Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebelum sampai pada pembahasan Bahasa Indonesia yang benar dan baik,
terlebih dahulu kita perlu tahu bagaimana standar resmi pembakuan Bahasa
Indonesia. Jika bahasa sudah memiliki baku atau standar yang sudah disepakati
dan diresmikan oleh negara atau pemerintah, barulah dapat dibedakan antara
pemakaian bahasa yang benar dan tidak.

Seperti yang ditulis di buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas) tahun 1988,
pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap
baku itulah yang merupakan bahasa yang benar atau betul.

Bahasa sebagai salah satu sarana komunikasi antar sesama manusia


tentunya bertujuan agar dapat dimengerti oleh manusia lainnya. Meskipun
berbicara dalam satu bahasa yang sama, dalam hal ini Bahasa Indonesia, namun
ragam bahasa yang dipakai tidaklah sama. Masing-masing kelompok
menggunakan ragam yang berbeda.

Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai


sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif.
Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis
pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang
harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu bergam baku (Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, halaman 19).

Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai
sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum tentu harus
benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. Contohnya jika kita
melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik

1
meja, nanti jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku,
“Adik tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”

Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar, yang berarti “pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan
sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul.
Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu ke ragam
bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran” (Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988,
halaman 20).

Kalau kita cermati kutipan-kutipan di atas tentang apa itu bahasa Indonesia
yang baik dan benar, erat sekali ya hubungannya dengan ragam bahasa. Berarti
untuk lebih memahaminya kita juga perlu tahu apa saja ragam bahasa yang ada di
dalam bahasa Indonesia. Sepertinya perlu pembahasan tersendiri mengenai hal itu.
Jadi yang penting dalam masalah “yang baik dan benar” kali ini adalah kita tetap
berbahasa sesuai keadaan, situasi, dengan siapa kita berbicara, dan untuk tujuan
apa kita berbahasa

B.     Rumusan Masalah

1. Apa saja kaidah-kaidah bahasa Indonesia ?


2. Bagaimana memaksimalkan kaidah bahasa Indonesia ?
3. Bagaimana berbahasa yang baik dan benar itu ?
4. Apa ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah dasar bahasa Indonesia itu ?

C.    Tujuan Masalah

1. Mengetahui kaidah-kaidah bahasa Indonesia


2. Memaksimalkan kaidah bahasa Indonesia
3. Mengetahui cara berbahasa yang baik dan benar
4. Mengetahui ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah dasar bahasa Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN
KAIDAH-KAIDAH DASAR BAHASA INDONESIA

A.    Kaidah Bahasa

Ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, tampaknya pengertian
bahasa yang baik dan benar itu belum dipahami oleh sebagian orang. Kedua, ada
anggapan bahwa di mana dan kapan saja berada, kita harus berbicara dengan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apakah memang demikian?

Setiap suksesi kepemimpinan (era Soekarno dan era Soeharto) selalu


diikuti oleh pergantian idiom simbolis (akronim). Dalam memori masyarakat
akronim lebih dikenal dan bertahan daripada kepanjangannya; orang lebih ingat
dan mengenal akronim Kopkamtib, Bakorstranas, DPKSH, Ratih, tetapi tidak
setiap orang ingat kepanjangannya. D. Jupriono: Akronim Birokrasi, Militer, dan
Masyarakat Sipil dalam KBBI

Komoditi sebagai penulisannya yang benar, yang standar atau baku.


Sebaliknya penulisan komoditas kita lupakan, kita tinggalkan karena salah, tidak
bertaat asas pada kaidah EYD yang wajib kita junjung tinggi dalam penegakan
hukum dalam segala bidang kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

Dalam acara yang serius, seperti tayangan berita, kata Remy, diperlukan
bahasa Indonesia yang tertib. “Kemudian dalam acara yang tergolong populer,
menyangkut semua aspek kemasyarakatan, kebudayaan dan kesenian seyogyanya
tidak perlu ada pagar-pagar bahasa yang membuat bahasa menjadi kering, tidak
mengalir, tidak intuitif, tidak hidup, sejauh tentu saja itu tidak merupakan bahasa
yang kasar, tidak santun, dan tidak senonoh menurut kaidah moralitas statistik,”
katanya.

3
Kepatuhan setiap warga negara pada ketetapan yang digariskan oleh Pusat
Bahasa seperti antara lain pembakuan kosa kata, dapat dipandang sebagai
partisipasi aktif yang positif dalam membina terwujudnya bahasa Indonesia yang
baik dan benar.

Di pihak lain, pakar bahasa menyarankan pemakaian bahasa yang sesuai


dengan kaidah, tetapi di pihak lain masyarakat masih terbiasa berbahasa dengan
mengabaikan kaidah bahasa Indonesia. Namun, tidak berarti kesalahan itu kita
biarkan berlarut-larut.

Akan tetapi, tampaknya dalam pemakaian bahasa Indonesia oleh


masyarakat, baik bahasa formal atau bahasa sehari-hari, lisan atau tulisan, selera
“pasar” juga berlaku, terlepas dari baku atau tidaknya.

Memang dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau frasa yang
maknanya samar atau tidak jelas. Betapa sering pejabat Indonesia mengatakan,
“Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, bla bla bla….” Tidak
diinginkan oleh siapa ? Tidak jelas. Apa hal-hal yang tidak diinginkan itu? Juga
tidak jelas.

Perbedaan makna kata betina dengan wanita atau betina dengan


perempuan itu sudah jelas bagi kita. Akan tetapi, apa beda antara wanita dan
perempuan ini yang belum jelas !.Sehubungan dengan kata turunan (derivative
word), kita mengenal gabungan kata yang terbentuk oleh kombinasi bentuk terikat
atau dengan kata turunan atau dengan kata yang diawali huruf kapital/besar dan
dibubuhi tanda hubung. Soehenda Iskar:Kaidah Penulisan Gabungan Kata

Yang mengherankan adalah bahwa dalam tulisan-tulisan surat kabar


hampir selalu hipnotis (adjektiva) dipakai sebagai nomina, atau verba (mestinya:
menghipnosis) dibentuk berdasarkan adjektiva.

Mayoritas penutur bahasa Indonesia sudah kerap mendengar atau


mengenal EYD sebagai akronim dari Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan, tetapi belum memahami sepenuhnya.

4
B.     Memaksimalkan Kaidah Bahasa

Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu
patuh dengan prinsip ’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik
di sini didasarkan pada ukuran kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana
mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik
kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami sebagai ukuran
masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti
almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan
pekerjaannya karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Akibat penguasaan ini, kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya
nalar dan imajinasi menjadi tumpul. Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun
berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa kata para pejabat yang
bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-formalistik.

Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang


betul-betul menjadi ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok
pun bisa mengklaim cara berbahasa mereka lebih baik dan lebih benar dari yang
lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang bahasa adalah milik segenap
lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok masyarakat baik
para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau
masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing.
Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang
menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek
fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk berkomunikasi,
namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan
difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel
namun efisien dan efektif.

Contoh yang sederhana saja adalah awalan ‘pe’. Sejak kecil kita tahu
bahwa awalan pe yang berada di depan kata kerja berarti pelaku atau orang yang
melakukan. Pencuri artinya orang yang mencuri, penulis artinya orang yang
menulis, dan seterusnya. Namun awalan ini hanya digunakan dengan kata-kata

5
yang itu-itu saja, dan jarang digunakan dengan kata-kata lain yang baru. Berapa
banyak di antara kita yang menggunakan kata-kata: pesinetron, pebulutangkis,
pesepakbola, pebasket, pedangdut, pesepeda, pesepaturoda, pemobil, pemotor,
pebecak, dan banyak lagi kata-kata baru yang sebenarnya ada dalam struktur tata
bahasa kita, namun karena kita tidak kreatif, mereka nyaris tidak pernah
meluncur. Pada umumnya kita menggunakan kata-kata: pemain sinetron, pemain
bulutangkis, pemain sepakbola, pemain basket, penyanyi dangdut, pengendara
sepeda, pemakai sepatu roda, pengendara mobil, pengendara motor, dan tukang
becak. Kelihatannya ini masalah sepele. Namun gejala ini merupakan cerminan
dari daya kreativitas yang rendah untuk membuat kata-kata yang sederhana
namun efektif.

Bila pola ini diteruskan kita akan mendapatkan banyak kata untuk
mendapatkan istilah-istilah yang lebih fungsional. Coba, untuk menerjemahkan
kata Inggris timer saja, paling tidak kita butuh dua atau kadang tiga kata:
”penghitung waktu” atau ”alat penghitung waktu”. Kedua istilah ini jelas terlalu
panjang. Mengapa kita tidak memfungsikan awalan pe sehingga kita mendapatkan
kata”pewaktu” artinya yang menentukan waktu yang lebih pendek. Bila awalan
ini kita kombinasikan dengan akhiran an, kita akan mendapatkan kata
”pewaktuan” sebagai ganti ”penentuan waktu” atau ”pemilihan waktu”. Terdengar
aneh? Memang, namun lama kelamaan akan terbiasa. Ketika pertama kali sebuah
kata ditemukan, maknanya sebenarnya dipaksakan secara sistematis bagi para
pendengarnya. Bila mereka menyukainya, maka ia akan diterima dan menjadi
milik bersama. Bila tidak, ia akan hilang begitu saja. Ada negosiasi antara si
pembuat atau penemu kata dengan para pendengarnya.

Kasus awalan pe ini adalah salah satu kasus kecil saja dari sekian banyak
kasus yang ada dalam kebiasaan berbahasa kita yang cenderung monoton dan
tidak kreatif. Inilah sebenarnya makna prinsip bahwa bahasa menunjukkan
bangsa. Prinsip ini tidak hanya bermakna bahwa kita adalah pemakai bahasa yang
berbeda dengan bahasa masyarakat lainnya di dunia, namun juga menyiratkan
bagaimana bahasa yang kita miliki melahirkan sebuah sistem pengetahuan yang
canggih yang dapat mengatasi berbagai persoalan kebahasaan. Dulu kita hanya

6
tahu bahwa untuk adalah kata depan. Namun dengan kombinasi awalan perdan
akhiran an ditemukan kata peruntukan, seperti dalam kalimat, Pembangunan di
Jakarta banyak melanggar peruntukan tanah, kata untuk menjadi konsep yang
canggih.

Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah tulisannya tentang masyarakat


madani, Dawam Rahardjo ”menemukan” kata kesalingan (hormat menghormati,
harga menghargai, sayang menyayangi, cinta mencintai, dst) untuk menyebut
prinsip yang mendasari terbentuknya masyarakat ini. Kata itu ia gunakan untuk
menerjemahkan kata Inggris mutuality. Mungkin kata ini sudah digunakan
sebelumnya oleh orang lain. Namun yang penting adalah munculnya kesadaran
untuk memfungsikan kata-kata Indonesia yang ternyata mampu untuk tampil
ringkas dan padat.

Di samping memfungsikan kaidah-kaidah bahasa yang tidur, kalangan


fungsionalis juga mengusahakan kosa kata bahasa Indonesia dapat dipergunakan
secara luas untuk menerjemahkan kata-kata asing. Tentu kita sadar betapa banyak
kata-kata asing berseliweran di tengah-tengah kita dan kita tidak melakukan apa-
apa. Di bidang media ada headline news, host, presenter, breaking news; di bidang
ekonomi:profit taking, rebound, capital flight, hot money; di bidang cyber media:
down load, browsing,searching, connecting, blogging, dan banyak lagi. Pendek
kata serbuan kata-kata asing terjadi di semua bidang kehidupan. Mungkin ada
ratus bahkan ribuan istilah-istilah asing yang ditelan ’bulat-bulat’ oleh masyarakat
kita. Bila ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin lima sampai sepuluh tahun ke
depan, bahasa Indonesia tidak akan banyak berbeda dengan bahasa Inggris.
Apalagi masyarakat kita—terutama para artis dan penyanyi yang terlanjur merasa
menjadi public figure, padahal sebenarnya adalah figur yang dikenal publik
merasa lebih hebat bila dalam percakapan mereka diselingi kata-kata Inggris
untuk memberi kesan bahwa mereka sering war-wiri ke luar negri
Kalangan fungsionalis menggunakan kata-kata yang ada dalam
perbendaharaan bahasa Indonesia untuk menerjemahkan istilah-istilah asing.
Beberapa tahun yang lalu, kita tentu masih ingat penggunaan istilah “illegal
logging” untuk menyebut praktik pencurian dan penebangan kayu secara liar.

7
Sekarang kita mempunyai istilah “pembalakan liar”. Dan sekarang istilah ini
digunakan secara luas. Munculnya istilah ini menyadarkan kita bahwa ternyata
bahasa Indonesia mampu berfungsi lebih maksimal lagi.

Bicara tentang fungsionalisasi bahasa, mungkin ada baiknya kita


perhatikan sejenak bagaimana kaum pinggiran, anggota masyarakat biasa yang
terdiri dari para supir, kenek, pengojek, pembecak, dan semacamnya, membuat
istilah. Untuk pengecatan seluruh permukaan mobil, mereka punya istilah
menyiram; memotong per agar mobil lebih rendah menceperkan; mengutak-atik
mesin agar mobil berlari kencang mengilik; mobil yang dipercayakan pada
seorang supir batangan. Mereka juga yang menemukan istilah dangdutan,
menikmati pertunjukan musik dangdut; cabutan, pemain dari kampung lain yang
disewa dalam sebuah pertandingan; tarikan, barang yang ditarik dari pemiliknya
karena tidak bisa membayar cicilan; tujuhbelasan, memperingati tujuh belas
agustus; tahunbaruan, memperingati malam tahun baru. Jadi, siapa sebenarnya
yang lebih kreatif?

C.    Berbahasa Yang Baik Dan Benar

Bangsa Indonesia beruntung memiliki bahasa Indonesia yang


berkududukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia digunakan sebagai lambang idendtitas nasional,
lambang kebanggaan nasional, alat pemersatu bangsa dan alat komunikasi
antarsuku bangsa. Sedangkan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia digunakan
sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa administrasi negara, bahasa pengantar di
lembaga pendidikan dan sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan budaya.
Keberhasilan bangsa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara tak terlepas dari
perjuangan pemuda generasi tahun 20-an melalui ikrar Sumpah Pemuda. Ikrar
Sumpah Pemuda merupakan peristiwa penting sebab melibatkan kepentingan
kehidupan nasional dan generasi muda. Sumpah Pemuda juga menyatakan
kebulatan tekad sosial, budaya dan politik yamg menjiwai perjuangan generasi

8
Indonesia pada masa sekarang. Karena itu, Sumpah Pemuda merupakan tonggak
sejarah yang amat penting, baik pada masa itu dan lebih-lebih bagi pertumbuhan
bangsa Indonesia di masa sekarang dan mendatang.

Sumpah Pemuda merupakan jaringan pernyataan kebulatan tekad yang


dijalin oleh tiga unsur yang berkaitan erat dan memiliki hubungan timbal balik.
Tiga unsur tersebut adalah bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu
bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Amran
Halim berpendapat bahwa penghayatan dan penerapan isi dan semangat ketiga
unsur itulah yang dimaksud dengan pembinaan bahasa Indonesia. Dengan kata
lain, pembinaan bahasa Indonesia adalah proses sosial budaya dan kebahasaan
yang bertujuan menempatkan bahasa Indonesia pada kedudukannya yang
terhormat dalam kemasyarakatan bangsa Indonesia. Masalah pembinaan bahasa
Indonesia adalah masalah yang menyangkut pemeliharaan bahasa Indonesia.
Sedangkan salah satu wujud pembinaan bahasa Indonesia adalah terselenggaranya
pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar oleh masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, masalah pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar
adalah masalah nasional Indonesia. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa
cocok dengan situasi pemakaiannya. Ada dua situasi pemakaian bahasa, yaitu
situasi resmi dan tidak resmi. Situasi resmi adalah situasi kebahasaan yang
berkaitan dengan masalah kedinasan, keilmuan, berbicara di depan umum dan
berbicara dengan orang dihormati misalnya mengajar, surat-menyurat, membuat
laporan, karya ilmiah, berbicara dengan atasan dan guru. Pada situasi seperti ini
selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga sebagai alat untuk menyampaikan
gagasan. Karena itu, perlu menggunakan bahasa baku. Sedangkan situasi tidak
resmi adalah pemakaian bahasa dalam pergaulan sehari-hari dengan masalah
pokok keseharian. Obrolan di warung, tawar-menawar di pasar adalah contoh
situasi kebahasaan tidak resmi. Pada situasi seperti ini, bahasa hanyalah
merupakan alat komunikasi. Asal lawan bicara memahami maksud pembicaraan
memadailah bahasa tersebut. Penyimpangan kaidah bukanlah hal yang tercela
benar, asal pelanggaran tidak mengubah makna. Bahkan penyisipan bahasa asing
atau daerah bukanlah suatu hal yang tidak mustahil. Bahasa Indonesia yang benar
adalah bahasa Indonesia yang penggunaannya selalu menaati kaidah bahasa

9
Indonesia (baku). Menurut Suwito, ada beberapa ciri kebahasaan ragam baku
antara lain kebakuan ejaan, peristilahan, kosakata, tata bahasa dan lafal.

Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang tata cara dan
tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan serta
tertib dalam pembentukan istilahnya yang berpedoman kepada pedoman umum
pembentukan istilah bahasa Indonesia. Bahasa baku harus menggunakan kata-kata
baku seperti bagaimana, mengapa, memberi bukannya gimana, kenapa, kasih dan
sebagainya. Selain itu, bahasa baku harus taat asas pada kaidah ketatabahasaan
yaitu konsisten menggunakan hukum diterangkan menerangkan pada
pembentukan kata serta menggunakan subjek predikat dalam pembentukan
kalimat. Pada bahasa lisan, ragam baku bahasa Indonesia adalah ragam bahasa
yang relatif bebas dari atau sesedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa daerah
atau dialek setempat.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah penggunaan


bahasa Indonesia yang sesuai situasinya dan sesuai dengan kaidah bahasa
Indonesia. Berdasar asumsi ini, ada dua syarat utama yang harus dipenuhi
pemakai bahasa Indonesia agar pemakaian bahasa Indonesia-nya baik dan benar.
Syarat tersebut adalah memahami secara baik kaidah bahasa Indonesia dan
memahami benar situasi kebahasaan yang dihadapi. Seseorang yang
menggunakan bahasa baku dalam situasi resmi dan menggunakan ragam tidak
baku dalam situasi tidak resmi adalah orang yang mampu menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar karena sesuai dengan fungsi dan situasinya.

Agar bisa memakai bahasa Indonesia secara baik dan benar, maka perlu
adanya sikap positif para pemakai bahasa Indonesia. Menurut Garvin dan Mathiot,
sikap ini setidaknya mengandung tiga ciri pokok yaitu kesetiaan bahasa,
kebanggaan bahasa dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Kesetiaan adalah
sikap yang mendorong masyarakat untuk mempertahankan kemandirian
bahasanya. Kebanggaan bahasa adalah sikap yang mendorong orang atau
sekelompok menjadikan bahasanya sebagai identitas pribadi atau kelompoknya
sekaligus membedakan dengan yang lain. Sedangkan kesadaran adanya norma

10
adalah sikap yang mendorong penggunaan bahasa secara cermat, korek, santun
dan layak. Kesadaran demikian merupakan faktor yang menentukan dalam
perilaku tutur. Sikap tidak ada gairah untuk mempertahankan kemandirian
bahasanya, mengalihkan kebanggaan kepada bahasa lain yang bukan miliknya dan
sikap tidak memelihara cermat bahasa dan santun bahasanya harus dicegah karena
akan merugikan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia.

Karena itu, sebagai wujud penghargaan dan perhormatan terhadap


pahlawan bangsa yang telah mencetuskan ikrar Sumpah Pemuda, marilah kita
tumbuh kembangkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

D.    Ciri-ciri umum Dan kaidah-kaidah pokok

Bahasa Indonesia mempunyai ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok


tertentu yang membedakannya dengan bahasa-bahasa lainnya di dunia ini, baik
bahasa asing maupun bahasa daerah. Dengan ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah
pokok ini pulalah dapat dibedakan mana bahasa Indonesia dan mana bahasa asing
ataupun bahasa daerah. Oleh karena itu, ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah pokok
tersebut merupakan jati diri bahasa Indonesia. Ciri-ciri umum dan kaidah-kaidah
pokok yang dimaksud adalah antara lain sebagai berikut :

1. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk


menyatakan jenis kelamin. Kalau kita ingin menyatakan jenis kelamin,
cukup diberikan kata keterangan penunjuk jenis kelamin, misalnya:

–   Untuk manusia dipergunakan kata laki-laki atau pria dan perempuan


atau wanita.

–     Untuk hewan dipergunakan kata jantan dan betina.

Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta)
untuk menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk.

11
Contoh: Bahasa Inggris: lion – lioness, host – hostess, steward -stewardness.
Bahasa Arab : muslimin – muslimat, mukminin – mukminat, hadirin – hadirat
Bahasa Sanskerta : siswa – siswi, putera – puteri, dewa – dewi.

Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah
beberapa kata yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta; sedangkan
perubahan bentuk dalam bahasa Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta pun dilakukan
secara leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian, dalam bahasa
Arab, selain kata muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain
mukmin, diserap juga kata mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna
‘datang’, bukan ‘orang yang datang’), diserap juga kata hadirin dan hadirat.
Dalam bahasa Sanskerta, selain dewa, diserap juga dewi; selain siswa diserap juga
siswi. Karena sistem perubahan bentuk dari kedua bahasa tersebut tidak diserap ke
dalam bahasa Indonesia, maka tidaklah mungkin kita menyatakan kuda betina
dengan bentuk kudi atau kudarat; domba betina dengan bentuk kata dombi atau
dombarat. Untuk menyatakan jenis kelamin tersebut dalam bahasa Indonesia,
cukup dengan penambahan jantan atau betina, yaitu kuda jantan, kuda betina,
domba jantan, domba betina. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku dalam bahasa
Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga bahasa Inggris tidan bisa diterapkan ke
dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan, tentu struktur bahasa Indonesia
akan rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia akan terganggu. 

1.  Bahasa Indonesia mempergunakan kata tertentu untuk menunjukkan


jamak. Artinya, bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata
untuk menyatakan jamak. Sistem ini pulalah yang membedakan bahasa
Indonesia dengan bahasa sing lainnya, misalnya bahasa Inggris, bahasa
Belanda, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa lain. Untuk menyatakan jamak,
antara lain, mempergunakan kata segala, seluruh, para, semua, sebagian,
beberapa, dan kata bilangan dua, tiga, empat, dan seterusnya; misalnya:
segala urusan, seluruh tenaga, para siswa, semua persoalan, sebagian
pendapat, beberapa anggota, dua teman, tiga pohon, empat mobil.

12
Bentuk boy dan man dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi boys dan men
ketika menyatakan jamak, tidak pernah dikenal dalam bahasa Indonesia. Bentuk
bukus (jamak dari kata buku), mahasiswas (jamak dari mahasiswa), dan penas
(jamak dari pena), misalnya, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia karena
memang bukan kaidah bahasa Indonesia.

1. Bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk kata untuk


menyatakan waktu. Kaidah pokok inilah yang juga membedakan bahasa
Indonesia dengan bahasa asing lainnya. Dalam bahasa Inggris,misalnya,
kita temukan bentuk kata eat (untuk menyatakan sekarang), eating (untuk
menyatakan sedang), dan eaten (untuk menyatakan waktu lampau).
Bentukan kata seperti ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Bentuk
kata makan tidak pernah mengalamai perubahan bentuk yang terkait
dengan waktu, misalnya menjadi makaning (untuk menyatakan waktu
sedang) atau makaned (untuk menyatakan waktu lampau). Untuk
menyatakan waktu, cukup ditambah kata-kaa aspek akan, sedang, telah,
sudah atau kata keterangan waktu kemarin, seminggu yang lalu, hari ini,
tahun ini, besok, besok lusa, bulan depan, dan sebagainya.

1.  Susunan kelompok kata dalam bahasa Indonesia biasanya


mempergunakan hukum D-M (hukum Diterangkan – Menerangkan), yaitu
kata yang diterangkan (D) di muka yang menerangkan (M). Kelompok
kata rumah sakit, jam tangan, mobil mewah, baju renang, kamar rias
merupakan contoh hukum D-M ini. Oleh karena itu, setiap kelompok kata
yang diserap dari bahasa asing harus disesuaikan dengan kaidah ini.
Dengan demikian, bentuk-bentuk Garuda Hotel, Bali Plaza, International
Tailor, Marah Halim Cup, Jakarta Shopping Center yang tidak sesuai
dengan hukum D-M harus disesuaikan menjadi Hotel Garuda, Plaza Bali,
Penjahit Internasional, Piala Marah Halim, dan Pusat Perbelanjaan Jakarta.
Saya yakin, penyesuaian nama ini tidak akan menurunkan prestise atau
derajat perusahaan atau kegiatan tersebut. Sebaliknya, hal inilah yang
disebut dengan penggunaan bahasa Indonesia yang taat asas, baik dan
benar.

13
1. Bahasa Indonesia juga mengenal lafal baku, yaitu lafal yang tidak
dipengaruhi

oleh lafal asing dan/atau lafal daerah. Apabila seseorang menggunakan bahasa
Indonesia lisan dan lewat lafalnya dapat diduga atau dapat diketahui dari suku
mana ia berasal,maka lafal orang itu bukanlah lafal bahasa Indonesia baku.
Dengan kata lain, kata-kata bahasa Indonesia harus bebas dari pengaruh lafal asig
dan/atau lafal daerah. Kesulitan yang dialami oleh sebagian besar pemakai bahasa
Indonesia adalah sampai saat ini belum disusun kamus lafal bahasa Indonesia
yang lengkap. Akibatnya, sampai sekarang belum adapatokan yang jelas untuk
pelafalan kata peka, teras, perang, sistem, elang. Tetapi, pengucapan semangkin
(untuk semakin), mengharapken (untuk mengharapkan), semua (untuk semua),
mengapa (untuk mengapa), thenthu (untuk tentu), therima kaseh (untuk terima
kasih), mBandung (untuki Bandung), dan nDemak (untuk Demak) bukanlah lafal
baku bahasa Indonesia.

14
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Setiap suksesi kepemimpinan (era Soekarno dan era Soeharto) selalu


diikuti oleh pergantian idiom simbolis (akronim). Dalam memori masyarakat
akronim lebih dikenal dan bertahan daripada kepanjangannya; orang lebih ingat
dan mengenal akronim Kopkamtib, Bakorstranas, DPKSH, Ratih, tetapi tidak
setiap orang ingat kepanjangannya. D. Jupriono: Akronim Birokrasi, Militer, dan
Masyarakat Sipil dalam KBBI.

Komoditi sebagai penulisannya yang benar, yang standar atau baku.


Sebaliknya penulisan komoditas kita lupakan, kita tinggalkan karena salah, tidak
bertaat asas pada kaidah EYD yang wajib kita junjung tinggi dalam penegakan
hukum dalam segala bidang kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu
patuh dengan prinsip ’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik
di sini didasarkan pada ukuran kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana
mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik
kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami sebagai ukuran
masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti
almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan
pekerjaannya karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Akibat penguasaan ini, kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya
nalar dan imajinasi menjadi tumpul. Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun
berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa kata para pejabat yang
bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-formalistik.

15
Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang
betul-betul menjadi ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok
pun bisa mengklaim cara berbahasa mereka lebih baik dan lebih benar dari yang
lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang bahasa adalah milik segenap
lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok masyarakat baik
para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau
masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing.
Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang
menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek
fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk berkomunikasi,
namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan
difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel
namun efisien dan efektif.

SARAN

Adapun saran penyusun adalah sebaiknya kita sebagai bangsa Indonesia


harus selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut Ejaan
Yang Disempurnakan. Kita jangan terpengaruh oleh bahasa-bahasa yang menurut
pengamatan penyusun tidak pantas untuk ditiru, seperti bahasa gaul karena bahasa
tersebut hanya untuk bahasa kiasan saja bukan bahasa resmi.

16
DAFTAR PUSTAKA

o Kaidah-bahasa-indonesia.blogspot.com/
o http://ekowidianto.blogspot.com/2010/12/kaidah-bahasa-indonesia-
jati-diri.html

17

Anda mungkin juga menyukai