Anda di halaman 1dari 6

Pencegahan sekunder

1. Pendiduikan kesehatan lanjutan


Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan pada diri seseorang dengan
maksud untuk mencapai derajat sehat. Tujuan dari pendidikan kesehatan adalah
mengubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat baik pada individu, kelompok, dan
masyarakat.. Proses pembelajaran yang melibatkan interaksi guru sebagai pendidik
dan siswa sebagai peserta didik. Siswa sebagai subjek dalam pembelajaran pendidikan
kesehatan diharapkan mampu menerapkan hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari.
Guru sebagai pendidik seharusnya mampu mewujudkan perubahan perilaku siswa
yang memiliki tanggung jawab terhadap kesehatan diri siswa sendiri. Tanggung jawab
terhadap kesehatan dapat dilihat melalui perilaku siswa dalam kebiasaan (behaviorsm)
pada kehidupan sehari-hari. Perubahan perilaku sehat melalui pendidikan kesehatan
bukan sekedar mentransfer ilmu pengetahuan dan sikap dari guru, tetapi bagaimana
siswa dapat berperilaku dengan mewujudkan keseimbangan antara lingkungan,
perilaku, dan manusia. Pendidikan kesehatan di sekolah dapat diwujudkan melalui
Unit Kesehatan Sekolah (UKS

2. Terapi kerja ( work therapy


a. Pengaruh terapi relaksasi terhadap penurunan tingkat stress kerja pada seseorang
Terapi modalitas pada seseorang yang mengalami stres kerja salah satunya yaitu
relaksasi Benson. Relaksasi dapat digunakan untuk menurunkan stres karena relaksasi
merupakan keterampilan coping yang aktif bila digunakan untuk mengajar individu
tentang kapan dan bagaimana menerapkan tehnik relaksasi didalam kondisi dimana
individu yang bersangkutan mengalami kecemasan (Muis & Setyaningsih, 2009, ¶ 8).
Salah satu teknik respons relaksasi dengan menggunakan metode terapi spiritual yaitu
teknik respons rileksasi yang diperkenalkan oleh Benson yaitu suatu teknik
pengobatan untuk menghilangkan nyeri, insomnia dan kecemasan. Cara pengobatan
ini merupakan spiritual. Teknik pengobatan ini sangat fleksibel dapat dilakukan
dengan bimbingan mentor, bersama-sama maupun sendirian (Setyoadi & Kushariyadi,
2011, hlm.48).
3. Perkampungan rehabilitasi sosial
a. Rehabilitasi sosial berbasis masyarakat bagi korban penyalahgunaan napza
penyalahgunaan Napza cukup tinggi yakni mencapai 2,8% dari jumlah penduduk
rentan. Dalam penanggulangan Korban Napza, masyarakat merupakan unsur penting
dalam upaya rehabilitasi sosial bagi korban narkotika dan semakin dibutuhkan ketika
kapasitas lembaga pemerintah sudah tidak dapat menampung korban Narkotika yang
semakin banyak. Naskah ini merupakan penelitian tentang penyelenggaraan
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat di Yogyakarta. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui kondisi RBM di wilayah tersebut. Data dihimpun dengan teknik (a)
wawancara mendalam, (b) studi dokumentasi, (c) observasi dan (d) diskusi kelompok
terarah (FGD). Hasil studi kasus menunjukkan bahwa RBM telah terbentuk sampai di
tingkat desa, bahkan beberapa RBM telah dijadikan program Desa. Kegiatan RBM
lebih terkonsentrasi pada komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat. Dari
segi jumlah, RBM merupakan suatu kekuatan besar dalam pencegahan
penyalahgunaan Napza yang perlu diperhitungkan dalam penentuan program.
Optimalisasi peran RBM diperlukan peningkatan kapasitas pengurus dan anggota
RBM. Peningkatan kapasitas dimaksud dapat difasilitasi dengan lembaga pendidikan
dan pelatihan yang ada pada instansi sektoral, atau lebih khusus di Balai Besar
Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial.

4. Penyadaran tentang masyarakat


a. Peran masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
(Napza) merupakan bahan yang semakin penting dan dibutuhkan untuk pelayanan
kesehatan bagi negara di dunia. Ditinjau dari perkembangan ilmu dan teknologi
(farmakologi), telah banyak ditemukan berbagai tanaman dan bukan tanaman yang
dapat dijadikan sebagai bahan narkotika, bentuk kemasan, dan pemanfaatannya. Dari
catatan Simanungkalit (2011:31), obat menjadi unsur paling penting dan digunakan
secara terus menerus dalam setiap kebudayaan, evolusi sosial, ekonomi, kesehatan
dan spiritual, dan hanya empat dari 237 negara yang tidak memiliki catatan
penggunaan zat memabukkan.Keberadaan narkotika telah menyumbang
meningkatnya korban penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 1
Angka 15 UU 35/2009 dijelaskan bahwa Penyalah Guna adalah orang yang
menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.Dalam kerangka
pengawasan di tingkat masyarakat, di beberapa desa telah terbentuk satuan tugas
(satgas) anti narkoba. Menurut Untoro (Kepala Dinas Transmigrasi dan Sosial

5. Lembaga rehabilitasi dan pertisipasi masyarakat


A. Rehabilitasi narkotika komponen masyarakatMenimbang:
 a.bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani
rehabilitasi, baik medis maupun rehabilitasi sosial dan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun masyarakat perlu diberikan pembinaan dan ditingkatkan
kemampuannya;
b. bahwa dalam pembinaan dan peningkatan kemampuan terhadap lembaga
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi Pecandu Narkotika, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat diperlukan suatu pedoman,
sehingga tujuan dan sasaran dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dapat terwujud;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional tentang Rehabilitasi
Narkotika Komponen Masyarakat;

Mengingat:  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4967);
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5062);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika;
6. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional;
7. Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan Strategi
Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkotika 2011-2015;
8. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 3 Tahun 2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional;

6. Layanan terapi rumatan meradoran


a. Faktor faktor yangb berhubungan dengan kepatuhan terapi rumatan meradoran
Pada pengguna napza suntik.
penyalahgunaan Napza semakin meningkat dan mengarah kepada penggunaan jarum
suntik tidak steril. Hal ini berisiko terhadap penularan HIV/AIDS, Hepatitis, dan
Tuberkulosis. Upaya pengurangan dampak buruk Napza (harm reduction) dilakukan
untuk mengurangi penggunaan jarum suntik di kalangan Penasun. Terapi rumatan
metadon merupakan salah satu metode Harm reduction yang paling efektif. Metadon
adalah zat opioid sintetik yang memiliki efek sama seperti heroin dan digunakan
dengan cara diminum. Program Terapi Rumatan Metadon di Puskesmas Manahan
Surakarta berjalan sejak tahun 2009, namun kepatuhan pasien mengikuti terapi
Metadon masih rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan
antara tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, motivasi, dukungan keluarga, jarak
tempat pelayanan, efek samping obat, keterjangkauan biaya, dukungan teman, status
pekerjaan, dan pelayanan petugas kesehatan dengan kepatuhan penasun. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian survey analitik dengan pendekatan Cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah Penasun yang tercatat mengikuti terapi
rumatan metadon di Puskesmas Manahan Surakarta. Sampel berjumlah 46 orang,
diambil dengan teknik pengambilan sampel acak. Pengumpulan data dengan
wawancara menggunakan kuesioner. Pengolahan data menggunakan uji Chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara motivasi (p=0,004),
dukungan keluarga (p=0,003), dukungan teman (p=0,001) dengan kepatuhan terapi
metadon. Variabel lain yang terbukti tidak ada hubungan dengan kepatuhan adalah
tingkat pendidikan (p=0,127), tingkat pengetahuan (p=0,149), jarak tempat pelayanan
(p=0,296), efek samping obat (p=0,752), status pekerjaan (p=0,749), dan pelayanan
petugas kesehatan (p=1,000). Disarankan adanya penyebarluasan informasi,
meningkatkan motivasi, dukungan, pemantauan dan konseling bagi penasun agar
patuh mengikuti terapi rumatan metadon.

PENCEGAHAN SEKUNDER
15.deteksi dini hepatitis B dan C
a. Rencana aksi program pencegahan dan pengendalian penyakit
Hepatitis virus yang terdiri dari hepatitis A, B, C, D dan E merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Hepatitis A dan E yang ditularkan
secara fecal oral sering menimbulkan KLB di beberapa wilayah di Indonesia.
Sedangkan Hepatitis B dan C adalah merupakan penyakit kronis yang dapat
menimbulkan sirosis dan kanker hati bagi penderitanya. Saat ini diperkirakan terdapat
28 juta orang dengan Hepatitis B dan 3 juta orang dengan Hepatitis C . Dari 28 juta
yang terinfeksi Hepatitis B ada sebanyak 14 juta (50%) diantaranya yang berpotensi
kronik, dan dari 14 juta tersebut 1.400.000 orang (10%) berpotensi menjadi sirosis
dan kanker hati bila tidak diterapi dengan tepat. Hepatitis B yang disebabkan oleh
virus hepatitis B dapat dicegah dengan imunisasi (baik aktif maupun pasif). Pada
tahap awal infeksi, sebagian besar hepatitis B tidak bergejala sehingga sesorang yang
terinfeksi hepatitis B tidak mengetahui dirinya sudah terinfeksi. Dalam hal
pengendalian Hepatitis maka strategi utama adalah melaksanakan upaya peningkatan
pengetahuan dan kepedulian, pencegahan secara komprehensif, pengamatan penyakit
dan pengendalian termasuk tatalaksana dan peningkatan akses layanan. Untuk itu
kegiatan deteksi dini hepatitis menjadi sangat penting untuk dapat memutus rantai
penularan (terutama dari ibu ke bayi) serta untuk mengetahui sedini 16 Rencana Aksi
Program P2P 2015-2019 (revisi) mungkin seseorang terinfeksi hepatitis dan tindak
lanjut terapinya. Dengan deteksi dini seseorang sapat diterapi lebih awal sehingga
seseorang yang terinfeksi hepatitis dapat meningkat kwalitas hidupnya dan hati tidak
menjadi sirosis atau kanker hati. Perkembangan teknologi dalam tatalaksana hepatitis
C di dunia sangat cepat. Dengan ditemukannya obat baru dalam tatalaksana hepatitis
C ( sobosfovir ) dengan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi, menjadi peluang bagi
program pengendalian hepatitis untuk melaksanakan deteksi dini hepatitis C, terutama
pada kelompok berisiko. Dengan demikian eliminasi Hepattitis B dan C menjadi
mungkin untuk dicapai.
16.Perluasan skrining AIDS

Pandemik HIV dan AIDS telah menyerang disemua negara dengan kecepatan
penularan yang sangat tinggi. Respon yang dimunculkan dari berbagai kalangan
khususnya pemerintah terbukti belum menyaingi kecepatan penyebaran virus tersebut.
Dampaknya, angka kasus baru HIV secara tajam terus dilaporkan mengalami
peningkatan.Sasaran yang akan diatur dalam rancangan Peraturan Daerah ini adalah
menyangkut aspek pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS yang
dilaksanakan secara bersama-sama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
menjamin kualitas hidup ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) tanpa adanya stigma
dan diskriminasi. KPAP (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi) sebagai lembaga
koordinatif telah mengembangkan berbagai bentuk kegiatan yang dimotori oleh
lembaga-lembaga implementer seperti NGO, unit pelaksana teknis pemerintah, dan
lembaga-lembaga swasta lainnya. Kegiatan yang dikembangkan dikategorisasi
menurut tujuan penanggulangan yakni untuk pencegahan bagi masyarakat yang belum
terinfeksi dan untuk peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat yang sudah tertular
HIV dan AIDS

Anda mungkin juga menyukai