(Pengganti target kompetensi yang belum terpenuhi)
Nama : Wulan Tri Mulyani
NIM : P1337420718064 Stase : Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II) Tempat : Puskesmas Bulu
Aktivitas dan Target
No. Waktu Reflektif Dokumentasi Keterampilan Sistem Perkemihan 1. Melakukan irigasi kandung Irigasi kandung kemih adalah salah satu alternatif yang kemih tersedia dalam mengendalikan hematuria pada pasien TUR-Prostat pasca operasi. Irigasi Kandung kemih dengan nacl 0,9% dingin diharapkan dapat Menurunkan angka (prosentase) perdarahan sedang sampai dengan berat, reaksi dingin Kandung kemih Yang dikarenakan cairan Irigasi dapat menjadikan pembuluh darah Yang Terbuka manjadi vasokonstriksi dan kemudian menutup, dengan hal tersebut perdarahan menjadi minimal dan mempercepat proses penyembuhan. Ada perbedaan yang bermakna dilakukannya perlakuan irigasi kandung kemih dengan nacl 0,9% dingi dan nacl 0,9% pada biasa pasien pasca operasi terpentin prostat walaupun mempunyai perbedaan sekitar 15,41 sel / lpb. Sumber: Sugito, dkk. 2013. Efektifitas Irigasi Kandung Kemih Dengan Cairan Nacl 0,9% Dingin Terhadap Hematuria Pada Pasien Post Operasi Tur-Prostat Di Rsd Dr. Soebandi Jember. The Indonesian Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol. 3, No. 2, Juni 2013 2. Melakukan prosedur Bladder training merupakan upaya mengembalikan pola bladder training buang air kecil dengan menghambat atau merangsang keinginan buang air kecil. Melalui tindakan bladder training diharapkan akan mencegah disfungsional, memperbaiki kemampuan untuk menekan urgensi dapat diubah dan secara bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung kemih serta memperpanjang interval berkemih. Intervensi nonfarmakologis keperawatan yang bersifat independent dan dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya inkontinensia urine antara lain dengan bladder training. Metode bladder training diantaranya delay urination dan scheduled urination. Delay urination adalah latihan menahan/menunda untuk berkemih, dilakukan dengan mengklem atau mengikat aliran urine ke urine bag. Sedangkan Scheduled urination adalah pembiasaan berkemih sesuai dengan jadwal yang telah dibuat oleh perawat sesuai terhadap keinginan untuk berkemih. Sumber: Nurhasanah, Teti & Hamzah, Ali. 2017. Bladder Training Berpengaruh Terhadap Penurunan Kejadian Inkontinesia Urine Pada Pasien Post Operasi BPH di Ruang Rawat Inap RSUD Soreang. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan, Vol 5 Nomor 1, September 2017, hal 79 – 91. 3. Melakukan discharge Discharge planning merupakan layanan yang planning pasien gagal ginjal mempersiapkan pasien untuk mendapatkan kontinuitas perawatan, baik dalam proses penyembuhan maupun dalam upaya mempertahankan derajat kesehatan sampai pasien siap kembali ke lingkungan. Discharge planning sebagai bagian dari asuhan keperawatan akan optimal pelaksanaannya apabila didukung oleh pelaksanaan fungsi manajemen yang baik. Kegiatan keperawatan yang berkaitan dengan fungsi manajemen diantaranya adalah perencanaan, pengorganisasian, ketenagaan, pengarahan, dan pengendalian. Sumber: Winarni, Tri, dkk. 2018. Manajemen Discharge Planning Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Di RSUD Kota Salatiga. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol 9 No 2, tahun 2018, hal 65 – 72. 4. Discharge planning pasien Pembesaran prostat jinak atau yang lebih dikenal sebagai BPH benign prostatic hyperplasia (BPH) sering ditemukan pada laki-laki dewasa terutama usia diatas 50 tahun, Keluhan utamanya adalah retensi urin atau sulit untuk berkemih dan itu dirasakan sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, tindakan operatif untuk BPH seperti Trans Urethral Resection of Prostat (TURP). Hampir semua pasien dilepas kateternya dalam kurun waktu 48 jam paska operasi. Kateter yang dibawa pulang disebabkan untuk menghindari adanya komplikasi perdarahan disebabkan faktor resiko pasien seperti perdarahan, untuk mobilisasi dari pasien, ataupun agar pasien dapat langsung pulang tanpa menunggu pencabutan kateter. Kateter akan dilepas ketika kontrol kembali dalam beberapa hari. Sumber: Daniel Mahendrakrisna, dkk. 2016. Faktor Yang Berhubungan Dengan Rawat Inap Pada Pasien Pembesaran Prostat Jinak Di Rumah Sakit Bhayangkara Mataram. Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, volume : 01 – Nomor 02 – Februari 2016 Sistem Muskuluskeletal 5. Melatih mobilisasi pasien Dari data WHO, Penyebab amputasi sangat bervariasi di dengan alat bantu jalan: seluruh di dunia, 3 penyebab utama adalah diseas, kruk, walker, tripot trauma dan conginetal deformitas. Proses rehabilitasi pasien amputasi, dengan meningkatkan mobilitas pasien amputasi dapat dibantu menggunakan alat bantu mobilitas dan prostesi. Alat bantu mobilitas yang sering dipakai pasien amputasi adalah kruk. sangat penting bagi orang dengan disabilitas untuk bisa nyaman menggunakan kruk dengan rasa nyaman. Kruk adalah salah satu alat mobilitas dasar yang digunakan pasien pasca amputasi untuk melakukan mobilitas sehari-hari. Alat bantu mobilitas dapat dengan mudah dan praktis digunakan sehari – hari dalam fungsi mobilitas. Alat bantu mobilitas memunyai fungsi yaitu (1) sebagi kompensasi untuk kondisi tertentu, (2) membantu individu yang mempunya gangguan keseimbangan dan kesetabilan, (3) memberi support pada kondisi kekuatan dan kemampuan tubuh yang menggalami penurunan, (4) mengakomodasi seseorang dengan koordinasi yang buruk, (5) membantu mobiitas pasien amputasi anggota gerak bawah dan (6) rellief, untuk kondisi individu yang sakit saat menumpu dan kondisi fraktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh penggunaan kruk dengan prosthesis pada mobilitas pasien pasca amputasi transtibial. Sumber: Ardesa, Yopi Harwinanda. 2019. Perbedaan Pengaruh Antara Penggunaan Abm Kruk Dengan Prostesis Terhadap Mobilitas Pasien Pasca Amputasi Transtibial. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 8, No 1, Mei 2019, hlm 01-129 6. Melakukan perawatan gibs Prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. Mengurangi dapat dilakukan imobilisasi, (tidak menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak dapat pempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan teknik seperti pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksteral, atau fiksasi internal. Sumber: Gde Rastu Adi Mahartha, dkk. Manajemen Fraktur Pada Trauma Muskuloskeletal. Open Journal System. 7. Melakukan bidai / spalk Penanganan awal pada pasien fraktur bisa dilakukan dengan pembidaian menggunakan spalk (bidai kayu yang dibalut kapas dan verban atau dengan spon dibungkus plastik). Pembidaian menggunakan satu spalk untuk fraktur ekstremitas atas dan tiga spalk untuk fraktur ekstremitas bawah. Pembidaian ini dilakukan untuk imobilisasi sementara dalam menegakkan diagnosis dan sebelum dilakukan tindakan definitif baik operatif maupun non operatif (conservative care). Perbedaan keefektifan pembidaian back slab cast dan spalk dalam menurunkan intensitas nyeri adalah pembidaian back slab cast lebih efektif secara signifikan menurunkan intensitas nyeri pada pasien fraktur ekstremitas bawah. Sumber: Wirawan, Gusti Putu Alik, dkk. Efektifitas Pembidaian Back Slab Cast Dan Spalk Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Fraktur Ekstremitas Bawah. Community of Publishing in Nursing (COPING) volume 5 no 3, ISSN: 2303-1298 8. Discharge planning pasien Fraktur adalah patah tulang atau terganggunya dengan post operasi fraktur kesinambungan jaringan tulang disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur memerlukan perlakuan dengan segera dan tindakan pembedahan adalah salah satu tindakan yang bisa dilakukan. Discharge planning terstruktur yaitu proses persiapan pasien dan keluarga secara fisik dan psikologi untuk dipindahkan ke rumah atau ke suatu lingkungan yang disetujui, menyediakan pengetahuan melalui informasi tertulis dan verbal, dan keterampilan kepada pasien dan pelayanan kesehatan untuk mempertemukan kebutuhan mereka dalam proses pemulangan, mempromosikan tahap kemandirian yang tertinggi kepada pasien dan keluarga dalam memandirikan aktivitas perawatan diri. Discharge planning yang dilakukan menggunakan lefleat dimana materi dalam lefleat ini memuat tentang perawatan luka, latihan gerak, pemenuhan gizi, pengobatan, dan waktu kontrol kembali. Discharge planning biasanya dilakukan di ruangan jika pasien telah diperbolehkan pulang oleh dokter dan perawat akan mempersiapkan kebutuhan pemulangan pasien. Discharge planning diperlukan untuk memberikan motivasi dalam mencapai kesembuhan pasien. Discharge planning sangat diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien di Rumah Sakit, sehingga perlu dipersiapkan oleh perawat dan dilakukan sedini mungkin. Dari penelitian ini, kesimpulannya terdapat pengaruh sebelum dan sesudah dilakukan discharge planning terhadap penurunan kecemasan post orif fraktur. Sumber: Tamsir, La ode, dkk. 2019. Pengaruh Discharge Planning Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Post Orif Fraktur Di Ruang Ortopedi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura. Jurnal Sentani Nursing Journal 2 , 45-51(2) Sistem Endokrin 9. Anamnesa dan pemeriksaan Hipertiroid merupakan sindroma klinis yang terjadi bila fisik sistem endokrin jaringan terpajan dengan jumlah hormon tiroid yang berlebihan karena hiperaktivitas kelenjar tiroid. Hormon tiroid yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid mempunyai efek spesifik terhadap berbagai metabolisme sel, termasuk metabolisme lipid. Sumber: Pratama, Aga. 2014. Hubungan Kadar FT4 dan TSH Serum dengan Profil Lipid Darah pada Pasien Hipertiroid yang Dirawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2009 – 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1) 10. Melakukan pemeriksaan Hipertiroid merupakan sindroma klinis yang terjadi bila fisik kelenjar tyroid jaringan terpajan dengan jumlah hormon tiroid yang berlebihan karena hiperaktivitas kelenjar tiroid. Hormon tiroid yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid mempunyai efek spesifik terhadap berbagai metabolisme sel, termasuk metabolisme lipid. Sumber: Pratama, Aga. 2014. Hubungan Kadar FT4 dan TSH Serum dengan Profil Lipid Darah pada Pasien Hipertiroid yang Dirawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2009 – 2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1) 11. Pemberian injeksi SC (sub Diabetes Mellitus yaitu penyakit kronik ditandai dengan cutan) insulin hiperglikemia akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA 2018). Manifestasi klasik DM adalah polyuria, polydipsia, polyphagia (Black, Hawks, 2014). Pengendalian glukosa darah dengan pengeloalaan dan penatalaksanan edukasi, latihan jasmani, terapi farmakologis, diet dan monitoring glukosa darah. Peran perawat dalam pelayanan pasien dengan DM tipe 2 adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan dan sebagai edukator. Cara mengontrol glukosa darah pasien agar tetap normal adalah dengan monitoring glukosa darah dan menggunakan terapi faramakologis berupa injeksi insulin. Insulin rapid acting merupakan jenis insulin analog kerja cepat dengan onset 5-15 menit dengan waktu puncak 1- 2 jam dengan lama kerja 4-6 jam (Perkeni, 2015). lokasi injeksi juga mempengaruhi kerja insulin, penyerapan insulin paling cepat terjadi di daerah abdomen yang kemudian diikuti oleh daerah deltoid, vastus lateralis dan glukteus. Kesalahan pemberian insulin dapat menyebabkan adanya reaksi hiperglikemia, pusing, palpitasi, berkeringat, lemas dan hipoglikemia. Sumber: Rasyid, Willady. 2019. Efektivitas Waktu Injeksi Insulin Terhadap Kadar Glukosa Darah 2 Jam Setelah Makan Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2. Jurnal Keperawatan Silampari Volume 2, Nomor 2, Juni 2019 e-ISSN: 2581-1975 p-ISSN: 2597-7482, halaman 39 – 52.