a. Defenisi
b. Epidemiologi
c. Faktor Risiko
3) Umur
Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering di
diagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.
5) Virus Epstein-Barr
Virus umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-tanda dan gejala
ringan, seperti pilek. Kadang-kadang dapat menyebabkan infeksi
mononucleosis. Virus Epstein-Barr juga terkait dengan beberapa kanker
langka, termasuk karsinoma nasofaring.
6) Sejarah keluarga
Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma nasofaring meningkatkan
risiko penyakit.
9) Minum Alkohol
d. Patologi
Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel
squamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam
lamina propria mukosa sering terdapat sebukan serosa dan musinosa. Kanker
nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.
Tipe patologi
Sel kanker nasofaring 95% ke atas ber diferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi.
Para ahli RRC menganjurkan penggunaan serentak klasifikasi histologik yang
ditetapkan WHO tahun 1991 dan klasifikasi standart diagnosis terapi kanker
nasofaring dari China.
Pertumbuhan dan ekspansi
Lokasi predileksi kanker nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di
resesus faringeus) dan dinding superoposterior. Tingkat keganasan kanker
nasofaring tinggi, tumbuh infiltrative, dapat langsung menginfiltrasi berekspansi ke
struktur yang berbatasan ke atas dapat langsung merusak basis cranial, juga dapat
melalui foramen sfenotik, foramen ovale, foramen spinosum, kanalis karotis internal
atau sinus sphenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan
alamiah menginfiltasi intracranial, mengenai saraf cranial, ke anterior menyerang
rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbital,
juga dapat melalui intrakranium, fisura, orbitalis superior atau kanalis pterigoideus,
resesus pterigopalatina lalu ke orbital, ke lateral tumor dapat menginfiltasi celah
parafaring, fosa intratemporal dan kelompok otot kunyah dll, ke posterior
menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal, ke inferior
mengenai orofaring, bahkan laringofaring.
Metastasis
Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat melintasi
garis tengah ke sisi leher kontralateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar limfe dari
kanker nasofaring terjadi dini, insidennya tinggi. Menurut statistic dari RS Kanker
FK Zhongshan, pada waktu diagnosis 70-80% pasien sudah memiliki penyebaran ke
kelenjar limfe leher, 40-50% pasien mengalami metastasis kelenjar limfe bilateral.
Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering ditemukan pada kelenjar limfe profunda
leher atas di bawah otot digastrik, yang ke dua adalah kelenjar limfe leher profunda
kelompok tengah dan kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di trigonum servikal
posterior.
Metastasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke kelenjar leher,
menyusul limfedenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang metastasis juah
juag meningkat jelas. Statistic dari RS Kanker FK Zhongshan menunjukkan angka
matastasis jauh kumulatif 5 tahun kanker nasofaring adalah 20-25%, angka
metastasis jauh kumulatif pasien N2, N3 adalah masing-masing 17%(11/93)DAN
74%(69/93). Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, hati, dan
sering kali terjadi metastasis di banyak organ sekaligus.
e. Menifestasi Klinik
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah:
Epistaksis, sekitar 70% pasien mengalami gejala ini diantaranya 23,2% pasien dating berobat
dengan gejala awal ini. Sewaktu menghisap dengan kuat secret dari rongga hidung atau
nasofaring, bagian dorsal palatum mole bergesekkan dengan permukaan tumor, sehingga
pembuluh darah di permukaan tumor rober dan menimbulkan epistaksis, yang berat dapat timbul
hemoragi nasal nasal massif.
Hidung tersumbat, sering hanya sebelah dan secara progresif bertambah hebat. Ini disebabkan
tumor menyumbat lubang hidung posterior, insiden sekitar 48%.
Tinnitus dan pendengaran menurun, masing-masing menempati 51,5-62,5% dan 50%.
Penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan dinding lateral nasofaring menginfiltasi,
menekan tuba eustaki, menyebabkan tekanan negative di dalam kavum timpani, hingga terjadi
otitis media transudatif. Bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat
meredakan sementara. Menurunnya kemampuan pendengaran karena hambatan konduksi,
umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
Cephalgia, menempati 57,2-68,6%, kekhasannya adalah nyeri kontinu di region temporoperietal
atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf cranial atau os basis
cranial, juga mungkin karena infeksi local atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan
cephalgia reflektif.
Rudapaksa saraf cranial, kanker nasofaring menginfiltrasi dan ekspansi direk ke superior, dapat
mendestruksi tulang basis cranial, atau melalui saluran atau celah alami cranial masuk ke area
petrosfenoid dari fosa media intracranial (termasuk foramen sfenotik, apeks petrosus os temporal,
foramen ovale dan area sinus spongiosus), membuat saraf cranial III, IV, V (radiks 1, 2) dan VI
rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata (termasuk
paralisis saraf abduksi tersendiri), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi
meningen (sindroma fisura sfenoidal), bila terdapat juga rudapaksa saraf cranial II, disebut
sindroma apeks orbital atau petrosfenoid. Ketika kanker nasofaring meluas hingga area posterior
prosesus stiloideus dari celah parafaring, atau matastasis kelenjar limfe parafaring menekan,
menginfiltrasi lebih ke dalam, dapat mengenai saraf cranial IX, X, XI, XII dan saraf simpatis
leher. (ketika rantai saraf simpatis servikal ipsilateral terkena rudapaksa, dapat timbul
penyempitan fisura palpebra, miosis, indentasi bola mata ipsilateral, serta hipo atau anhidrosis
ipsilateral, yang disebut dengan sindroma Horner, dengan insiden 2,22%). Radiks ke-3 nervus
trigeminus dapat terinfiltrasi di intracranial, atau terkena rudapaksa di celah parafaring. Saraf
cranial I, II, terletak intracranial condong ke depan, saraf cranial VII, VIII terlindung oleh pars
petrosus os temporalis, sehingga mereka lebih jarang terkena invasi kanker nasofaring ke saraf
cranial.
Pembesaran kelenjar limfe leher, sekitar 40% pasien datang dengan gejala pertama pembesaran
kelenjar limfe leher, pada waktu diagnosis ditegakkan, skitar 60-80% sudah terdapat metastasis
kelenjar limfe leher. Lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok profunda
superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutupi otot
sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri, maka pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian
pasien yang metastasis kelenjar limfenya pertama kali muncul diregio untaian nervi aksesorius di
segitiga koli posterior.
Gejala metastasis jauh, 95% lebih sel kanker nasofaring berdiferensiasi buruk, dengan derajat
keganasan tinggi, waktu diagnosis ditegakkan, 4,2% kasus sudah menderita metastasis jauh. Dari
kasus sudah wafat setelah radioterapi, angka metastasis jauh mencapai 45,5%. Lokasi metastasis
paling sering ke tulang, paru, hati. Metastasis tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan
keempat ekstremitas. Manisfestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinu dan nyeri tekan
setempat, lokasinya tetap, tidak berubah-ubah, dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase
dini tidak selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone scan seluruh badan dapat membantu
diagnosis. Metastasis hati, paru dapat sangat tersembunyi, kadang hanya ditemukan ketika
dilakukan tindakkan lanjut rutin dengan ronsen toraks, pemeriksaan hati dengan CT atau USG.
f. Diagnosis
1) Anamnesis
Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus,
otalgia, hidung tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium lanjut
dapat ditemukan benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf, diplopia,
dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).
2) Pemeriksaan Fisik
• Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
• Pemeriksaan nasofaring:
- Rinoskopi posterior
- Nasofaringoskop ( fiber / rigid )
- Laringoskopi
• Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan
kanker nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan follow up terapi pada
kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.
3) Pemeriksaan Radiologi
(a) CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai
setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula, potongan koronal,
aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras. Teknik pemberian
kontras dengan injector 1-2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT
berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan
sekitarnya serta penyebaran kelenjar getah bening regional.
5) Pemeriksaan Laboratorium
- Hematologik : darah perifer lengkap, LED, hitung jenis.
- Alkali fosfatase, LDH
- SGPT – SGOT
f. Diagnosis Banding
1) Limfoma Malignum
2) Proses non keganasan (TB kelenjar)
3) Metastasis (tumor sekunder)
g. Klasifikasi Stadium
Klasifikasi berdasarkan klasifikasi TNM (AJCC, 7 th ed, 2010), dapat
ditentukan dengan menilai karakteristik massa tumor, kelenjar getah bening
yang terlibat, dan metastasis ke organ lain.
Pengelompokan Stadium
h. Tatalaksana
Dosis Radiasi
Target Radiasi
Dosis Radioterapi
Dosis radioterapi kuratif definitif tanpa kemoterapi adalah
(NCCN, kategori 2A):
- PTV risiko tinggi (tumor primer dan KGB positif,
termasuk kemungkinan infiltrasi subklinis pada tumor
primer dan KGB risiko tinggi) : 66 Gy (2,2 Gy/fraksi)
sampai 70 Gy (1,8-2 Gy/fraksi).
- PTV risiko rendah hingga menengah (lokasi yang
dicurigai terjadi penyebaran subklinis) : 44-50 Gy ( 2
Gy/fraksi) sampai 54-63 Gy (1.6-1,8 Gy/fraksi) Dosis
radioterapi konkuren kemoterapi (kemoradiasi) adalah
(NCCN, kategori 2A) : • PTV risiko tinggi : 70 Gy (1,8-
2 Gy/fraksi).
- PTV risiko rendah hingga menengah: 44-50 Gy ( 2
Gy/fraksi) sampai 54-63 Gy (1.6-1,8 Gy/fraksi). Jika
menggunakan teknik 3DCRT, dosis direkomendasikan
44-50 Gy, jika menggunakan IMRT dapat diberikan 54-
53 Gy. Selain peresepan dosis, yang perlu diperhatikan
adalah dosis jaringan sehat sekitarnya. Deliniasi organ
sehat harus mengacu kepada pedoman dari Radiation
Therapy Oncology Grup (RTOG)1605.
Penggunaan teknik IMRT telah menunjukkan penurunan
dari toksisitas kronis pada kasus karsinoma orofaring, sinus
paranasal, dan nasofaring dengan adanya penurunan dosis
pada kelenjarkelenjar ludah, lobus temporal, struktur
pendengaran (termasuk koklea), dan struktur optik. 3D
Conformal Radiotherapy/IMRT juga dapat diindikasikan
untuk tindakan radiasi: • Sebagai booster tumor primer •
Kasus residif • Sebagai pengganti tindakan brakhiterapi.
Untuk IMRT, verifikasi posisi harus dilakukan setiap
fraksi dengan Electronic Portal Image Devices (EPID) untuk 5
fraksi pertama, diikuti dengan setiap 5 fraksi. Untuk 3D-CRT,
verifikasi posisi harus dilakukan setiap fraksi dengan EPID
untuk 3 fraksi pertama, diikuti dengan setiap 5 fraksi.
2) Brakhiterapi
Cara brakhiterapi nasofaring adalah dengan menggunakan
aplikator Levendag dengan menggunakan sumber radiasi Ir 192 HDR.
Dilakukan tindakan anestesi lokal atau anestesi umum. Rekomendasi A
Penggunaan teknik IMRT pada radiasi kanker nasofaring, bilamana
memungkinkan, lebih direkomendasikan dibanding teknik 3D-CRT
ataupun 2D konvensional mengingat teknik tersebut dapat
meminimalisir toksisitas terhadap organ kritis yang terletak berdekatan.
Dengan guide NGT 100 cm dengan penampang + 2 mm
dimasukkan melalui hidung dan keluar dari mulut. Dengan guide ini
dipasang aplikator lavendag lalu difiksasi.
Pasang aplikator kedua, pasang dummy, buat foto AP dan Lateral.
Dosis ditentukan pada daerah nasofaring, daerah organ kritis lainnya
dihitung dan diusahakan dosis jangan melebihi dosis toleransi jaringan
sehat.
3) Radioterapi Paliatif
Pemberian radiasi dengan tujuan paliatif dapat diberikan pada
kasus stadium lanjut dimana tujuan kuratif sudah tidak dapat
dipertimbangkan lagi. Pada stadium lanjut (M1), radioterapi
lokoregional dapat diberikan dengan setting kuratif pada pasien dengan
metastasis pada daerah terbatas atau dengan beban tumor yang rendah,
atau pada pasien dengan gejala pada daerah lokal primer dan KGB,
dengan tujuan mengurangi gejala selama toksisitas radiasi masih dapat
ditoleransi. Pada stadium lanjut ini, radioterapi dapat diberikan pasca
pemberian kemoterapi berbasis platinum atau konkuren dengan
kemoterapi (kemoradiasi) (NCCN Kategori 2A).
Radioterapi paliatif diberikan pada kanker nasofaring yang sudah
bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan menimbulkan rasa nyeri.
Tujuan paliatif diberikan untuk meredakan gejala sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien. Radioterapi pada tatalaksana
metastases tulang merupakan salah satu modalitas terapi selain
imobilisasi dengan korset atau tindakan bedah, bisfosfonat, terapi
hormonal, terapi target Cetuximab dan Nimotuzumab, terapi
radionuklir dan kemoterapi. Radioterapi pada metastases tulang dapat
diberikan atas indikasi: • Nyeri. • Ancaman fraktur kompresi yang
sudah distabilisasi. • Menghambat kekambuhan pasca operasi reseksi.
Target Radiasi
Target radiasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu, radioterapi
konvensional 2 dimensi yang menggunakan penanda tulang (bony
landmark) dan radioterapi konformal 3 dimensi yang
menggunakan terminologi International Commission on Radiation
Units and Measurements - 50 (ICRU-50); yaitu gross tumor
volume (GTV), clinical target volume (CTV) dan planning target
volume (PTV).
Radioterapi konvesional mendefinisikan target radiasi dari lesi
yang menyerap radiofarmaka disertai nyeri kemudian memberikan
jarak 1 ruas vertebrae ke atas dan ke bawah. Untuk batas lateral,
diberikan jarak 0.5 cm dari pedikel vertebrae. Radioterapi 3D-CRT
pada metastases tulang. GTV: Lesi osteolitik atau osteoblastik dan
juga massa jaringan lunak. CTV: Korpus, pedikel, lamina dari
vertebrae yang terlibat, disertai jaringan lunak yang terlibat dan
diberi jarak 0.5 cm, tanpa memasukkan usus dan lemak. PTV: 0.5-
1 cm tergantung metode imobilisasi dan verifikasi posisi yang
digunakan.
Dosis
Dosis yang diberikan pada radioterapi paliatif adalah:
- 1 fraksi x 8 Gy
- 5 fraksi x 4 Gy
- 10 fraksi x 3 Gy
- 15 fraksi x 2.5 Gy
Dosis ini dapat berubah menurut pertimbangan Dokter sesuai
dengan kondisi masing-masing pasien. Yang perlu diperhatikan
dalam radioterapi paliatif pada vertebrae adalah batasan dosis
untuk medulla spinalis dan organ sekitar. Organ sekitar yang perlu
diperhatikan adalah ginjal, terutama bila diberikan pengaturan
berkas sinar yang kompleks. Untuk dosis toleransi jaringan sehat
dapat mengacu kepada pedoman Quantitative Analysis of Normal
Tissue Effects in the Clinic (QUANTEC).
(a) Kemoterapi
i. Dukungan Nutrisi
Makronutrien
- Kebutuhan protein: 1,2-2,0 g/kg BB/hari, pemberian
protein perlu disesuaikan dengan fungsi ginjal dan hati.
- Kebutuhan lemak: 25-30% dari energi total
- 35-50% dari energi total untuk pasien kanker stadium lanjut
dengan penurunan BB (rekomendasi tingkat A).
- Kebutuhan karbohidrat (KH) : sisa dari perhitungan protein
dan lemak.
Mikronutrien
Sampai saat ini, pemenuhan mikronutrien untuk pasien kanker
hanya berdasarkan empiris saja, karena belum diketahui jumlah
pasti kebutuhan mikronutrien untuk pasien kanker. ESPEN
menyatakan bahwa suplementasi vitamin dan mineral dapat
diberikan sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG).
Cairan
Kebutuhan cairan pada pasien kanker umumnya sebesar: 28,29
- Usia kurang dari 55 tahun : 30-40 mL/kgBB/hari
- Usia 55−65 tahun : 30 mL/kgBB/hari
- Usia lebih dari 65 tahun : 25 mL/kgBB/hari
2) Nutrien Spesifik
Branched-chain amino acids (BCAA)
- Dapat memperbaiki selera makan 30
- Menurunkan insidens anoreksia 31
- Dijumpai pada putih telur, ikan, ayam, daging sapi, kacang
kedelai, tahu, tempe, dan polong-polongan.
Asam lemak omega-3
- Mempertahankan dan memperlambat kecepatan penurunan
BB, meskipun tidak menambah BB pasien.
- Anjuran asupan harian 2 gram asam eikosapentaenoat atau
eicosapentaenoic acid (EPA).
- Jika tidak memungkinkan untuk diberikan, pasien dapat
dianjurkan untuk meningkatkan asupan bahan makanan
sumber asam lemak omega-3, yaitu minyak dari ikan
salmon, tuna, kembung, makarel, ikan teri, dan ikan lele.
(b) Pemberian Farmakoterapi Nutrien
Pasien kanker yang mengalami anoreksia memerlukan terapi
multimodal, yang meliputi pemberian obat-obatan sesuai dengan kondisi
pasien di lapangan:
1) Progestin Dosis optimal MA sebesar 480–800 mg/hari. Penggunaan
dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan bertahap apabila
selama dua minggu tidak memberikan efek optimal.
2) Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling banyak
digunakan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian
kortikosteroid pada pasien kaheksia dapat meningkatkan selera
makan dan kualitas hidup pasien.
3) Siproheptadin Digunakan pada pasien anak dengan kaheksia kanker,
dan tidak direkomendasikan pada pasien dewasa (Rekomendasi
tingkat E).
j. Rehabilitasi Medik
Pada kanker nasofaring rehabilitasi medik bertujuan untuk
mengoptimalkan pengembalian kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan
sehari-hari serta 5 meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman dan
efektif, sesuai kemampuan yang ada. Pendekatan rehabilitasi medik dapat
diberikan sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan dan
dapat dilakukan pada berbagai tingkat tahapan dan pengobatan penyakit yang
disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi kanker: preventif,
restorasi, suportif atau paliatif.
k. Follow Up
Kontrol rutin dilakukan meliputi konsultasi dan pemeriksaan fisik:
- Tahun 1 : setiap 1-3 bulan
- Tahun 2 : setiap 2-6 bulan
- Tahun 3-5 : setiap 4-8 bulan
- >5 tahun : setiap 12 bulan
Follow-up imaging terapi kuratif dilakukan minimal 3 bulan pasca
terapi: a. MRI dengan kontras sekuens T1, T2, Fatsat, DWI + ADC b. Bone
Scan untuk menilai respons terapi terhadap lesi metastasis tulang. Follow Up
Terapi Paliatif (dengan terapi kemoterapi); follow-up dengan CT Scan pada
siklus pertengahan terapi untuk melihat respon kemoterapi terhadap tumor.
E. KARSINOMA THYROID
a. Defenisi
Kanker tiroid adalah suatu keganasan pada tiroid yang memiliki 4 tipe
; papiler, folikuler, anaplastik atau meduler. Kanker jarang menyebabkan
pembesaran kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul)
di dalam kelenjar. Sebagian besar nodul tiroid bersifat jinak dan biasanya
kanker tiroid bisa disembuhkan. Kanker tiroid seringkali membatasi
kemampuan menyerap yodium dan membatasi kemampuan menghasilkan
hormon tiroid; tetapi kadang kanker menghasilkan cukup banyak hormon
tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme.
- Karsinoma folikulare
- Karsinoma papilare
- Campuran karsinoma folikulare-papilare
- Karsinoma anaplastik ( undifferentiated )
- Karsinoma sel skuamosa
- Karsinoma Tiroid medulare
(c) Metastasis
M Metastasis jauh
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Terdapat empat tipe histopatologi mayor :
- Papillary carcinoma (termasuk dengan fokus folikular)
- Follicular carcinoma (termasuk yang disebut dengan Hürthle cell
carcinoma)
- Medullary carcinoma
- Anaplastic/undifferentiated carcinoma
Stadium Klinis
(a) Karsinoma Tiroid Papilare atau Folikulare Umur < 45 th
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1a M0
T4a N0,N1 M0
b. Epidemiologi
Penderita wanita lebih banyak dari pria, ratio pria terhadap wanita adalah
1:2-4, penyakit tersering terjadi pada usia 20-40 tahun.
c. Etiologi
Etiologi kanker tiroid belum jelas, pada umumnya beranggapan
karsinoma tiroid berkaitan dengan banyak faktor, termasuk radiasi ionisasi,
perubahan genetik dan onkogen, jenis kelamin, faktor diet,dll.
1) Radiasi Ionisasi
Kontak dengan radiasi merupakan satu-satunya faktor karsinogen
terhadap tiroid. Populasi terpapar sinar X dan radiasi Ɣ, insiden
karsinoma papilar dan folikular tiroid lebih tinggi.
2) Genetik dan Onkogen
Sebagian Karsinoma medular tiroid bersifat herediter dan familial.
Timbulnya karsinoma medular tiroid familial berkitan dengan mutasi
gen RET pada kromosom nomor 10.
3) Jenis Kelamin dan Hormonal
Pada kelenjar tiroid normal, tumor jinak dan tumor ganas tiroid
terdapat reseptor estrogen dalam jumlah bervariasi. Pada Jaringan
karsinoma papilar tiroid kandungan reseptor estrogen dan reseptor
progesteron tertinggi, disimpulkan bahwa reseptor estrogen , reseptor
progesteron merupakan faktor penting yang mempengaruhi insiden
karsinoma tiroid pada wanita.
4) Faktor Diet
Defisiensi iodium dianggap berakitan dengan timbulnya tumor tiroid
termasuk karsinoma tiroid.
5) Lesi Jinak Tiroid
Transformasi ganas adenomaberhubungan dengan tipe patologik,
adenoma folikuler tipe embrional dan tipe fetal lebih mudah menjadi
ganas.
e. Manifestasi Klinis
1) Tumor atau nodul tiroid : ditemukan adanya nodul keras dalam kelenjar
tiroid, bergerak naik turun sesuai gerakan menelan.
2) Gejala infiltasi dan desakan lokal
3) Ketika tumor membesar sampai batas tertentu, sering mendesak trakea
hingga posisisnya berubah disertai gangguan bernapas yang bervariasi
intensitasnya. Ketika tumor menginfiltrasi trakea, dapat timbul dispnea
atau hemoptoe; bila tumor mendesak esofagus dapat timbul disfagia;
bila tumor menginfltrasi nervus laringeus rekuren dapat timbul suara
serak.
4) Metastasis jauh : kanker tyroid sering bermestasis jauh,tersering ke
paru, lalu ke tulang.
f. Pemeriksaan Klinis
1) Anamnesis dan Pemeriksan Klinis
(a) Pengaruh usia dan jenis kelamin
Risiko malignansi : apabila nodul tiroid terdapat pada usia dibawah
20 tahun, dan diatas 50 tahun jenis kelamin laki-laki mempunyai
risiko malignansi lebih tinggi.
(b) Pengaruh radiasi didaerah leher dan kepala
Radiasi pada masa kanak-kanan dapat menyebabkan malignansi
pada tiroid kurang lebih 33 – 37%.
(c) Kecepatan tumbuh tumor
- Nodul jinak membesar tidak terlalu cepat
- Nodul ganas membesar dengan cepat
- Nodul anaplastik membesar sangat cepat
- Kista dapat membesar dengan cepat
(d) Riwayat gangguan mekanik di daerah leher.
Keluhan gangguan menelan, perasaan sesak sesak, perubahan
suara dan nyeri dapat terjadi akibat desakan dan atau infiltrasi
tumor.
(e) Riwayat penyakit serupa pada famili/keluarga.
Bila ada, harus curiga kemungkinan adanya malignansi tiroid tipe
medulare.
(f) Temuan pada Pemeriksaan Fisik
- Pada tumor primer dapat berupa suatu nodul soliter atau
multiple dengan konsistensi bervariasi dari kistik sampai
dangan keras bergantung kepada jenis patologi anatomi (PA)
nya.
- Perlu diketahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah
bening regional.
- Disamping ini perlu dicari ada tidaknya benjolan pada
kalvaria, tulang belakang, klavikula, sternum dll, serta tempat
metastasis jauh lainnya yaitu di paru-paru, hati, ginjal dan
otak.
2) Pemeriksaan Penunjang
(a) Pemeriksaan laboratorium
- Human thyroglobulin, suatu penanda tumor (“tumor
marker”) untuk keganasan tiroid; jenis yang berdiferensiasi
baik, terutama untuk follow up.
- Pemeriksaan kadar FT4 dan TSHS untuk menilai fungsi
tiroid.
- Kadar calcitonin hanya untuk pasien yang dicurigai
karsinoma meduler.
g. Penatalaksanaan
(a) Terapi Operatif
1) Penanganan terhadap Kanker Primer
- Lobektomi unilateral plus ismektomi: bila tumor terbatas pada
satu sisi tiroid .ketika melalukan lobektomi unilateral dan
ismektomi,harus memamparkan dan ememperhatikan proteksi
nervus rekuren laringeus.
- Tireidoktomi total atau subtotalbila lesi tiroid mengenai kedua
lobus,atu kanker tiroid sudah memngenai metaastasis
jauh,memerlukam terapi dengan isotop pasca operasi ,harus
terkebih dahulu dilakukan tireoidektomi.
- Reseksi diperluas lobus residual unilateral: terhadap tumor
tiroid dengan sifat tak jelas dilakukan eksisi lokal tumor ,pasca
operasi secara patologik terrnyata ganas, dilakukan operasi
lagi untuk mengangkat lobus residual.
3) Kemoterapi
Secara klinis kemoterapi hanya dipakai secara selektif untuk
pasien stadium lanjut yang tidak dapat dioperasi atau pasien dengan
metastasis jauh.
h. Prognosis
Prognosis karsinoma tiroid bervariasi besar,ada yang tumbuh lambat,
sangat sedikit membawa kematian, ada yang tumbuh cepat, angka kematian
meningkat.
Tabel DD dan DS
SUMBER:
NINGRUM, Dyah Ayu Retno (2015) Pengaruh Kemoterapi Terhadap Asupan Makan Dan
Status Gizi Penderita Kanker Nasofaring Di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Di
Surakarta. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Desen, W. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI