Anda di halaman 1dari 27

Appendisitis Perforasi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1 Definisi ..................................................................................................4
2.2 Anatomi..................................................................................................4
2.3 Fisiologi..................................................................................................4
2.4 Epidemiologi .........................................................................................6
2.5 Klarifikasi...............................................................................................6
2.6 Patofisiologi............................................................................................7
2.7 Etiologi...................................................................................................7
2.8 Diagnosis................................................................................................8
2.9 Pemeriksaan Penunjang........................................................................10
2.10 Diagnos Banding.................................................................................11
2.11 Penatalaksanaan...................................................................................12
2.12 Prognosis.............................................................................................13

BAB III LAPORAN KASUS ........................................................................14


3.1 Identitas pasien .....................................................................................14
3.2 Anamnesis.............................................................................................14
3.3 Pemeriksaan Fisik..................................................................................15
3.4 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................17
3.5 Diagnosa................................................................................................18
3.6 Penatalaksanaan.....................................................................................18
3.7 Prognosis...............................................................................................20
BAB IV ANALISA KASUS............................................................................22
BAB V KESIMPULAN...................................................................................24
BAB VI DAFTAR PUSTAKA........................................................................25

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya, tugas presentasi kasus ruangan telah dapat diselesaikan.
Selanjutnya shalawat beserta salam penulis haturkan kepangkuan Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun judul tugas ini adalah “Appendisitis Perforasi” Tugas ini
diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Program Donter Intersip
Indonsia di RSUD Tk II Iskandar Muda Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. Iin
syahputra, Sp. B yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan
dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Penulis tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang
membangun agar tercapai hasil yang lebih baik kelak.

Banda Aceh, Oktober 2021

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Apendik merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm,


dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di
ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan. Apendik dipersarafi oleh saraf
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal (65%), pelvical
(30%), patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%) (R.Putz
dan R.Pabst, 2006). Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, yang
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens. Gejala
klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.1
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal
tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,
peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi
Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark,
dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi

ii
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di
pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau
pinggang.2,3

Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara


berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada
anak kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur
20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4
lebih banyak dari pada wanita. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks
vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit
ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih
sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun. Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada penderita apendisitis meliputi penanggulangan konservatif
apabila tidak ada fasilitas pelayanan bedah dan tatalaksana operatif sebagai
pilihan utama untuk apendisitis.1,4

ii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia 10-30 tahun. Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut
pada kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat. Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai
semua lapisan dinding organ tersebut.4,5

2.2 Anatomi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar
di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar
pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin
menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika
superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari
nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.
Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis
dan parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis berasal
dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis berasal dari
kedua nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks vermiformis mengiringi
saraf simpatis ke segmen medula spinalis thorakal 10 (Moore, 2006). Posisi
apendiks terbanyak adalah retrocaecal (65%), pelvical (30%), patileal (5%),
paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%). Pada 65% kasus, apendiks

ii
terletak intraperitoneal, yang memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di
belakang kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks.1,3 Anatomi apendiks dapat dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Anatomi Apendiks

2.3 Fisiologi Apendiks


Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir
tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada
patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Istilah
usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus
yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam
sistem imun sekretorik di saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks
tidak menimbulkan defek fungsi sistem imun yang jelas.5,6
2.4 Epidemiologi

ii
Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada
anak kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur
20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4
lebih banyak dari pada wanita.2

2.5 Klasifikasi4,6
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah
nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney.
Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks
dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali
dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise
dan demam ringan.
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa

ii
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat
terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri
mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
d. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon
dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang
melekat erat satu dengan yang lainnya.
e. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi
nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal dan pelvikal.
f. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah
gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga
terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik

ii
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat.

2.6 Patofisiologi Apendisitis


Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendistis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan menyebabkan obstruksi
vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang
timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di
daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.3,7

2.7 Etiologi Apendisitis


Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya
disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia
jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor
primer pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan
bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah

ii
awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering
dari sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan
makan.
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari
teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor
lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi
antara lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi
akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda
asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan
juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang
diberikan oleh layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas, selain
itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat
mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga
memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi.2,5

2.8 Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut.
Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena
penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi.
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C tetapi jika
suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi. Pada pemeriksaan fisik yaitu
pada inspeksi di dapat penderita berjalan membungkuk sambil memegangi
perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian
kanan bawah terlihat pada apendikuler abses. Pada palpasi, abdomen biasanya
tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan
hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri.6,7

Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :

ii
1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan
tanda kunci diagnosis.
2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness
(nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan
bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya
dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
3. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
4. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan.
5. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
6. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif,
hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium.

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok pada auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu
dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis
maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur
(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12.

Apendisitis dapat didiagnosis menggunakan skor alvarado yang dapat


dilihat pada tabel 2.1

ii
Tabel 2.1 Gambaran klinis apendisitis akut berdasarkan skor alvarado
Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut:9
Gejala dan tanda:                                                                 Skor
Nyeri berpindah                                                                      1
Anoreksia                                                                               1
Mual-muntah                                                                           1         
Nyeri fossa iliaka kanan                                                          2
Nyeri lepas                                                                             1
Peningkatan suhu > 37,30C                                                     1
Jumlah leukosit > 10x103/L                                                    2
Jumlah neutrofil > 75%                                                          1
________________________________________________
Total skor:                                                                           10
Keterangan Alavarado score :5
  Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
  Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
1 – 4    dipertimbangkan appendicitis akut
                     5 – 6    possible appendicitis tidak perlu operasi
                     7 – 9    appendicitis akut perlu pembedahan
  Penanganan berdasarkan skor Alvarado         :
1 – 4    : observasi
                     5 – 6    : antibiotik
                     7 – 10  : operasi dini

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai
respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganism yang
menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang

ii
lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED)
meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat
apakah terdapat infeksi pada ginjal.2

2. Pemeriksaan Radiologi
a. Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan
diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12
jam untuk dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter spesialis radiologi.
b.Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses
subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi
pleura.

2.10 Diagnosis Banding


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya :
1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual
dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan
diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan hematokrit yang
meningkat.
4. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri perut
bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan
dan infeksi urin.

ii
5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklusmenstruasi. Tidak
ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim
disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvik dan bisa
terjadi syok hipovolemik.
7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada
apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.
8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan
menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis,
hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.5,7

2.11 Penatalaksanaan Apendisitis


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operatif.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang
tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis
perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik.
2. Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi
dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses
apendiks dilakukan drainase.1,6

2.12 Prognosis

ii
Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan
persiapan prabedah, serta stadium penyakit pada waktu intervensi bedah.
Apendisitis tak berkomplikasi membawa mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran
yang mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan pascabedah yang tersedia
saat ini. Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah berkurang dramatis
menjadi 2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi dan tak dapat diterima (10-15%)
pada anak kecil dan orang tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai
dengan intervensi bedah lebih dini.7

ii
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Leni Nurnanti
Umur : 24 tahun
Suku : Aceh
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Lamcot

3.2 ANAMNESIS
3.2.1 Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah

3.2.2 Keluhan Tambahan


Demam, mual dan muntah
3.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 2 minggu
yang lalu, namun memberat dalam 1 hari ini. Awalnya pasien mengeluhkan nyeri
ulu hati, namun kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan
hilang timbul, nyeri terasa semakin berat saat mengangkat barang yang berat dan
pada saat pasien batuk, dan membaik saat pasien membungkuk dan saat pasien
beristirahat. Selama beberapa hari ini pasien juga sering merasa mual dan muntah
sebanyak 2x, muntah berisi cairan dan makanan. Sejak timbulnya gejala, nafsu
makan pasien mulai menurun. Dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien
mengalami demam dan riwayat BAB terakhir 2 hari yang lalu dengan konsistensi
keras. Pasien menyangkal adanya gangguan menstruasi, gangguan saat BAK,
perdarahan, penurunan berat badan.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada

ii
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama seperti
pasien.

3.2.6 Riwayat Kebiasaan Sosial

Pasien memiliki kebiasaan sering membeli makanan di luar dan kurang


suka mengkonsumsi sayur dan buah-buahan.

3.2.7 Riwayat Pengobatan

Paracetamol 3x500 mg, obat lambung ( pasien tidak ingat)

3.3 Pemeriksaan Fisik


1. Status Generalis
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis (GCS 15 E4M6V5)
Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 MmHg
Nadi : 101x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 37,60C
2. Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-/-), ikterus (-/-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+1 cmH2O, limfadenopati (-)

3. PemeriksaanThoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru-hepar : ICS IV dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
Auskultasi : Bunyi pernapasan: vesikuler,

ii
Bunyi tambahan: rhonki-/- wheezing -/-

4. Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Apeks jantung tidak tampak
Palpasi : Apeks jantung tidak teraba
Perkusi :
Batas jantung atas :ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan :ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri :ICS V Lineamidaksilaris sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung :BJ I > BJ II, bising (-/-)

5. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Palpasi : Massa tumor (-), nyeritekan perut kanan bawah (+), hepar
dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)
Auskultasi : Peristaltik (N)

Status lokalis (R. iliaka dextra)


Inpeksi : dalam batas normal
Palpasi : massa (-) nyeri tekan Mc. Burney (+), Rovsing sign (+)
Blumberg sign (+) Obturator sign (+) Dunphy sign (+)

6. Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), (-/-)

Alvarado score

Symptom
1. Migration of pain 1
2. Anorexia 1
3. Nausea-vomiting 1

Signs
1. Tenderness in right lower 2
quadrant
2. Rebound pain 1

ii
3. Elevated of temperature >37,3 1
C

Laboratory
1. Leukocytosis 2
2. Shift to the left 1
Total score 10

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium

HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 14,2 g/Dl 13.0-18.0
Eritrosit 4,79 x 106/mm3 4,4-5,9
Leukosit 15,81mm3 4-10
Hematokrit 45,7% 42-52
Trombosit 339 x 103/mm3 150-450
MCV 83,5 fL 80,0-96,0
MCH 26,9 pg 28-33
MCHC 31,0 % 33-36
RDW-CV 12,0 % 11,5-14,5
MPV 7,2 % 6,5-12,0
HITUNG JENIS
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Eosinofil 0,1 2,0-4,0
Basofil 0,3 % 0-1
Neutrofil 83,2% 40.0-75.0
Limfosit 12.7% 20-40
Monosit 3,7% 3.0-10.0

ii
Kesan : Tampak sesuatu menyerupai tube ±0,73cm

3.5 Diagnosa
Appendisitis Perforasi

3.6 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa

-Tirah baring

-Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit

-Rencana operasi laparotomi

ii
Medikamentosa

- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi Ceftriaxone 1gr/12jam
- Injeksi Ranitidin 50mg/12jam
- Injeksi ketorolac 30mg/8jam

3.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

29 September 2021

S O A P

 Nyeri TD:100/75 Apendisitis IVFD RL 20 gtt/I


perut mmHg perfotasi Inj. Ceftriaxone 1
bawah RR : 20x/ menit gr/12j
 Mual HR : 94x/menit Inj. Ranitidn
Temp : 36,9 50mg/12j
Inj. Keterolac
30mg/8j

30 September 2021

S O A P

 Nyeri TD:120/75 Apendisitis IVFD RL 20 gtt/I


perut mmHg perfotasi Inj. Ceftriaxone 1
bawah RR : 20x/ menit gr/12j
 Mual HR : 92x/menit Inj. Ranitidn

ii
Temp : 36,9 50mg/12j
Inj. Keterolac
30mg/8j

S O A P

 Nyeri TD:120/78mmH Apendisitis IVFD RL 20 gtt/I


perut g perfotasi Inj. Ceftriaxone 1
bawah RR : 20x/ menit gr/12j
berkurang HR : 90x/menit Inj. Ranitidn
Temp : 36,5 50mg/12j
Inj. Keterolac
30mg/8j

PBJ
Cefadroxil 2x1
As. Mefenamat
3x500mg
Ranitidine 2x1

ii
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang dialami
sejak ± 2 minggu SMRS dan memberat sudah 2 hari SMRS. Awalnya pasien
mengaku nyeri di ulu hati kemudian rasa nyeri berpindah keperut bagian kanan
bawah yang disertai dengan keluhan mual dan muntah 2x dan tidak nafsu makan.
Pasien juga mengeluh demam yang dialami sejak 2 hari SMRS. Riwayat buang air
besar terakhir 2 hari yang lalu dengan konsistensi keras, BAK dalam batas
normal.

Dari anamnesis pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak ± 2 minggu
SMRS diawali dari nyeri di ulu hati disertai mual dan muntah. Sesuai teori bahwa
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin
bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri.
Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limf,
terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan
obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene.
Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi,
dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan
yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan
peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan
dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri
jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri
visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic
biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale
sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks
retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Pasien juga mengeluh

ii
demam sudah 2 hari, namun tidak terlalu tinggi. Sesuai teori, demam merupakan
salah satu tanda perforasi apabila terjadi peningkatan suhu diatas 38 C disertai
dengan leukositosis dan gejala peritonitis lainnya dari pemeriksaan fisik.

Pasien riwayat buang air besar terakhir 2 hari yang lalu, dengan
konsistensi keras, BAK dalam batas normal. Penyebab obstruksi yang paling
sering adalah fecalith yang menyebabkan obstruksi pada lumen appendix
sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.

ii
BAB V

KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia 10-30 tahun. Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut
pada kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk
bedah abdomen darurat. Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai
semua lapisan dinding organ tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Gearhart S.L. & Silen W., 2008. Acute Appendicitis and Peritionitis. In:

Wilson J.D. & et al. Principle’s of Internal Medicine Harrison’s 17th edition:

1914 –1915

2. Schwartz SI : Appendix, in Principles of Surgery, 8th ed. New York : Mc


Graw Hill Inc,2009 : 1307-30

3. Ulrich Sack, Birgit Biereder, Tino Elouahidi : Diagnostic value of


blood inflammatory markers for detection of acute appendicitis in children, BMC
Surgery 2006, 6:15

4. V.C. Cappendijk, FW J Hazebroek : The Impact of Diagnostic delay on the


course of Acute Appendicitis , Arch Dis Child 2000 , 83; 64 – 66. Snell R.S.
2007. Appendix. In: Clinical Anatomy by Regions. 8th ed. Wolters

5. Kluwer: Lippincott Williams & Wilkins. p.231-3.Townsend: Appendix,


Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Elsevier Inc, 2008

6. Sjamsuhidayat, R , Wim de Jong : Apendiks Vermiformis , Buku Ajar Ilmu


Bedah , Ed 2 , EGC , 2005 : 639 – 35.2

7. Berger D.H., Jaffe B.M. 2006. The appendix. In F. Charles Brunicardi:


Schwartz Manual Surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill. p.784-99.

26

Anda mungkin juga menyukai