Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit ini adalah suatu penyakit
infeksi kronis yang disebabkan Mycobacterium Leprae, mikroorganisme yang
mempunyai predileksi pada kulit dan syaraf.1
Karakteristik penyakit ini secara klinis terdiri atas tiga tanda kardinal yaitu lesi
kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai hilangnya sensasi sensoris atau
anestesi, penebalan syaraf perifer dan BTA positif pada apusan kulit atau material
biopsi.1
M. Leprae menginfeksi sel schwan dari saraf perifer sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan menyebabkan disabilitas. M. Leprae pada Negara yang endemis
setelah implementasi multidrug therapy, kasus baru yang dideteksi masih tinggi
menunjukan adanya transmisi yang aktif. Kerentanan terhadap mycobacterium dan
gejala klinis bergantung kepada respon imun penderita. Penderita dengan respon imun
yang baik menunjukan gejala ke arah tipe tuberkuloid, sementara penderita dengan
sistem imun yang buruk menunjukan ke arah tipe lepromatosa.2

2.1. Kusta
2.1.1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium
Leprae yang intraselular obligat. Syaraf perifer sebagai afinitis pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan syaraf pusat.1,3
Lepra adalah penyakit menular kronik yang  berkembang  lambat, disebabkan
oleh Mycobacterium Leprae dan di tandai dengan pembentukan lesi granulomatosa
atau neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ dalam.1
Manifestasinya berupa gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, yang terdiri
dari dua tipe utama, dengan jenis lepromatous pada ujung spektrum dan
tuberkuloid di ujung yang lain, diantara dua tipe ini terdapat tipe borderline, dengan
dua sub tipe, borderline tuberkuloid dan borderline lepromatous.1,2

2.1.2. Epidemiologi
Penyakit kusta dari suatu Benua ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh
dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang telah terkena penyakit
tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan
terbawa oleh orang-orang Cina.1,4
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan
kemungkinan-kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia.1
Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor sosial
ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin subur
penyakit kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan.
Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis
dan subtropis yang panas dan lembab. Ada variasi reaksi terhadap infeksi
Mycobacterium Leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan
lain-lain) di berbagai suku bangsa, rupanya disebabkan oleh faktor genetik yang
berbeda. Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,
daerah trpopis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.4
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi
kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan
prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini
dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000. Jumlah kasus kusta di seluruh dunia
selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar Negara Wilayah
yang endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000
penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
55 Negara atau Wilayah, 91% dari jumlah kasus berbeda di 16 Negara, dan 82%-nya
di 5 Negara (Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan Nigeria). Di Indonesia jumlah
kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga
tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi
Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1.57.5,6
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita.6
Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : 6
1. Usia

2. Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa

3. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti

4. Ras

5. Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

6. Kesadaran sosial

7. Umumnya Negara-negara endemis kusta adalah Negara dengan tingkat


sosial ekonomi rendah.

2.1.3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A
Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakan di
media artifisial. M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan
asam dan alkohol.8

,Gambar 2.1.3.1. Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Zhiel-Neelsen

Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui


dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan melalui
kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan klasik.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M. Leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae terhadap kulit
bergantung pada faktor imunitas seseorang. Bila basil M. Leprae masuk ke dalam
tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut.
Bentuk tipe klinis bergantung kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS
yang baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikangambaran lepromatosa. 10,11
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari otak, dan
yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan
fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila
SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae. 10,11
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak
ada lagi yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteliod
yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel . Apabila SIS rendah
atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau
sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Sebagai proteksi
awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama kompartemen imunologik
bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah satunya adalah berbagai
mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama oleh sel
makrofag. Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk
mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95%individu yang terinfeksi oleh M. Leprae
10,11
tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja.
Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal,maka barulah akan bekerja
mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi
antigen M. Leprae. Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular,
dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan
kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan plak.
Kelainan saraf dapat simetris. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas
selular tinggi,sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah
semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang
tidak  bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang
kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering dan
hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris. 10,11

Gambar 2.1.3.2. Prinsip mekanisme imun spesifik dan nonspesifik

Gambar 2.1.3.3. Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik

Sel Schwann (SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M.leprae
sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat.
Pengikatan  M. Leprae ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi
aksonal. Telah ditunjukkan bahwa  M. Leprae dapat menyerang SS melalui ikatan
spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas
utama pada permukaan M.leprae mengikat laminin-2, yang menjelaskan
kecenderungan bakteri untuk saraf perifer. Identifikasi M.leprae- SC reseptor yang
ditarget,yaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam degenerasi
saraf awal . Mycobacterium Leprae induced demyelination adalah hasil dari ligasi
bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi,dan sinyal MAP
kinase berikutnya dan proliferasi. 8,10,11

Gambar 2.1.3.4. Mekanisme delayed hypersensitivity yang diduga berkaitan dengan


adanya lesi pada kulit sebagai reaksi lepromin.

2.1.4. Gejala klinis


Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada : 1, 5, 9
1. multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae
2. respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae
3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer 
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf,dan membran mukosa. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi
menjadi 'kusta tuberkuloid (paucibacillary),  kusta lepromatosa (penyakit
Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). Penilaian untuk
tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum yaitu lesi kutaneus, neuropati, dan mata.
9

Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula
hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang
pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin
menjadihipoesthetik. Lesi pada bokong sering sebagai indikasi tipe borderline.Tanda-
tanda umum dari neuropati lepra: 5,6
1.  Neuropati sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropati motorik, tapi
neuropati motorik murni dapat juga muncul.
2. Mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna
dan peroneal yang lebih sering terlibat.
3.  Neuropati perifer simetris dapat juga timbul. Gejala dari neuropati lepra
biasanya termasuk berikut
 Anestesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi
kulit yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi
untuk berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris.
 Deformitas yang disebabkan kelemahan dari otot-otot yang diinervasi
oleh saraf perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot
menyusul kelemahan otot).
 Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi,
parestesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri
neuralgia saat saraf memendek atau diregangkan.
 Lepuh yang timbul spontan dan ulkus tropik sebagai konsekuensi dari
hilangnya sensoris.

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam


deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-
tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf,
umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan saraf : 9,10
1.  N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing   kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari,clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis,
kakigantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik
kaki dan kolaps arkus pedis.
6.  N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir (cabang bukal, mandibular
dan servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata ditemukan
di klinik sehari-hari, dengan gejala khas berupa kehilangan sistem sensorik
maupun kelemahan motorik.

Karakter dan distribusi terjadinya gejala tersebut tergantung dari tipe


neuropatinya. Gejala yang terlihat pada suatu reaksi meliputi: 9,10
1. Reaksi reversal ± onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan
munculnya lesi-lesi kulit yang baru.
2. Reaksi ENL ± nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot,
dan mata merah.
3. Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf
perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
yang selanjutnya,menyebabkan kerusakan bagian ± bagian mata lainnya. Secara
sendirian atau bersama-sama akan menyebabkan kebutaan.11

2.1.4. Patogenesis
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan,
kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim. Sumber penularan adalah
kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang
belum diobati atau tidak teratur berobat.8
Bila seseorang terinfeksi Mycobacterium Leprae, sebagian besar (95%) akan
sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% interminate, 30%
bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh.8
Setelah Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa
tunas di lampaui tergantung pada table9 imunitas selular (cellular mediated immune)
pasien. Kalau table9 imunitas selular tinggi, penyakit berkembang table9u
Tuberkuloid dan bila rendah berkembang kearah Lepromatosa.7,8,13

2.1.5. Klasifikasi 1,11,13


Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah table9um Determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
T I : Tuberkuloid Indefinite
BT : Borderlines Tuberculoid
BB: Mid Borderline
BL : Borderline Lepramatous
L I : Lepromatosa Indefinite
LL: Lepramatosa polar, bentuk yang stabil

Tabel 2.1.5.1. Klasifikasi Morbus Hansen

Tipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe


Tuberkuloid Polar, yakni Tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil jadi berarti
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe Lepromatosa Polar, yakni
Lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah
lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti
campuran antara Tuberkuloid dan Lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri
atas 50 % Tuberkuloid Lepromatosa. BB dan Ti lebih banyak Tuberkuloidnya,
sedangkan BL dan Li lebih banyak Lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah
tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.
Multibasiler berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan
Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I. 7,12
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi Multibasiler dan
Pausibasiler. Yang termasuk dalam Multibasiler adalah tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan
Pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.7,12

Tipe PB Tipe MB
1-5 lesi, hipopigmentasi/ Lesi >5, distribusi lebih
1. Lesi Kulit (macula datar, eritema, distribusi tidak simetris, hilanya sensasi
Papul yang meninggi, simetris, hilanya sensasi tidak jelas
Nodul) yang jelas.

2. Kerusakan cabang saraf Hanya satu cabang saraf. Banyak cabang saraf.
(menyebabkan saraf kehilangan
sensasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh sraf yang
terkena)

Tabel 2.1.5.2 Gambaran Klinis menurut WHO

Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi


perubahan. Yang dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley &
Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke
dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan
LL atau apapun. 10
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan gejala.
Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih
sedikit dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan
atau berwarna tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya
berupa makula (datar), papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan
tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada
pinprick atau sentuhan halus. Saraf yang menebal, terutama cabang saraf perifer
merupakan ciri-ciri lepra. Saraf yang menebal biasanya disertai oleh tanda-tanda lain
sebagai hasil dari kerusakan saraf. Ini dapat mengakibatkan berkurangnya sensasi
pada kulit dan kelemahan otot-otot yang dipersarafi oleh saraf yang terserang. Pada
ketidakhadiran tanda-tanda tadi, hanya penebalan saraf, tanpa berkurangnya sensori
dan atau kelemahan otot menjadi tanda yang kurang reliable bagi lepra. Smear pada
kulit dengan hasil positif, pada proporsi kecil dari kasus-kasus, bentuk batang, basil
lepra tercat merah, dimana merupakan diagnostik dari penyakit, dapat terlihat pada
sediaan yang diambil dari kulit yang terinfeksi saat diperiksa dibawah mikroskop
sesudah mengalami pengecatan yang tepat. Seseorang yang menunjukkan kelainan
kulit atau dengan symptom yang mengarah kepada kerusakan saraf, dimana pada
dirinya tanda kardinal tidak didapatkan atau diragukan sebaiknya disebut ‘’suspek
kasus’’. Individu dengan hal tersebut sebaiknya diberitahu tentang fakta-fakta dasar
dari lepra dan disarankan untuk kembali ke pusat kesehatan jika gejala tetap ada
selama lebih dari enam bulan atau jika ditemukan gejala makin memburuk. Suspek
kasus dapat dikirim ke klinik rujukan dengan fasilitas yang lebih baik untuk
diagnosis. 7,8
Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk
menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni:9
1. Lesi kulit yang anestesi
2. P e n e b a l a n s a r a f p e r i f e r
3. Ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif.

Klasifikasi berdasarkan pada sistem klinis yang bertujuan pada pengobatan


terdiri dari penggunaan jumlah dari lesi pada kulit dan saraf yang terlibat sebagai
dasar untuk mengkelompokan pasien lepra kedalam multibasiler lepra(MB) dan
pausibasiler lepra(PB).1,2
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta
menjadi 5 tipe yaitu Tipe tuberculoid- tuberculoid (TT), Tipe borderline tuberculoid
(BT), Tipe borderline- borderline(BB), Tipe borderline lepromatous (BL) dan Tipe
lepromatous-lepromatous (LL) berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologis, dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di
klinik dan untuk pemberantasan. 1,14
Untuk program pengobatan, WHO membaginya atas kelompok Pausibasiler
(PB) dan kelompok multibasiler (MB).Pada tuberkuloid leprosy, tipe lesinya adalah
adanya makula yang hipopigmentasi, anestesi,dengan pinggir yang agak tinggi dan
bervariasi ukurannya dari mm sampai lesi besar yangmenutupi seluruh tubuh. Warna
lesinya adalah eritema atau ungu pada pinggirnya danhipopigmentasi di tengah.
Distribusi lesinya adalah dimana saja termasuk wajah. Keterlibatansaraf yaitu dapat
terjadinya penebalan saraf pada pinggir lesi dan sering terjadi pembesaran saraf
perifer pada nervus Ulnaris.1, 4,6

N. ulnaris - anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari


manis
- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
N. medianus - anestesia pada ujung jari anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah
- tidak masuk aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
- ibu jari kiontraktur
- atrofi otot tenar dan lumbrikalis lateral

N. radialis - anestesia dorsum manus serta ujung proksimal jari


telunjuk
- tangan gantung (wrist drop)
- tidak mampu ekstensi jari-jari dan pergelangan
tangan

N. poplitea lateralis - anestesia tungkai bawah, bagian lateral, dan dorsum


pedis
- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior - anestesia telapak kaki
- claw toes
- paralisis otot intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis
N. fasialis - cabang zigomatik dan temporal menyebabkan
lagoftalmus
- cabang bucal, mandibular, dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir
N.trigeminus - anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata
Tabel 2.1.6.1. kerusakan syaraf akibat lepra

Pemeriksaan Fisik Pada Lepra


o Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik ,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit
maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau
plak,dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central
clearing.

Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi.Dapat


disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan
tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT,
tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi
satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi,kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf
tidak berat dan asimetris.1,7,9
Gambar 2.1.6.2. Lesi tuberculoid leprosy, soliter, anestetic, anular

Gambar 2.1.6.3. Lesi kulit pada Tuberculoid leprosy

Gambar 2.1.6.4.Boderline tuberculoid leprosy, gambaran anular inkomplit dengan


papul satelit
o Boderline Leprosy
Pada tipe BB borderline, merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut
juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid  dan
lepromatous. Terdiri dari makula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas,
jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat
perbentuk  punch out yang khas. Pada tipe ini terjadi anestesia dan
berkurangnya keringat.9

Gambar 2.1.6.5. Lesi kulit pada boderline BB leprosy


o Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan
cepat menyebar ke seluruh badan.Makula lebih bervariasi
bentuknya.Distribusi lesi hampir seimetris.Lesi infiltrat, dan plak seperti
punched out.Tanda-tanda kerusakan saraf berupa berkurangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL, jumlah
lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan halus,
lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like
multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai
dahi, pelipis, dagu,cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit
yang progresif membentuk facies leonine.Kerusakan saraf menyebabkan
stocking and glove anesthesia.1,7,9

Gambar 2.1.6.6. Lesi kulit pada lepromatous leprosy

Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema
dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki.
Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa
abses atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian
ekstensor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
1) Ekstremitas: neuropati sensoris,ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder,
ulnar and peroneal palsies , sendi Charcot.
2) Hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan
deformitas saddle-nose.
3) Mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas
kornea.Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaukoma, pembentukan katarak.
Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan
neuropatisensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot. 4) testis: terjadi
hipogonadisme pada pasien LL.
4) Amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal.

Sifat LL BL BB
Lesi
 Bentuk Makula, infiltrat Makula, plakat, Plakat, dome
difus, papul, nodul, papul shaped, punched
tidak terhitung. out
 Jumlah Praktis tidak ada Sukar dihitung, Dapat dihitung,
kulit sehat masih ada kulit kulit sehat jelas ada
sehat

 Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

 Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar/berkilat


Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
 Batas
Biasanya tak jelas Tak jelas Lebih jelas
 Anestesia
-
BTA
 Lesi kulit Banyak (ada Banyak Ada banyak
globus)
 Sekret hidung Banyak (ada Biasanya negative Negatif
globus)
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Table 2.1.6.7. Gambaran klinis, bakteriologik, imunologik kusta multibasiler (MB)


Tabel 2.1.6.8. Gambaran klinis, bakteriologik, imunologik kusta pausibasiler (PB)

2.1.7. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan
terhadap basil tahan asam, antara lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah
tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua
cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif (yang paling eritematosa
dan infiltratif).
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan
granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan
nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai
dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.
 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP,
 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP,
 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP,
 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP,
 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP,
 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak
emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata
semua lesi yang dibuat sediaan.

2. Imaging Studies
1. Foto thorak 
2. Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
3. MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
4. Ultrasonography dan Doppler ultrasonography
3.Teslainnya 
a. Tes Imunologi Lepromin test
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis
lepra, tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M.leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil
organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari
(Reaksi Fernandez), atau 3-4minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif,
bila terdapat indurasi dan erytema, yang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti Mantoux test (PPD)
pada M. tuberculosis.Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :14
 0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang
 +1 : Papul berdiameter 4-6 mm
 +2 : Papul berdiameter 7-10 mm
 +3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi.
Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang
bernilai prognosis. Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi mitsuda
memiliki kemungkinan klinis lebih baik daripada histologi dari lesi kulit lepra itu sendiri. 

b.Tes serologi
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang
tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan serologik
kusta ialah: 9
 Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)
 Uji ELISA
 ML dipstick (M. leprae dipstick)

4. Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran histopatologik bagi tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata tidak ada basil atau hanya sedikit dan Nonsolid.
Bagi Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone),
ialah suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik,
ada sel Virchow (sel lepra) dengan banyak basil. Bagi tip borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut. 12

2.1.8. Pengobatan
Sejak tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi
ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug
treatment (MDT) untuk kusta baru dimlai pada tahun 1971. Adanya MDT ini adalah
sebagai usaha untuk , mencegah dan mengobati resistensi, memerpendek masa
pengobatan dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Untuk
menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain: efek teraptik obat, efek
samping obat, harga obat dan kemungkinan penerapannya.11,12
DDS
Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Efek samping yang
mungkin timbul antara lain nyeri kepala, Erupsi obat, Anemia Hemolitik, Leukopenia,
Insomnia, Neuropatia Perifer, sindrom DDS, Nekrolisis Epidermal Toksik, Hepatitis,
Hipoalbuminemia, dan Methmoglobinemia.1

Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi dengan
DDS dengan dosisi 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu
ditakutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek
sampingnya. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,
gejala gastrointestinal, flu-like syndrom dan erupsi kulit.9

Klofazimin (lamprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, satau 100 mg selang hari,
atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat dipakai
pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi. Resistensi pertama pada satu
kasus dibuktikan pada tahun 1982 (Kosasih,2003). Efek sampingnya ialah warna
kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal
tersebut disebabkan karena Klofazimin ialah zat warna dan tertimbun ditempat
tersebut. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah
dalam ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi dalam dosis tinggi,
berupa gangguan gastrointestinal (Nyeri Abdomen, Nausea, Diare, Anoreksi, dan
Vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun dihati.
Perubahan warna tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan. 11
Protionamid/etionamid
Dosisnya 5-10mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini tidak
atau jarang dipakai.1

Obat alternatif
Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
Mycobacterium Leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal
yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup
sebesar 99.99%. 1
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk Insomnia, nyeri kepala, Dizziness,
Nercousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan
biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat. 10

Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis stsandar harian
100mg. efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
mengenai kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan
saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan
untuk anak-anak atau selama kehamilan. 10

Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotika makrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium Leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita
kusta lepromatosa dosis harian 500mg membunuh 99.9% dalam 56 hari. Efek
sampingnya adalah Nausea, Vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila
obat ini diberikan dengan dosis 2000mg. 10
Rifampisin ofloxacin Minocyclin
Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg
(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 tahun)

Tabel 2.1.8.1. Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/Depkes
RI

PB dengan lesi 2-5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (release from treatment) yaitu berhenti
minum obat.

Tabel 2.1.8.2. Regimen MDT pada kusta PB

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah
RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5
tahun.
Rifampisin Dapson Lampren
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari 300 mg/bulan
diminum di depan diminum di rumah
petugas kesehatan
Anak-anak (10-14 450 mg/bulan 50 mg/hari 150 mg/bulan
tahun) diminum di depan diminum di rumah diminum di depan
petugas petugas kesehatan
dilanjutkan dengan
50 mg selang sehari
diminum di rumah

Tabel 2.1.8.3. Regimen MDT pada MB

Tabel 2.1.8.4. Regimen MDT Rekomendasi pengobatan lepra

Jika susunan MDT tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO Expert
Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk situasi khusus. Penderita
MByang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten dengan DDS sehingga
hanya bisamendapatkan klofazimin. Dalam hal ini , rejimen pengobatan menjadi
klofazimin 50 mg,ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan
dan lagi selama 8 bulan.
Pengobatan reaksi kusta
1. Pengobatan ENL

Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, yaitu prednisone dengan
dosis 15-30 mg/ hari. Dosis dapat dinaikkan sesuai dengan berat penyakit
dan pada penyakit yang ringan sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Apabila
terdapat perbaikan, dosis kortikosteroid diturunkan secara tapering off.
Selain itu dapat diberikan analgetik-antipiretik dan sedative, dan jika perlu
dirawat inap. Thalidomide merupakan obat pilihan pertama, namun mempunyai
efek teratogenik. Pada saat ini, obat ini sudah tidak diproduksi dan didapat
diIndonesia. Klofazimin dengan dosis 200-300mg/ hari dapat dipakai
untuk  pengobatan ENL. Klofazimin dapat dipakai untuk lepas dari
ketergantungankortikosteroid.ii)Pengobatan reaksi reversalKalau ada neuritis
akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid, yangdosisnya disesuaikan
dengan berat ringan neuritis.
Biasanya diberikan prednisone40-60 mg per hari dan kemudian diturunkan
perlahan-lahan. Anggota gerak yangterkena neuritis akut harus direhatkan .
Analgetik dan sedative kalau diperlukandapat diberikan . Klofazimin untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu
juga talidomid tidak efektif terhadapreaksi reversal.Bila reaksi tidak ditangani
dengan cepat dan tepat maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang
permanen seperti claw hand, drop foot, claw toes, dan kontraktur.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip
pengobatan ReaksiKusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan
sedatif, pemberian obat-obatanti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik
dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1
selama 3-5 hari, danMDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian
analgesik dansedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah,
pemberian obat-obat antireaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat antireaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4
– 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen
(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 mlsecara selang-seling dan dosis
total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karenatoksik.
Thalidomide juga jarang dipakai,terutama pada wanita (teratogenik ).Dosis
400mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.Pemberian
Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison
atau prednisolon. Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih
baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-
lahan (tapering off ).

Gambar 2.1.8.5. Regimen MDT

Pencegahan cacat
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of
disabilities (POD)adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta dan
pengobatan MDT yang cepat dan tepat.Selanjutnya dengan mengenali gejala
dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serat memulai pengobatan
kusta dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapatgangguan
sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana, misalnya memakai sepatu
untuk melindngi kaki yang telah terkena , memakai sarung tangan bila bekerja
dengan benda yangtajam atau panas, dan memakai kacamata untuk
melindnginya. Perawatan kulit sehari-hari juga diajar. Hal ini dimulai dengan
memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelahitu tangan dan kaki
direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.WHO Expert
Committee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHOTechnical
Report Series No.607 (1997) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita
kusta.9,10

Tabel 2.1.8.6. Regimen MDT Klasifikasi cacat

2.1.10. Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan pada
organ tangan.Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan
hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi
kebutaan. Hilangnya hidung dapat terjadipada kasus LL.12

2.1.11. Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan mejadi lebih
sederhana danlebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkuskronik, prognosis menjadi kurang baik.13
DAFTAR PUSTAKA

1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Daili, Sri Linuwih Menaldi.


Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007; 73-88.
2. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah.
IlmuPenyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran
UniversitasIndonesia. 2007; 73-88.
3. Amiruddin, M Dali. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta :
PenerbitHipokrates 2000; 260-271.
4. Dorland, W.A Newman. Kamus Kedokteran Dorland edisi kedua puluh
sembilan.Jakarta: EGC. 2002; 1195
5. Huges, Richard. Epidemiology Of peripheral Neuropathy. Current Opinion
in Neurology: October 1995 - Volume 8 - Issue 5 - ppg 335-338. As seen as source
at :http://journals.lww.com/co-
neurology/Citation/1995/10000/Epidemiology_of_peripheral_neuropathy.1.as
px.Cited on March 4th, 2011.
6. Murray, Rose Ann dkk. Mycobacterium leprae inhibits Dendritic Cell
Activation andMaturation. Available at : www.jimmunol.org . Cited on March
19th, 2011.
7. World Health Organization. WHO Expert Committe on Leprosy Six Report.
WorldHealth Organization, Geneva. 1988
8. Martodihardjo S, Susanto RS. Reaksi Kusta dan Penanganannya. In: Sjamsoe-
DailiES, Menaldi SI, Ismanto SR, Nilasari Hanny, editors. Kusta. 2nd ed.
Balai PenerbitFKUI Jakarta;2003.p.75-82.
9. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius
FKUI.2000; 74-75
10. Fitzpatrick. Thomas B dkk. Leprosy in Color Atlas and Synopsys of
ClinicalDermatology. 7th ed. Singapore : McGraw Hill. 2008; 1794
11. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi
Pemula. 2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-67.
12. Smith D.S.  Leprosy  http://emedicine.medscape.com/article/220455-
overview#a0104, 6 Juli 2011.
13. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of
pathophysiology.http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/. 25 Juli
2012.
14. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old
diseasehttp://legacy.uspharmacist.com/index.asp?
show=article&page=8_1649.htm. 15Disember 2005.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai