Anda di halaman 1dari 38

KARSINOMA NASOFARING

a. Defenisi

Karsinoma nasofaring disebut juga sebagai tumor kanton (Canton tumor).


Menurut estimasi WHO, sekitar 80% dari kasus nasofaring di dunia terjadi di
China. Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, radioterapi
dikombinasi dengan kemoterapi dapat meningkatkan efektivitas terapi kanker
nasofaring.
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada
daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang
menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau
ultrastruktur.

b. Epidemiologi

Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker


payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan GLOBOCAN
2012. 3 o 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan
61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada
perempuan) o 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan
15.000 pada perempuan) KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif
(perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia
antara 25 hingga 60 tahun. Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di
propinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring
diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di
daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar < 1/100.000
penduduk.

c. Faktor Risiko

Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang tampaknya


meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring, termasuk :
1) Jenis Kelamin
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
2) Ras
Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia
dan Afrika Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko
lebih tinggi dari jenis kanker, dibandingkan orang Asia kelahiran
Amerika.

3) Umur
Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering di
diagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.

4) Makanan yang diawetkan


Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak makanan, seperti
ikan dan sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung,
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Paparan bahan kimia ini
pada usia dini, lebih dapat meningkatkan risiko.

5) Virus Epstein-Barr
Virus umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan gejala
ringan, seperti pilek. Kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi
mononucleosis. Virus Epstein-Barr juga terkait dengan beberapa kanker
langka, termasuk karsinoma nasofaring.

6) Sejarah keluarga
Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring meningkatkan
risiko penyakit.

7) Faktor Gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan Genetik


Analisis korelasi menunjukan gen HLA (human leukocyte antigen) dan
gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah
gen kerentanan terhadap kanker nasofaring, mereka berkaitan dengan
timbulnya sebagian besar kanker nasofaring.
8) Merokok

9) Minum Alkohol
d. Patologi
Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel
squamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam
lamina propria mukosa sering terdapat sebukan serosa dan musinosa. Kanker
nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.
 Tipe patologi
Sel kanker nasofaring 95% ke atas ber diferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi.
Para ahli RRC menganjurkan penggunaan serentak klasifikasi histologik yang
ditetapkan WHO tahun 1991 dan klasifikasi standart diagnosis terapi kanker
nasofaring dari China.
 Pertumbuhan dan ekspansi
Lokasi predileksi kanker nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di
resesus faringeus) dan dinding superoposterior. Tingkat keganasan kanker
nasofaring tinggi, tumbuh infiltrative, dapat langsung menginfiltrasi berekspansi ke
struktur yang berbatasan ke atas dapat langsung merusak basis cranial, juga dapat
melalui foramen sfenotik, foramen ovale, foramen spinosum, kanalis karotis internal
atau sinus sphenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan
alamiah menginfiltasi intracranial, mengenai saraf cranial, ke anterior menyerang
rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbital,
juga dapat melalui intrakranium, fisura, orbitalis superior atau kanalis pterigoideus,
resesus pterigopalatina lalu ke orbital, ke lateral tumor dapat menginfiltasi celah
parafaring, fosa intratemporal dan kelompok otot kunyah dll, ke posterior
menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal, ke inferior
mengenai orofaring, bahkan laringofaring.
 Metastasis
Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat melintasi
garis tengah ke sisi leher kontralateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar limfe dari
kanker nasofaring terjadi dini, insidennya tinggi. Menurut statistic dari RS Kanker
FK Zhongshan, pada waktu diagnosis 70-80% pasien sudah memiliki penyebaran ke
kelenjar limfe leher, 40-50% pasien mengalami metastasis kelenjar limfe bilateral.
Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering ditemukan pada kelenjar limfe profunda
leher atas di bawah otot digastrik, yang ke dua adalah kelenjar limfe leher profunda
kelompok tengah dan kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di trigonum servikal
posterior.
Metastasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke kelenjar leher,
menyusul limfedenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang metastasis juah
juag meningkat jelas. Statistic dari RS Kanker FK Zhongshan menunjukkan angka
matastasis jauh kumulatif 5 tahun kanker nasofaring adalah 20-25%, angka
metastasis jauh kumulatif pasien N2, N3 adalah masing-masing 17%(11/93)DAN
74%(69/93). Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, hati, dan
sering kali terjadi metastasis di banyak organ sekaligus.
e. Menifestasi Klinik
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah:
 Epistaksis, sekitar 70% pasien mengalami gejala ini diantaranya 23,2% pasien dating berobat
dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap dengan kuat secret dari rongga hidung atau
nasofaring, bagian dorsal palatum mole bergesekkan dengan permukaan tumor, sehingga
pembuluh darah di permukaan tumor rober dan menimbulkan epistaksis, yang berat dapat timbul
hemoragi nasal nasal massif.
 Hidung tersumbat, sering hanya sebelah dan secara progresif bertambah hebat. Ini disebabkan
tumor menyumbat lubang hidung posterior, insiden sekitar 48%.
 Tinnitus dan pendengaran menurun, masing-masing menempati 51,5-62,5% dan 50%.
Penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan dinding lateral nasofaring menginfiltasi,
menekan tuba eustaki, menyebabkan tekanan negative di dalam kavum timpani, hingga terjadi
otitis media transudatif. Bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat
meredakan sementara. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi,
umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
 Cephalgia, menempati 57,2-68,6%, kekhasannya adalah nyeri kontinu di region temporoperietal
atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf cranial atau os basis
cranial, juga mungkin karena infeksi local atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan
cephalgia reflektif.
 Rudapaksa saraf cranial, kanker nasofaring menginfiltrasi dan ekspansi direk ke superior, dapat
mendestruksi tulang basis cranial, atau melalui saluran atau celah alami cranial masuk ke area
petrosfenoid dari fosa media intracranial (termasuk foramen sfenotik, apeks petrosus os temporal,
foramen ovale dan area sinus spongiosus), membuat saraf cranial III, IV, V (radiks 1, 2) dan VI
rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata (termasuk
paralisis saraf abduksi tersendiri), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi
meningen (sindroma fisura sfenoidal), bila terdapat juga rudapaksa saraf cranial II, disebut
sindroma apeks orbital atau petrosfenoid. Ketika kanker nasofaring meluas hingga area posterior
prosesus stiloideus dari celah parafaring, atau matastasis kelenjar limfe parafaring menekan,
menginfiltrasi lebih ke dalam, dapat mengenai saraf cranial IX, X, XI, XII dan saraf simpatis
leher. (ketika rantai saraf simpatis servikal ipsilateral terkena rudapaksa, dapat timbul
penyempitan fisura palpebra, miosis, indentasi bola mata ipsilateral, serta hipo atau anhidrosis
ipsilateral, yang disebut dengan sindroma Horner, dengan insiden 2,22%). Radiks ke-3 nervus
trigeminus dapat terinfiltrasi di intracranial, atau terkena rudapaksa di celah parafaring. Saraf
cranial I, II, terletak intracranial condong ke depan, saraf cranial VII, VIII terlindung oleh pars
petrosus os temporalis, sehingga mereka lebih jarang terkena invasi kanker nasofaring ke saraf
cranial.
 Pembesaran kelenjar limfe leher, sekitar 40% pasien datang dengan gejala pertama pembesaran
kelenjar limfe leher, pada waktu diagnosis ditegakkan, skitar 60-80% sudah terdapat metastasis
kelenjar limfe leher. Lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok profunda
superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutupi otot
sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri, maka pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian
pasien yang metastasis kelenjar limfenya pertama kali muncul diregio untaian nervi aksesorius di
segitiga koli posterior.
 Gejala metastasis jauh, 95% lebih sel kanker nasofaring berdiferensiasi buruk, dengan derajat
keganasan tinggi, waktu diagnosis ditegakkan, 4,2% kasus sudah menderita metastasis jauh. Dari
kasus sudah wafat setelah radioterapi, angka metastasis jauh mencapai 45,5%. Lokasi metastasis
paling sering ke tulang, paru, hati. Metastasis tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan
keempat ekstremitas. Manisfestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinu dan nyeri tekan
setempat, lokasinya tetap, tidak berubah-ubah, dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase
dini tidak selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone scan seluruh badan dapat membantu
diagnosis. Metastasis hati, paru dapat sangat tersembunyi, kadang hanya ditemukan ketika
dilakukan tindakkan lanjut rutin dengan ronsen toraks, pemeriksaan hati dengan CT atau USG.

f. Diagnosis
1) Anamnesis
Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus,
otalgia, hidung tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut
dapat ditemukan benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopia,
dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).

2) Pemeriksaan Fisik
• Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
• Pemeriksaan nasofaring:
- Rinoskopi posterior
- Nasofaringoskop ( fiber / rigid )
- Laringoskopi
• Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan
kanker nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada
kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.

3) Pemeriksaan Radiologi
(a) CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai
setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal,
aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian
kontras dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT
berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan
sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening regional.

(b) USG abdomen

Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila


dapat keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan
dengan CT Scan Abdomen dengan kontras.
(c) Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai
adanya kelainan maka di lanjutkan dengan CT Scan Thoraks dengan
kontras.
(d) Bone Scan
Untuk melihat metastasis tulang. Pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut diatas untuk menentukan TNM

4) Pemeriksaan Patologi Anatomi


Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring
bukan dari Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau biopsi
insisional/eksisional kelenjar getah bening leher. Dilakukan dengan tang
biopsi lewat hidung atau mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior atau
tuntunan nasofaringoskopi rigid/fiber. Pelaporan diagnosis karsinoma
nasofaring berdasarkan kriteria WHO 1 yaitu:
(a) Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin (WHO 1)
(b) Karsinoma Tidak Berkeratin
- Berdiferensiasi (WHO 2)
- Tidak Berdiferensiasi (WHO 3)
(c) Karsinoma Basaloid Skuamosa

Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum dilakukan jika dari


biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang positif
sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri karsinoma
nasofaring, atau suatu kanker yang tidak diketahui primernya (Unknown
Primary Cancer). Prosedur eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum
dapat langsung dikerjakan pada penderita anak, penderita dengan
keadaan umum kurang baik, keadaan trismus sehingga nasofaring tidak
dapat diperiksa, penderita yang tidak kooperatif, dan penderita yang
laringnya terlampau sensitif, atau dari CT Scan paska kemoradiasi/ CT
ditemukan kecurigaan residu /rekuren, dengan Nasoendoskopi
Nasofaring menonjol.

5) Pemeriksaan Laboratorium
- Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.
- Alkali fosfatase, LDH
- SGPT – SGOT

f. Diagnosis Banding
1) Limfoma Malignum
2) Proses non keganasan (TB kelenjar)
3) Metastasis (tumor sekunder)

g. Klasifikasi Stadium
Klasifikasi berdasarkan klasifikasi TNM (AJCC, 7 th ed, 2010), dapat
ditentukan dengan menilai karakteristik massa tumor, kelenjar getah bening
yang terlibat, dan metastasis ke organ lain.
 Pengelompokan Stadium

h. Tatalaksana

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan


didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. Koordinasi antara
bagian THT, Onkologi Radiasi, dan Onkologi Medik merupakan hal penting
yang harus dikerjakan sejak awal. Sebelum dilakukan terapi radiasi dan
kemoterapi dilakukan persiapan pemeriksaan gigi, mata, dan neurologi.
Penderita dengan status performa kurang baik atau penderita yang status
performanya menurun selama pengobatan, sebaiknya disarankan rawat inap
agar dapat dilakukan monitor ketat untuk mencegah timbulnya efek samping
yang berat.
1) Radioterapi

Radioterapi merupakan pengobatan terpilih dalam tatalaksana


kanker nasofaring yang telah diakui sejak lama dan dilakukan di
berbagai sentra dunia. Radioterapi dalam tatalaksana kanker nasofaring
dapat diberikan sebagai terapi kuratif definitif dan paliatif. Pemberian
radioterapi dalam bentuk IMRT lebih terpilih dibandingkan dengan
3D-CRT.

(a) Radioterapi Kuratif Defenitif

Indikasi/tujuan radioterapi kuratif definitif pada sebagai


modalitas terapi tunggal dapat diberikan pada kanker nasofaring
T1N0M0 (NCCN Kategori 2A), konkuren bersama kemoterapi
(kemoradiasi) pada T1N1-3,T2-T4 N0-3 (NCCN kategori 2A).
Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor primer dan KGB
leher dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II, III, IV
lokal). Radiasi dapat diberikan berupa radiasi eksterna, radiasi
intrakaviter, dan booster sebagai tambahan. Radiasi eksterna yang
mencakup gross tumor (nasofaring) beserta kelenjar getah bening
leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4;
disertai penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy.
Selain itu, radiasi intrakaviter dapat diberikan sebagai radiasi
booster pada tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah
bening, diberikan dengan dosis (4x3 Gy), sehari 2 x. Selanjutnya,
bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan
penyinaran dengan elektron.

 Teknik Pemberian Radiasi


Teknik radiasi yang dapat diberikan pada pengobatan
kanker nasofaring adalah Teknik konvensional 2 dimensi
dengan pesawat Cobalt-60 atau LINAC, Teknik konformal 3
dimensi (3D Conformal Radiotherapy) dengan pesawat
LINAC, Teknik Teknik Intensity Modulated Radiation
Therapy (IMRT) dengan pesawat LINAC, dan brakhiterapi.
18-19 Teknik Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT)
di dunia telah menjadi standar (NCCN grade 2A) dan teknik
lain dapat diterima asalkan spesifikasi dosis dan batasan dosis
terpenuhi.

 Teknik Konvesional 2 Dimensi

Untuk melakukan teknik konvensional dua dimensi,


jumlah lapangan radiasi minimal dilakukan pada dua
lapangan, yaitu Teknik Plan Paralel Laterolateral dan
lapangan supraklavikula. Dalam kondisi tertentu,
lapangan Plan Paralel dapat dikombinasikan dengan
menggunakan lapangan ke-3 dari Anterior, dan lapangan
supraklavikula. Dalam kondisi tertentu, lapangan Plan
Paralel dapat dikombinasikan dengan menggunakan
lapangan ke-3 dari Anterior, dan lapangan supraklavikula.

Untuk stadium IV dengan kondisi tertentu Bila KGB


leher sangat besar, lapangan radiasi Depan – Belakang
(D-B). Bila KGB leher cukup kecil atau tidak memotong
tumor di leher, radiasi bisa anterior, Plan Paralel Lateral
dan Supraklavikula.

 Batas-batas Lapangan Penyinaran

Batas-batas lapangan penyinaran yang ditentukan


disini berlaku untuk semua jenis histologik tumor, kecuali
limfoma ganas. Lapangan penyinaran meliputi daerah
tumor primer pasien dan sekitarnya/potensi penjalaran per
kontinuitatum, serta kelenjar- kelenjar regional (kelenjar
leher sepanjang jugular serta sternokleidomastoideus dan
kelenjar supraklavikula) dari lateral dan anterior.

 Dosis Radiasi

Dosis perfraksi yang diberikan adalah 2 Gy DT


(Dosis Tumor) diberikan 5 kali dalam seminggu untuk
tumor primer maupun kelenjar. Dilanjutkan pengecilan
lapangan radiasi/blok medulla spinalis. Setelah itu radiasi
dilanjutkan untuk tumor primer. Sehingga dosis total
adalah 70 Gy pada tumor. Hanya kelenjar regional yang
membesar yang mendapat radiasi sampai 60 Gy atau
lebih. Bila tidak ada pembesaran ini maka radiasi efektif
pada kelenjar leher dan supraklavikula cukup sampai 50
Gy.

Untuk tumor dengan stadium T1 N0 M0, T2 N0 M0,


radiasi externa diberikan dengan total dosis 60 Gy,
kemudian dievaluasi dengan CT- Scan, bila hanya tersisa
di daerah nasofaring saja, pasien di terapi dengan radiasi
internal (brakhiterapi) dengan fraksi 4x3 Gy, pagi dan
sore dengan jarak + 6 jam. Untuk tumor dengan T4,
radiasi external diberikan 70 Gy dengan batas atas 2 cm di
atas dasar tengkorak. Tetapi bila kasus semua diatas
masih tersisa di sinus paranasale, misalnya : di sinus
maxillaris, maka radiasi eksternal diteruskan menjadi 66
sampai dengan 70 Gy. -14- Pengecilan Lapangan Radiasi
Terdapat beberapa ketentuan untuk melakukan pengecilan
lapangan radiasi.

Untuk tumor-tumor yang terbatas pada nasofaring


serta tidak ditemukan pembesaran kelenjar leher (T1/T2 –
N0), batas- batas lapangan diubah sedemikian rupa
sehingga batas atas lebih rendah dari dasar tengkorak
(sella tursika di luar lapangan radiasi). Untuk bagian
posterior, batas posterior menjadi di sebelah depan meatus
akustikus eksterna sehingga medulla spinalis terletak di
luar lapangan radiasi. Sementara batas bawah menjadi
setinggi angulus mandibula dan batas anterior tidak
mengalami perubahan. Lapangan ini memperoleh radiasi
tetap dari kiri dan kanan.
(b) Radiasi Konformal 3 Dimensi dan IMRT

 Target Radiasi

Pendefinisian target radiasi 3 dimensi harus berdasarkan


terminologi International Commission on Radiation Units and
Measurements - 50 (ICRU50); yaitu gross tumor volume
(GTV), clinical target volume (CTV) dan planning target
volume (PTV).

Proses simulator dengan CT-Scan, pasien diposisikan


dalam posisi supine, dengan fiksasi masker termoplastik untuk
imobilisasi kepala dan leher, termasuk bahu. Pemberian
kontras intravena sangat membantu dalam mendelineasi GTV,
terutama pada kelenjar getah bening. Fusi dengan modalitas
pencitraan lain seperti MRI dapat dilakukan, lebih baik dengan
yang ketebalan slice-nya minimal 3 mm. Basis kranii (clivus
dan nervus 17ntracranial) sangat baik bila dilihat dengan MRI.
Marrow infiltration paling baik dilihat pada sekuens MRI T1-
non kontras.

Target volume mencakup GTV dan CTV. Pada teknik


IMRT, CTV dapat dibedakan menjadi 2 atau lebih, terkait
gross disease, high risk, atau low risk.
Volume target pada teknik IMRT sebagai berikut :
 Target pada daerah Gross Disease
- GTV : Seluruh gross disease berdasarkan CT, MRI,
informasi klinis, dan temuan endoskopik. Kelenjar
getah bening positif tumor didefinisikan sebagai
KGB berukuran > 1 cm atau KGB dengan sentral
nekrosis. Untuk membedakan, GTV pada lokasi
primer dinamai GTV P dan GTV pada KGB disebut
GTV N.
- CTV70 (70 Gy): biasanya sama dengan GTV70
(tidak perlu menambahkan margin). Jika margin
dibutuhkan akibat ketidakpastian gross disease, dapat
ditambahkan 5 mm sehingga GTV70 + 5 mm =
CTV70. Pada daerah sekitar batang otak dan medulla
spinalis, batas 1 mm dianggap cukup, disebabkan
perlu untuk melindungi struktur jaringan normal
kritis. Jika tumor melibatkan satu sisi, yang mana
pasien dapat terancam mengalami kebutaan sebagai
akibat dari terapi, maka perlu dilakukan informed
consent dan lakukan pembatasan dosis pada kiasma
optikum, untuk melindungi struktur optik
kontralateral. Gross disease pada KGB retrofaring
harus mendapatkan dosis 70 Gy.
- PTV70 (70 Gy): CTV70 + 3-5 mm, bergantung
kepada tingkat kenyamanan pengaturan posisi pasien
sehari-hari. Untuk daerah sekitar batang otak dan
medulla spinalis, batas 1 mm masih diperbolehkan.

 Volume target pada daerah subklinis risiko tinggi (High


Risk)
- CTV59,4 (59,4 Gy) : CTV59,4 harus mencakup
seluruh daerah GTV70. Primer: seluruh nasofaring
(termasuk seluruh palatum molle), clivus, basis kranii
(termasuk foramen ovale, tempat nervus V.3 berada),
fossa pterygoid, spasium parafaring, sinus sphenoid,
1/3 posterior sinus maksilaris (mencakup fossa
pterigopalatina, tempat nervus V.2 berada), sinus
ethmoid posterior, sinus kavernosus pada kasus T3-4.
Leher: KGB retrofaring, level IB-V bilateral. Level
IB dapat dikeluarkan apabila pasien N0.
- PTV 59,4 (59,4 Gy): CTV 59,4 + 3-5 mm,
bergantung kepada tingkat kenyamanan pengaturan
posisi pasien sehari-hari, namun bisa sekecil 1 mm
pada daerah dekat jaringan kritis normal.
 Volume target pada daerah subklinis risiko rendah (Low
Risk)
- PTV 54 (54 Gy): pada kasus N0 atau leher bawah
(Level IV dan VB). Daerah leher anterior bawah
dapat juga menggunakan teknik konvensional (AP
atau AP=PA). Daerah ini berisiko rendah sehingga
dosis dapat diturunkan menjadi 50 Gy.

 Dosis Radioterapi
Dosis radioterapi kuratif definitif tanpa kemoterapi adalah
(NCCN, kategori 2A):
- PTV risiko tinggi (tumor primer dan KGB positif,
termasuk kemungkinan infiltrasi subklinis pada tumor
primer dan KGB risiko tinggi) : 66 Gy (2,2 Gy/fraksi)
sampai 70 Gy (1,8-2 Gy/fraksi).
- PTV risiko rendah hingga menengah (lokasi yang
dicurigai terjadi penyebaran subklinis) : 44-50 Gy ( 2
Gy/fraksi) sampai 54-63 Gy (1.6-1,8 Gy/fraksi) Dosis
radioterapi konkuren kemoterapi (kemoradiasi) adalah
(NCCN, kategori 2A) : • PTV risiko tinggi : 70 Gy (1,8-
2 Gy/fraksi).
- PTV risiko rendah hingga menengah: 44-50 Gy ( 2
Gy/fraksi) sampai 54-63 Gy (1.6-1,8 Gy/fraksi). Jika
menggunakan teknik 3DCRT, dosis direkomendasikan
44-50 Gy, jika menggunakan IMRT dapat diberikan 54-
53 Gy. Selain peresepan dosis, yang perlu diperhatikan
adalah dosis jaringan sehat sekitarnya. Deliniasi organ
sehat harus mengacu kepada pedoman dari Radiation
Therapy Oncology Grup (RTOG)1605.
Penggunaan teknik IMRT telah menunjukkan penurunan
dari toksisitas kronis pada kasus karsinoma orofaring, sinus
paranasal, dan nasofaring dengan adanya penurunan dosis
pada kelenjarkelenjar ludah, lobus temporal, struktur
pendengaran (termasuk koklea), dan struktur optik. 3D
Conformal Radiotherapy/IMRT juga dapat diindikasikan
untuk tindakan radiasi: • Sebagai booster tumor primer •
Kasus residif • Sebagai pengganti tindakan brakhiterapi.
Untuk IMRT, verifikasi posisi harus dilakukan setiap
fraksi dengan Electronic Portal Image Devices (EPID) untuk 5
fraksi pertama, diikuti dengan setiap 5 fraksi. Untuk 3D-CRT,
verifikasi posisi harus dilakukan setiap fraksi dengan EPID
untuk 3 fraksi pertama, diikuti dengan setiap 5 fraksi.
2) Brakhiterapi
Cara brakhiterapi nasofaring adalah dengan menggunakan
aplikator Levendag dengan menggunakan sumber radiasi Ir 192 HDR.
Dilakukan tindakan anestesi lokal atau anestesi umum. Rekomendasi A
Penggunaan teknik IMRT pada radiasi kanker nasofaring, bilamana
memungkinkan, lebih direkomendasikan dibanding teknik 3D-CRT
ataupun 2D konvensional mengingat teknik tersebut dapat
meminimalisir toksisitas terhadap organ kritis yang terletak berdekatan.
Dengan guide NGT 100 cm dengan penampang + 2 mm
dimasukkan melalui hidung dan keluar dari mulut. Dengan guide ini
dipasang aplikator lavendag lalu difiksasi.
Pasang aplikator kedua, pasang dummy, buat foto AP dan Lateral.
Dosis ditentukan pada daerah nasofaring, daerah organ kritis lainnya
dihitung dan diusahakan dosis jangan melebihi dosis toleransi jaringan
sehat.

3) Radioterapi Paliatif
Pemberian radiasi dengan tujuan paliatif dapat diberikan pada
kasus stadium lanjut dimana tujuan kuratif sudah tidak dapat
dipertimbangkan lagi. Pada stadium lanjut (M1), radioterapi
lokoregional dapat diberikan dengan setting kuratif pada pasien dengan
metastasis pada daerah terbatas atau dengan beban tumor yang rendah,
atau pada pasien dengan gejala pada daerah lokal primer dan KGB,
dengan tujuan mengurangi gejala selama toksisitas radiasi masih dapat
ditoleransi. Pada stadium lanjut ini, radioterapi dapat diberikan pasca
pemberian kemoterapi berbasis platinum atau konkuren dengan
kemoterapi (kemoradiasi) (NCCN Kategori 2A).
Radioterapi paliatif diberikan pada kanker nasofaring yang sudah
bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan menimbulkan rasa nyeri.
Tujuan paliatif diberikan untuk meredakan gejala sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien. Radioterapi pada tatalaksana
metastases tulang merupakan salah satu modalitas terapi selain
imobilisasi dengan korset atau tindakan bedah, bisfosfonat, terapi
hormonal, terapi target Cetuximab dan Nimotuzumab, terapi
radionuklir dan kemoterapi. Radioterapi pada metastases tulang dapat
diberikan atas indikasi: • Nyeri. • Ancaman fraktur kompresi yang
sudah distabilisasi. • Menghambat kekambuhan pasca operasi reseksi.
 Target Radiasi
Target radiasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu, radioterapi
konvensional 2 dimensi yang menggunakan penanda tulang (bony
landmark) dan radioterapi konformal 3 dimensi yang
menggunakan terminologi International Commission on Radiation
Units and Measurements - 50 (ICRU-50); yaitu gross tumor
volume (GTV), clinical target volume (CTV) dan planning target
volume (PTV).
Radioterapi konvesional mendefinisikan target radiasi dari lesi
yang menyerap radiofarmaka disertai nyeri kemudian memberikan
jarak 1 ruas vertebrae ke atas dan ke bawah. Untuk batas lateral,
diberikan jarak 0.5 cm dari pedikel vertebrae. Radioterapi 3D-CRT
pada metastases tulang. GTV: Lesi osteolitik atau osteoblastik dan
juga massa jaringan lunak. CTV: Korpus, pedikel, lamina dari
vertebrae yang terlibat, disertai jaringan lunak yang terlibat dan
diberi jarak 0.5 cm, tanpa memasukkan usus dan lemak. PTV: 0.5-
1 cm tergantung metode imobilisasi dan verifikasi posisi yang
digunakan.

 Dosis
Dosis yang diberikan pada radioterapi paliatif adalah:
- 1 fraksi x 8 Gy
- 5 fraksi x 4 Gy
- 10 fraksi x 3 Gy
- 15 fraksi x 2.5 Gy
Dosis ini dapat berubah menurut pertimbangan Dokter sesuai
dengan kondisi masing-masing pasien. Yang perlu diperhatikan
dalam radioterapi paliatif pada vertebrae adalah batasan dosis
untuk medulla spinalis dan organ sekitar. Organ sekitar yang perlu
diperhatikan adalah ginjal, terutama bila diberikan pengaturan
berkas sinar yang kompleks. Untuk dosis toleransi jaringan sehat
dapat mengacu kepada pedoman Quantitative Analysis of Normal
Tissue Effects in the Clinic (QUANTEC).

 Teknik Radioterapi Eksterna


Teknik yang dapat digunakan adalah:
- Radioterapi konvensional 2 dimensi
- Radioterapi konformal 3 dimensi
- Stereotactic body radiotherapy (SBRT)
SBRT biasanya diberikan pada kasus oligo metastases dengan
lesi tunggal pada vertebrae atau maksimal 2 ruas. Dosis yang
diberikan adalah 16 Gy dalam fraksi tunggal. Kriteria untuk
dilakukan SBRT dapat dilihat di bawah ini.
4) Obat-Obatan

Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah


dan menelan, beri obat kumur yang mengandung antiseptik dan
astringent, (diberikan 3 – 4 sehari). (1)Tanda-tanda moniliasis,beri
antimikotik. (2)Nyeri menelan,berikan anestesi lokal, (3)Nausea,
anoreksia , beri terapi simptomatik.

(a) Kemoterapi

Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama


diberikan pada pasien dengan T2-T4 dan N1-N3. Kemoterapi
sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam
sebelum dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh
dapat diberikan pada N3 > 6 cm sebagai neoadjuvan dan adjuvan
setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada kasus
rekuren/metastatik. Terapi sistemik pada Karsinoma Nasofaring
adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi
adjuvant, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau
Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2
sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali. Terapi sistemik pada
Karsinoma Nasofaring kasus Rekuren/Metastatik:

- Terapi Kombinasi Cisplatin or carboplatin + docetaxel or


paclitaxel
- Cisplatin/5-FU • Carboplatin
- Cisplatin/gemcitabine
- Gemcitabine
- Taxans + Patinum +5FU
- Terapi Tunggal
- Cisplatin
- Carboplatin
- Paclitaxel
- Docetaxel
- 5-FU
- Methotrexate
- Gemcitabine
- Capecitabine

i. Dukungan Nutrisi

Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi (35%)


dan malnutrisi berat (6,7%). 12 Prevalensi kaheksia pada kanker kepala-leher
(termasuk KNF) dapat mencapai 67%. Malnutrisi dan kaheksia dapat
mempengaruhi respons terapi kualitas hidup, dan kesintasan pasien. Pasien
KNF juga sering mengalami efek samping terapi, berupa mukositis,
xerostomia, mual, muntah, diare, disgeusia, dan lain-lain. Berbagai kondisi
tersebut dapat meningkatkan meningkatkan stres metabolisme, sehingga
pasien perlu mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal.

Pada anak dengan karsinoma nasofaring, efek samping yang sering


ditimbulkan ialah kehilangan nafsu makan, perubahan indra perasa,
penurunan sistim kekebalan, muntah, diare, gangguan saluran cerna lainnya
seringkali berakibat terhadap jumlah asupan makronutrien dan mikronutrien
yang diperlukan pada anak. Para penyintas perlu mendapatkan edukasi dan
terapi gizi untuk meningkatkan keluaran klinis dan kualitas hidup pasien.
(a) Tatalaksana Nutrisi Umum

1) Kebutuhan Nutrisi Umum

Kebutuhan energi idealnya, perhitungan kebutuhan energi pada


pasien kanker ditentukan dengan kalorimetri indirek. Namun,
apabila tidak tersedia, penentuan kebutuhan energi pada pasien
kanker dapat dilakukan dengan formula standar, misalnya rumus
Harris Benedict yang ditambahkan dengan faktor stres dan aktivitas,
tergantung dari kondisi dan terapi yang diperoleh pasien saat itu.
Penghitungan kebutuhan energi pada pasien kanker juga dapat
dilakukan dengan rumus rule of thumb:

- Pasien ambulatory : 30-35 kkal/kg BB/hari


- Pasien bedridden : 20-25 kkal/kg BB/hari
- Pasien obesitas : menggunakan berat badan ideal

Pada pasien anak, penentuan kebutuhan, perhitungan dilakukan


dengan rumus sebagai berikut:

- Pada kondisi sakit kritis, kalori yang harus dipenuhi dihitung


berdasarkan rumus: Resting energy expenditure (REE) x
faktor stres x faktor aktivitas.
- Pada kondisi tidak sakit kritis, perhitungan kebutuhan kalori
dilakukan berdasarkan rumus: Berat badan ideal x
Recommended daily allowance (RDA) menurut usia tinggi.

 Makronutrien
- Kebutuhan protein: 1,2-2,0 g/kg BB/hari, pemberian
protein perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal dan hati.
- Kebutuhan lemak: 25-30% dari energi total
- 35-50% dari energi total untuk pasien kanker stadium lanjut
dengan penurunan BB (rekomendasi tingkat A).
- Kebutuhan karbohidrat (KH) : sisa dari perhitungan protein
dan lemak.
 Mikronutrien
Sampai saat ini, pemenuhan mikronutrien untuk pasien kanker
hanya berdasarkan empiris saja, karena belum diketahui jumlah
pasti kebutuhan mikronutrien untuk pasien kanker. ESPEN
menyatakan bahwa suplementasi vitamin dan mineral dapat
diberikan sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG).
 Cairan
Kebutuhan cairan pada pasien kanker umumnya sebesar: 28,29
- Usia kurang dari 55 tahun : 30-40 mL/kgBB/hari
- Usia 55−65 tahun : 30 mL/kgBB/hari
- Usia lebih dari 65 tahun : 25 mL/kgBB/hari

Kebutuhan cairan pasien kanker perlu diperhatikan dengan


baik, terutama pada pasien kanker yang menjalani radio- dan/atau
kemo-terapi, karena pasien rentan mengalami dehidrasi. 28,29
Dengan demikian, kebutuhan cairan dapat berubah, sesuai
dengan kondisi klinis pasien.

2) Nutrien Spesifik
 Branched-chain amino acids (BCAA)
- Dapat memperbaiki selera makan 30
- Menurunkan insidens anoreksia 31
- Dijumpai pada putih telur, ikan, ayam, daging sapi, kacang
kedelai, tahu, tempe, dan polong-polongan.
 Asam lemak omega-3
- Mempertahankan dan memperlambat kecepatan penurunan
BB, meskipun tidak menambah BB pasien.
- Anjuran asupan harian 2 gram asam eikosapentaenoat atau
eicosapentaenoic acid (EPA).
- Jika tidak memungkinkan untuk diberikan, pasien dapat
dianjurkan untuk meningkatkan asupan bahan makanan
sumber asam lemak omega-3, yaitu minyak dari ikan
salmon, tuna, kembung, makarel, ikan teri, dan ikan lele.
(b) Pemberian Farmakoterapi Nutrien
Pasien kanker yang mengalami anoreksia memerlukan terapi
multimodal, yang meliputi pemberian obat-obatan sesuai dengan kondisi
pasien di lapangan:
1) Progestin Dosis optimal MA sebesar 480–800 mg/hari. Penggunaan
dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan bertahap apabila
selama dua minggu tidak memberikan efek optimal.
2) Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling banyak
digunakan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian
kortikosteroid pada pasien kaheksia dapat meningkatkan selera
makan dan kualitas hidup pasien.
3) Siproheptadin Digunakan pada pasien anak dengan kaheksia kanker,
dan tidak direkomendasikan pada pasien dewasa (Rekomendasi
tingkat E).

j. Rehabilitasi Medik
Pada kanker nasofaring rehabilitasi medik bertujuan untuk
mengoptimalkan pengembalian kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan
sehari-hari serta 5 meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman dan
efektif, sesuai kemampuan yang ada. Pendekatan rehabilitasi medik dapat
diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan dan
dapat dilakukan pada berbagai tingkat tahapan dan pengobatan penyakit yang
disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi kanker: preventif,
restorasi, suportif atau paliatif.

k. Follow Up
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik:
- Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
- Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
- Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan
- >5 tahun : setiap 12 bulan
Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca
terapi: a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC b. Bone
Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang. Follow Up
Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up dengan CT Scan pada
siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor.

l. Prognosis dan Kesintasan


Prognosis pasien dengan KNF dapat sangat berbeda antara subkelompok
yang satu dengan subkelompok yang lain. Penelitian tentang faktor-faktor
yang dapat memengaruhi prognosis masih terus berlangsung hingga saat ini.
Kebanyakan faktor-faktor prognosis bersifat genetik ataupun molekuler.
klinik (pemeriksaan fisik maupun penunjang). Sampai saat ini belum ada uji
meta analisis yang menggabungkan angka kesintasan dari berbagai studi
yang telah ada. Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan
sebagai kesintasan 5 tahun. Menurut AJCC tahun 2010, kesintasan relatif 5-
tahun pada pasien dengan KNF StadiumI hingga IV secara berturutan sebesar
72%, 64%, 62%, dan 38%.

E. KARSINOMA THYROID
a. Defenisi
Kanker tiroid adalah suatu keganasan pada tiroid yang memiliki 4 tipe
; papiler, folikuler, anaplastik atau meduler. Kanker jarang menyebabkan
pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul)
di dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak dan biasanya
kanker tiroid bisa disembuhkan. Kanker tiroid seringkali membatasi
kemampuan menyerap yodium dan membatasi kemampuan menghasilkan
hormon tiroid; tetapi kadang kanker menghasilkan cukup banyak hormon
tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.

Nodul tiroid cenderung bersifat ganas jika:


- Hanya ditemukan satu
- Skening tiroid menunjukkan bahwa nodul tidak berfungsi
- Nodulnya padat dan isinya bukan cairan (kistik)
- Nodulnya keras
- Pertumbuhannya cepat.
 Klasifikasi Karsinoma Tiroid menurut WHO:
(a) Tumor epitel maligna

- Karsinoma folikulare
- Karsinoma papilare
- Campuran karsinoma folikulare-papilare
- Karsinoma anaplastik ( undifferentiated )
- Karsinoma sel skuamosa
- Karsinoma Tiroid medulare

(b) Tumor non-epitel maligna


- Fibrosarkoma
- Lain-lain

(c) Tumor maligna lainnya


- Sarkoma
- Limfoma maligna
- Haemangiothelioma maligna
- Teratoma maligna

(d) Tumor sekunder dan unclassified tumors

 Klasifikasi Klinik TNM Edisi 6 – 2002


(a) T-Tumor Primer
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 Tidak didapat tumor primer

T1 Tumor dengan ukuran terbesar 2cm atau kurang masih


terbatas pada tiroid

T2 Tumor dengan ukuran terbesar lebih dari 2 cm tetapi


tidak lebih dari 4 cm masih terbatas pada tiroid
T3 Tumor dengan ukuran terbesar lebih dari 4 cm masih
terbatas pada tiroid atau tumor ukuran berapa
sajadengan ekstensi ekstra tiroid yang minimal
(misalnya ke otot sternotiroid atau jaringan lunak
peritiroid)

T4a Tumor telah berkestensi keluar kapsul tiroid dan


menginvasi ke tempat berikut : jaringan lunak subkutan,
laring, trakhea, esofagus, n.laringeus recurren

T4b Tumor menginvasi fasia prevertebra, pembuluh


mediastinal atau arteri karotis
T4a* (karsinoma anaplastik), tumor (ukuran berapa saja)
#
masih terbatas pada tiroid
T4b* (karsinoma anaplastik), tumor (ukuran berapa saja)
berekstensi keluar kapsul tiroid
Catatan :
- Tumor multifokal dari semua tipe histologi harus diberi tanda
(m) (ukuran terbesar menentukan klasifikasi), contoh : T2(m)
- Semua karsinoma tiroid anaplastik/undifferentiated termasuk T4
- Karsinoma anaplastik intratiroid – resektabel secara bedah
- Karsinoma anaplastik ekstra tiroid irresektabel secara bedah

(b) N ( Kelenjar Getah Bening Regional )


Nx Kelenjar Getah Bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak didapat metastasis ke kelenjar getah bening
N1 Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening
N1a Metastasis pada kelenjar getah bening cervical Level VI
(pretrakheal dan paratrakheal, termasuk prelaringeal dan
Delphian)
N1b Metastasis pada kelenjar getah bening cervical
unilateral, bilateral atau kontralateral atau ke kelenjar
getah bening mediastinal atas/superior.

(c) Metastasis
M Metastasis jauh
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
 Terdapat empat tipe histopatologi mayor :
- Papillary carcinoma (termasuk dengan fokus folikular)
- Follicular carcinoma (termasuk yang disebut dengan Hürthle cell
carcinoma)
- Medullary carcinoma
- Anaplastic/undifferentiated carcinoma

 Stadium Klinis
(a) Karsinoma Tiroid Papilare atau Folikulare Umur < 45 th

Stadium I Tiap T Tiap N M0

Stadium II Tiap T Tiap N M1

(b) Papilare atau Folikulare umur > 45tahun dan Medulare

Stadium I T1 N0 M0

Stadium II T2 N0 M0

Stadium III T3 N0 M0

T1,T2,T3 N1a M0

Stadium IVA T1,T2,T3 N1b M0

T4a N0,N1 M0

Stadium IVB T4b Tiap N M0

Stadium IVC Tiap T Tiap N M1

(c) Anaplastik/Undifferentiated (Semua kasus stadium IV)

Stadium IVA T4a Tiap N M0

Stadium IVB T4b Tiap N M0

Stadium IVC TiapT TiapN M1


1) Kanker Papillare
60-70% dari kanker tiroid adalah kanker papiler.2-3 kali lebih sering
terjadi pada wanita. Kanker papiler lebih sering ditemukan pada orang
muda, tetapi pada usia lanjut kanker ini lebih cepat tumbuh dan
menyebar. Resiko tinggi terjadinya kanker papiler ditemukan pada orang
yang pernah menjalani terapi penyinaran di leher.
Kanker ini diatasi dengan tindakan pembedahan, yang kadang
melibatkan pengangkatan kelenjar getah bening di sekitarnya. Nodul
dengan diameter lebih kecil dari 1,9 cm diangkat bersamaan dengan
kelenjar tiroid di sekitarnya, meskipun beberapa ahli menganjurkan
untuk mengangkat seluruh kelenjar tiroid. Pembedahan hampir selalu
bisa menyembuhkan kanker ini.
Diberikan hormon tiroid dalam dosis yang cukup untuk menekan
pelepasan TSH dan membantu mencegah kekambuhan. Jika nodulnya
lebih besar, maka biasanya dilakukan pengangkatan sebagian besar atau
seluruh kelenjar tiroid dan seringkali diberikan yodium radioaktif,
dengan harapan bahwa jaringan tiroid yang tersisa atau kanker yang
telah menyebar akan menyerapnya dan hancur. Dosis yodium radioaktif
lainnya mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa keseluruhan
kanker telah dihancurkan. Kanker papiler hampir selalu dapat
disembuhkan.
2) Kanker Folikuler
15% dari kanker tiroid adalah kanker folikuler.Kanker folikuler
juga lebih sering ditemukan pada wanita. Kanker folikuler cenderung
menyebar melalui aliran darah, menyebarkan sel-sel kanker ke berbagai
organ tubuh. Pengobatan untuk kanker ini adalah pengangkatan
sebanyak mungkin kelenjar tiroid dan pemberian yodium radioaktif
untuk menghancurkan jaringan maupun sel kanker yang tersisa.
3) Kanker Anaplastik
Kurang dari 10% kanker tiroid merupakan kanker anaplastik.
Kanker ini paling sering ditemukan pda wanita usia lanjut. Kanker
anaplastik tumbuh sangat cepat dan biasanya menyebabkan benjolan
yang besar di leher.Sekitar 80% penderita meninggal dalam waktu 1
tahun. Pemberian yodium radioaktif tidak berguna karena kanker
tidak menyerap yodium radioaktif. Pemberian obat anti kanker dan terapi
penyinaran sebelum dan setelah pembedahan memberikan hasil yang
cukup memuaskan.
4) Kanker Meduler
Pada kanker meduler, kelenjar tiroid menghasilkan sejumlah
besar kalsitonin (hormon yang dihasilkan oleh sel-sel tiroid tertentu).
Karena juga bisa menghasilkan hormon lainnya, maka kanker ini
menyebabkan gejala-gejala yang tidak biasa.
Kanker cenderung menyebar melalu sistem getah bening ke kelenjar
getah bening dan melalui darah ke hati, paru-paru dan tulang.
Pada sindroma neoplasia endokrin multipel, kanker meduler bisa
terjadi bersamaan dengan kanker endokrin lainnya.
Pengobatannya meliputi pengangkatan seluruh kelenjar tiroid. Lebih
dari 2/3 penderita kanker meduler yang merupakan bagian dari sindroma
neoplasia endokrin multipel, bertahan hidup 10 tahun; jika kanker
meduler berdiri sendiri, maka angka harapan hidup penderitanya tidak
sebaik itu.
Kadang kanker ini diturunkan, karena itu seseorang yang memiliki
hubungan darah dengan penderita kanker meduler, sebaiknya menjalai
penyaringan untuk kelainan genetik. Jika hasilnya negatif, maka hampir
dapat dipastikan orang tersebut tidak akan menderita kanker meduler.
Jika hasilnya positif, maka dia akan menderita kanker meduler; sehingga
harus dipertimbangkan untuk menjalani pengangkatan tiroid meskipun
gejalanya belum timbul dan kadar kalsitonin darah belum meningkat.
Kadar kalsitonin yang tinggi atau peningkatan kadar kalsitonin yang
berlebihan setelah dilakukan tes perangsangan, juga membantu
dalam meramalkan apakah seseorang akan menderita kanker meduler.

b. Epidemiologi
Penderita wanita lebih banyak dari pria, ratio pria terhadap wanita adalah
1:2-4, penyakit tersering terjadi pada usia 20-40 tahun.
c. Etiologi
Etiologi kanker tiroid belum jelas, pada umumnya beranggapan
karsinoma tiroid berkaitan dengan banyak faktor, termasuk radiasi ionisasi,
perubahan genetik dan onkogen, jenis kelamin, faktor diet,dll.
1) Radiasi Ionisasi
Kontak dengan radiasi merupakan satu-satunya faktor karsinogen
terhadap tiroid. Populasi terpapar sinar X dan radiasi Ɣ, insiden
karsinoma papilar dan folikular tiroid lebih tinggi.
2) Genetik dan Onkogen
Sebagian Karsinoma medular tiroid bersifat herediter dan familial.
Timbulnya karsinoma medular tiroid familial berkitan dengan mutasi
gen RET pada kromosom nomor 10.
3) Jenis Kelamin dan Hormonal
Pada kelenjar tiroid normal, tumor jinak dan tumor ganas tiroid
terdapat reseptor estrogen dalam jumlah bervariasi. Pada Jaringan
karsinoma papilar tiroid kandungan reseptor estrogen dan reseptor
progesteron tertinggi, disimpulkan bahwa reseptor estrogen , reseptor
progesteron merupakan faktor penting yang mempengaruhi insiden
karsinoma tiroid pada wanita.
4) Faktor Diet
Defisiensi iodium dianggap berakitan dengan timbulnya tumor tiroid
termasuk karsinoma tiroid.
5) Lesi Jinak Tiroid
Transformasi ganas adenomaberhubungan dengan tipe patologik,
adenoma folikuler tipe embrional dan tipe fetal lebih mudah menjadi
ganas.

d. Penyebaran dan Metastasis


- Penyebaran intraglandular tiroid : kelenjar tiroid kaya akan jaringan
limfatik, tumor dapat menyebar di dalam kelenjar.
- Penyebaran ekstraglandular tiroid : tumor dapat menembus kapsul
tiroid, menyerang jaringan sekitar tiroid, ke medial, posterior
menginfiltrasi trakea, esofagus, nervus laringeus rekuren dan kartilago
tiroidea.
- Metastasis kelenjar limfe : kanker tiorid sering bermetastasis ke
kelenjar limfe anterior laring, pre-trakea, paratrakea, kelompok kelenjar
limfe profunda leher superior, media, inferior, lebih sering ke
kelompok media dan inferior.
- Metastasis jauh : kanker tiroid sering bermetastasis jauh, tersering ke
paru, lalu ke tulang.

e. Manifestasi Klinis
1) Tumor atau nodul tiroid : ditemukan adanya nodul keras dalam kelenjar
tiroid, bergerak naik turun sesuai gerakan menelan.
2) Gejala infiltasi dan desakan lokal
3) Ketika tumor membesar sampai batas tertentu, sering mendesak trakea
hingga posisisnya berubah disertai gangguan bernapas yang bervariasi
intensitasnya. Ketika tumor menginfiltrasi trakea, dapat timbul dispnea
atau hemoptoe; bila tumor mendesak esofagus dapat timbul disfagia;
bila tumor menginfltrasi nervus laringeus rekuren dapat timbul suara
serak.
4) Metastasis jauh : kanker tyroid sering bermestasis jauh,tersering ke
paru, lalu ke tulang.

f. Pemeriksaan Klinis
1) Anamnesis dan Pemeriksan Klinis
(a) Pengaruh usia dan jenis kelamin
Risiko malignansi : apabila nodul tiroid terdapat pada usia dibawah
20 tahun, dan diatas 50 tahun jenis kelamin laki-laki mempunyai
risiko malignansi lebih tinggi.
(b) Pengaruh radiasi didaerah leher dan kepala
Radiasi pada masa kanak-kanan dapat menyebabkan malignansi
pada tiroid kurang lebih 33 – 37%.
(c) Kecepatan tumbuh tumor
- Nodul jinak membesar tidak terlalu cepat
- Nodul ganas membesar dengan cepat
- Nodul anaplastik membesar sangat cepat
- Kista dapat membesar dengan cepat
(d) Riwayat gangguan mekanik di daerah leher.
Keluhan gangguan menelan, perasaan sesak sesak, perubahan
suara dan nyeri dapat terjadi akibat desakan dan atau infiltrasi
tumor.
(e) Riwayat penyakit serupa pada famili/keluarga.
Bila ada, harus curiga kemungkinan adanya malignansi tiroid tipe
medulare.
(f) Temuan pada Pemeriksaan Fisik
- Pada tumor primer dapat berupa suatu nodul soliter atau
multiple dengan konsistensi bervariasi dari kistik sampai
dangan keras bergantung kepada jenis patologi anatomi (PA)
nya.
- Perlu diketahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah
bening regional.
- Disamping ini perlu dicari ada tidaknya benjolan pada
kalvaria, tulang belakang, klavikula, sternum dll, serta tempat
metastasis jauh lainnya yaitu di paru-paru, hati, ginjal dan
otak.
2) Pemeriksaan Penunjang
(a) Pemeriksaan laboratorium
- Human thyroglobulin, suatu penanda tumor (“tumor
marker”) untuk keganasan tiroid; jenis yang berdiferensiasi
baik, terutama untuk follow up.
- Pemeriksaan kadar FT4 dan TSHS untuk menilai fungsi
tiroid.
- Kadar calcitonin hanya untuk pasien yang dicurigai
karsinoma meduler.

(b) Pemeriksaan radiologis


- Dilakukan pemeriksaan foto paru posteroanterior, untuk
menilai ada tidaknya metastasis. Foto polos leher
anteroposterior dan lateral dengan metode ”soft tissue
technique” dengan posisi leher hiperekstensi, bila tumornya
besar. Untuk melihat ada tidaknya mikrokalsifikasi.
- Esofagogram dilakukan bila secara klinis terdapat tanda-
tanda adanya infiltrasi ke esofagus.
- Pembuatan foto tulang dilakukan bila ada tanda-tanda
metastasis ke tulang yang bersangkutan.

(c) Pemeriksaan Ultrasonografi


Diperlukan untuk mendeteksi nodul yang kecil atau nodul di
posterior yang secara klinis belum dapat dipalpasi. Disamping itu
dapat dipakai untuk membedakan nodul yang padat dan kistik serta
dapat dimanfaatkan untuk penuntun dalam tindakan biopsi aspirasi
jarum halus.

(d) Pemeriksaan sidik tiroid


Pemeriksaan sidik tiroid : bila nodul menangkap jodium lebih
sedikit dari jaringan tiroid yang normal disebut nodul dingin (cold
nodule), bila sama afinitasnya maka disebut nodul hangat (warm
nodule) dan bila afinitasnya lebih maka disebut nodul panas (hot
nodule).
Karsinoma tiroid sebagian besar adalah nodule dingin. Sekitar
10 – 17 % struma dengan nodule dingin ternyata adalah suatu
keganasan.
Bila akan dilakukan pemeriksaan sidik tiroid maka obat-obatan
yang mengganggu penangkapan jodium oleh tiroid harus
dihentikan selama 2 – 4 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan sidik tiroid ini tidak mutlak diperlukan, jika tidak
ada fasilitasnya, tidak usah dikerjakan

(e) Pemeriksaan Sitologi


Pemeriksaan sitologi melalui biopsi aspirasi jarum halus
(BAJAH). Keberhasilan dan ketepatan pemeriksaan Bajah
tergantung dari 2 hal yaitu: faktor kemampuan pengambilan
sampel dan faktor ketepatan interpretasi oleh seorang sitolog
sehingga angka akurasinya sangat bervariasi.
Ketepatan pemeriksaan sitologi untuk kanker tiroid anaplastik,
medulare dan papilare hampir mendekati 100% tetapi untuk jenis
folikulare hampir tidak dapat dipakai karena gambaran sitologi
untuk adenomatous goiter, adenoma folikuler dan adeno karsinoma
folikuler adalah sama, tergantung dari gambaran invasi ke kapsul
dan vaskular yang hanya dapat dilihat dari gambaran histopatologi.

(f) Pemeriksaan Histopatologi


- Merupakan pemeriksaan diagnostik utama jaringan diperiksa
setelah dilakukan tindakan lobektomi atau isthmolobektomi
- Untuk kasus inoperabel, jaringan yang diperiksa diambil dari
tindakan biopsi insisi.

Secara klinis, nodul tiroid dicurigai ganas apabila:


- Usia dibawah 20 tahun atau diatas 50 tahun
- Riwayat radiasi daerah leher sewaktu kanak-kanak
- Disfagia, sesak nafas perubahan suara
- Nodul soliter, pertumbuhan cepat, konsistensi keras
- Ada pembesaran kelenjar getah bening leher
- Ada tanda-tanda metastasis jauh.

g. Penatalaksanaan
(a) Terapi Operatif
1) Penanganan terhadap Kanker Primer
- Lobektomi unilateral plus ismektomi: bila tumor terbatas pada
satu sisi tiroid .ketika melalukan lobektomi unilateral dan
ismektomi,harus memamparkan dan ememperhatikan proteksi
nervus rekuren laringeus.
- Tireidoktomi total atau subtotalbila lesi tiroid mengenai kedua
lobus,atu kanker tiroid sudah memngenai metaastasis
jauh,memerlukam terapi dengan isotop pasca operasi ,harus
terkebih dahulu dilakukan tireoidektomi.
- Reseksi diperluas lobus residual unilateral: terhadap tumor
tiroid dengan sifat tak jelas dilakukan eksisi lokal tumor ,pasca
operasi secara patologik terrnyata ganas, dilakukan operasi
lagi untuk mengangkat lobus residual.

2) Penanganan terhadap Kelenjar Limfe Regional

(b) Terapi Non-Operatif


1) Radioterapi
- Radioterapi eksternal : kanker tiroid berdiferensiasi tidak peka
terhadap raditerapi rutin.
- Radioterapi internal : radiasi I-131 berefek destruktif terhadap
jaringan tiroid.
2) Terapi hormonal
Pasca operasi karsinoma tiroid berdiferensiasi pada dasarnya
secara rutin diberikan tiroksin. Dasar teorinya adalah tiroksin dapat
menghambat sekresi TSH sehingga mengurangi rekurensi dan
metastasis karsinoma tiroid berdiferensiasi.

3) Kemoterapi
Secara klinis kemoterapi hanya dipakai secara selektif untuk
pasien stadium lanjut yang tidak dapat dioperasi atau pasien dengan
metastasis jauh.

h. Prognosis
Prognosis karsinoma tiroid bervariasi besar,ada yang tumbuh lambat,
sangat sedikit membawa kematian, ada yang tumbuh cepat, angka kematian
meningkat.
 Tabel DD dan DS

SUMBER:

Adham, M. Aldino, N. 2018. Diagnosis dan tatalaksana karsinoma tiroid berdiferensiasi.


Jurnal ORLI Vol. 48 No. 2 Tahun 2018.

Komite Penanggulangan Kanker Indonesia. Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring.


Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

NINGRUM, Dyah Ayu Retno (2015) Pengaruh Kemoterapi Terhadap Asupan Makan Dan
Status Gizi Penderita Kanker Nasofaring Di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Di
Surakarta. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Desen, W. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

KPKN.2017. Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring. Jakarta : Kemenkes RI

KPKN. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring. Jakarta :


Kemenkes RI

Anda mungkin juga menyukai