Anda di halaman 1dari 3

KONSEP OMNIBUSLAW DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

INDONESIA

Oleh: Rahayu1

Beberapa saat yang lalu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Sofyan Djalil melontarkan ide agar Indonesia mengadopsi
prinsip omnibus bill atau omnibus law dalam penyusunan regulasi. Dengan
pendekatan itu, misalnya, pemerintah dan parlemen tidak harus merevisi
undang-undang (UU) satu per satu, melainkan cukup membuat satu UU baru
yang mengamendemen pasal-pasal dalam beberapa UU sekaligus.2

Jika dikontekskan dengan UU, dalam berbagai tulisan beberapa pakar hukum
memaknai omnibus law ini sebagai UU payung, sementara pakar-pakar
tersebut juga menyadari bahwa konsepsi UU payung tidak dikenal dalam
system perundang-undangan di Indonesia dan UU payung payung tidak
dikenal dalam hierarki peraturan PUU di Indonesia.

Jika dilihat dari definisinya, omnibus law dimulai dari kata omnibus. Kata
omnibus berasal dari bahasa Latin dan berarti untuk semuanya. Di dalam
Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner disebutkan omnibus:
relating to or dealing with numerous object or item at once ; inculding many thing
or having varius purposes. Menyesuaikan dengan definisi tersebut jika
dikontekskan dengan UU maka dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai
permasalahan dalam berbagai UU ke-dalam satu UU. Jika merujuk pada
konsepsi tersebut, apakah omnibus law yang dimaksud tidak sama sekali atau
belum pernah dikenal dalam perundang-undangan kita?

Menurut penulis, konsepsi omnibus law sebagaimana diuraikan diatas,


sebenarnya bukan hal yang baru diterapkan dalam pembentukan PUU di
Indonesia. Sebagai contoh dalam UU yang belum lama terbit yaitu UU No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pada ketentuan
penutupnya UU tersebut mencabut beberapa UU dan beberapa pasal tertentu
dalam suatu undang-undang lainnya. UU tersebut dibuat memang dalam
rangka menyatukan dan menyederhanakan aturan mengenai pemilu yang
sebelumnya diatur dalam 4 (empat) UU antara lain yaitu UU No. 42 tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 15 Tahun
2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum , UU No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Ketentuan

1 Perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya pada Kementerian Hukum dan HAM RI.

2http://kalimantan.bisnis.com/read/20160915/99/584255/uu-tumpang-tindih-bappenas-
usul-indonesia-adopsi-omnibus-law, akses tanggal 9 Januari 2018 Pkl. 11:15
Pasal 57 dan pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh.

UU No. 12 Tahun 2011 mengatur beberapa hal menyangkut pembentukan


suatu peraturan perundang-undangan yang dapat mencabut eksistensi
peraturan perundang-undangan lain baik yang setingkat ataupun lebih
rendah. Hal itu sebagaimana terdapat pada Lampiran II Butir 223 yang
berbunyi “Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui
Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi.” Perihal
pencabutan ini ditempatkan pada ketentuan Penutup suatu peraturan
perundang-undangan.

Dengan penyatuan dan pencabutan beberapa UU tersebut, apakah UU


pemilihan Umum dapat dikatakan sebagai UU payung? Penulis berpendapat,
hal itu tentu tidaklah dapat dikatakan sebagai UU Payung, namun lebih tepat
sebagai UU penggantian. Konsepsi pencabutan sebagaimana dicontohkan
diatas, sangatlah lazim juga terdapat dalam berbagai UU yang ada.

Apabila diteliti, sejauh penulis ketahui, pencabutan dan/atau amandemen


hanya dilakukan terhadap beberapa UU yang memiliki keterkaitan langsung
atau dalam suatu sektor tertentu saja. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari kemungkinan atau potensi permasalahan dalam pelaksanaan,
misalnya tumpang tindih kewenangan. Dalam contoh UU Pemilu, ke-empat UU
yang disatukan dalam UU Pemilu adalah berada dalam lingkup yang sama
yaitu mengatur tentang Pemilihan Umum. Oleh karenanya pencabutan dan
perubahan kedalam suatu UU tersendiri menjadi tidak bermasalah tapi justru
mendorong system pemilu menjadi lebih efektif dan efisien.

Lalu, bagaimana hal-nya jika pencabutan dan perubahan mencakup UU atau


ketentuan pada peraturan perundang-undangan lain yang berada dalam
sektor yang berbeda atau dapat dikatakan berada dalam lingkup kewenangan
menteri yang berbeda (lintas sektor)? Hal ini terkadang memang menimbulkan
kerumitan tersendiri karena adanya egosektoral. Sehingga membutuhkan
komitmen besar pimpinan pemerintahan yaitu Presiden. Pada dasarnya semua
menteri secara konstitusional merupakan pembantu Presiden. Setiap menteri
bertugas menjalankan suatu urusan tertentu dalam pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karenannya, Presiden
berhak mengatur dalam peraturan perundang-undangan prosedur-prosedur
yang dinilai akan mempermudah jalannya urusan pemerintahan tersebut.

Ketentuan omnibus law dalam UU lintas sektor yang dapat dijadikan sebagai
contoh adalah konsepsi pembentukan “pelayanan terpadu satu pintu” (PTSP)
yang diatur dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU
Penanaman Modal). Ketentuan Penutup UU ini pada dasarnya hanya
mencabut 2 (dua) UU yaitu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Namun begitu, di dalam pengaturannya, UU ini sebenarnya menyatukan
konsepsi perizinan terkait penanaman modal yang tersebar dalam berbagai UU
lain yang kewenangannya juga telah berada pada instansi pemerintah yang
berbeda-beda. UU Penanaman Modal mengatur tentang konsepsi koordinasi
kebijakan dan pelaksanaan penanaman modal yang berfungsi untuk
mengoordinasikan kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar
instansi Pemerintah, antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar
instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar pemerintah
daerah dalam sebuah Badan Koordinasi Penanaman Modal yang bertanggung
jawab langsung dibawah Presiden.3 Sehingga permasalahan peralihan
kewenangan dan/atau pelaksanaan berbagai kewenangan yang berbeda
tersebut dapat dilakukan dalam suatu mekanisme koordinasi tertentu.

Contoh lain adalah Uu No. 39 Tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus
(UU KEK). UU ini mengatur fasilitas dan kemudahan yang bersifat khusus
(menyimpangi UU terkait) berupa: fasilitas dan kemudahan perpajakan,
kepabeanan, dan cukai; fasilitas insentif pajak daerah dan retribusi daerah,
fasilitas kemudahan dalam pertanahan, perizinan, keimigrasian, dan investasi,
fasilitas ketenagakerjaan serta fasilitas dan kemudahan lain dari instansi yang
berwenang. Dari UU ini lahir berbagai peraturan pelaksanaan di tingkat
pemerintahan dari berbagai sektor khusus terkait KEK).

==

3
Pasal 27 UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Anda mungkin juga menyukai