PENDAHULUAN
Sebelum sampai pada pembahasan Bahasa Indonesia yang benar dan baik,
terlebih dahulu kita perlu tahu bagaimana standar resmi pembakuan Bahasa
Indonesia. Jika bahasa sudah memiliki baku atau standar yang sudah disepakati
dan diresmikan oleh negara atau pemerintah, barulah dapat dibedakan antara
pemakaian bahasa yang benar dan tidak.
Seperti yang ditulis di buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas) tahun 1988,
pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap
baku itulah yang merupakan bahasa yang benar atau betul.
Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai
sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum tentu harus
benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. Contohnya jika kita
melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik
1
meja, nanti jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku,
“Adik tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”
Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar, yang berarti “pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan
sasarannya dan yang di samping itu mengikuti kaidah bahasa yang betul.
Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu ke ragam
bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran” (Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988,
halaman 20).
Kalau kita cermati kutipan-kutipan di atas tentang apa itu bahasa Indonesia
yang baik dan benar, erat sekali ya hubungannya dengan ragam bahasa. Berarti
untuk lebih memahaminya kita juga perlu tahu apa saja ragam bahasa yang ada di
dalam bahasa Indonesia. Sepertinya perlu pembahasan tersendiri mengenai hal itu.
Jadi yang penting dalam masalah “yang baik dan benar” kali ini adalah kita tetap
berbahasa sesuai keadaan, situasi, dengan siapa kita berbicara, dan untuk tujuan
apa kita berbahasa
2
BAB II
PEMBAHASAN
KAIDAH-KAIDAH DASAR BAHASA INDONESIA
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati. Pertama, tampaknya pengertian
bahasa yang baik dan benar itu belum dipahami oleh sebagian orang. Kedua, ada
anggapan bahwa di mana dan kapan saja berada, kita harus berbicara dengan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apakah memang demikian?
Dalam acara yang serius, seperti tayangan berita, kata Remy, diperlukan
bahasa Indonesia yang tertib. “Kemudian dalam acara yang tergolong populer,
menyangkut semua aspek kemasyarakatan, kebudayaan dan kesenian seyogyanya
tidak perlu ada pagar-pagar bahasa yang membuat bahasa menjadi kering, tidak
mengalir, tidak intuitif, tidak hidup, sejauh tentu saja itu tidak merupakan bahasa
yang kasar, tidak santun, dan tidak senonoh menurut kaidah moralitas statistik,”
katanya.
3
Kepatuhan setiap warga negara pada ketetapan yang digariskan oleh Pusat
Bahasa seperti antara lain pembakuan kosa kata, dapat dipandang sebagai
partisipasi aktif yang positif dalam membina terwujudnya bahasa Indonesia yang
baik dan benar.
Memang dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau frasa yang
maknanya samar atau tidak jelas. Betapa sering pejabat Indonesia mengatakan,
“Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, bla bla bla….” Tidak
diinginkan oleh siapa ? Tidak jelas. Apa hal-hal yang tidak diinginkan itu? Juga
tidak jelas.
4
B. Memaksimalkan Kaidah Bahasa
Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu
patuh dengan prinsip ’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik
di sini didasarkan pada ukuran kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana
mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik
kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami sebagai ukuran
masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti
almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan
pekerjaannya karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Akibat penguasaan ini, kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya
nalar dan imajinasi menjadi tumpul. Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun
berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa kata para pejabat yang
bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-formalistik.
Contoh yang sederhana saja adalah awalan ‘pe’. Sejak kecil kita tahu
bahwa awalan pe yang berada di depan kata kerja berarti pelaku atau orang yang
melakukan. Pencuri artinya orang yang mencuri, penulis artinya orang yang
menulis, dan seterusnya. Namun awalan ini hanya digunakan dengan kata-kata
5
yang itu-itu saja, dan jarang digunakan dengan kata-kata lain yang baru. Berapa
banyak di antara kita yang menggunakan kata-kata: pesinetron, pebulutangkis,
pesepakbola, pebasket, pedangdut, pesepeda, pesepaturoda, pemobil, pemotor,
pebecak, dan banyak lagi kata-kata baru yang sebenarnya ada dalam struktur tata
bahasa kita, namun karena kita tidak kreatif, mereka nyaris tidak pernah
meluncur. Pada umumnya kita menggunakan kata-kata: pemain sinetron, pemain
bulutangkis, pemain sepakbola, pemain basket, penyanyi dangdut, pengendara
sepeda, pemakai sepatu roda, pengendara mobil, pengendara motor, dan tukang
becak. Kelihatannya ini masalah sepele. Namun gejala ini merupakan cerminan
dari daya kreativitas yang rendah untuk membuat kata-kata yang sederhana
namun efektif.
Bila pola ini diteruskan kita akan mendapatkan banyak kata untuk
mendapatkan istilah-istilah yang lebih fungsional. Coba, untuk menerjemahkan
kata Inggris timer saja, paling tidak kita butuh dua atau kadang tiga kata:
”penghitung waktu” atau ”alat penghitung waktu”. Kedua istilah ini jelas terlalu
panjang. Mengapa kita tidak memfungsikan awalan pe sehingga kita mendapatkan
kata”pewaktu” artinya yang menentukan waktu yang lebih pendek. Bila awalan
ini kita kombinasikan dengan akhiran an, kita akan mendapatkan kata
”pewaktuan” sebagai ganti ”penentuan waktu” atau ”pemilihan waktu”. Terdengar
aneh? Memang, namun lama kelamaan akan terbiasa. Ketika pertama kali sebuah
kata ditemukan, maknanya sebenarnya dipaksakan secara sistematis bagi para
pendengarnya. Bila mereka menyukainya, maka ia akan diterima dan menjadi
milik bersama. Bila tidak, ia akan hilang begitu saja. Ada negosiasi antara si
pembuat atau penemu kata dengan para pendengarnya.
Kasus awalan pe ini adalah salah satu kasus kecil saja dari sekian banyak
kasus yang ada dalam kebiasaan berbahasa kita yang cenderung monoton dan
tidak kreatif. Inilah sebenarnya makna prinsip bahwa bahasa menunjukkan
bangsa. Prinsip ini tidak hanya bermakna bahwa kita adalah pemakai bahasa yang
berbeda dengan bahasa masyarakat lainnya di dunia, namun juga menyiratkan
bagaimana bahasa yang kita miliki melahirkan sebuah sistem pengetahuan yang
canggih yang dapat mengatasi berbagai persoalan kebahasaan. Dulu kita hanya
6
tahu bahwa untuk adalah kata depan. Namun dengan kombinasi awalan perdan
akhiran an ditemukan kata peruntukan, seperti dalam kalimat, Pembangunan di
Jakarta banyak melanggar peruntukan tanah, kata untuk menjadi konsep yang
canggih.
7
Sekarang kita mempunyai istilah “pembalakan liar”. Dan sekarang istilah ini
digunakan secara luas. Munculnya istilah ini menyadarkan kita bahwa ternyata
bahasa Indonesia mampu berfungsi lebih maksimal lagi.
8
Indonesia pada masa sekarang. Karena itu, Sumpah Pemuda merupakan tonggak
sejarah yang amat penting, baik pada masa itu dan lebih-lebih bagi pertumbuhan
bangsa Indonesia di masa sekarang dan mendatang.
9
Indonesia (baku). Menurut Suwito, ada beberapa ciri kebahasaan ragam baku
antara lain kebakuan ejaan, peristilahan, kosakata, tata bahasa dan lafal.
Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang tata cara dan
tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan serta
tertib dalam pembentukan istilahnya yang berpedoman kepada pedoman umum
pembentukan istilah bahasa Indonesia. Bahasa baku harus menggunakan kata-kata
baku seperti bagaimana, mengapa, memberi bukannya gimana, kenapa, kasih dan
sebagainya. Selain itu, bahasa baku harus taat asas pada kaidah ketatabahasaan
yaitu konsisten menggunakan hukum diterangkan menerangkan pada
pembentukan kata serta menggunakan subjek predikat dalam pembentukan
kalimat. Pada bahasa lisan, ragam baku bahasa Indonesia adalah ragam bahasa
yang relatif bebas dari atau sesedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa daerah
atau dialek setempat.
Agar bisa memakai bahasa Indonesia secara baik dan benar, maka perlu
adanya sikap positif para pemakai bahasa Indonesia. Menurut Garvin dan Mathiot,
sikap ini setidaknya mengandung tiga ciri pokok yaitu kesetiaan bahasa,
kebanggaan bahasa dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Kesetiaan adalah
sikap yang mendorong masyarakat untuk mempertahankan kemandirian
bahasanya. Kebanggaan bahasa adalah sikap yang mendorong orang atau
sekelompok menjadikan bahasanya sebagai identitas pribadi atau kelompoknya
sekaligus membedakan dengan yang lain. Sedangkan kesadaran adanya norma
10
adalah sikap yang mendorong penggunaan bahasa secara cermat, korek, santun
dan layak. Kesadaran demikian merupakan faktor yang menentukan dalam
perilaku tutur. Sikap tidak ada gairah untuk mempertahankan kemandirian
bahasanya, mengalihkan kebanggaan kepada bahasa lain yang bukan miliknya dan
sikap tidak memelihara cermat bahasa dan santun bahasanya harus dicegah karena
akan merugikan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia.
Dalam bahasa asing (misalnya bahasa Ingris, bahasa Arab, dan bahasa Sanskerta)
untuk menyatakan jenis kelamin digunakan dengan cara perubahan bentuk.
11
Contoh: Bahasa Inggris: lion – lioness, host – hostess, steward -stewardness.
Bahasa Arab : muslimin – muslimat, mukminin – mukminat, hadirin – hadirat
Bahasa Sanskerta : siswa – siswi, putera – puteri, dewa – dewi.
Dari ketiga bahasa tersebut yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah
beberapa kata yang berasal dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta; sedangkan
perubahan bentuk dalam bahasa Inggris tidak pernah diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Penyerapan dari bahasa Arab dan bahasa Sanskerta pun dilakukan
secara leksikal, bukan sistem perubahannya. Dengan demikian, dalam bahasa
Arab, selain kata muslim, diserap juga kata muslimin dan muslimat; selain
mukmin, diserap juga kata mukminin dan mukminat; selain hadir (yang bermakna
‘datang’, bukan ‘orang yang datang’), diserap juga kata hadirin dan hadirat.
Dalam bahasa Sanskerta, selain dewa, diserap juga dewi; selain siswa diserap juga
siswi. Karena sistem perubahan bentuk dari kedua bahasa tersebut tidak diserap ke
dalam bahasa Indonesia, maka tidaklah mungkin kita menyatakan kuda betina
dengan bentuk kudi atau kudarat; domba betina dengan bentuk kata dombi atau
dombarat. Untuk menyatakan jenis kelamin tersebut dalam bahasa Indonesia,
cukup dengan penambahan jantan atau betina, yaitu kuda jantan, kuda betina,
domba jantan, domba betina. Oleh karena itu, kaidah yang berlaku dalam bahasa
Arab dan bahasa Sanskerta, dan juga bahasa Inggris tidan bisa diterapkan ke
dalam kaidah bahasa Indonesia. Kalau dipaksakan, tentu struktur bahasa Indonesia
akan rusak, yang berarti jati diri bahasa Indonesia akan terganggu.
12
Bentuk boy dan man dalam bahasa Inggris yang berubah menjadi boys dan men
ketika menyatakan jamak, tidak pernah dikenal dalam bahasa Indonesia. Bentuk
bukus (jamak dari kata buku), mahasiswas (jamak dari mahasiswa), dan penas
(jamak dari pena), misalnya, tidak dikenal dalam bahasa Indonesia karena
memang bukan kaidah bahasa Indonesia.
13
1. Bahasa Indonesia juga mengenal lafal baku, yaitu lafal yang tidak
dipengaruhi
oleh lafal asing dan/atau lafal daerah. Apabila seseorang menggunakan bahasa
Indonesia lisan dan lewat lafalnya dapat diduga atau dapat diketahui dari suku
mana ia berasal,maka lafal orang itu bukanlah lafal bahasa Indonesia baku.
Dengan kata lain, kata-kata bahasa Indonesia harus bebas dari pengaruh lafal asig
dan/atau lafal daerah. Kesulitan yang dialami oleh sebagian besar pemakai bahasa
Indonesia adalah sampai saat ini belum disusun kamus lafal bahasa Indonesia
yang lengkap. Akibatnya, sampai sekarang belum adapatokan yang jelas untuk
pelafalan kata peka, teras, perang, sistem, elang. Tetapi, pengucapan semangkin
(untuk semakin), mengharapken (untuk mengharapkan), semua (untuk semua),
mengapa (untuk mengapa), thenthu (untuk tentu), therima kaseh (untuk terima
kasih), mBandung (untuki Bandung), dan nDemak (untuk Demak) bukanlah lafal
baku bahasa Indonesia.
14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada zaman Orde Baru, kita sebagai pengguna bahasa Indonesia begitu
patuh dengan prinsip ’gunakan Indonesia dengan baik dan benar’. Benar dan baik
di sini didasarkan pada ukuran kebahasaan para penguasa pada waktu itu di mana
mereka nyaris menjadi satu-satunya pihak yang menguasai ranah publik
kebahasaan. Gaya bahasa penguasa pada waktu itu harus dipahami sebagai ukuran
masyarakat umum untuk berbahasa sehingga orang yang berbeda, seperti
almarhum Yus Badudu, pengajar bahasa Indonesia di TVRI, harus meninggalkan
pekerjaannya karena dianggap tidak tahu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Akibat penguasaan ini, kreativitas berbahasa masyarakat menjadi miskin, daya
nalar dan imajinasi menjadi tumpul. Dalam kurun waktu tiga puluh lima tahun
berkuasanya Orde Baru, masyarakat dicekoki kosa kata para pejabat yang
bercerita tentang keberhasilan pembangunan yang serba verbalistik-formalistik.
15
Beberapa tahun belakangan, sejalan dengan reformasi, bahasa sekarang
betul-betul menjadi ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok
pun bisa mengklaim cara berbahasa mereka lebih baik dan lebih benar dari yang
lain. Perkembangan ini jelas positif karena memang bahasa adalah milik segenap
lapisan masyarakat. Kenyataan ini merangsang setiap kelompok masyarakat baik
para jurnalis, aktivis, politisi, ahli hukum, ekonom, seniman, agamawan, atau
masyarakat biasa, untuk mengembangkan gaya bahasa mereka masing-masing.
Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang
menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek
fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk berkomunikasi,
namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan
difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel
namun efisien dan efektif.
SARAN
16
DAFTAR PUSTAKA
o Kaidah-bahasa-indonesia.blogspot.com/
o http://ekowidianto.blogspot.com/2010/12/kaidah-bahasa-indonesia-
jati-diri.html
17