Kegiatan pendidikan selalu melibatkan aspek-aspek yang tidak dapat
dipisahkan dan merupakan kesatuan nilai yang terintegritas, yaitu kejiwaan, kebudayaan, kemasyarakatan, norma-norma, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, dilakukan kajian secara khusus dalam menganalisis dasar-dasar psikologis yang dapat dijadikan landasan teori dan praktek pendidikan, yaitu landasan psikologis pendidikan.
Dalam praktek pendidikan, pendidik akan sering berhadapan dengan
peserta didik yang memiliki kondisi dan potensi yang berbeda-beda. Perbedaan yang mudah dilihat yaitu dari aspek psikologisnya, seperti kemampuan intelektual, afektif, dan psiko-motoriknya. Oleh karena itu perbedaan itu dibahas lebih khusus dengan pendekatan teori psikologi dari beberapa pandangan, serta permasalahan-permasalahan pendidikan yang terjadi.
Pada bagian selanjutnya, penulis menjelaskan tentang situasi pergaulan
pendidikan antara pendidik dan peserta didik. Dalam perkembangannya menuju kedewasaan, setiap peserta didik memiliki potensi untuk berkembang. Peran pendidik terhadap potensi tersebut adalah memahami potensi yang dimiliki oleh peserta didik dan mengarahkan perkembangannya sesuai dengan cita-cita dan tujuan hidupnya. Pemahaman terhadap potensi peserta didik adalah konsekuensi logis bahwa pendidik harus memahami secara teoritis dan filosofis terhadap perkembangan dan aspek psikologis peserta didik dalam rangka tugas mendidik. Yaitu, melakukan pendekatan.
Pendidikan memiliki dimensi tujuan untuk memperbaiki perilaku
(behavior modification, behavior improvement), artinya pendidikan harus menjadikan peserta didik memiliki integritas kepribadian, serta mampu berbuat dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai kesusilaan. Kemudian diperkuat oleh pendapat tokoh pendidik dari Belanda dengan mengadakan pembedaan antara berbagai lapisan perilaku pada berbagai jenis makhluk yang disebut “nevous van gedringen” yaitu lapisan perilaku anorganis, vegetatif, hewani, insani, dan mutlak. Sehingga proses pendidikan dapat berlangsung dalam berbagai jenis dimensi perilaku dan menyangkut aspek kognitif yang sebagian besar dilakukan di sekolah. Sedangkan, aspek afektif,religious, dan kepribadian yang utuh sesuai kata hati, lebih banyak dilakukan di keluarga. Keterampilan yang melibatkan banyak aspek fisik, seperti keterampilan tangan, kaki, dan tubuh yang merupakan gabungan dari seluruh koordinasi tubuh.
Adapun tugas pokok perkembangan yang menurut Robert Havighurst ialah
tugas pada suatu tahap kehidupan seseorang, yang akan membawanya kepada kebahagiaan dan keberhasilan dalam perkembangan berikutnya, jika tahap perkembangan tersebut dijalani dengan berhasil. Begitupun sebaliknya.
Dalam perkembangan pribadi anak harus ada pemahaman, tidak hanya
dengan observasi dan eksperimen, tetapi dengan introspeksi dan empati, kemampuan menempatkan diri dalam pribadi anak agar dunia kejiwaan anak bukan saja dapat dipahami, melainkan dapat diarifi.
Pemahaman terhadap perkembangan agar seorang pendidik dapat
menyesuaikan tindakan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan yang erat kaitannya dengan pengembangan potensi dan berbagai permasalahannya.
Dalam bab ini, dijelaskan pandangan tentang perkembangan psikologis
anak dalam belajar yang diuraikan dalam tiga teori, yaitu kognitivisme, humanisme, dan behaviorisme. Pertama, teori psikologi kognitif (kognitivisme) yang mempunyai pandangan bahwa proses belajar pada manusia melibatkan proses pengenalan yang mempertimbangkan proses kognisi (pengetahuan) yang melibatkan logika ataupun pengalaman yang disebut discovery, sedangkan yang melibatkan kognisi tingkat tinggi disebut intuisi. Para ahli psikologi kognitivisme memandang bahwa perkembangan seseorang mengalami tahap-tahap perkembangan sesuai dengan bertambahnya usia individu. Jean Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognisi dari usia anak dan remaja menjadi empat tahap, yaitu tahap sensorik-motorik, operasi awal, operasi konkrit, dan operasi formal. Peran guru dalam perkembangan kognisi yaitu memahami tahap perkembangan sesuai dengan perkembangan usianya, guru perlu mendiagnosa kesulitan anak dalam belajar, memahami kemampuan anak dalam berpikir, dan tingkat kematangan baik fisik maupun psikis, untuk menyelaraskan dengan teknik pengajaran yang akan digunakan.
Kedua, teori psikologi humanistic (humanisme) yang mengemukakan
bahwa perilaku manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh factor internal, dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuannya. Puncak perkembangan manusia dicapai ketika mampu mengaktualisasikan dirinya, mampu mengembangkan potensinya, dan merasa dirinya utuh, bermakna, dan berfungsi (full functioning person). Humanisme beranggapan bahwa belajar tidak akan terjadi bila factor intelektual dan emosionalnya tidak terlibat di dalamnya. Proses belajar dalam sudut pandang humanisme, menekankan pada pertumbuhan yang seimbang antara kognitif dan afektif daripada aspek isi yang dipelajari. Peranan guru sebagai fasilitator, dengan tujuan agar peserta didik mampu merealisasikan diri dengan mencapai kesadaran dirinya, lingkungan, dan nilai.
Ketiga, teori psikologi behavioristic (behaviourisme) memandang bahwa
perilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan. Ada tiga hal yang mempengaruhi proses belajar seseorang, yaitu stimulus, respon, dan akibat. Tujuan pendidikan menurut aliran behaviorisme adalah berorientasi pada pengembangan kompetensi, penguasaan secara tuntas (mastery) terhadap apa-apa yang dipelajari. Peranan guru dalam proses belajar sebagai pengambil inisiatif dan pengendali proses belajar.
Berdasarkan pembahasan diatas, proses pendidikan melibatkan interaksi
kejiwaan baik peserta didik maupun pendidik dengan adanya pendekatan psikologis yang merupakan upaya mengenali realitas terhadap peserta didik yang mengalami proses belajar dalam rangka proses pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaannya. Pendekatan psikologis berdasarkan teori kognitivisme, humanisme, dan behaviorisme bukannlah merupakan kebenaran yang diyakini sebagai satu-satunya pendekatan, tetapi merupakan asumsi yang perlu dipertimbangkan pelaksanaanya, berkaitan dengan aspek dan efek yang mengikutinya. Upaya pelaksanaan proses pendidikan adalah suatu wibawa dengan nilai dan maksud yang diinginkan sesuai dengan kenyataan. Pendidikan tidak dilaksanakan dalam kepura-puraan, pendidik harus jujur, murni, dan otentik. Sebab pendidik (guru) dituntut untuk berbuat sesuai dengan azas kepatutan, dimana guru selalu dipandang sebagai orang yang digugu dan ditiru. Penjelasan guru tidak hanya fasih dalam kebahasaannya saja, melainkan menjelaskan dengan argumentasi yang rasional sesuai dengan tingkat perkembangan logika peserta didiknya.