Anda di halaman 1dari 10

RANGKUMAN BIOETHIC

PENDIDIKAN KEPRIBADIAN DAN ETIKA PROFESI

EUTHANASIA

Anggota Kelompok 5:
Hanin Adzkiya Khairunnisa 195100107111002
Dhava Ayu Farhani 195100107111003
Karina Amelia Rachman 195100107111004
Shifa Nur Anisya 195100107111006
Alya Rahma Puteri Z 195100107111007
Dea Raihanur Azizah 195100107111009
Annisa Tahta Ramadhani 195100107111010
Rizandy Yuliandra Tistyo L 195100107111012
Fiynaa Nuwrin Fithriyah 195100107111013

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
A. DEFINISI
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti
baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Istilah euthanasia berasal dari bahasa
Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti
mati, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan
kematian, akan tetapi untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang
menghadapi kematiannya. Dalam arti 56 yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan
dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya,
sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya, dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya (Pradjonggo, 2016).
Terdapat juga pendapat dari Dr. R. Soeprono (dalam Prakoso, 1984:54) yang
membagi euthanasia empat bentuk yaitu:
1. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia). Pasien meminta, memberi izin atau
persetujuan untuk menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang
hidup.
2. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu) Membiarkan pasien mati tanpa
sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara menghentikan atau meniadakan
perawatan yang memperpanjang hidup.
3. Mercy Killing sukarela (Voluntary Mercy Killing). Dengan sepengetahuan dan
persetujuan pasien diambil tindakan yang menyebabkan kematian.
4. Mercy Killing terpaksa (Involuntary Al Ercv Killing). Tindakan sengaja diambil
tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat kematian.

B. SUDUT PANDANG
1. Sosial
Hidup dan mati adalah dua hal yang saling melengkapi. Pemahaman mengenai
konsep hidup dan mati ini sangat kental dalam mewarnai kehidupan dan keseharian
manusia. Disamping menjadi atribut dari hidup, mati sering dikaitkan dengan tua.
Suatu kewajaran jika kematian terjadi terhadap kalangan lansia yang menderita
berbagai penyakit.
Menurut (Soetjipto, 2015) sebagai suatu ilustrasi adalah seorang Kakek di
umurnya yang menginjak 80 tahun tidak berdaya karena sakit yang dideritanya dan
memilih bunuh diri dengan cara menggantung. Dari sisi kualitas hidupnya, Kakek
memang jauh untuk merasakan sejahtera meskipun ahli warisnya mampu untuk
mencukupi dan merawatnya. Ternyata, bunuh diri adalah pilihan yang dianggap
paling tepat karena tidak mungkin untuk meminta ahli waris atau pihak lain untuk
membantu mengakhiri hidupnya. Dari peristiwanya, lingkungan sekitar Kakek tidak
melangsungkan sholat jenazah untuknya. Nilai religius yang tumbuh di masyarakat
tersebut memang tidak membenarkan Kakek memperoleh haknya untuk dishalatkan.
Dalam kondisi sakit yang irreversible, ahli waris dihadapkan kepada suatu
situasi yang sulit, yaitu tetap melanjutkan perawatan atau menghentikannya. Jika
kematian memang dikehendaki oleh si sakit, mudah bagi ahli waris untuk menangani
dilema nilai dan norma. Jika si sakit dan ahli waris tidak menyadari bahwa kondisi
sakit penderita bisa mengarah kepada kematian, pihak ahli waris terbelenggu suatu
nilai yang menjunjung tinggi upaya untuk kesembuhan. Jika permasalahan ini tidak
dapat segera dipecahkan, maka ada beberapa hak bagi si mati yang tidak dapat
diberikan oleh lingkungannya. Sedangkan, kematian efekti seperti Euthanasia
mempunyai dampak yang sangat signifikan bagi ahli waris yang masih hidup.
Keputusan untuk menghentikan upaya penyembuhan pada kasus penderita penyakit
yang sifat terminal bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Pihak ahli waris akan selalu
dihantui perasaan bersalah jika sampai mereka berhenti berusaha. Jika si sakit
menghendaki kematiannya bisa dikategorikan bunuh diri, tetapi jika pengakhiran
hidup ini dilakukan oleh ahli waris maka beban menjadi “pembunuh” berada di
tangan ahli waris. Maka, untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan pihak ketiga yang
memiliki sosok otoritas yang dapat dijadikan legitimator mengenai kematian
seseorang yaitu seorang Dokter. Prognosis suatu penyakit jika dapat dilakukan dengan
seksama akan sangat membantu pihak penderita beserta keluarga untuk mengambil
tindakan yang sesuai dengan situasi yang ada.
Dikatakan pada pasal 28 UUD 1945 ‘Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya’. Walaupun di negara-negara lain
melegalkan Euthanasia. Namun, di Indonesia memang belum mengatur secara
spesifik dan tegas mengenai masalah Euthanasia dan hal ini masih menjadi
perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang Euthanasia dan yang
tidak menyetujuinya. Dalam pernyataan (Pradjonggo, 2016) bahwa pihak yang
menyetujui tindakan Euthanasia beralasan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk
hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera. Hal ini dilakukan dengan
alasan yang cukup mendukung, yaitu alasan kemanusiaan. Dengan keadaan pasien
yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat
melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Alasan lain pihak yang
setuju dengan Euthanasia adalah rasa kasihan, faktor ekonomi, faktor sosial seperti
ilustrasi diatas, pasien siap mati wajar, mati batang otak, ataupun tindakan medis tidak
menolong lagi. Sementara itu, pihak yang tidak menyetujui Euthanasia beralasan
bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya karena masalah
hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh
manusia.
2. Agama
Dalam sudut pandan agama islam nyawa merupakan barang titipan Allah
SWT sehingga tidak boleh diabaikan apalagi untuk menghilangkan nyawa secara
sengaja. Menurut (Rada,2013) islam memandang euthanasia adalah suatu keinginan
dalam usaha mempercepat kematian akibat ketidakmampuan menahan penderitaan
atau rasa sakit yang sedang dialaminya. Akan tetapi, dalam pandangan islam penyakit
merupakan sebuah ujian dan cobaan dari Allah SWT untuk hamba-Nya untuk
menguji tawakal dan kesabaran dalam menghadapi cobaan yang telah diberikan.
Sehingga seseorang tersebut harus tetap menjalani kehidupan yang telah diberikan.
Euthanasia merupakan perbuatan yang merugikan diri sendiri walaupun pasien
tersebut yang menginginkannya. Sedangkan dalam islam, seorang hamba tidak
diperbolehkan untuk merugikan diri sendiri. Menurut (Fauzi dan Herlina, 2017) pada
konferensi pertama tahun 1981 di kuwait tentang kedokteran Islam menyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (Mercy Killing) dengan alasan apapun
Menurut (Fauzi dan Herlina, 2017) agama Hindu menilai Euthanasia
didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Ahimsa merupakan prinsip
“anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapapun juga. Ajaran Hindu melarang
perbuatan tersebut karena dapat menjadi faktor yang mengganggu, menghasilkan “
karma buruk “. Manusia memiliki kesempatan yang sangat berharga untuk meraih
tingkat yang lebih baik dalam kelahiran kembali. Sehingga manusia tidak boleh
berputus asa dalam kehidupan yang telah didapatkan. Menurut agama Hindu, manusia
yang melakukan bunuh diri tidak akan masuk ke surga ataupun neraka. roh orang
bunuh diri akan berkelana di dunia fana sebagai roh jahat hingga ia mencapai masa
waktu di mana seharusnya ia menjalani kehidupan. Apabila terdapat seseorang bunuh
diri pada umur 23 tahun, dan umur dia mengalami kematian 30 tahun maka selama 7
tahun roh nya akan berkelana di dunia fana. Kemudian akan ke neraka untuk
menerima hukuman yang lebih berat. Setelah ke neraka, roh tersebut akan kembali ke
dunia lagi dengan bereinkarnasi untuk menyelesaikan kehidupannya yang masih
belum selesai.
Menurut (Fauzi dan Herlina, 2017) agama Budha melarang untuk membunuh
makhluk hidup lainnya. Euthanasia dipandang sebagai perbuatan yang jahat, Buddha
menekankan pada Karunia untuk “Welas Asih”. Mempercepat kematian seseorang
secara tidak alamiah adalah bentuk pelanggaran terhadap perintah utama ajaran
Budha. Tindakan yang buruk akan mendapat balasan serupa seperti yang telah
dilakukan
3. Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Terdapat perbedaan
pandangan dari aspek budaya antara Indonesia dan negara lainnya. Di negara lain
contohnya di Amerika Serikat, dimana pasien berhak memutuskan untuk melakukan
euthanasia atau tidak (Savory & Marco, 2009).
Sedangkan di Indonesia, euthanasia dianggap kontroversial karena melanggar
Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia. HAM adalah hak yang dipunyai manusia
semata-mata karena ia manusia. Euthanasia atau hak untuk mati ini timbul dari
permasalahan pasien yang berkelanjutan dan tidak mampu diselesaikan dari segi moril
maupun materil. Oleh karena itu, mungkin pasien atau keluarga dari pasien
menginginkan agar hidupnya diakhiri apabila sudah sampai pada klimaks penderitaan
yang sudah tertahankan lagi (Haryadi, 2011). Namun hal ini tidak dilegalkan di
Indonesia karena bertentangan dengan budaya yang ada.
4. Hukum
Secara yuridis berdasarkan hukum pidana yang berlaku di Indonesia,
euthanasia belum diatur secara jelas. Euthanasia sampai saat ini belum dapat diterima
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Hal ini
dikarenakan euthanasia tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum pidana positif di Indonesia (Yudaningsih, 2015).
Peraturan yang dapat dihubungkan dengan euthanasia dalam KUHP dapat
ditemukan dalam Bab XIX pasal 338 sampai dengan pasal 350 tentang kejahatan
terhadap jiwa orang. Menurut sistematika KUHP, jenis kejahatan terhadap jiwa
disandarkan kepada subjective element-nya terbagi atas 2 golongan yaitu
(Yudaningsih, 2015):
1. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang dilakukan dengan
sengaja (dolense misdrijven), pada pasal 338 sampai dengan pasal 350 KUHP.
2. Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang terjadi karena kealpaan
(culpose misdrijven), pada pasal 359 KUHP.
diketahui bahwa dalam KUHP tidak ditemukan pasal yang secara eksplisit
mengatur tentang euthanasia. Akan tetapi jika dicermati maka pasal yang digunakan
untuk menunjukkan pelarangan terhadap euthanasia adalah pasal 344 KUHP yaitu
mengenai pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan sangat dan tegas oleh
korban. Pasal 344 KUHP menyebutkan bahwa “barang siapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Pada rumusan
pasal ini disyaratkan bahwa permintaan untuk membunuh harus disebutkan dengan
nyata dan sungguh-sungguh (ernstig), jika syarat ini tidak terpenuhi maka pelaku akan
dikenakan pasal 338 KUHP yaitu pembunuhan biasa. Pasal-pasal lain yang bisa
dihubungkan dengan euthanasia adalah pasal-pasal 304, 306, 340, 345,356, 359, dan
531 KUHP (Yudaningsih, 2015).
Keberadaan pasal-pasal tersebut diatas mengungatkan kepada setiap orang
untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia. Berdasarkan pasal 345 KUHP
memberi harapan atau menolong untuk melakukan euthanasia dapat dikenakan
ancaman pidana, apalagi jika melakukan perbuatan euthanasia. Dalam tinjauan hukum
pidana, dengan alasan apapun dan siapapun yang menghilangkan nyawa orang lain
tanpa hak, kecuali oleh pihak-pihak lain yang dibenarkan oleh undang-undang harus
dianggap sebagai kejahatan (Yudaningsih, 2015).
Kaitan Euthanasia menurut sudut pandang HAM sudah lama menjadi topik
yang menimbulkan banyak pro dan kontra. Euthanasia dianggap telah melanggar dari
salah satu HAM yaitu yang berkaitan dengan hak hidup. Pandangan dari pihak yang
kontra atau menentang adanya euthanasia yang didasarkan dari segi hak asasi
manusia, mereka bertolak belakang dari Universal Declaration of Human Rights atau
Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang didalamnya telah mencantumkan
sejumlah hak-hak asasi manusia. Di dalam DUHAM tersebut diantara sekian banyak
hak-hak asasi manusia yang ada didalamnya tidak terdapat mengenai hak untuk mati
(Paulus, 2013).
Euthanasia merupakan bukan suatu temuan yang baru di bidang medis tetapi
hingga saat ini masih terus menjadi suatu perbincangan yang menimbulkan pro dan
kontra. Euthanasia dianggap telah melanggar salah satu aspek dari Hak Asasi Manusia
yaitu mengenai hak hidup, namun di sisi yang lain euthanasia dianggap berhak untuk
didapatkan oleh manusia sebagai hak dari untuk menentukan nasibnya sendiri, dan
merupakan hak kebebasan (Paulus, 2013).
Masalah euthanasia yang kemudian dikaitkan dengan hak untuk menentukan
nasib sendiri kemudian juga menjadi problematika tersendiri dalam hal penentuan
konteks pelanggaran hak asasi manusia atau tidak. Hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right to self determination) memang tidak disebutkan secara terperinci
dalam Universal Declaration of Human Rights, tetapi hak untuk menentukan nasib
sendiri ini diatur secara khusus dalam instrumen Hukum Hak Asasi Manusia dalam
ICCPR (Paulus, 2013).
Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia, pada hakikatnya hak ini menjadi bagian bagi hak-hak dasar tertentu.
Ketentuan mengenai hak-hak dasar individual yang dalam hal ini hubungannya
dengan hak untuk menentukan nasib sendiri juga terdapat dalam beberapa ketentuan
dalam “International Covenant of Civil and Political Rights”, yakni sebagai berikut
(Paulus, 2013):
1. Pasal 1 :“ Setiap orang mempunyai hak menentukan nasib sendiri”
2. Pasal 9 :“Setiap orang mempunyai kebebasan dan keamanan dirinya”
3. Pasal 17 :“Tak seorangpun boleh dilecehkan kepastiannya (privacynya) atau
kerahasiaan surat-menyuratnya”
4. Pasal 18 :“Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan suara dan kata
hatinya...”
Pasal-pasal di atas pada prinsipnya mengemukakan hak-hak dasar dari
manusia yang tidak bisa dilecehkan termasuk hak-hak kepastiannya (privasi) yang
tidak bisa dilanggar oleh siapapun. Pasal-pasal tersebut menjelaskan mengenai konsep
dasar hak asasi manusia dimana terfokus pada hak kebebasan dan keamanannya
terhadap dirinya sendiri. Hak untuk menentukan nasib sendiri dijadikan dasar dalam
pengambilan keputusan untuk euthanasia, hak untuk menentukan nasib sendiri
merupakan bagian dari HAM, maka hubungan euthanasia dengan HAM juga
dipandang dari hak untuk menentukan nasib sendiri (Paulus, 2013).
Tindakan euthanasia diketahui sebagai perbuatan pelanggaran hak asasi
manusia. Ada beberapa alasan sehingga tindakan euthanasia melanggar hak dasar
kehidupan manusia, melanggar deklarasi yang dikeluarkan PBB, pasal 28A Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan yang paling penting adalah melangkahi wewenang dari
kewanangan Tuhan Yang Maha Kuasa (Pradjonggo, 2016).
Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi
dari setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini
dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Konsekuensi dari hak
hidup ini adalah kewajiban bagi setiap manusia untuk menjunjung tinggi kemuliaan
hidup manusia. Dalam pasal 3 Deklarasi Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa setiap
orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang. Sedangkan
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 9 ayat 1 menegaskan
bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan
taraf hidupnya (Pradjonggo, 2016).
Sampai sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan jelas
mengenai mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan
nyawa orang atas permintaan sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan
nyawa seseorang. Konsep Euthanasia sekarang ini masih menjadi perdebatan para
pakar hukum, ada yang setuju tentang euthanasia dan ada pula pihak yang tidak
setuju tentang euthanasia. Dengan tidak adanya regulasi yang jelas di Indonesia maka
dapat dipastikan bahwa suntik mati (euthanasia) masih belum mempunyai dasar
hukum yang jelas untuk melakukan tindakan suntik mati atau euthanasia tersebut
(Pradjonggo, 2016).
5. Medis
Secara universal, kewajiban dokter telah tercantum dalam Declaration of Genewa
yang merupakan hasil musyawarah Ikatan Dokter se-Dunia di Genewa pada bulan
September tahun 1948. Khusus untuk di Indonesia, pernyataan semacam ini secara
tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang mulai berlaku
sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI
tentang : Pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23
Oktober 1969. Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan
dengan masalah euthanasia, adalah Pasal 9 yang berbunyi "Seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani”. Dalam hal
ini, berarti dokter dilarang mengakhiri hidup pasien (euthanasia), walaupun menurut
ilmu kedokteran dan pengalamannya pasien tidak mungkin sembuh. Jadi, jelas bahwa
Kode etik kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif. Dengan kata lain,
dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don’t play god). Medical ethics must be
pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang menyelamatkan atau memelihara
kehidupan, bukan orang yang menentukan kehidupan itu sendiri (life savers, not life
judgers). Apabila penyakit pasien sudah tidak dapat disembuhkan, maka lebih baik
dokter membiarkan pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri
hidupnya, dan juga tidak perlu berusaha keras untuk mempertahankan kehidupannya,
karena kematiannya sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi, perawatan
(pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan (Priyanto,2013).
Selain itu dalam etika kedokteran, seorang dokter juga tidak diperbolehkan untuk
menggugurkan kandungan.Jadi sangat tegas, para dokter di Indonesia dilarang
melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa
seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk
mengakhirinya (Prihastuti,2018).
6. Moral
Secara moral kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus
menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah dibenarkan mengorbankan manusia
karena suatu tujuan. Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai
“kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena
mempunyai nilai absolut (Halim, 2012).
Di dalam semua agama memandang bahwa: Pertama, pengakuan martabat
manusia sebagai pribadi unik, yang memiliki rasionalitas, kehendak, dan kebebasan
yang bertanggung jawab serta pribadi yang senantiasa berkembang menuju kepada
kesempurnaan. Kedua, pengakuan martabat sebagai makhluk sosial yang hidup dalam
kebersamaan, saling membantu dan menolong dalam usaha memperkembangkan diri.
Oleh karena makna dan tujuan kehidupan bersama itulah muncul kewajiban untuk
menghormati kehidupan setiap individu. Ketiga, pengakuan hidup jasmani sebagai
indikasi mutlak akan kehidupan. Manusia hanya mungkin mengembangkan diri, baik
secara personal maupun komunal selama ia masih hidup. Keempat, pengakuan iman
kepercayaan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa
hidup adalah karunia-Nya yang sangat berharga dan istimewa (Halim, 2012).
Berdasarkan alasan-alasan diatas maka penilaian moral terhadap euthanasia
didasarkan pada pengertian istilah euthanasia itu sendiri. Sebagai perbuatan moral,
euthanasia aktif langsung sebagaimana disebutkan di muka, tidak pernah dapat
dibenarkan karena sama dengan pembunuhan. Mengingat kematian menjadi tujuan
dan dengan demikian sama dengan merampas hak untuk hidup, berbeda dengan
euthanasia aktif tidak langsung masih dapat dibenarkan. Adapun mengenai euthanasia
pasif dapat dilakukan dan dipertanggung jawabkan apabila obat ataupun tindakan
medis bagi orang yang bersangkutan maupun bagi pihak yang bertanggung jawab
sudah merupakan via extraordinaria (prasarana luar biasa) dan disertai alasan kuat
untuk tidak memperpanjang penderitaan. Menurut Kristiantoro, ada tiga alasan yang
dapat digunakan untuk menentukan syarat via extraordinaria, yaitu: pertama, dari
segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi; kedua,
harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal, dan ketiga, dibutuhkan
usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-
kasus seperti ini, orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau
tindakan medis (Halim, 2012).

C. KEUNTUNGAN
Keuntungan dari Euthanasia ini tidak dibenarkan oleh banyak kalangan karena tidak
sesuai dengan pandangan dari agama, hukum, dan kode etik dari medis. Namun ada beberapa
orang yang pro dan melegalkan euthanasia. Hal tersebut didasari dengan beberapa argumen
yang mendukung tindakan Euthanasia. Pertama, kelompok pro euthanasia beranggapan
bahwa setiap individu memiliki hak untuk menentukan masa depan kehidupannya. Terlebih
jika individu tersebut dalam keadaan sakit berat yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya
sendiri. Argumen lain menyatakan bahwa dengan melegalkan euthanasia terhadap pasien
dengan keadaan yang tidak dapat disembuhkan, tenaga dan perawatan kesehatan dapat
dialihkan untuk pasien yang memiliki harapan sembuh lebih besar dan memerlukan
perawatan intensif. Argumen tersebut biasanya disebut dengan Right to Die (Hak untuk mati)
dan Palliative (End-of-Life) Care (Meredakan sakit di dalam akhir kehidupannya). Dari
argumen tersebut, keuntungan dari Euthanasia sebaiknya tidak dibenarkan dan tidak
dilakukan berdasarkan pandangan agama, hukum, dan kode etik dari medis yang dijalankan.
Karena banyak hal yang bertentangan dengan euthanasia dan euthanasia bukan termasuk
jalan pintas terakhir yang harus dilakukan (Fuadi, 2015).

D. RESIKO
Euthanasia masih menjadi perdebatan hangat. Beberapa negara sudah melegalkan
suntik mati, tetapi masih lebih banyak yang melarang, termasuk Indonesia. Dari ratusan
negara, hanya sembilan yang sudah melegalkan praktik tersebut, yakni Belanda, Belgia,
Kolombia, Luksemburg, Swiss, German, Jepang, Albania, dan sejumlah negara bagian di
Amerika Serikat (AS). Sebagian besar negara menolak suntik mati karena menganggap
praktik tersebut sama dengan pembunuhan serta bunuh diri. Di sisi lain, argumen untuk
mengizinkan suntik mati biasanya adalah untuk meringankan penderitaan pasien yang sudah
berlangsung menahun.resiko suntik mati lebih sedikit dibanding keuntungannya.dalam sisi
kemanusiaan suntik mati jauh lebih menguntungkan apabila digunakan sebagai metode
eksekusi.namun dari segi agama dan etika kedokteran suntik mati masih diperdebatkan dan
masih banyak pro dan kontra.resiko yang diperoleh apabila euthanasia dilegalkan adalah
semakin berkurangnya rasa syukur dan menghargai hidup ,bahkan angka bunuh diri atau
kematian makin meningkat pada manusia.dalam bidang medis hal ini beresiko untuk tenaga
medis jika dilegalkan karena itu melanggar kode etik medis jika digunakan semena mena atau
tanpa landasan yang sangat genting karena sama saja membantu bunuh diri,akan tetapi beda
halnya jika memang ada satu atau lain hal yang mengharuskan melakukan euthanasia atau
suntik mati.resiko lain juga terdapat dalam aspek hukum,agama,dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, taty, dan Herlina, Nety. 2017. Pro kontra Euthanasia dalam Kehidupan: Masalah
Hukum, Agama, kemanusian Era Milenium. Prosiding Seminar Nasional 20 Program
Pascasarjana Universitas PGRI Palmenbang
Fuadi, I. 2015. Kajian Filosofis Pro dan Kontra Dilarangnya Euthanasia. Tesis. Program
Magister Ilmu Hukum. Universitas Islam Indonesia.
Halim A. 2012. Euthanasia Dalam Perspektif Moral dan Hukum. Jurnal Pemikiran Hukum.
1(1): 1-13.
Paulus, Pingkan. 2013. Kajian Euthanasia Menurut HAM (Studi Banding Hukum Nasional
Belanda). Jurnal Hukum UNSRAT. 21(3):117-132.
Pradjonggo, T. 2016. Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana dan Hak
Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. 1(1): 56-63.
Prakoso. D. dan D. A. Nirwanto. 1984. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prihastuti,I. 2018.Euthanasia dalam Pandangan Etika secara Agama Islam, Medis dan Aspek
Yuridis di Indonesia. Jurnal Filsafat Indonesia. 1(2): 85-90.
Priyanto,A. 2013.Euthanasia Ditinjau Dari Segi Medis dan Hukum Pidana di Indonesia.
Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum. Universitas Hasanuddin.
Rada, Arifin. 2013. Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam Perspektif. 17(2): 108-117.
Soetjipto, H. P. 2015. Konteks dan Konstruksi Sosial Mengenai Kematian Elektif
(Euthanasia). Buletin Psikologi Tahun VIII no.1
Yudaningsih, Lilik. 2015. Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat dari Aspek Hukum Pidana.
Jurnal Ilmu Hukum. 1(1):110-126.

Anda mungkin juga menyukai