cm. Tepinya kasar atau berbentuk seperti kulit kerang dan
dikelilingi oleh lapisan peradangan yang kemerahan. Dasarnya
tertutup eksudasi yang terdiri dari jaringan nekrosis serta mudah
berdarah bila eksudasi ini diangkat.Berbeda dengan ulkus sifilis,
ulkus mole ini sangat nyeri dan lunak serta tidak indurasi. Pada
pria lokalisasinya sering pada preputium dan frenulum,
sedangkan pada wanita pada labia dan perianal.

4) Pemeriksaan diagnostik pemeriksaan sediaan hapus, biakkan


kuman dari pus atau lesi. Teknik imunofluoresens untuk
menemukan antibodi. Biopsi dan autoinokulasi.
5) Terapi sulfonamida, dosis pertama 2-4 gr dilanjutkan dengan 1
gr tiap 4 jam sampai sembuh sempurna (+ 10-14 hari). Tablet
kotrimoksazol (kombinasi sulfametoksazol 400 mg dan
trimetoprim 80 mg) diberikan dengan dosis 2 x 2 tablet selama
10 hari. Streptomisin, disuntikkan setiap hari 1 gr selama 7-14
hari. Kanamisin 2 x 500 mg IM selama 6-14 hari, eritromisin 4 x
500 mg sehari selama 1 minggu dan ofloksasin 400 mg single
dose.

f. Granuloma Inguinale (Donovanosis)


1) Penyebab Klebsiella (Calymmatobacterium) granulomatis,
Mycoplasma genitalium, dan Ureaplasma urealyticum.
2) Patogenesis lesi primer dimulai sebagai nodus yang keras, jika
terjadi kerusakan pada permukaannya terjadi ulkus yang
berwarna seperti daging dan granulomatosa. Biasanya
berkembang perlahan menjadi satu dengan lesi yang
berhubungan atau membentuk lesi baru dengan autoinokulasi,
terutama pada daerah perianal. Timbul akantosis hebat dan
terdapat banyak histiosit. Beberapa leukosit PMN terdapat pada
fokus infiltrat atau tersebar, limfosit jarang ditemukan.
Proliferasi epitel marginal menyerupai gejala epiteliomatosa
permulaan. Gambaran patogonomonik donovanosis adalah sel
mononuclear besar yang terinfeksi, berisi banyak kista
intrasitoplasmik yang diisi oleh badan-badan Donovan. Kadang
terjadi penyebaran hematogen, metastatik ke tulang-tulang,
sendi-sendi atau hati. Infeksi sekunder akan menimbulkan
destruksi jaringan kemudian terjadi sikatriks.
3) Manifestasi klinis terdapat stu atau lebih papul kecil, padat dan
induratif di tempat kontak yang dalam beberapa hari sampai
minggu mengalami ulserasi. Ulkus primer tampak bersih, merah
seperti daging, tidak nyeri dan tidak meradang serta tidak
menyebabkan limfadenopati. Nyeri, eksudat dan limfadenopati
merupakan tanda infeksi sekunder serta lesi yang sering
ditemukan di labia minora dan fourchette
4) Pemeriksaan diagnostik riwayat penyakit, gambaran klinis,
identifikasi badan Donovan melalui hapusan jaringan, biakkan,
biopsi, tes serum, inokulasi dan tes kulit.
5) Terapi ampisilin 4 x 500 mg/hari selama 1 bulan. Streptomisin 1
gr/hari i.m selama 20 hari. Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 10-20
hari, eritromisin 4 x 500 mg/hari selama 2-3 minggu dan
gentamisin 1 mg/kgBB i.m 2x/hari selama 14 hari

2. Infeksi Virus

a. HIV / AIDS {Acquired Immunedeficiency Syndrome)


1) Penyebab : Human Immunedeficiency Virus tHlV)
2) Patogenesis : Acquired Immunedeficiency Syndrome adalah sindrom
dengan gejala infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) tipe 1 maupun tipe 2. Virus ini
ditularkan melalui perantara darah, semen, dan sekret vagina
baik melalui hubungan seksual atau cara transmisi lainnya.
Human Immunodeficiency Virus menyerang sel yang memiliki
antigen permukaan CD4, terutama limfosit T4 yang memegang
peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem
kekebalan tubuh. Jika sudah masuk ke dalam limfosit T4
selanjutnya mengadakan replika sehingga menjadi banyak dan
menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Gen tat yang terdapat
dalam HIV dapat menyebabkan penghancuran limfosit t4 secara
besar-besaran sehingga menyebabkan sistem kekebalan tubuh
menjadi lumpuh.
3) Manifestasi klinis keringat yang berlebihan pada waktu malam
hari, diare terus menerus, bengkakan kelenjar getah bening, flu
yang tidak sembuh-sembuh, nafsu makan dan kekebalan tubuh
menurun. Terlebih lagi jika sudah memasuki fase AIDS , timbul
penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik, yaitu
kanker khususnya sariawan, kanker kulit (sarcoma kaposi),
infeksi paru dan kesulitan bernafas, infeksi usus dan infeksi otak
yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala.
4) Pemeriksaan diagnostik uji Western blot (untuk mendeteksi
antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering,
atau urin pasien), Rapid test, tes ELISA.
5) Terapi scrining TB dan infeksi oportunistik lainnya, pemeriksaan
CD4 untuk menentukan PPK (Penobatan Pencegahan
Kotrimoksasol) dan pemberian ARV.

b. Herpes Genitalis
1) Penyebab Herpes simplex virus (HSV) tipe 2 dan tipe 1
2) Patogenesis HSV 1 dan HSV 2 menyebabkan infeksi kronik
yang ditandai oleh masa-masa infeksi aktif dan latensi. Pada
infeksi aktif primer, virus menginvasi sel penjamu dan cepat
berkembang biak, menghancurkan sel pejamu dan melepaskan
lebih banyak virion untuk menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada
infeksi primer, virus menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar
limfe regional dan menyebabkan limfadenopati. Tubuh melakukan
respon imun selular dan humoral yang menahan infeksi tetapi
tidak dapa mencegah kekambuhan infeksi aktif. Setelah infeksi
awal, akan timbul masa laten. Selama masa laten ini, virus
masuk ke dalam sel-sel sensorik yang mempersarafi daerah yang
terinfeksi dan bermigrasi di sepanjang akson untuk bersembunyi
di dalam ganglion radiksdorsalis tempat virus berdiam tanpa
menimbulkan sitotoksisitas atau gejala pada manusia
penjamunya. Viron menular dapat dikeluarkan baik selama fase
aktif maupun masa laten.
3) Manifestasi klinis
Primer gejala sistemik, demam, malaise dan nyeri kepala. Lesi
dengan nyeri lokal dan disuria.
Non primer servisitis, proktitis dan faringitis. Sekret vagina dan
perdarahan intermitten. Serviks tampak merah, rapuh dan
mengalami ulserasi.
Rekuren lesi yang gatal atau panas, cenderung timbul secara
unilateral di tempat yang sama, lebih sedikit dan lebih kecil
dibandingkan dengan infeksi sekunder serta disuria.
4) Pemeriksaan diagnostik uji amplifikasi DNA, biakkan virus
terhadap vesikel atau pustul dan uji deteksi antigen dengan EIA
atau uji fluoresensi langsung.
5) Terapi asiklovir krim dioleskan 4x sehari, asiklovir 5 x 200 mg
oral selama 5 hari dan povidone iododine bisa digunakan untuk
mencegah timbulnya infeksi sekunder.

c. Kutil Kelamin
1) Penyebab : Human Papillomavirus (HPV)
2) Patogenesis Penularan melalui hubungan kelamin. Kondiloma
muncul dalam waktu 1-6 bulan setelah terinfeksi, dimulai dengan
pembengkakan kecil yang lembut, lembab, berwarna merah atau
merah muda dan tumbuh dengan cepat serta memiliki tangkai.
3) Manifestasi klinis kutil genital dan tidak nyeri. Lesi ekternal
(introitus, vulva dan perineum). Lesi internal (dinding vagina
dan serviks). Kelainan pada kulit berupa vegetasi yang
bertangkai dan berwarna kemerahan jika masih baru, dan agak
kehitaman bila sudah lama. Permukaan berjonjot (papilomatosa)
sehingga pada vegetasi yang besar dapat dilakukan percobaan
sondase. Jika timbul infeksi sekunder berwarna kemerahan akan
berubah menjadi keabu-abuan dan berbau tidak enak
4) Pemeriksaan diagnostik papsmear dan biopsi serviks, hibridisasi
DNA dan Liquid-based cytology.
5) Terapi kemoterapi (pedofilin 25% 0,3 cc, asam triklorasetat
dengan konsentrasi 50% dioleskan setiap minggu dan 5
flourourasil dengan konsentrasi 1-5% dalam krim diberikan
setiap hari). Bedah listrik, bedah beku, bedah skapel, laser
karbondioksida.

3. Infeksi Protozoa
a. Trikomoniasis
1) Penyebab Trichomonas vaginalis
2) Patogenesis : T. vaginalis manimbulkan peradangan pada
dinding saluran urogenital dengan cara invasi sampai mencapai
jaringan epitel dan sub epitel. Masa tunas rata-rata 4 hari sampai
3 minggu. Pada kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian dengan
jaringan granulasi yang jelas. Nekrosis dapat di lapisan subepitel
yang menjalar sampai di permukaan epitel. Di dalam vagina dan
uretra parasit hidup dari sisa-sisa sel, kuman-kuman dan benda
lain yang terdapat dalam sekret.
3) Manifestasi klinis
Trikomoniasis pada pria dan wanita memberikan gejala klinis
yang berbeda
Pada pria, dapat menyebabkan uretritis nonspesifik dengan gejala :
a) perasaan gatal pada uretra
b) Disuria
c) Keluarnya duh tubuh dari uretra yang biasanya lebih encer
dibandingkan dengan duh tubuh yang keluar pada penderita
gonore
Pada wanita, dapat menyebabkan vaginitis dengan tanda-tanda
klinis:
a) Leukorhoe atau fluor albus yang banyak dengan warna putih
kehijau-hijauan dan berbau
b) Perasaan gatal pada vulva dan kadang-kadang sampai ke paha
c) Dinding vagina dijumpai banyak ulkus, oedema dan eritema
4) Pemeriksaan diagnostik pemeriksaan trikomonad dalam sediaan
basah salin, sediaan hapus serta pembiakan pada pemeriksaan
mikroskopik sekret.
5) Terapi topikal (bahan cairan berupa irigasi yaitu hidrogen
peroksida 1-2% dan larutan asam laktat 4% bahan berupa
supositoria yaitu bubuk yang bersifat trikomoniasidal dan gel).

4. Infeksi Jamur
a. Kandidiasis
1) Penyebab Candida albicans
2) Patogenesis :infeksi terjadi jika ada faktor predisposisi baik
endogen (perubahan fisiologik, umur dan imunologik) maupun
eksogen (iklim, kebersihan kulit, kebiasaan berendam kaki dalam
air yang terlalu lama dan kontak dengan penderita)
3) Manifestasi klinis pruritus, iritasi hebat pada vulva dan vagina,
edema, eritema dan fisura pada vulva, disertai disuria. Selain itu
terdapat sekret vagina seperti “keju lembut”
4) Pemeriksaan diagnostik anamnesis dan temuanklinis disertai oleh
pemeriksaan mikroskopik kerokan kulit atau usapan mukokutan dan
sekret vagina.
5) Terapi topikal (grup azol yaitu mikonazol 2% berupa krim atau
bedak, klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim, tiokonazol,
bufanazol) dan sistemik (nistatin, amfoterisin B i.v).

5. Infeksi Parasit
a. Pedikulosis pubis
1) Penyebab : Phthirus pubis
2) Patogenesis Phthirus pubis ini masuk melalui kulit/folikel
rambut dan menghisap darah dengan mengeluarkan saliva yang
dapat mengubah bilirubin menjadi biliverdin. Hal tersebut dapat
menimbulkan makula pada tubuh, paha, ketiak yang berwarna
coklat kemerahan atau disebut juga makula scrulae sehingga
mengakibatkan rasa gatal yang hebat. Timbullah lesi yang
diakibatkan dari garukan dan adanya bercak hitam yang terdapat
pada celana akibat krusta.
3) Manifestasi klinis rasa gatal yang hebat pada daerah pubis, dapat
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada, bercak-bercak
berwarna abu-abu atau kebiruan yang disebut makula serulae,
serta ditemukan black dot yaitu bercak hitam pada celana dalam
pada waktu bangun tidur. Terjadi infeksi sekunder dengan
pembesaran kelenjar getah bening regional.
4) Pemeriksaan diagnostik mencari telur atau bentuk dewasa
P.Pubis, kutu ini dapat dilihat dengan mata telanjang dan juga
bisa didapatkan pembengkakan kelenjar getah bening.
5) Terapi Gameksan 1% atau emulsi benzil benzoat 25% yang
dioleskan dan didiamkan selama 24 jam, krim hidrokortison 1%,
2 kali sehari.

b. Skabies
1) Penyebab sarcoptes scabiei
2) Patogenesis Sarcoptes scabei jantan dan betina yang ada di
permukaan kulit setelah mengadakan kopulasi, yang jantan akan
segera mati, sedang yang betina membuat lorong (kunikulus) di
dalam lapisan tanduk (stratum korneum), kemudian bertelur dan
meninggalkan secret di situ untuk persediaan makanan.
Banyaknya telur tiap satu Sarcoptes antara sepuluh sampai dua
puluh buah, dan tiga sampai empat hari kemudian telur itu akan
menetas menjadi larva, dan selanjutnya berubah menjadi
kepompong, dan kemudian menjadi Sarcoptes scabei.dari larva
untuk menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira dua minggu.
Sarcoptes yang telah dewasa keluar menuju permukaan kulit
mencari pasangan sendiri- sendiri untuk mengadakan kopulasi,
kemudian yang jantan akan segera mati dan yang betina
membuat lorong untuk bertelur, dan demikian seterusnya.
3) Manifestasi klinis Gejala klinis yang khas adalah gatal-gatal
yang sangat, terutama pada malam hari dikala temperatur kulit
menjadi lebih hangat. Tempat-tempat yang biasanya menjadi
sasaran skabies adalah: sela-sela jari tangan, pergelangan tangan
bagian fleksor, lipat ketiak bagian depan dan belakang, aerola
mama, sekitar pusat (umbilikus), daerah ikat pinggang, perut
bagian bawah, daerah genitalia dan pubis, pantat bagian bawah
dan lipat pantat.
Khusus pada anak-anak kecuali tempat-tempat tersebut, juga
dapat mengenai kepala, muka, telapak tangan, dan kaki. Bentuk
wujud kelainan kulitnya (lesinya) yang khas adalah kunikulus
(terowongan), yang tampak sedikit meninggi, warna keabu-
abuan, panjang kurang dari setengah sentimeter.
4) Pemeriksaan diagnostik Sampel jaringan superfisial epidermis di
kerok pada daerah diatas terowongan atau papula dengan
menggunakan mata pisau skapel yang kecil. Hasil kerokan
diletakkan pada slide mikroskop dan diperiksa lewat mikroskop
dengan pembesaran rendah untuk melihat kutu pada setiap
stadium (dewasa, telur, cangkang telur, larva, nimva) dan butiran
fesesnya (Kusumaningtyas, 2015).
5) Terapi preparat skabisida, seperti lidane (kwell) atau krotamiton
(krim dan losion Eurax), salep seperti kortikosteroid topikal.

C. FAKTOR RISIKO INFEKSI MENULAR SEKSUAL


Menurut Widyastuti (2009), faktor-fakto yang mempengaruhi kejadian
infeksi menular seksual yaitu :
1. Penyebab penyakit {agent)
Penyakit menular seksual sangat bervariasi penyebabnya dapat
berupa virus, parasit, bakteri, protozoa.
2. Tuan {host)
Beberapa faktor yang terdapat pada host, berperan pada perbedaan
insiden penyakit menular adalah
a. Umur

Umur merupakan salah satu variabel yang penting dalam


mempengaruhi aktiitas seksual seseorang, pada orang yang lebih
dewasa memiliki pertimbangan lebih banyak dibandingkan
dengan orang yang belum dewasa (Afriana, 2012). Pada remaja
atau seseorang yang masih muda, sel-sel organ reproduksi belum
matang sehingga semakin mudah untuk terkena IMS.
Usia yang lebih muda juga akan mudah mendapat pelanggan
dalam melakukan seks komersial sehingga beresiko tertular IMS
dan HIV AIDS. Pada kelompok muda dibandingkan pada usia
tua baik laki-laki maupun perempuan prevalensi tertinggi IMS pada
kelompok umur 15-30 tahun (Aridawarni, 2014).
b. Jenis kelamin
c. Pilihan dalam hubungan seksual.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang yaitu
faktor predisposisi, faktor-faktor pendukung dan faktor
pendorong. Faktor predisposisi adalah yang memudahkan
terjadinya perilaku antara lain pengetahuan individu, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai pandangan dan persepsi,
tradisi, norma sosial, pendapatan, pendidikan, umur dan status
sosial. Faktor pendukung adalah faktor yang memungkinkan
terjadinya perilaku antara lain adanya keterampilan dan sumber
daya seperti fasilitas, personal dan pelayanan kesehatan serta
memudahkan individu untuk mencapainya. Faktor pendorong
adalah faktor yang menguatkan seseorang untuk melakukan
perilaku tersebut, diantaranya sikap dan perilaku petugas
kesehatan serta dorongan yang berasal dari masyarakat
(Notoatmodjo dalam Reviliana, 2011).
d. Lama bekerja sebagai pekerja seks komersial.
Pekerjaan seseorang berikatan erat dengan kemungkinan
terjadinya PMS. Pada beberapa orang yang bekerja dengan
kondisi tertentu dan lingkungan yang memberikan peluang
terjadinya kontak seksual akan meningkatkan penderita PMS.
Orang tersebut termasuk dalam kelompok resiko tinggi terkena
PMS. Semakin lama masa kerja seorang WPS, maka semakin
besar kemungkinan ia melayani pelanggan yang telah terinfeksi
IMS. Prevalensi HIV dan IMS pada WPS yang baru memulai
pekerjaan seks hampir sama tingginya dengan WPS dengan
pengalaman yang lebih panjang. Fakta ini menunjukkan bahwa
WPS terinfeksi sangat cepat setelah mulai menjual seks, karena
setiap enam bulan, sepertiga sampai setengah dari WPS adalah
pendatang baru (Afriana, 2012).
e. Status perkawinan
Insiden IMS lebih tinggi pada orang yang belum kawin,
bercerai atau orang yang terpisah dari keluarganya bila
dibandingkan dengan orang yang sudah kawin karena
pemenuhan kebutuhan seksualnya terpenuhi (Setyawulan,
2007).
f. Pemakaian kondom
Kondom merupakan selubung/sarung karet yang dapat terbuat
dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil),
atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis
saat hubungan seksual yang berfungsi untuk menegah kehamilan
maupun penularan IMS HIV (Afriana, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiman
(2015) bahwa orang yang tidak menggunakan kondom beresiko
terkena IMS (gonore) sebesar 3,987 kali dibandingkan dengan
orang yang menggunakan kondom
3. Faktor lingkungan
a. Faktor demografi
1) Bertambahnya jumlah penduduk dan pemukiman yang padat
2) Perpindahan populasi yang menambah migrasi dan mobilisasi
penduduk, misalnya : perdagangan, hiburan dan lain-lain.
3) Meningkatnya prostitusi dan homoseksual.
4) Remaja lebih cepat matang dibidang seksual yang ingin lebih
cepat mendapatkan kepuasan seksual.
b. Faktor sosial ekonomi
Sosial adalah sesuatu yang mengenai masyarakat, sedangkan
ekonomi adalah segala usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya (Aat, 2010).
Pelacuran erat hubungannya dengan masalah sosial ekonomi,
wanita biasanya terjerumus menjadi pekerja seks adalah karena
desakan ekonomi. Kemiskinan sering memaksa orang bisa berbuat
apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup termasuk melacurkan diri
ke lingkaran prostitusi. Hal ini biasanya dialami oleh wanita
kalangan menengah kebawah (Utami, 2010).
c. Faktor kebudayaan
Kekosongan spiritual berhubungan dengan rendahnya
pemahaman terhadap nilai-nilai agama pada pekerja seks komersial.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa konflik kebutuhan menjadi
konflik utama dalam diri mereka, dan bukan konflik yang
disebabkan munculnya perasaan bersalah dan berdosa pada Tuhan
(Utami, 2010).
d. Faktor medik
Untuk memperbaiki kualitas diagnosis dan pengobatan IMS,
setiap klinik IMS harus melakukan hal-hal seperti promosi kondom
dan seks yang aman, pelayanan ditargetkan untuk kelompok
beresiko tinggi, misalnya WPS dan kelompok “penghubung”
pelanggan mereka, pelayanan yang efektif yaitu pengobatan
secepatnya bagi orang dengan gejala, program penapisan, dan juga
pengobatan secepatnya untuk IMS yang tanpa gejala pada
kelompok risiko tinggi yang menjadi sasaran (Arifianti, 2008).

D. DAMPAK INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Menurut Depkes RI (2006), dampak Infeksi Menular Seksual (IMS)


bagi remaja perempuan dan laki-laki, yaitu
1. Infeksi alat reproduksi akan menurunkan kualitas ovulasi sehingga
akan mengganggu siklus dan banyaknya haid serta menurunkan
kesuburan.
2. Peradangan alat reproduksi ke organ yang lebih tinggi yang dapat
meningkatkan kecenderungan terjadi kehamilan diluar rahim
(ektopik).
3. Melahirkan anak cacat bawaan seperti katarak, gangguan
pendengaran, kelainan jantung dan cacat lainnya
4. Dampak secara fisik, meliputi:

a. Bekas bisul atau nanah di daerah alat kelamin dapat mengganggu


kualitas hubungan seksual di kemudian hari karena menimbulkan
nyeri dan tidak nyaman waktu berhubungan seks.
b. Nyeri waktu BAK (disuria) karena peradangan mengenai saluran
kemih.
c. Gejala neurologi gangguan syaraf(stadium lanjut sifilis).
d. Lebih mudah terinfeksi HIV
e. Kemandulan dikarenakan perlengketan saluran reproduksi dan
gangguan produksi sperma (pada laki-laki).
5. Dampak secara psikologis, meliputi:
a. Malu dan takut sehingga tidak mau berobat yang akan
memperberat penyakit atau bahkan akan mengobati dengan jenis
dan dosis yang tidak tepat yang justru akan memperberat
penyakit disamping terjadi resistensi obat.
b. Gangguan hubungan seks setelah menikah kerena takut tertular atau
takut menularkan penyakit pada pasangannya.
c. Rendah diri.

3.2 HIV / AIDS


B. DEFINISI HIV / AIDS

Human Immunodeficiency Virus disingkat HIV adalah virus yang


menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Keduanya
merupakan suatu spektrum dari penyakit infeksi pada sistem imun yang
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus sehingga menyebabkan
imunodefisiensi. Acquired Immuno Deficiency Syndrome yaitu suatu
kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang
disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. Seseorang
dengan HIV dan AIDS yang disingkat dengan ODHA adalah orang yang
telah terinfeksi virus HIV (Nurul Hidayat & Barakbah, 2018)

Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang dapat


menyerang limfosit (sel darah putih) fungsinya untuk membantu melawan
bibit penyakit yang masuk ke dalam tubuh. HIV juga dapat menyerang
sistem kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan AIDS (Alinea Dwi
Elisanti, 2018a). Orang tetap terlihat sehat walaupun dalam darah terdapat
virus HIV belum tentu membutuhkan pengobatan (Tri & Liana, 2019).
Virus HIV hanya dapat menyerang satu jenis sel yang ada di dalam tubuh
manusia adalah set T helper / T-limfosit / T-sel / CD4. Sistem pertahanan
tubuh manusia yang tertinggi yaitu sel CD4 / T-Helper. Jika sel ini rusak
atau dihancurkan oleh virus HIV maka imunitas tubuh manusia akan
rawan terinfeksi oleh virus-virus yang lain (Alinea Dwi Elisanti, 2018a).

Acquired Immune Deficiency Sbyndrome atau AIDS yaitu sekumpulan


gejala penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang menurun yang
disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada
seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti
TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan,
otak dan kanker. Kondisi ini juga disebut ketika sel CD4 sudah benar-
benar rusak sehingga kekebalan tubuh seseorang sangat rentan sekali
terjadi infeksi penyakit menular lainnya (Keller Dwiyanti, 2019).

C. ETIOLOGI HIV / AIDS


HIV disebabkan oleh virus yang dapat membentuk DNA dari RNA
virus, sebab mempunyai enzim transkiptase reverse. Enzim tersebut yang
akan menggunakan RNA virus untuk tempat membentuk DNA sehingga
beriteraksi di dalam kromosom inang kemudian menjadi dasar untuk
replikasi HIV atau dapat juga dikatakan mempunyai kemampuan untuk
mengikuti atau menyerupai denetik diri dalam genetic sel-sel yang
ditumpanginya sehingga melalu proses ini HIV dapat mematikan sel-sel
T4. HIV dikenal sebagai kelompok retrovirus. Retrovirus ditularkan oleh
darah melalui kontak intim seksual dan mempunyai afinitas yang kuat
terhadap limfosit T (Desmawati, 2013).
Penyebab dari HIV/AIDS adalah golongan virus retro yang bisa
disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV
dan AIDS terdiri dari lima fase :

1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.


Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1 - 2 minggu dengan gejala
flu.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1 – 15 atau lebih setahun dengan
gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Di atas 3 tahun dengan demam, keringat
malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah, ras,
limfa denopati, lesi mulut.
5. AIDS, lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologis
(Wahyuny & Susanti, 2019).

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria


maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :

1. Lelaki homoseksual atau biseks.


2. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
3. Orang yang ketagihan obat intravena
4. Partner seks dari penderita AIDS
5. Penerima darah atau produk darah (transfusi) (Wahyuny & Susanti,
2019)
Bentuk HIV secara struktural morfologinya terdiri atas sebuah silinder
yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar dan melebar. Pusat
lingkaran terdapat untaian RNA. Pada HIV memiliki 3 gen yang
merupakan komponen fungsional dan struktural. Tiga gen itu yaitu gag,
pol, dan anv. Gag yang artinya group antigen, pol mewakili polymerase,
dan env kepanjangan dari envelope. Gen gag bertugas mengode protein
inti. Gen pol bertugas mengode enzim reverse transcriptase, protase, dan
integrase. Gen env bertugas mengode komponen structural HIV yang
dikenal dengan sebagai glikoprotein (Kurnia & Nursalam, 2015).
Siklus hidup HIV, pada siklus ini sel penjamu atau sel yang terinfeksi
oleh HIV memiliki jangka waktu hidup yang sangat pendek. Jadi dalam
hal ini HIV akan terus-menerus menggunakan sel penjamu yang baru ini
untuk mereplikasi diri, terdapat 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya.
Pada saat serangan pertama HIV lalu akan tertangkap oleh sel dendrit pada
membrane mukosa dan kulit selama 24 jam pertama setelah terpapar virus.
Setelah itu sel yang terinfeksi akan membuat jalur ke nodus limfa dan
kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan,
dan replica virus menjadi semakin cepat (Kurnia & Nursalam, 2015).
Siklus hidup HIV dibagi menjadi 5 fase, masuk dan mengikat, reverse
transcriptase, replikasi, budding, dan maturase.

D. EPIDEMIOLOGI HIV / AIDS


Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan di
dunia. Di seluruh dunia, 35 juta orang hidup dengan HIV yang meliputi 16
juta perempuan dan 3,2 juta anak <15 tahun dan terdapat 19 juta orang
tidak mengetahui status HIV positif mereka. Infeksi tersebut diperkirakan
70% di Afrika dan 30% di Aia. Meskipun jumlah infeksi terbanyak adalah
di Afrika, peningkatan paling cepat dalam infeksi HIV dalam decade
terakhir telah terjadi di negara-negara Asia (Kakalang, Masloman, &
Manoppo, 2016).
Indonesia menyumbang sebesar 620.000 dari 5,2 juta jiwa di Asia
pasifik yang terjangkit HIV dan AIDS. Jika dikelompokkan berdasarkan
latar belakangnya, penderita HIV/AIDS dating dari kalangan pekerja seks
komersial (5,3 persen), homoseksual (25,8 persen), penggunaan narkoba
suntik (28,76 persen), transgender (24,8 persen), dan mereka yang ada di
tahanan (2,6 persen) (Data UNAIDS, 2018).
Laporan situasi perkembangan HIV/AIDS dan IMS (Infeksi Menular
Seksual) di Indonesia jumlah Infeksi HIV dan AIDS tahun 2009 sampai
dengan 2017 yang terinfeksi HIV berjumlah 280.623 sedangkan yang
menderita AIDS berjumlah 102.667 (Riskesdas, 2018). Menurut data dari
WHO, epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang
berat bagi pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara-negara
miskin yang sangat dipengaruhi epidemiini ditinjau dari jumlah infeksi
dan dampak yang ditimbulkan. Bagian terbesar orang yang hidup dengan
HIV/AIDS (ODHA) adalah orang dewasa yang berada dalam usia kerja
dan hamper separuhnya adalah wanita, yang akhir-akhir ini terinfeksi
lebih cepat daripada laki-laki (WHO, 2019).
Indonesia merupakan negara urutan ke 5 paling berisiko HIV/AIDS di
Asia. Di Indonesia pertama kali ditemukan di Provinsi Bali pada tahun
1987. Sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 sampai dengan Juni
2018, HIV/AIDS telah dilaporkan oleh 433 (84,2%) dari 514
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia (Kakalang et al., 2016).

E. PATOFISIOLOGI HIV / AIDS


HIV secara khusus menginfeksi limfosit dengan antigen permukaan
CD4, yang berkerja sebagai reseptor viral. Subset limfosit ini, yang
mencakup limfosit penolong dengan peran kritis dalam mempertahankan
responsivitas imun, juga memperlihatkan pengurangan bertahap
bersamaan dengan perkembangan penyakit. Mekanisme infeksi HIV yang
menyebabkan penurunan sel CD4 (Ardhiyanti, Lusiana, & Megasari,
2015).
Human Immunodeficiency Virus secara fisiologis merupakan virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh (Oliver, 2013). Dalam buku
“Manajemen HIV/AIDS”, HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang
dibentuk dari dua protein utama envelope virus, gp120 di sebelah luar dan
gp41 yang terletak di transmembrane. Gp120 ini mempunyai afinitas
tinggi terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada awal
interaksi dengan sel target, sedangkan gp41 ini bertanggung jawab dalam
proses internalisasi. Termasuk retrovirus karena memiliki enzim reverse
transcriptase, HIV dapat mengubah informasi genetic dari RNA menjadi
DNA, yang membentuk provirus. Hasil dari transkrip DNA intermediet
atau provirus yang terbentuk kemudian dapat memasuki inti sel target
melalui enzim integrase dan berintegrasi di dalam kromosom dalam inti
sel target. HIV memiliki kemampuan untuk memanfaatkan mekanisme
yang sudah ada di dalam sel target untuk membuat salinan diri sehingga
terbentuk virus baru dan menetap yang memiliki karakter seperti HIV.
Kemampuan virus HIV untuk bergabung dengan DNA sel target,
membuat seseorang dengan terinfeksi HIV akan terus terinfeksi seumur
hidupnya (Nurul Hidayat et al., 2019).

Gambar 3.2.1 Struktur HIV (Sumber : Nurul Hidayat et al., 2019)

HIV dapat menyebabkan sistem imun mengalami beberapa kerusakan


dan kehancuran, dengan proses tersebut sistem kekebalan tubuh manusia
menjadi lemah atau tidak memiliki kekuatan pada tubuhnya, maka pada
saat ini berbagai penyakit yang dibawa oleh virus seperti kuman dan
bakteri sangat mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV.
Kemampuan virus ini untuk tetap tersembunyi akan menyebabkannya
tetap ada seumur hidup, bahkan dengan pengobatan yang efektif (Oliver,
2013).

F. STADIUM HIV / AIDS


Infeksi HIV ini tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala
dapat melalui 3 fase klinis (Nurul Hidayat et al., 2019) :
1. Tahap 1 : Infeksi Akut
Dalam 2 hingga 6 minggu setelah terinfeksi HIV, seseorang
mungkin mengalami penyakit seperti flu, yang dapat berlangsung
selama beberapa minggu. Tahap ini adalah respons alami tubuh
terhadap infeksi. Setelah HIV menginfeksi sel target, yang terjadi
adalah proses replikasi yang menghasilkan berjuta-juta virus baru
(virion), terjadi viremia yang memicu sindrom infeksi akut dengan
gejala yang mirip sindrom semacam flu. Gejala yang terjadi dapat
berupa demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah
bening, ruam, diare, nyeri otot, dan sendi atau batuk.

2. Tahap 2 : Infeski Laten


Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi asimtomatik (tanpa
gejala), yang umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus
dalam sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfe
menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang dan mulai
memasuki fase laten. Meskipun pada fase ini virion di plasma
menurun, replika tetap terjadi di dalam kelenjar limfe dan jumlah
limfosit T-CD4 perlahan menurun walaupun belum menunjukkan
gejala (asimtomatis).

3. Tahap 3 : Infeksi Kronis


Sekelompok orang dapat menunjukkan perjalanan penyakit
merambat cepat 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-
progressor). Akibat replikasi virus yang diikuti kerusakan dan
kematian sel dendritik folikuler karena banyaknya virus dicurahkan
ke dalam darah. Saat ini terjadim respons imun sudah tidak mampu
meredam jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit T-CD4
semakin tertekan oleh karena intervensi HIV yang semakin banyak.

Stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi 4 stadium yaitu (Astuty ,


I. & Arif, 2017):
G. DIAGNOSIS HIV / AIDS

Diagnosa HIV/AIDS dapat dilakukan melalui pemeriksaan antibody


HIV meliputi :
1. Enzyme Immunasorbent Assay (EIA). Tes ini digunakan untuk
mendeteksi antibodi IgM dan IgG HIV-1 dan HIV-2.

2. Rapid/simple assay. Tergantung jenisnya, tes ini dapat dilakukan


dalam waktu kurang dari 20 menit sampai 2 jam dan merupakan
tes yang paling banyak digunakan dengan fasilitas yang terbatas.

3. Western Bloting (WB). Pemeriksaan ini membutuhkan waktu lama


dan mahal, serta memerlukan waktu yang lama. Butuh keahlian
khusus sehingga digunakan untuk konfirmasi diagnostik.

4. ELISA (Enzyme-linked immunoassay). Pemeriksaan ini juga


merupakan pemeriksaan yang mahal dan memerlukan waktu yang
lama (Nurul Hidayat & Barakbah, 2018).

H. PENATALAKSANAAN HIV / AIDS

1. Perawatan
Perawatan pada saat terinfeksi HIV menurut (Ardhiyanti et al.,
2015):
a. Suportif dengan cara mengusahan agar gizi cukup, hidup sehat
dan mencegah kemungkinan terjadi infeksi
b. Menanggulangi infeksi opportunistic atau infeksi lain serta
keganasan yang ada
c. Menghambat replikasi HIV dengan obat antivirus seperti
golongan dideosinukleotid, yaitu azidomitidin (AZT) yang dapat
menghambat enzim RT dengan berintegrasi ke DNA virus,
sehingga tidak terjadi transkripsi DNA HIV
d. Mengatasi dampak psikososial
e. Konseling pada keluarga tentang cara penularan HIV, perjalanan
penyakit, dan prosedur yang dilakukan oleh tenaga medis
f. Dalam menangani pasien HIV dan AIDS tenaga kesehatan harus
selalu memperhatikan perlindungan universal atau keseluruhan

2. Pengobatan
Tujuan pengobatan yaitu untuk mencegah sistem imun tubuh
memburuk ke titik di mana infeksi opportunistic akan bermunculan
(Nurul Hidayat et al., 2019). Pengobatan penting untuk HIV/AIDS
dengan pemberian antiretrovirus atau ARV. Riset mengenai obat ini
terjadi sangat pesat, meskipun belum ada yang mampu
mengeradiasikan virus dalam bentuk DNA proviral pada stadium
dorman di sel CD4 memori. Pengobatan infeksi HIV/AIDS sekarang
menggunakan setidaknya 3 kelas anti virus, dengan sasaran molekul
virus dimana tidak ada homolog manusia. Pada tahun 1990, obat
pertama ditemukan berupa Azidothymidine (AZT) suatu analog
nukleosid deoksitimidin yang bekerja pada tahap penghambatan kerja
enzim transkripate riversi. Bila obat ini digunakan sendiri, dapat
mengurangi kadar RNA HIV plasma selama beberapa bulan atau
tahun. Biasanya progresivitas penyakit HIV tidak diperngaruhi oleh
pemakaian AZT, karena pada jangka panjang virus HIV berevolusi
membentuk mutan yang resisten terhadap obat (Ardhiyanti et al.,
2015).

3. Pencegahan
Pencegahan HIV/AIDS menurut (Keller Dwiyanti, 2019) yaitu :
a. Hindari perilaku berisiko, seperti hubungan seksual berisiko atau
menggunakan narkoba jarum suntik
b. Bila sudah melakukan perilaku berisiko tersebut, segera lakukan tes
HIV
c. Bila tes HIV negative, lakukan perilaku aman untuk mencegah
tertular HIV
d. Bila tes HIV positif, jalani hubungan seksual yang aman,
menggunakan pengaman (kondom), serta menghindari penggunaan
jarum suntik bergantian adalah pilihan terbaik

e. Minum obat ARV sesuai dengan petunjuk dokter agar hidup tetap
produkktif

Virus HIV dapat diisolasikan dari cairan semen, sekresi


serviks/vagina,limfosit, sel-sel dalam plasma bebas, cairan serebrospinal,
air mata, saliva, air seni dan air susu ibu. Namun tidak semua cairan
tersebut dapat menjalarkan infeksi karena konsentrasi virus dalam cairan-
cairan tersebut sangat bervariasi jenisnya. Sampai saat ini hanya darah
dan air mani/cairan semen dan sekresi serviks/vagina yang terbukti
sebagai sumber penularan serta ASI yang dapat menularkan HIV dari ibu
ke bayinya. Karena itu HIV dapat tersebar melalui hubungan seks baik
homo maupun hetero seksual, penggunaan jarum yang tercemar pada
penyalahgunaan jarum yang tercemar pada penyalahgunaan NAPZA,
kecelakaan kerja pada sarana pelayanan kesehatan misalnya tertusuk
jarum atau alat tajam yang tercemar, transfuse darah, donor organ,
tindakan medis invasif. Virus ini tidak ada yang membuktikan bahwa
dapat menularkan melalui kontak social, alat makan, toilet, kolam
renang, udara ruangan, maupun oleh nyamuk/serangga (Wahyuny &
Susanti, 2019).

3.3 KONSELOR SEBAYA


A. DEFINISI
Menurut kamus konseling, sebaya yang dalam bahasa Inggris disebut
Peer adalah Kawan. Teman-teman yang sesuai dan sejenis; perkumpulan
atau kelompok pra puberteit yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan
terdiri dari satu jenis.1
Teman sebaya atau peers adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat
kematangan atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi
terpenting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber
informasi dan komparasi tentang dunia di luar keluarga. Melalui
kelompok teman sebaya individu menerima umpan balik dari teman-
teman mereka tentang kemampuan mereka. Remaja menilai apa-apa yang
mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari pada teman-temannya, sama,
ataukah lebih buruk dari apa yang remaja lain kerjakan. Hal demikian
akan sulit dilakukan dalam keluarga karena saudara-saudara kandung
biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya).2
Sesuai istilah yang digunakan, konselor sebaya bukanlah seorang
profesional di bidang konseling, namun mereka diharapkan dapat menjadi
perpanjangan tangan konselor profesional. Menurut Judy “konseling
sebaya didefinisikan sebagai berbagai perilaku membantu interpersonal
(individu lain) yang dilakukan oleh non profesional yang melakukan
peran membantu kepada orang lain.”. Lebih lanjut dijelaskan bahwa:
“konseling sebaya termasuk hubungan membantu antara satu untuk satu
(satu orang untuk satu orang), kelompok kepemimpinan, diskusi
kepemimpinan, nasihat, bimbingan, dan semua kegiatan dari manusia
membantu antar pribadi atau membantu secara alami”. Dapat disimpulkan
bahwa konseling sebaya adalah layanan bantuan konseling yang diberikan
oleh teman sebayanya yang telah terlebih dahulu diberikan pelatihan-
pelatihan untuk menjadi konselor sebaya sehingga dapat memberikan
bantuan baik secara individual maupun kelompok kepada teman-
temannya yang bermasalah ataupun mengalami berbagai hambatan dalam
perkembangan ke pribadiannya.6
Dapat disimpulkan bahwa konseling sebaya adalah layanan bantuan
konseling yang diberikan oleh teman sebayanya yang telah terlebih
dahulu diberikan pelatihan-pelatihan untuk menjadi konselor sebaya
sehingga dapat memberikan bantuan baik secara individual maupun
kelompok kepada teman-temannya yang bermasalah ataupun mengalami
berbagai hambatan dalam perkembangan ke pribadiannya.

B. TUJUAN
Menurut Mary Rebeca (1982), tujuan konseling sebaya yakni:
1. Memanfaatkan proteksi kaum muda
2. Sumber daya manusia yang paling berharga
3. Mempersiapkan kaum muda menjadi pemimpin bangsanya di masa
depan
4. Membantu kaum muda mengembangkan kepribadian mereka
5. Membantu kaum muda mengembangkan kepribadian mereka
6. Membantu kaum muda menjernihkan dan membentuk nilai-nilai
hiidup mereka, dan
7. Meningkatkan kemampuan kaum muda melakukan perubahan di
tengah masyarakat mereka.

C. FUNGSI DAN MANFAAT


Fungsi konselor sebaya menurut Rogation (2004) adalah sebagai :
1. Sahabat yang bersedia membantu, mendengarkan, dan memahami,
2. Fasilitator yang bersedia membantu remaja untuk tumbuh dan
berkembang bersama kelompoknya, dan
3. Sebagai pemimpin yang karena kepeduliannya pada orang lain menjadi
penggerak perubahan sosial
D. LANGKAH MEMBANGUN KONSELING SEBAYA
Sebelum pelatihan bimbingan teman sebaya diselenggarakan, kegiatan
diawali dengan pemilihan calon pembimbing sebaya dengan karakteristik
sebagai berikut:
1. Memiliki minat, kemauan, dan perhatian untuk membantu teman
secara sukarela,
2. Terbuka dan mampu berempati,
3. Memiliki disiplin yang baik,
4. Memiliki prestasi akademik tinggi atau minimal rerata,
5. Memiliki self regulated learning atau pengelolaan diri yang baik,
6. Memiliki kontrol diri dan akhlak yang baik,
7. Mampu menjaga rahasia,
8. Mampu bersosialisasi dan menjadi model yang baik bagi teman-
temannya,
9. Memahami norma sosial, hukum dan agama. 17

Anda mungkin juga menyukai