Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Geografi Bencana dan Mitigasi
Disusun Oleh :
Nim : 3193331009
2021
1
A. Pengertian Pengurangan Risiko Bencana
Pengurangan risiko bencana (mitigasi) adalah konsep dan praktek mengurangi risiko bencana
melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengurangi faktor-faktor penyebab
bencana. Mengurangi paparan terhadap bahaya, mengurangi kerentanan manusia dan properti,
manajemen yang tepat terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan, dan meningkatkan kesiapan
terhadap dampak bencana merupakan contoh pengurangan risiko bencana.
Pengurangan Risiko bencana (PRB) merupakan suatu kegiatan jangka panjang, sebagai
bagian dari pembangunan berkelanjutan dengan cara menggunakan pengetahuan, dan inovasi
untuk membangun budaya selamat dan tangguh pada semua satuan pendidikan (Fajri, 2019).
Melalui bidang pendidikan diharapkan upaya mengurangi resiko bencana dapat disebarkan
secara menyeluruh dan diperkenalkan sejak dini kepada seluruh peserta didik, tenaga pengajar,
dan masyarakat sekolah baik di dalam kurikulum sekolah maupun dalam kegiatan
ekstrakurikuler. Pengetahuan mengenai pengurangan risiko bencana secara khusus belum
masuk ke dalam kurikulum di Indonesia (Wardani, 2019). Pendidikan untuk pengurangan risiko
bencana alam telah diidentifikasi sebagai masalah inti. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 32 ayat 2, juga telah mengakomodasi
kebutuhan pendidikan bencana dalam terminologi pendidikan layanan khusus, yakni pendidikan
bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
2
termasuk di dalamnya tahapan penanggulangan bencana, hak dan kewajiban masyarakat serta
pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana.
Mitigasi bencana dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi resiko dampak bencana
bagi masyarakat yang berada didaerah rawan bencana maupun yang sedang dilanda bencana
(Tunggali A.P.P.W, Rasyid E, & Rahmawati W, 2019). Mitigasi bencana dapat dilakukan
secara struktural dan non-struktural
Pengurangan Risiko bencana (PRB) merupakan suatu kegiatan jangka panjang, sebagai
bagian dari pembangunan berkelanjutan dengan cara menggunakan pengetahuan, dan inovasi
untuk membangun budaya selamat dan tangguh pada semua satuan pendidikan (Fajri, 2019).
Melalui bidang pendidikan diharapkan upaya mengurangi resiko bencana dapat disebarkan
secara menyeluruh dan diperkenalkan sejak dini kepada seluruh peserta didik, tenaga pengajar,
dan masyarakat sekolah baik di dalam kurikulum sekolah maupun dalam kegiatan
ekstrakurikuler. Pengetahuan mengenai pengurangan risiko bencana secara khusus belum
masuk ke dalam kurikulum di Indonesia (Wardani, 2019). Pendidikan untuk pengurangan risiko
bencana alam telah diidentifikasi sebagai masalah inti. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 32 ayat 2, juga telah mengakomodasi
kebutuhan pendidikan bencana dalam terminologi pendidikan layanan khusus, yakni pendidikan
bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Tujuan dari pengurangan risiko bencana sendiri adalah mengurangi kerugian pada saat
terjadinya bahaya di masa mendatang, mengurangi risiko kematian dan cedera terhadap
penduduk, mencakup pengurangan kerusakan dan kerugian-kerugian ekonomi yang ditimbulkan
terhadap infrastruktur sektor publik. Pengurangan risiko bencana dibagi menjadi 2 jenis, yakni
pengurangan risiko bencana struktural dan yakni pengurangan risiko bencana non-struktural.
3
memprediksi terjadinya gelombang tsunami. Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi
kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan
bencana. Bangunan tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan
sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang
tidak membahayakan apabila bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah
prosedur perancangan struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari
bencana.
Mitigasi non –struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya
tersebut diatas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu
peraturan. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya non-struktural di
bidang kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, capacity
building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagai aktivitas lain yang berguna bagi
penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian dari mitigasi ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh
dan di masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan bencana.
Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural
harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk
memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus diimbangi
4
dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang didukung oleh
rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan tanah longsor pada musim
hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar
diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak
sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang digunakan untuk memprediksi,
mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak
mengganggu keseimbangan lingkungan pada masa depan.
Adapun Strategi Yang Dapat Dilakukan Agar Upaya Mitigasi Bencana Dapat Terkoordinir
Dengan Baik Adalah Sebagai Berikut.
1. PEMETAAN
Pemetaan Menjadi Hal Terpenting Dalam Mitigasi Bencana, Khususnya Bagi Wilayah Yang
Rawan Bencana. Hal Ini Dikarenakan Sebagai Acuan Dalam Membentuk Keputusan Antisipasi
Kejadian Bencana. Pemetaan Akan Tata Ruang Wilayah Juga Diperlukan Agar Tidak Memicu
Gejala Bencana. Sayangnya Di Indonesia Pemetaan Tata Ruang Dan Rawan Bencana Belum
Terintegrasi Dengan Baik, Sebab Memang Belum Seluruh Wilayahnya Dipetakan, Peta Yang
Dihasilkan Belum Tersosialisasi Dengan Baik, Peta Bencana Belum Terintegrasi Dan Peta
Bencana Yang Dibuat Memakai Peta Dasar Yang Berbeda Beda Sehingga Menyulitkan Dalam
Proses Integrasinya.
2. PEMANTAUAN
Pemantauan Hasil Pemetaaan Tingkat Kerawanan Bencana Pada Setiap Daerah Akan Sangat
Membantu Dalam Pemantauan Dari Segi Prediksi Terjadinya Bencana. Hal Ini Akan
Memudahkan Upaya Penyelamatan Saat Bencana Terjadi. Pemantauan Juga Dapat Dilakukan
Untuk Pembangunan Infrastruktur Agar Tetap Memperhatikan AMDAL.
5
3. PENYEBARAN INFROMASI
Penyebaran Informasi Dilakukan Antara Lain Dengan Cara Memberikan Poster Dan Leaflet
Kepada Pemerintah Kabupaten Atau Kota Dan Provinsi Seluruh Indonesia Yang Rawan
Bencana, Tentang Tata Cara Mengenali, Mencegah Dan Penanganan Bencana. Tujuannya Untuk
Meningkatkan Kewaspadaan Terhadap Bencana Geologi Di Kawasan Tertentu. Koordinasi
Pemerintah Daerah Sangat Berperan Dalam Penyebaran Informasi Ini Mengingat Wilayah
Indonesia Yang Sangat Luas.
5. PERINGATAN DINI
Peringatan Dini Untuk Memberitakan Hasil Pengamatan Kontinyu Di Suatu Daerah Yang
Rawan Bencana, Dengan Tujuan Agar Masyarakatnya Lebih Siaga. Peringatan Dini Tersebut
Disosialisasikan Kepada Masyarakat Melalui Pemerintah Daerah Dengan Tujuan Memberikan
Kesadaran Masyarakat Dalam Menghindarkan Diri Dari Bencana. Peringatan Dini Dan Hasil
Pemantauan Daerah Rawan Bencana Berupa Saran Teknis, Pengalihan Jalur Jalan (Sementara
Atau Seterusnya), Pengungsian Dan Saran Penanganan Lainnya.