Anda di halaman 1dari 48

ANALISIS HUBUNGAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI

EKSKLUSIF DAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING


ASI (MP-ASI) TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA
BALITA USIA 2-5 TAHUN DI WILAYAH PESISIR
KECAMATAN KENDARI

Proposal Penelitian

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Strata Sarjana (S1)


Pada Program Studi Kedokteran

Oleh :

Rezkina Amalia Asri


K1A1 18 037

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
ANALISIS HUBUNGAN
LEMBAR RIWAYAT PEMBERIAN
KONSULTASI PROPOSAL ASI EKSKLUSIF
DAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI)
TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 2-5 TAHUN
Nama Mahasiswa DI: Rezkina
WILAYA PESISIR
Amalia AsriKECAMATAN KENDARI
NIM : K1A1 18 037
Proposal Penelitian
Dosen Pembimbing : Ns. Waode Syahrani, S.Kep, M.Kes
Judul : Analisis Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dan
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Individu Mata Kuliah Metodologi
Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Terhadap
Penelitian
Kejadian Stunting pada Balita Usia 2-5 Tahun di Wilayah
Pesisir Kecamatam Kendari.

No Hal yang
Tanggal Hasil Revisi TTD
. Direvisi
Konsultasi
identifikasi
3 Oktober
1. keaslian/keb -
2020
aruan
penelitiaan
8 Oktober Konsultasi
2.
2020 BAB 1
9 Oktober Oleh :
3.
2020
10
Rezkina Amalia Asri
4. Oktober K1A1 18 037
2020
3
5. November
2020
11
6. November PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
2020 FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
IDENTIFIKASI KEBARUAN/KEASLIAN PENELITIAN

Analisis Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dan Pemberian Makanan


Pendamping ASI (MP-ASI) Terhadap Kejadian Stunting pada Balita Usia 2-5
Tahun di Wilayah Pesisir Kecamatam Kendari.

Judul Tujuan Metode Hasil Persamaan Perbedaan


Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
Agus, et all Mengkaji Pendekatan Stunting Memiliki perbedaan
(2013). kejadian penelitian pada anak persamaan terletak pada:
kajian Stunting secara balita dalam -Rancangan
stunting pada anak kuantitatif sangat pendekatan penelitian
pada anak balita dengan berkaitan penelitian menggunakan
balita ditinjau rancangan dengan yaitu Case Control
ditinjau pemberian Case rendahnya melalui Study
dari ASI Control pendapatan pendekatan - Tempat
pemberian Eksklusif, Study, dan keluarga, kuantitatif penelitian
asi MPASI, dilakukan pemberian - Kriteria usia
eksklusif, status diwilayah ASI tidak
subjek
mp-asi, imunisasi, Puskesmas eksklusif,
status Banda Raya, kurang penelitian
karakteristi
imunisasi Batoh dan baiknya
dan k keluarga Meuraxa MP-ASI
karakteristi serta
dengan
k imunisasi
keluarga di jumlah tidak
lengkap.
kota banda sampel yaitu
Sedangkan
aceh 96 orang. pemberian
ASI tidak
eksklusif
merupakan
faktor
dominan
sebagai
resiko
penyebab
anak
mengalami
stunting.
Maria, et Mengetahui Desain Berat badan Memiliki perbedaan
all hubungan dalam lahir, tujuan yang terletak pada:
(2018) antara penelitian pemberian sama yaitu -Rancangan
.Hubungan Berat ini adalah MP-ASI, meneliti penelitian
berat Badan Cross dan salah satu menggunakan
badan, asi Lahir, Sectional Asupan faktor Cross
eksklusif, pemberian (potong Energi Stunting Sectional
mp-asi dan ASI lintang) memiliki pada balita - Tempat
asupan Ekslusif, dengan hubungan ditinjau dari Penelitian
energi Pemberian pendekatan yang pemberian - Hasil
dengan MP-ASI signifikan ASI penelitian
kuantitatif.
stunting dan Asupan dengan Eksklusif menunjukkan
pada balita Energi kejadian dan MP- bahwa
usia 24–59 dengan stunting ASI. pemberian ASI
bulan kejadian pada balita Eksklusif tidak
di stunting usia 24 – 59 memiliki
pada balita bulan dan hubungan yang
puskesmas
usia 24-59 pemberian tidak
lubuk bulan di ASI signifikan
wilayah Eksklusif dengan
buaya
tidak kejadian
kerja
memiliki stunting pada
Puskesmas hubungan
balita usia 24 –
yang tidak
Lubuk
signifikan 59 bulan.
Buaya Kota dengan
kejadian
Padang.
stunting
pada balita
usia 24 – 59
bulan.
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL..............................................................................................................i

HALAMAN JUDUL...........................................................................................ii

LEMBAR KONSULTASI ................................................................................iii

IDENTIFIKASI KEBARUAN/KEASLIAN.......................................................v

DAFTAR ISI.....................................................................................................vii

DAFTAR TABEL..............................................................................................ix

DAFTAR GAMBAR...........................................................................................x

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................1

B. Rumusan Masalah...................................................................................6

C. Tujuan Penelitian.....................................................................................6

D. Manfaat Penelitian...................................................................................6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepatuhan ANC......................................................................................8

B. Preeklampsia .........................................................................................10

C. Kerangka Teori......................................................................................28

D. Kerangka Konsep..................................................................................29

E. Hipotesis................................................................................................29

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian............................................................................30
B. Waktu dan Lokasi Penelitian.................................................................30

C. Populasi dan Sampel..............................................................................30

D. Teknik Pengumpulan Data/Prosedur Penelitian....................................31

E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif...........................................32

F. Analisis Data.........................................................................................33

G. Alur Penelitian.......................................................................................34

H. Etika Penelitian......................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................37

LAMPIRAN......................................................................................................36
DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman


Tabel 1 Nilai ideal rasio lingkar pinggang panggul 21
Contoh klasifikasi aktivitas fisik
Tabel 2 26
berdasarkan intensitasnya
Klasifikasi aktivitas fisik berdasarkan nilai
Tabel 3 31
MET
Angka kecukupan zat gizi makro untuk
Tabel 4 34
orang Indonesia (Per orang per hari)
Angka kecukupan zat gizi mikro untuk
Tabel 5 35
orang Indonesia (Per orang per hari)
Tabel 6 Kebutuhan gizi wanita subur 35
DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman


Lemak visceral dan lemak subkutan pada
Gambar 1 18
bagian abdominal
Posisi pita pengukur dalam pengukuran
Gambar 2 21
lingkar pinggang
Cara mengukur rasio lingkar pinggang
Gambar 3 22
panggul
Gambar 4 Kerangka Teori 46
Gambar 5 Kerangka Konsep 46
Gambar 6 Alur Penelitian 54
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Judul Lampiran Halaman


Lampiran 1 Riwayat Hdup 67
Informed Consent dan Kuesioner Identitas
Lampiran 2 68
Umum
Lampiran 3 Formulir Food Recall 24 Jam 69
Lampiran 4 Kuesioner IPAQ 70
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Para ahli menggolongkan usia bawah lima tahun (balita) sebagai


tahap perkembangan anak yang cukup rentan terhadap berbagai serangan
penyakit, termasuk penyakit yang disebabkan oleh kekurangan atau
kelebihan nutrisi jenis tertentu (Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI, 2015). Gizi buruk adalah salah satu hal yang menjadi
masalah global, termasuk di Indonesia. Pemenuhan gizi yang belum
tercukupi baik sejak dalam kandungan hingga bayi lahir dapat
menyebabkan terjadinya berbagai masalah kesehatan, baik pada ibu
maupun bayinya. Salah satu gangguan kesehatan yang berdampak pada
bayi yaitu stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronik
(Wartakesmas Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia
berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal
di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal
dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah
(0,9%) (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018). Data
prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization
(WHO), Indonesia termasuk ke dalam Negara ketiga dengan prevalensi
tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah
36,4% (Child stunting data visualizations dashboard, WHO, 2018).
Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang
dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi
dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan
gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016
yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 (Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2018). Pada wilayah Kota Kendari khususnya
wilayah peisisir Kecamatan Kendari pada tahun 2019 tercatat berdasarkan
5 kelurahan yakni Kelurahan Kendari Caddi, Kelurahan Kessilampe,
Kelurahan Mangga Dua, Kelurahan Mata dan Kelurahan Purirano terdapat
balita usia 0-59 tahun memiliki gizi kurang sebanyak 33 orang (2,3%) dan
memiliki balita pendek sebanyak 76 orang (5,3%) (UPTD Puskemas Mata,
2019).
Stunting tidak hanya sekadar pendek saja, tetapi terkandung adanya
proses perubahan patologis, jadi tidak semata-mata pendek atau shortness
saja. Stunting merupakan gambaran keadaan masa lalu (kronis), karena
hambatan atau gangguan pertumbuhan tinggi badan atau pertumbuhan
linier memerlukan waktu lama, dalam hitungan bulan atau bahkan tahun
(Weny dkk, 2018). Anak-anak yang bertubuh pendek pada usia dini terus
menunjukkan kemampuan yang lebih buruk dalam fungsi kognitif yang
beragam dan prestasi sekolah yang lebih buruk dibandingkan dengan
anak-anak yang bertubuh "normal" (wahda, 2012). Stunting juga dikaitkan
dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas anak. Tinggi badan untuk
usia yang sangat rendah adalah satu-satunya prediktor terkuat kematian
masa kanak-kanak dalam 5 tahun pertama kehidupan. Anak yang stunting
juga berisiko lebih tinggi terkena penyakit kronis, gangguan oksidasi
lemak seperti yang terjadi pada obesitas, dan toleransi glukosa berkurang.
Stunting juga dapat meningkatkan risiko hipertensi. Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan di Jamaika, Gaskin et al. menemukan bahwa
stunting dalam 2 tahun pertama kehidupan dikaitkan dengan peningkatan
tekanan darah sistolik pada usia 7-8 tahun. Kinerja reproduksi juga dapat
dipengaruhi oleh perawakan, seorang wanita kecil biasanya akan
melahirkan seorang anak kecil. Terjadinya IUGR ( Intrauterine Growth
Restriction) lebih tinggi pada anak perempuan yang stunting dan ini
menciptakan siklus stunting antar generasi (F. Braka dan M. Ferrari,
2002).
Di Indonesia, stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan
tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil
maupun anak balita. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan stunting
antara lain yaitu, anak dengan berat badan lahir rendah (<2.500 g) (Bunga,
2015), Praktek pengasuhan yang kurang baik (TNP2K, 2017), sosial
ekonomi keluarga yang rendah (Agus, 2013), Anak yang dilahirkan dari
kedua atau salah satu orang tua yang pendek (Wanda et all, 2014),
anak tidak diberi ASI eksklusif (Wanda et all, 2014), pemberian jenis
MP-ASI yang tidak sesuai dengan menu seimbang dan pemberian MP-ASI
terlalu dini (Ergin F et all, 2007), rendahnya kualitas ANC (Garrido,
2009), ibu dengan pendidikan lebih rendah (tidak sekolah/SD) (Girma dan
Genebo, 2002), Sanitasi lingkungan yang kurang baik (Nadiyah et all,
2014), anak dengan riwayat penyakit infeksi (Diare pada 24 bulan pertama
kehidupan cenderung untuk lebih pendek 1,5 kali dan terjadi peningkatan
risiko stunting sebesar 7,46 kali pada anak yang diare) (Wanda et all,
2014).
Merujuk pada pola pikir UNICEF/Lancet, pemerintah mencoba
melakukan strategi mengatasi stunting dengan meningkatkan pola asuh
dan ketahanan pangan tingkat keluarga. Pola asuh (caring) untuk
mengatasi stunting, termasuk di dalamnya adalah Inisiasi Menyusu Dini
(IMD), menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan, dan pemberian ASI
dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI (MPASI) sampai dengan 2
tahun yang dapat membantu tumbuh kembang bayi dan anak (Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Agus, et all pada tahun 2013,
dengan mengambil data dari anak usia 12 – 60 di Kota Banda Aceh
dengan lokasi yang mempunyai prevalensi stunting tersebesar yaitu di
wilayah kerja Puskesmas Banda Raya, Puskesmas Batoh, dan Puskesmas
Meuraxa. Mengemukakan bahwa riwayat pemberian MP-ASI yang kurang
baik sangat berkaitan dengan kejadian stunting pada balita hal ini
dibuktikan pada pendistribusian pemberian MP-ASI yang kurang baik
terdapat anak yang mengalami stunting sebanyak 28 orang, sedangkan
dari 54 responden yang pemberian MP-ASI baik ternyata anak yang
mengalami stunting relatif sedikit yaitu hanya sebanyak 20 orang di Kota
Banda Aceh. Dan ASI yang tidak esklusif menjadi faktor dominan sebagai
risiko penyebab anak mengalami stunting hal ini dibuktikan dengan
responden yang tidak memberikan ASI secara eksklusif lebih banyak anak
balitanya mengalami stunting di bandingkan keadaan gizi anak yang
normal yaitu sebanyak 36 orang.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan
penelitian untuk melihat apakah riwayat pemberian ASI Eksklusif dan
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) memiliki hubungan dengan
terjadinya stunting pada balita khususnya di usia 2-5 tahun pada wilayah
pesisir Kecamatan Kendari.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apakah riwayat pemberian ASI Eksklusif merupakan faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di daerah
pesisir Kecamatan Kendari?
2. Apakah riwayat pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita di daerah pesisir Kecamatan Kendari?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui riwayat pemberian ASI Eksklusif dan Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI) sebagai faktor risiko terjadinya stunting
pada balita usia 2-5 tahun di wilayah pesisir Kecamatan Kendari.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui riwayat pemberian ASI Eksklusif sebagai faktor risiko
terjadinya stunting pada balita usia 2-5 tahun di wilayah pesisir
Kecamatan Kendari.
b) Mengetahui riwayat pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-
ASI) sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita usia 2-5
tahun di wilayah pesisir Kecamatan Kendari.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
informasi kepada masyarakat mengenai hubungan riwayat pemberian
ASI Ekslusif dan pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada balita usia 2-5 tahun di
wilayah pesisir Kecamatan Kendari.
2. Manfaat Aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
informasi kepada pemerintah Kota Kendari mengenai status gizi balita
sunting melalui perbaikan pola asuh berupa pemberian ASI Eksklusif
yang dibantu dengan pula dengan pemberian Makanan Pendamping
ASI (MP-ASI) untuk mencegah terjadinya stunting pada balita di
wilayah pesisir Kecamatan Kendari. Penelitian ini juga dapat menjadi
sumber bacaan bagi peneliti lainnya dalam menganalisa faktor risiko
lain yang dapat menyebabkan kejadian stunting.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Variabel


1. Stunting
a) Pengertian Stunting
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki
panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan
umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang
lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan
anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang
disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi
ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi
pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan
mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal. (Kementerian Kesehatan RI, 2018)
b) Penyebab Stunting
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya
disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil
maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk
dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu
dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak
balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab
stunting dapat digambarkan sebagai berikut (TNP2K, 2017) :
1) Praktek pengasuhan yang kurang baik.
Praktek pengasuhan yang kurang baik termasuk kurangnya
pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa
fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari
anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)
secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak
menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-
ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas
6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan
baru pada bayi, MP- ASI juga dapat mencukupi kebutuhan
nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI,
serta membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem
imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
2) Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan
ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu
selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran
dini yang berkualitas
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan
Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di
Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di
2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke
layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih
terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang
berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar
di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
3) Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke
makanan bergizi
Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia
masih tergolong mahal. Menurut beberapa sumber
(RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas
makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New
Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal
daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi
di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu
hamil yang mengalami anemia.
4) Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1
dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB)
diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki
akses ke air minum bersih.

c) Faktor Risiko Stunting


1) ASI Eksklusif
Pemberian ASI Eksklusif sangat erat dengan penurunan
kejadian stunting pada anak. Oleh Karena itu anak yang tidak
mendapatkan ASI secara eksklusif akan berisiko mengalami
stunting, dua analisis terbaru bahwa bayi yang disapih sebelum
berusia 6 bulan akan lebih berisiko terkena stunting pemberian
ASI pada usia 0-5 bulan akan berkontribusi dalam
menunurunkan kejadian stunting pada anak, penelitian di
Ethiopia anak yang diberikan ASI < 2 tahun berisiko 3,2 kali
mengalami stunting Penelitian di Indonesia Bayi yang tidak
mendapatkan ASI berisiko stunting, Penelitian di Mozambique
bahwa durasi pemberian ASI berhubungan dengan stunting.
(Budiastutik dan Rahfiludin, 2019).
ASI memiliki banyak manfaat, misalnya meningkatkan
imunitas anak terhadap penyakit, infeksi telinga, menurunkan
frekuensi diare, konstipasi kronis dan lain sebagainya
(Henningham dan McGregor, 2009). Kurangnya pemberian
ASI dan pemberian MP-ASI yang terlalu dini dapat
meningkatkan risiko terjadinya stunting terutama pada awal
kehidupan (Adair dan Guilkey, 1997). Besarnya pengaruh ASI
eksklusif terhadap status gizi anak membuat WHO
merekomendasikan agar menerapkan intervensi peningkatan
pemberian ASI selama 6 bulan pertama sebagai salah satu
langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets 2025
mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah lima
tahun (WHO, 2014).
2) Status Sosial Ekonomi Keluarga
Hasil pendapatan keluarga merupakan salah satu indicator
sosial ekonomi keluarga lebih baik sehingga keluarga dapat
mencukupi dan memenuhi kebutuhan konsumsi gizi dalam
keluarga, didukung hasil penelitian yang menyatakan bahwa
pekerjaan dan pendapatan orang tua sebagai petani berisiko
anak mengalami stunting. Pendapatan keluarga yang rendah
berisiko terhadap stunting. Penelitian yang dilakukan di 3
propinsi di Indonesia yaitu Bali, Jawa Barat dan NTT faktor
risiko stunting salah satunya adalah pendapatan ayah yang
rendah. Hasil riset yang dilakukan di Kota Semarang
menunjukkan bahwa tingkat social ekonomi keluarga yang
rendah berisiko 11 kali mengalami stunting, Hasil riset di
Propinsi Maluku menunjukkan variable pendapatan keluarga
yang rendah menjadi faktor risiko stunting. penelitian yang
dilakukan di India, Nepal, Ethiopia, dan Madagascar
menyatakan bahwa faktor social ekonomi yang terkait dengan
pendapatan dan kemiskinan berhubungan dengan stunting. Ibu
tidak bekerja juga berisiko 3,11 kali mengalami stunting.
(Budiastutik dan Rahfiludin, 2019)
Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak
yang signifikan terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan
pendek (UNICEF, 2013). Keluarga dengan status ekonomi baik
akan dapat memeroleh pelayanan umum yang lebih baik seperti
pendidikan, pelayanan kesehatan, akses jalan, dan lainnya
sehingga dapat memengaruhi status gizi anak. Selain itu, daya
beli keluarga akan semakin meningkat sehingga akses keluarga
terhadap pangan akan menjadi lebih baik. (Khoirun Ni’mah,
Siti Rahayu, 2015)
3) Kelahiran bayi yang mengalami BBLR dan bayi yang lahir
secara premature
Bayi yang mengalami BBLR dan lahir secara prematur
memiliki risiko secara konsisten mengalami stunting di
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lahir
dengan BBLR memiliki risiko 1,74 kali mengalami hambatan
pertumbuhan TB/U berdasarkan hasil riset yang lain bahwa
bayi yang dilahirkan kondisi BBLR adalah faktor risiko yang
paling paling menentukan kejadian stunting pada anak. Hasil
penelitian di Hulu Sungai Utara bayi dengan BBLR berisiko
5,87 kali mengalami stunting pada anak baduta. Penelitian yang
ditemukan di Brebes bahwa Berat Bayi Lahir Rendah berisiko
6,63 kali mengalami stunting. Penelitian yang di lakukan di
Rwanda, Ethiopia, Burundi, Iran dan Nepal secara konsisten
juga menyatakan bahwa BBLR berisiko stunting. penelitian di
Semarang juga menyebutkan bahwa Berat Bayi Lahir Rendah
berisiko 11,5 kali mengalami stunting. (Budiastutik dan
Rahfiludin, 2019).
Berat badan lahir merupakan salah satu indikator kesehatan
pada bayi yang baru lahir. Berat badan lahir merupakan
parameter yang sering dipakai untuk menggambarkan
pertumbuhan janin pada masa kehamilan. Bayi dengan berat
badan lahir rendah akan lebih rentan terhadap pengaruh
lingkungan yang kurang baik di masa mendatang (Umboh,
2013). Berat lahir pada hasil penelitian yang dilakukan oleh
Khoirun Ni’mah dan Siti Rahayu (2015) tidak menunjukkan
hubungan dengan kejadian stunting pada balita dapat
disebabkan oleh banyak faktor yang lebih besar pengaruhnya
dengan kejadian stunting balita seperti ketidakcukupan gizi
serta infeksi. Selain itu efek berat badan lahir terhadap
pertumbuhan tinggi badan paling besar terdapat pada usia 6
bulan pertama. Jika pada 6 bulan pertama balita dapat
memperbaiki status gizinya, maka terdapat kemungkinan
bahwa tinggi badan balita dapat tumbuh dengan normal dan
terhindar dari kejadian stunting di usia selanjutnya.
4) Panjang lahir
Penelitian yang dilakukan di Kulon Progo bahwa panjang
lahir pada bayi jika kurang dari 48 cm akan berisiko mengalami
stunting pada waktu yang akan datang. Berdasarkan penelitian
di india bayi yang lahir dengan panjang badan kecil berisiko
stunting, penelitian di Depok diketahui bahwa panjang lahir
bayi pendek berisiko terhadap anak stunting dikemudian hari,
penelitian yang dilakukan Friska dkk menemukan bahwa
panjang lahir pendek berisiko 16,4 kali mengalami stunting.
(Budiastutik dan Rahfiludin, 2019)
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Meilyasari dan Ismawati (2014), dan penelitian
Anugraheni (2012) di Pati yang menunjukkan bahwa risiko
stunting lebih tinggi dialami oleh balita dengan panjang lahir
rendah (< 48 cm). Risiko untuk terjadi gangguan tumbuh
(growth faltering) lebih besar pada bayi yang telah mengalami
falter sebelumnya yaitu keadaan pada masa kehamilan dan
prematuritas. Artinya, panjang badan yang jauh di bawah rata-
rata lahir disebabkan karena sudah mengalami retardasi
pertumbuhan saat dalam kandungan. Retardasi pertumbuhan
saat masih dalam kandungan menunjukkan kurangnya status
gizi.
5) Pendidikan ibu
Pendidikan ibu sangat menentukan kesehatan anak, karena
dengan pendidikan yang memadai ibu akan lebih selektif dan
kreatif dalam memberikan makanan yang baik dan bergizi pada
anaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu
yang rendah berisiko 1,6 kali berisiko mengalami stunting
penelitian yang dilakukan di Indonesia secara konsisten bahwa.
Riset yang dilakukan di Banjar baru diperoleh bahwa variable
pendidikan ibu yang rendah memiliki risiko 5,1 kali mengalami
stunting pada anaknya . Berdasarkan hasil penelitian di Negara
berkembang lainya secara konsisten menyatakan bahwa
pendidikan ibu berisiko mengalami stunting. (Budiastutik dan
Rahfiludin, 2019)
Pendidikan ibu berhubungan secara signifikan dengan
kejadian stunting pada balita. Hal ini bisa disebabkan karena
peran pengasuhan lebih besar dilakukan oleh ibu. Ibu dengan
pendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih luas
tentang praktik perawatan anak serta mampu menjaga dan
merawat lingkungannya agar tetap bersih. Orang tua terutama
ibu yang mendapatkan pendidikan lebih tinggi dapat
melakukan perawatan anak dengan lebih baik daripada orang
tua dengan pendidikan rendah. Orang tua dengan pendidikan
yang lebih rendah lebih banyak berasal dari keluarga yang
sosial ekonominya rendah sehingga diharapkan pemerintah
meningkatkan akses pendidikan untuk keluarga dengan sosial
ekonomi yang kurang (Ikeda, et al., 2013).
Asupan zat gizi yang dimakan oleh balita sehari-hari
tergantung pada ibunya sehingga ibu memiliki peran yang
penting terhadap perubahan masukan zat gizi pada balita. Ibu
dengan tingkat pengetahuan yang lebih baik kemungkinan
besar akan menerapkan pengetahuannya dalam mengasuh
anaknya, khususnya memberikan makanan bergizi sesuai
dengan zat gizi yang diperlukan oleh balita, sehingga balita
tidak mengalami kekurangan asupan zat gizi dari makanan
yang dikonsumsinya. (Cholifatun Ni’mah, Lailatul Muniroh,
2015).
6) Penyakit infeksi
Berdasarkan kerangka konsep WHO penyakit infeksi yang
sering terjadi pada anak yang mengalami stunting adalah
seperti diare, kecacingan, peradangan, malaria, dan gangguan
saluran pernafasan. Ditemukan yang paling berisiko mengalami
stunting adalah penyakit diare, hal ini terjadi kemungkinan
anak belum mendapatkan imunisasi lengkap. Berdasarkan hasil
penelitian di daerah miskin dan pedesaan bahwa penyakit
infeksi menular seperti diare berisiko terhadap stunting, hasil
penelitian di Ethiopia menunjukkan anak yang menderita diare
berisiko 6,3 kali mengalami stunting, hasil penelitian Hywot
Yisak et al bahwa anak yang mengalami diare berisiko 2,4 kali
mengalami stunting, penelitian Blessing et al menyatakan
bahwa balita yang mengalami diare 2 minggu terakhir menjadi
determinan terjadinya stunting dan beberapa penelitian
membuktikan bahwa penyakit infeksi menjadi faktor risiko
terjadinya stunting. (Budiastutik dan Rahfiludin, 2019).
Diare merupakan penyakit infeksi metabolisme yang
dampaknya dapat langsung dilihat dalam jangka waktu yang
singkat, sedangkan keadaan stunting merupakan malnutrisi
yang bersifat kronis dampak dari keadaan yang terjadi dalam
waktu yang lama dan terus-menerus. Jadi apabila balita
memiliki penyakit yang menyebabkan gangguan pada
metabolism dan berlangsung lama dapat berisiko terkena
stunting (Safitri CA, Nindya TS, 2017).
7) Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Usia 6 bulan, pencernaan bayi sudah siap untuk menerima
makanan. Menurut WHO (2010), Pemberian MP-ASI dini
sebelum 6 bulan ataupun lebih dari 6 bulan dapat menyebabkan
bayi kekurangan zat gizi dan akan mengalami kurang zat besi,
serta mengalami tumbuh kembang yang terlambat. Menurut
hasil penelitian Widyaswari (2011), bayi yang diberi MP-ASI 6
bulan status gizinya lebih banyak normal dibandingkan pada
usia 0- 3 bulan atau 4-5 bulan. Status gizi kurang pada balita
bisa karena akibat pengenalan MP-ASI kurang dari 6 bulan
(Widyaswari, R, 2011). Hasil Penelitian yang mendukung
dilakukan Rohmani (2010), bahwa adanya hubungan yang erat
antara usia pertama pemberian MP-ASI dengan status gizi pada
indek BB/U dan TB/U lemah, dengan arah hubungan yang
positif, artinya semakin awal usia pemberian MP-ASI maka
status gizi anak semakin buruk. Anak yang tidak diberi bentuk
sesuai sesuai usianya akan mudah terkena diare dan berisiko
dehidrasi (Pakhri, A dkk, 2015). Apabila kejadian diare dan
dehidrasi terjadi terus-menerus maka akan berdampak pada
pola pertumbuhan karena infeksi mempunyai kontribusi
terhadap penurunan nafsu makan sehingga akan mempengaruhi
pertumbuhan linear anak (Adriani, M, 2009)

d) Penilaian Status Gizi Balita Stunting


1) Antropometri
Antropometri berasal dari kata anthropo yang
berarti manusia dan metri adalah ukuran. Metode
antropometri dapat diartikan sebagai mengukur fisik dan
bagian tubuh manusia. Jadi antropometri adalah
pengukuran tubuh atau bagian tubuh manusia. Dalam
menilai status gizi dengan metode antropometri adalah
menjadikan ukuran tubuh manusia sebagai metode untuk
menentukan status gizi (Thamaria, Netty, 2017).
Pada anak, Standar Antropometri digunakan untuk
menilai atau menentukan status gizi anak. Penilaian status
gizi Anak dilakukan dengan membandingkan hasil
pengukuran berat badan dan panjang/tinggi badan dengan
Standar Antropometri Anak. Klasifikasi penilaian status
gizi berdasarkan Indeks Antropometri sesuai dengan
kategori status gizi pada WHO Child Growth Standards
untuk anak usia 0-5 tahun dan The WHO Reference 2007
untuk anak 5-18 tahun (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020).
Standar Antropometri Anak didasarkan pada
parameter berat badan dan panjang/tinggi badan yang
terdiri atas 4 (empat) indeks, meliputi Indeks Berat Badan
menurut Umur (BB/U), Indeks Panjang Badan menurut
Umur atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U),
Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan
(BB/PB atau BB/TB), Indeks Masa Tubuh menurut Umur
(IMT/U) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2020).
2) Klinis
Penilaian status gizi secara klinis didasarkan atas
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan
ketidakcukupan asupan zat gizi. Sebagai contoh dapat
dilihat pada jaringan epitel (supravicial epithelial tissues)
seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada
organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid (Thamaria, Netty, 2017).
Metoda klinis berguna untuk survei klinis secara
cepat atau rapid clinical survey untuk mendeteksi secara
cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu
atau lebih zat gizi. Disamping digunakan untuk mengetahui
tingkat status gizi seseorang, yaitu tanda/sign dan
gejala/symptom atau riwayat penyakit (IDN Supariasa,
2001). Pemeriksaan secara klinis dilakukan secara
inderawi dengan indera tangan dan mata serta dapat dibantu
dengan senter untuk penerangan (Thamaria, Netty, 2017).
3) Biokimia
Tes biokimia adalah mengukur status gizi dengan
menggunakan peralatan laboratorium kimia. Tes biokimia
mengukur zat gizi dalam cairan tubuh atau jaringan tubuh
atau ekskresi urin. Misalnya mengukur status iodium
dengan memeriksa urin, mengukur status hemoglobin
dengan pemeriksaan darah dan lainnya. Pemeriksaan
biokimia dilakukan terutama untuk mendekteksi keadaan
defisiensi zat gizi sub-klinikal, artinya sudah mengalami
kelainan biokimia namun tanpa tanda-tanda atau gejala
klinis, sehingga sering digunakan untuk menggambarkan
tahap awal dari suatu penyakit atau kondisi, sebelum gejala
terdeteksi oleh pemeriksaan klinis atau pemeriksaan
laboratorium (Thamaria, Netty, 2017).
4) Biofisik
Penilaian status gizi dengan metode biofisik
merupakan metode penentun status gizi dengan cara
melihat kemampuan fungsi (khusus jaringan) dan juga
melihat perubahan struktur dari suatu jaringan. Penilaian
status gizi dengan metode biofisik ini umumnya digunakan
pada situasi tertentu seperti contohnya pada buta senja
epidemi. Cara yang digunakan yaitu menggunakan tes
adaptasi gelap (Supariasa, 2013).

2. ASI Eksklusif
a) Pengertian ASI
ASI adalah makanan alami pertama untuk bayi yang
memberikan semua vitamin, mineral dan nutrisi yang diperlukan
oleh bayi untuk pertumbuhan dalam enam bulan pertama dan tidak
ada makanan atau cairan lain yang diperlukan. ASI memenuhi
setengah atau lebih kebutuhan gizi anak pada tahun pertama hingga
tahun kedua kehidupan (Septiani dkk, 2017).
ASI dihasilkan oleh kelenjar payudara melalui proses
laktasi. Pemberian ASI perlu karena memberikan beberapa manfaat
bagi bayi antara lain, dapat memberikan kehidupan yang baik
dalam pertumbuhan maupun perkembangan bayi, mengandung
antibodi yang melindungi bayi dari penyakit infeksi bakteri, virus,
jamur, dan parasit, mengandung komposisi yang tepat karena
kandungan ASI diciptakan sesuai dengan kebutuhan bayi,
meningkatkan kecerdasan bayi, terhindar dari alergi yang biasanya
timbul karena konsumsi susu formula, bayi merasakan kasih
sayang ibu secara langsung saat proses menyusui, dan ketika
beranjak dewasa akan mengurangi risiko untuk terkena hipertensi,
kolesterol, overweight,obesitas dan diabetes tipe 2 (Arifa dkk,
2016)
ASI eksklusif adalah memberikan ASI saja kepada bayi
tanpa makanan atau minuman tambahan lain termasuk air putih
kecuali obat-obatan dan vitamin dan mineral dan ASI yang diperas
dan diberikan selama 6 bulan (Isroni, 2013).
Pemberian ASI dikenal sebagai salah satu yang
memberikan pengaruh paling kuat terhadap kelangsungan hidup
anak, pertumbuhan dan perkembangan. Penelitian menyatakan
bahwa inisiasi dini dalam 1 jam pertama dalam 1 jam pertama
dapat mencegah 22% kematian bayi dibawah umur 1 bulan di
negara-negara berkembang. Pencapaian 6 bulan ASI eksklusif
bergantung pada keberhasilan inisiasi dalam satu jam pertama. ASI
ekskusif selama 6 bulan pertama kehidupan, bersamaan dengan
makanan pedamping ASI dan meneruskan ASI dari 6 bulan sampai
2 tahun, dapat mengurangi sedikitnya 20% kematian anak balita
(Isroni, 2013).
Pencapaian ASI Eksklusif di Indonesia belum mencapai
80%. Berdasarkan laporan SDKI tahun 2013 pencapaian ASI
eksklusif adalah 42%. Sedangkan, berdasarkan laporan dari Dinas
Kesehatan Provinsi tahun 2014, cakupan pemberian ASI 0-6 bulan
hanyalah 54,3%, (Pusdatin, 2015). Persentase bayi yang mendapat
ASI eksklusif untuk umur bayi dibawah 6 bulan sebesar 41%, ASI
eksklusif pada bayi umur 4-5 bulan sebesar 27%, dan melanjutkan
menyusui sampai anak umur 2 tahun sebesar 55% (Kementerian
Kesehatan RI, 2015).
b) Kandungan ASI
ASI mengandung semua zat gizi dan cairan yang
dibutuhkan bayi untuk memenuhi kebutuhan gizi di 6 bulan
pertamanya. Jenis ASI terbagi menjadi 3 yaitu kolostrum, ASI
masa peralihan dan ASI mature. Kolostrum adalah susu yang
keluar pertama, kental, berwarna kuning dengan mengandung
protein tinggi dan sedikit lemak (Walyani, 2015).
Kandungan ASI antara lain yaitu sel darah putih, zat
kekebalan, enzim pencernaan, hormon dan protein yang sangat
cocok untuk memenuhi kebutuhan hingga bayi berumur 6 bulan.
ASI mengandung karbohidrat, protein, lemak, multivitamin, air,
kartinin dan mineral secara lengkap yang sangat cocok dan mudah
diserap secara sempurna dan sama sekali tidak mengganggu fungsi
ginjal bayi yang sedang dalam tahap pertumbuhan. Disamping
nutrisi ASI juga mengandung zat untuk imunitas tubuh diantaranya
IgA, IgM, IgG, IgE, Laktoferin, Lisosom dan zat lain yang
melindungi bayi dari infeksi (Septiani dkk, 2017)

3. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)


Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan
atau minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan pada bayi
atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain ASI.
MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan
keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara
bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan
bayi. Pemberian MP-ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya
penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak
yang sangat pesat pada periode ini, tetapi sangat diperlukan hygienitas
dalam pemberian MP-ASI tersebut. Sanitasi dan hygienitas MP-ASI
yang rendah memungkinkan terjadinya kontaminasi mikroba yang
dapat meningkatkan risiko atau infeksi lain pada bayi. Selama kurun
waktu 4-6 bulan pertama ASI masih mampu memberikan kebutuhan
gizi bayi, setelah 6 bulan produksi ASI menurun sehingga kebutuhan
gizi tidak lagi dipenuhi dari ASI saja. Peranan makanan tambahan
menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi tersebut
(Mufida Lailina dkk, 2015).
Pemberian makanan pendamping ASI mempunyai tujuan
memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan bayi atau balita guna
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotorik yang optimal,
selain itu untuk mendidik bayi supaya memiliki kebiasaan makan yang
baik. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik jika dalam pemberian
MP-ASI sesuai pertambahan umur, kualitas dan kuantitas makanan
baik serta jenis makanan yang beraneka ragam (Muthmainnah, 2010).
MP-ASI diberikan sebagai pelengkap ASI sangat membantu bayi
dalam proses belajar makan dan kesempatan untuk menanamkan
kebiasaan makan yang baik (Utami, 2011). Tujuan pemberian MP-ASI
adalah untuk menambah energi dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi
karena ASI tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi secara terus
menerus, dengan demikian makanan tambahan diberikan untuk
mengisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi total pada anak dengan
jumlah yang didapatkan dari ASI (WHO, 2003).
4. Balita
Kementerian Kesehatan RI tahun 2009 menyatakan bahwa balita
adalah kelompok anak yang berada rentang usia 0-5 tahun (Adriani
dan Wirjatmadi, 2012). Pertumbuhan dan perkembangan anak
diperngaruhi oleh beberapa faktor seperti pendidikan dan pekerjaan
ibu, pendidikan ayah, stimulasi perkembangan dan faktor dari
lingkungan dari anak (Wulandari dkk, 2016).
Periode penting dalam tumbuh kembang adalah masa balita, yaitu
umur 3 tahun, dimana pada umur ini pertumbuhan dan perkembangan
sel-sel otak masih berlangsung, dan menjadi pertumbuhan serabut-
serabut saraf dan cabangnya, sehingga terbentuk jaringan saraf dan
otak yang kompleks, dimasa inilah pentingnya keluarga dalam
memberikan stimulasi sedini mungkin agar perkembangan anak bisa
tumbuh secara normal (Kusumaningtyas dan Wayati, 2016)
Pada usia balita, kecukupan gizi pada anak sangat bergantung
kepada ibu dan pengasuhnya. Anak balita merupakan kelompok yang
menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan
kebutuhan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badan balita
tersebut. Pada masa bayi dan balita, orang tua harus selalu
memperhatikan kulitas dan kuantitas gizi makanan yang dikonsumsi
anak dengan membiasakan pola makan yang seimbang dan teratur
setiap hari, sesuai dengan tingkat kecukupannya (Astuti, 2017).

5. Pesisir
a) Pengertian Daerah Pesisir
Wilayah pesisir beserta sumber daya alamnya, memiliki arti
penting bagi pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Dengan
jumlah pulau sekita 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km,
Indonesia dikenal sebagai Negara mega-biodiversity dalam hal
keanekaragaman hayati, serta memiliki kawasan pesisir yang
sangat potensial untuk berbagai opsi pembangunan. Namun
demikian dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk
dan pesatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir, bagi
berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, pobjek
wisata, dll), maka tekanan ekologis terhadapat ekosistem dan
sumberdaya pesisir pantai semakin meningkat (Kristiyanti, 2016)
Departemen Kelautan dan Perikanan dalam rancangan
Undang-Undang pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
mendefinisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang
menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak
antara batas sempadan ke arah darat sejauh pasang tertinggi dam ke
arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari darat (Fabianto, 2014)
b) Masalah Kesehatan Daerah Pesisir
Masalah kesehatan merupakan suatu masalah yang sangat
kompleks. Hal ini saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di
luar kesehatan. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik
kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat (Oksfriani dkk,
2015). Penyebab masalah gizi di Indonesia bermula dari krisis
ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif seperti
kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja
kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat
rumah tangga rendah, pola asuh anak yang tidak memadai,
pendapatan keluarga yang rendah, sanitasi dan air bersih serta
pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Sasmiyanto dan
Luh Titi, 2016)
Masalah gizi dapat terjadi pada semua umur, tidak melihat
dari status sosialnya. Sering terjadi pada anak-anak, yang berakibat
pada tumbuh kembangnya. Hingga kini upaya yang telah
dilakukan untuk memperbaiki pertumbuhan anak-anak Indonesia
belum dapat dikatakan optimal. Masalah gizi juga bisa terdapat
pada anak-anak yang tinggal di pesisir pantai dan pegunungan.
Biasanya pola makan yang salah yang menyebabkan terjadinya
masalah gizi. Ketersediaan bahan makanan yang paling menunjang
dan sesuai dengan lingkungan/tempat yang sering mereka
konsumsi sehingga kurang mendapat kecukupan gizi yang
akhirnya berpengaruh pada status gizinya (Jufri Sineke, 2015).
B. Kerangka Teori

Riwayat Asi tidak


Eksklusif

Status Sosial Ekonomi


Anatomi dan Faal
Keluarga Rendah
belum mature

Riwayat BBLR dan


Premature
Imaturitas imunologis

Panjang Lahir kurang

Mudah terkena infeksi

Riwayat pemberian MP-


ASI yang tidak sesuai

Penyakit infeksi berulang


Pendidikan ibu yang
rendah

Kebutuhan zat gizi tidak Nutrisi tidak adekuat Gangguan gizi kronik
terpenuhi

Growth Faltering
(Gangguang pertumbuhan)

Stunting

Gambar 1. Kerangka Teori


C. Kerangka Konsep

Riwayat Pemberian
riwaya
ASI tidak Eksklusif

Stunting Pada Balita

Riwayat Pemberian
MP-ASI Tidak Adekuat

Keterangan: : Variabel Independent

: Variabel Dependent

Gambar 2. Kerangka Konsep

D. Hipotesis
1. H0 :Riwayat pemberian ASI Eksklusif bukan merupakan faktor risiko
yang berhubungan berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita di daerah pesisir Kecamatan Kendari.
Ha: Riwayat pemberian ASI Eksklusif merupakan faktor risiko yang
berhubungan berhubungan dengan kejadian stunting pada balita di
daerah pesisir Kecamatan Kendari.

2. H0: Riwayat pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) bukan


merupakan faktor risiko yang berhubungan berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita di daerah pesisir Kecamatan Kendari.
Ha: Riwayat pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
merupakan faktor risiko yang berhubungan berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita di daerah pesisir Kecamatan Kendari.
BAB 3

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik
obervasional dengan rancangan Studi Kasus Kontrol (Case Control Study)
yaitu membandingkan kelompok kasus dengan kelompok control. Dalam
studi ini ingin mengetahui apakah suatu faktor risiko tertentu benar
berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti dengan membandingkan
kekerapan (besar peranan) pajanan faktor risiko tersebut pada kelompok
kasus dengan kekerapan pajanan pada kelompok kontrol (Sastroasmoro
dan Ismael, 2014).
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2020 hingga
Januari 2021.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Mata dan
Puskesmas Kandai Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian adalah balita yang berusia 2-5 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Mata dan Puskesmas Kandai Kota Kendari,
Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2020 sebanyak 118 balita.
Adapun populasi untuk kasus yang mencakup balita dengan stunting
adalah 32 balita dan populasi untuk kontrol sebanyak 86 balita.
2. Sampel Penelitian
Sampel dari penelitian ini terdiri dari sampel kasus dan sampel
control. Sampel kasus dalam penelitian ini adalah balita berusia 2-5
tahun yang mengalami stunting di wilayah kerja Puskesmas Mata dan
Puskesmas Kandai Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara pada
tahun 2020. Pengambilan sampel kasus dilakukan dengan teknik Total
Sampling, yaitu dari 30 kasus stunting setelah memenuhi kriteria
inklusi dan kriteria eksklusi
3. Kriteria Sampel
a) Kriteria Inklusi
1) Kasus
a. Balita usia 2-5 tahun yang mengalami stunting dan ibu
yang bersedia mengikuti kegiatan penelitian ini.
b. Tinggal dan menetap di wilayah kerja Puskesmas Mata dan
Puskesmas Kandai Kota Kendari, Provinsi Sulawesi
Tenggara.
2) Kontrol
a. Balita berusia 2-5 tahun yang tidak mengalami stunting dan
ibu yang bersedia mengikuti kegiatan penelitian ini.
b. Tidak mempunyai penyakit kongenital.
c. Tinggal dan menetap di wilayah kerja Puskesmas Mata dan
Puskesmas Kandai Kota Kendari, Provinsi Sulawesi
Tenggara.
b) Kriteria Eksklusi
1) Kasus
a. Ibu ataupun balita yang pindah tempat tinggal.
b. Menolak dijadikan responden dan tidak bersedia
menandatangani surat persetujuan penelitian.
2) Kontrol
a. Ibu ataupun balita yang pindah tempat tinggal.
b. Menolak dijadikan responden dan tidak bersedia
manandatangani surat persetujuan penelitian.
c. Mempunyai penyakit kongenital.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a) Lembar Informed Consent
b) Kuesioner Penelitian
c) Alat Tulis
2. Cara Kerja
Data yang diambil untuk sampel kasus dan control pada penelitian
ini adalah dari data sekunder yang diperoleh dari Puskesmas Mata dan
Puskesmas Kandai Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara pada
tahun 2019 dan data primer berupa wawancara langsung berupa
pengisian kuesioner pada ibu kelompok kasus dan kelompok kontrol
tentang riwayat pemberian ASI Eksklusif dan riwayat pemberian
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
E. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Definisi Operasional
a) ASI Eksklusif
ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai
berusia 6 bulan tanpa pemberian tambahan cairan atau makanan
lain (kecuali obat-obatan dan vitamin atau mineral tetes; ASI perah
juga diperbolehkan)
b) Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan atau
minuman selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan
kepada bayi selama proses penyapihan (complementary feeding)
yaitu pada saat makanan/minuman lain diberikan bersama
pemberian ASI.
c) Stunting
Stunting adalah kondisi ketika seorang anak lebih pendek
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusianya atau dengan
kata lain, tinggi badan anak itu berada di bawah standar sesuai
dengan standar tinggi menurut umur yang telah ditetapkan
Kementerian Kesehatan Repulik Indonesia.
2. Kriteria Objektif
a) ASI Esklusif
Pusat Data dan Informasi Kementeria Kesehatan RI (2014)
menyatakan bahwa ASI eksklusif adalah pada saat bayi berusia 0-
≤6 bulan tidak memberi makanan atau minuman lain, termasuk air
putih, selain menyusi (kecuali obat-obatan dan vitamin atau
mineral tetes, ASI perah juga diperbolehkan).
b) Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah
makanan atau minuman yang mengandung zat gizi yang diberikan
pada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan
gizi selain ASI. (Mufida Lailina dkk, 2015)
c) Stunting
Menurut World Health Organization (WHO), stunting
adalah kondisi dimana nilai Z-score tinggi badan menurut umur
(TB/U) berdasarkan standar pertumbuhan mencapai kurang dari -2
standar deviasi (SD).
F. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan unutk memberikan gambaran tentang
karakteristik responden, yang disajikan dalam bentuk distribusi data
presentase, ditampilkan dalam bentuk table dan dijelaskan secara
naratif.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara
variabel dependent dan independent. Karena rancangan penelitian ini
adalah case control hubungan antara variabel dependent dan
independent digunakan uji statistic Odd Ratio (OR) table kontingensi
2x2 dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) seperti pada Tabel 1.
Rumus Odd Ratio adalah sebagai berikut

OR =

Tabel 1. Kontingensi 2x2 OR Analisis data penelitian case control

Faktor Risiko Kelompok Studi Jumlah


Kasus Kontrol
+ a b a+b
- c d c+d
Total a+c b+d a+c+b+d
Sumber: Sastroasmoro dan Ismael (2014)

Keterangan
a : Jumlah kasus dengan risiko (+)
b : Jumlah kontrol dengan risiko (+)
c : Jumlah kasus dengan risiko (-)
d : Jumlah kontrol dengan risiko (-)
(a+b) : Jumlah kasus dan kontrol dengan risiko (+)
(c+d) : Jumlah kasus dan kontrol dengan risiko (-)
(a+c) : Jumlah kasus dengan faktor risiko (+) dan (-)
(b+d) : Jumlah kontrol dengan faktor risiko (+) dan (-)
a+c+b+d : Total keseluruhan

Interpretasi OR:
a) Jika OR > 1, maka variabel independent merupakan faktor risiko
kejadian stunting.
b) Jika OR < 1, maka variabel independent bukan merupakan faktor
risiko kejadian stunting.
c) Jika OR = 1, maka variabel independent merupakan faktor
protektif kejadian stunting.
Dengan menghitung nilai batas atas dan nilai batas bawah
tersebut pada analisis tingkat kemaknaan hubungan, maka apabila
nilai keduanya berada dibawah nilai 1 maupun keduanya diatas 1
berarti analisis dinyatakan ada hubungan bermakna. Sebaliknya
bila jarak antara nilai batas atas dan batas bawah melalui nilai 1
artinya bila nilai batas bawah <1 sedangkan nilai batas atas>1
maka hasil analisisnya dinyatakan tidak memiliki hubungan
(Sastroasmoro dan Ismael, 2014).
G. Alur Penelitian

Pengajuan judul penelitian

Pengambilan data awal di Puskesmas Mata dan Puskesmas Kandai

Ujian etik / Etichal clearance

Permohonan izin penelitian

Penentuan jumlah sampel penelitian

Kriteria inklusi Kriteria esklusi

Riwayat memiliki / tidak Pengambilan data Riwayat memiliki / tidak


memiliki pemberian ASI memiliki pemberian
esklusif Makanan Pendamping
Pengolahan dan analisis data ASI (MP-ASI)

Peniliaian dengan melalui


Pembahasan dan hasil penelitian
wawancara langsung Peniliaian dengan melalui
wawancara langsung
Penyajian hasil akhir

Gambar 3. Bagan Alur Penelitian


H. Etika Penelitian
Penelitian ini mengajukan etik ke komisi Etik Penelitian
Universitas Halu Oleo dan melakukan pengurusan izin layak etik di
Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo. Etika penelitian adalah hal
yang penting dalam pelaksanaan penelitian, mengingat pelaksanaan
penelitian berhubungan langsung dengan manusia dank arena manusia
memiliki hak asasi. Penelitian ini juga memenuhi beberapa prinsip etik
dan formulir informed consent yang diberikan sebelum dilakukan
penelitian yang bertujuan dalam hal ini yaitu peneliti meminta persetujuan
kepada responden. Responden juga diberikan kebebasan untuk
menentukan pilihan apakah responden bersedia atau tidak bersedia untuk
melakukan penelitian (Self Determinan). Selama kegiatan penelitian
berlangsung, nama responden tidak dicantumkan dan peneliti
menggunakan nomor responden (Anonimity). Peneliti juga menjaga
kerahasiaan identitas dan informasi yang diperoleh dari responden,
disimpan sebagai dokumentasi penelitian (Confidentially). Sebelum
penelitian dilakukan, responden bebas dari rasa tidak nyaman sebelum
penelitian dilakukan terhadap responden (Protection from Discomfort).
DAFTAR PUSTAKA
1. Ergin F, Okyay P, Atasoylu G, Beser E. 2007. Nutritional status and risk
factors of chronic malnutrition in children under five years of age in
Aydin, a western city of Turkey. Turk J Pediatr. Vol.49 (3) :283.
2. Supariasa. 2013. Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta. (2): 34-46
3. Kemeterian Kesehatan RI.2015.Dukung Ibu Bekerja Beri ASI Eksklusif.
4. Pusdatin.2015. Pusat data dan informasi kementerian Kesehatan.
5. Walyani, E. S. 2015. Perawatan Kehamilan dan Menyusui Anak Pertama
agar Bayi Lahir dan Tumbuh Sehat. Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
6. Muthmainnah, Fithriatul. 2010. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan
Pengetahuan Ibu Dalam Memberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu
Di Puskesmas Pamulang. Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta
7. Utami, Karina Dewi. 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemberian MP-ASI Dini Pada Bayi Kurang Dari 6 Bulan Di Desa
Sutopati. FKIK. UIN. Ciputat
8. WHO. 2003. Global Strategy for Infant and Young Child. World Health
Organization. Geneva
9. Adriani dan Wirjatmadi. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan.
Kencana. Jakarta
10. Safitri CA, Nindya TS. Hubungan ketahanan pangan dan penyakit diare
dengan stunting pada balita 13-48 bulan di Kelurahan Manyar Sabrangan,
Surabaya. J Amerta Nutr. 2017;1(2):52– 61.
11. Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting pada
balita usia 12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten
Kendal. Journal ofNutrition College. Vol. 3(2): 16-25.
12. Anugraheni, H. S. (2012). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada anak usia
12-36 bulan di kecamatan Pati, Kabupaten Pati (Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang).
13. WHO. 2014. WHA global nutrition targets 2025: Stunting policy brief.
Geneva: World Health Organization
14. Adair, L. S., & Guilkey, D. K. 1997. Age specifi c determinant of stunting
in Filipino children. The Journal of Nutrition. Vol. 127: 314-320.
15. Ikeda, N., Yuki, I., & Shibuya, K. 2013. Determinants of reduced child
stunting in Cambodia: Analysis of pooled data from three demographic
and health surveys. Bulletin of the World Health Organization. Vol. 91:
341-349.
16. Suhardjo. 2003. Berbagai cara pendidikan gizi. Jakarta: Bumi Aksara.
17. UNICEF. 2013. Improving child nutrition, the achievable imperative for
global progress. New York: United Nations Children’s Fund.
18. WHO. 2010. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country
Profile Indicators : Interpretation Guide. Switzerland.
19. Widyaswari, R. 2011. Hubungan Waktu Pengenalan Makanan
Pendamping ASI dengan Status Gizi pada Bayi usia 6-24 bulan di
Kecamatan Banjarsari Surakarta.
20. Rohmani, A. 2010. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada
Anak Usia 1-2 Tahun di Kelurahan Lamper Tengah Kecamatan Semarang
Selatan, Kota Semarang. in Prosiding Seminar nasional Unimus
21. Pakhri, A., Lestari, retno S., Suaib, F. & Suhardi, D. 2015. Gambaran
Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI dan Status Gizi pada Balita
Usia 6-24 Bulan di Desa Bonto Bunga Kabupaten Maros. Media Gizi
Pangan XIX, 41–48
22. Adriani, M. 2009. Pengaruh seng pada suplementasi vitamin A dosis
tinggi terhadap status infeksi dan pertumbuhan linier balita. Universitas
Airlangga Surabaya,
23. Astuti EP. 2017. Status Gizi Balita di Posyandu Melati Desa Sendangadi
Melati Sleman. Jurnal Permata Indonesia. Vol. 8(1): 123-130
24. Kusumawahyuningtyas, K., Wyanti, S. 2016. Faktor Pendapatan Dan
Pendidikan Keluarga Terhadap Perkembangan Motorik Halus Anak Usia
3-4 Tahun. Jurnal Penelitian Kesehatan SUARA FORIKES. Vol 7(1): 52-
58
25. Wulandari, R., Ichsan, B., Romadhon, YA. 2016. Perbedaan
Perkembangan SOsial Anak Usia 3-6 TAhun dengan Pendidikan Usia Dini
dan Tanpa Pendidikan Usia Dini di Kecamatan Peterongan Jombang.
Biomedika. Vol. 8(1): 47-53
26. Sastroasmoro, S,. Ismael, s. 2014. Dasar-dasar Metodologi Penelitian
Klinis. Jakarta: Sagung Seto
27. Astuti, Isroni. 2013. Determinan Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu
Menyusui. Jurnal Health Quality. Vol.4 (1):1-76
28. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan
Analisis ASI Ekslusif. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI. Jakarta
29. Yusrina, Arifa., Devi, Shrimarti Rukmini, 2016. Faktor Yang
Mempengaruhi Niat Ibu Hamil Memberikan ASI Esklusif di Kelurahan
Magersari, Sidoarjo. Jurnal Promkes. Vol. 4 (1): 11-21
30. Astuti, Isroni. 2013. Determinan Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu
Menyusui. Jurnal Health Quality. Vol. 4 (1): 1-76
31. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Siatuasi dan
Analisis. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
32. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2018. Menyusui
Sebagai Dasar Kehidupan. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
33. Mufida, Lailina., dkk. 2015. Prinsip Dasar Makanan Pendamping Air Susu
Ibu (Mp-Asi) Untuk Bayi 6 – 24 Bulan: Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan
Agroindustri Vol. 3 (4):1646-1651
34. Kristiyanti, M. 2016. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pantai Melalui
Pendekatan Iczm (Integrated Coastel Zone Management). Prosiding
Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu & Call For Papersunisbank
(Sendi_2) Ke-2 Tahun 2016. Unisbank Semarang: 1
35. Fabianto, M.D., Berhitu, P.T. 2014. Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir
Secara Terpadu Dan Berkelanjutan Yang Berbasis Masyarakat. Jurnal
Teknologi. Vol. 11 (2): 1
36. Lestari, Weny., Kristiana, Lusi., Paramita, Astridya. 2018. Stunting : Studi
Konstruksi Sosial Masyarakat Perdesaan Dan Perkotaan Terkait Gizi Dan
Pola Pengasuhan Balita Di Kabupaten Jember. Aspirasi: Jurnal Masalah-
Masalah Sosial. Vol. 9 (1): 20
37. Branca, F., Ferrari, M. 2002. Dampak Defisiensi Mikronutrien pada
Pertumbuhan: Sindrom Stunting. Annals Of Nutrition And Metabolism.
Vol. 46 (1): 20
38. Nova, Maria., Afriyanti, Olivia. 2018. Hubungan Berat Badan, Asi
Eksklusif, Mp-Asi Dan Asupan Energi Dengan Stunting Pada Balita Usia
24–59 Bulan Di Puskesmas Lubuk Buaya. Jurnal Kesehatan Perintis
(Perintis’s Health Journal). Vol. 5 (1)
39. Ni’mah, Khoirun., Nadhiroh, Siti Rahayu. 2015. Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita. Media Gizi
Indonesia, Vol. 10 (1): 15, 20
40. Ni’mah, Cholifatun., Muniroh, Lailatul. 2015. Hubungan Tingkat
Pendidikan, Tingkat Pengetahuan Dan Pola Asuh Ibu Dengan Wasting
Dan Stunting Pada Balita Keluarga Miskin. Media Gizi Indonesia. Vol. 10
(1): 88
41. Lestari, Wanda., Margawati, Ani., Rahfiluddin, M.Zen. 2014. Faktor risiko
stunting pada anak umur 6-24 bulan di kecamatan Penanggalan kota
Subulussalam provinsi Aceh. Jurnal Gizi Indonesia. Vol. 3 (1): 43
42. Sekretariat Wakil Presiden RI. 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas Untuk
Intervensi Anak Kerdil (Stunting). TNP2K. Jakarta
43. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2018. Situasi Balita
Pendek (Stunting) Di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
44. Al-Rahmad , Agus Hendra., Miko, Ampera., Hadi, Abdul. 2013. Kajian
Stunting Pada Anak Balita Ditinjau Dari Pemberian Asi Eksklusif, Mp-
Asi, Status Imunisasi Dan Karakteristik Keluarga Di Kota Banda Aceh.
Jurnal Kesehatan Ilmiah Nasuwakes. Vol.6 (2): 174
45. Thamaria, Netty. 2017. Penilaian Status Gizi. Kementerian Republik
Indonesia.
46. Nadiyah., Briawan Dodik., Martrianto, Drajat. 2014. Faktor Risiko
Stunting Pada Anak Usia 0—23 Bulan Di Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan
Nusa Tenggara Timur. Jurnal Gizi dan Pangan. Vol. 9 (2): 131
47. Budiastutik, Indah., Rahfiludin, Muhammad Zen. 2019. Faktor Risiko
Stunting pada anak di Negara Berkembang. IAGIKMI & Universitas
Airlangga. Vol. 3 (3): 123-127
48. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Situasi Dan
Analisis Gizi. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta
49. Warta Kesmas. 2018. Cegah Stunting Itu Penting Edisi 2. Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai