Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

Karsinoma Nasofaring

Disusun Oleh:
Brigitte Fani Florencia
11-2016-318

Pembimbing:
dr. Hari Haksono, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 12 JUNI - 22 JULI 2017
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA

1
LAPORAN KASUS

RUMAH SAKIT PUSAT TNI AU Dr. ESNAWAN ANTARIKSA


SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK
Jl. Merpati No. 2, Halim Perdanakusuma Jakarta Timur-13610

Nama Mahasiswa : Brigitte Fani Florencia

NIM : 11.2016.318

Dokter Pembimbing : dr. Hari Haksono, Sp. THT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. DS
Umur : 23 Tahun
Pekerjaan :
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Cipinang Asem RT/RW 004/009, Kebon Pala

Tanggal Masuk RS: 10 Oktober 2017

A. ANAMNESIS
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 10 Oktober 2017
Jam : 11.00 WIB

1. KELUHAN UTAMA : Nyeri pada telinga kanan


2. KELUHAN TAMBAHAN : Hidung tersumbat dan mimisan
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Seorang laki-laki berusia 23 tahun datang ke poliklinik THT RSAU dr.
Esnawan Antariksa dengan keluhan nyeri pada telinga kanan sejak 8 jam
SMRS. Bunyi dengungan seperti bunyi ngung dan tidak berdenyut. Pasien

2
juga mengeluh rasa tidak enak di telinga, seperti terdapat cairan. Pasien
mengaku sulit mendengar pada telinga kirinya. Pasien mengatakan tidak
adanya nyeri telinga, cairan maupun nanah yang keluar dari telinga. Pasien
juga mengeluh sudah batuk dan pilek sejak 3 minggu SMRS dan hidungnya
terasa seperti tersumbat. Sekret yang keluar dari hidung pasien berupa lendir
kental dan tercium seperti bau busuk. Pasien mengeluh mimisan setiap pagi
hari sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluhkan adanya sakit kepala dan
sudah minum bodrex. Gejala membaik setelah minum obat, namun kembali
muncul jika tidak minum obat. Pasien sempat pergi ke puskesmas untuk
mengobati keluhannya, tapi gejala tidak membaik.
Riwayat trauma kepala, benturan pada telinga disangkal. Penggunaan
obat ototoksik seperti streptomisin, garamisin disangkal. Pasien juga
menyangkal adanya benjolan pada leher, gangguan penglihatan, dan nyeri
wajah.

4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien memiliki riwayat batuk pilek menahun yang hilang timbul.
Riwayat alergi, hipertensi, DM, dan asma disangkal.

B. PEMERIKSAAN FISIK
I. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Tekanan Darah :120/80mmHg
Nadi :80 kali per menit
Suhu :36,5o C
Pernapasan :18 kali/menit
Berat Badan :59 kg
Tinggi Badan :159cm

II. TELINGA
Kanan Kiri

Bentuk Daun Telinga Normal Normal

3
Deformitas (-)
Deformitas (-)

Kelainan Kongenital Tidak ada Tidak ada

Radang, Tumor Tidak ada Tidak ada

Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada

Penarikan Daun Tidak ada Tidak ada


Telinga

Kelainan pre-, infra-, Tidak ada Tidak ada


retroaurikuler

Regio Mastoid Tidak ada kelaianan Tidak ada kelaianan

Liang Telinga (+)Lapang, nanah (-), (+) Lapang, nanah (-),


serumen (-), sekret (-), serumen (-),
hiperemis (-), oedem hiperemis (-), oedem
(-)

Valsava Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan


Toyinbee Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Membran Timpani MT intak, hiperemis Sulit dinilai


(-), edema (-), refleks
cahaya (+) jam 7

Rinne (+) (-)

Weber Lateralisasi ke telinga kiri (telinga yang sakit)

III. HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Bentuk : Normal, tidak ada deformitas
Tanda peradangan : Hiperemis (-), Panas (-), Nyeri (-), Bengkak (-)
Vestibulum : Hiperemis -/-, sekret -/-
Cavum nasi : Dextra sempit, Sinistra Lapang, edema (-),

4
hiperemis (-), polip (-)
Konka inferior : Eutrofi/eutrofi
Meatus nasi inferior : Eutrofi/eutrofi
Konka medius : Eutrofi/eutrofi
Meatus nasi medius : Sekret +/+
Septum nasi : Deviasi -/+
Pasase udara : Hambatan -/-
Daerah sinus frontalis : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)
Daerah sinus maksilaris : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

IV. RHINOPHARYNX (RHINOSKOPI POSTERIOR)


Tidak dilakukan

V. PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Kanan Kiri

Sinus frontalis, grade: Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Sinus maksilaris, grade: Tidak dilakukan Tidak dilakukan

VI. TENGGOROK
Pharynx
o Dinding faring : merah muda, hiperemis (+), granular (-)
o Arcus pharynx : simetris kanan-kiri
o Tonsil : T1-T1, hiperemis (+), kripta melebar (-), detritus (-)
o Uvula : simetris di tengah, hiperemis (-)
o Gigi : tidak ada kelainan
o Lain-lain : radang gingiva (-), post nasal drip (-)

Larynx (Laringoskopi)
Tidak dilakukan

VII. LEHER
Kelenjar limfe submandibula : tidak teraba membesar

5
Kelenjar limfe servikal : tidak teraba membesar

VIII. MAKSILO-FASIAL
Parese nervus cranial : tidak ada
Bentuk : deformitas (-); hematom (-)

IX. SARAF

N. III, IV, VI : nystagmus (-/-), diplopia (-), gerakan bola mata halus, jerky
(-)

N. V : m. temporal dan m. masseter kuat, reflex kornea (+/+),


sensibilitas wajah baik

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan endoskopi telinga :
 Kanalis auricularis externus telinga kiri lapang, nanah (-), serumen (+), hiperemis
(-), edema (-), partikel jamur (-)
 Membran timpani intak dengan reflex cahaya (+) di jam 5, jaringan granulasi (-)

Pemeriksaan endoskopi hidung:


 Ditemukan adanya septum deviasi, cavum nasi dextra menyempit, cavum nasi
sinistra lapang, polip (-), sekret (+/+)
 Ditemukan adanya massa berwarna putih di nasofaring

Pemeriksaan Laboratorium:

1. Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin : 13,4 g/dl
Leukosit : 9200 mm3
Hematokrit : 41%
Trombosit : 427000/mm3
Waktu Pendarahan : 3 menit
Waktu Pembekuan : 5 menit
2. Kimia
Ureum : 37 mg/dl

6
Kreatinin : 0,8 mg/dl
Glukosa sewaktu : 103 mg/dl

Pemeriksaan Radiologi:
Foto thorax PA: Tidak tampak proses aktif pada paru-paru, Cor dalam batas normal,
Sinus dan diafragma baik (Kesan normal)

D. RESUME
Dari anamnesis didapatkan seorang laki-laki berusia 61 tahun datang
dengan keluhan telinga kiri berdengung seperti bunyi ngung dan tidak berdenyut sejak
2 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh rasa tidak enak di telinga, seperti terdapat
cairan dan sulit mendengar pada telinga kirinya. Pasien juga mengeluh sudah batuk
dan pilek sejak 3 minggu SMRS dan hidungnya terasa seperti tersumbat. Sekret yang
keluar dari hidung pasien berupa lendir kental dan tercium seperti bau busuk. Pasien
mengeluh mimisan setiap pagi hari sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluhkan
adanya sakit kepala dan sudah minum bodrex.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan, liang telinga kiri dan kanan lapang,
tidak hiperemis, tidak edema, dan tidak ada sekret. Pada pemeriksaan penala, tes rinne
pada telinga kanan (+), telinga kiri (-). Kemudian pada pemeriksaan weber didapatkan
laterisasi ke kiri (telinga yang sakit). Pemeriksaan ini menunjukan adanya tuli
konduktif pada telinga kiri. Telinga kanan dalam batas normal.
Pemeriksaan pada hidung, bentuk hidung dalam batas normal, terdapat
septum deviasi ke kanan sehingga cavum nasi kanan sempit, sedangkan kiri luas.
Didapatakan sekret (+) bercampur darah dan berbau. Tidak ada polip maupun massa.
Pada endoskopi ditemukan adanya massa bewarna putih di nasofaring.
Pemeriksaan pada tenggorok didapatkan faring sedikit hiperemis dan tonsil T1-T1
hiperemis. KGB leher tidak membesar. Pemeriksaan mata kiri kanan dalam batas
normal.

E. DIAGNOSIS BANDING
Polip Nasi
Angiofibroma nasofaring

F. DIAGNOSIS KERJA
Suspect Karsinoma Nasofaring

7
Dasar diagnosis:

Diagnosis kerja suspect karsinoma nasofaring diambil berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis:

- Rasa berdengung, tidak enak di telinga kiri


- Hidung tersumbat, sekret kental, berbau, dan mimisan

Pemeriksaan fisik telinga:

-Tes rinne AS (-), Tes Weber lateralisasi ke kiri  Tuli konduktif telinga kiri
Pemeriksaan fisik hidung:
-Sekret (+) berbau dan bercampur darah

Pemeriksaan penunjang endoskopi hidung:


-Massa berwarna putih pada daerah nasofaring

G. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan Patologi Anatomi melalui biopsi tumor nasofaring
- Serologi virus Epstein Barr

H. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
 Ciprofloksasin tab 500 mg 2x1 selama 5 hari
 Rhinofed tab 2x1 selama 5 hari
 Dexamethasone tab 2 mg 2x1 selama 5 hari
 Ambroxol sirup 3x1 sendok makan
Non-medikamentosa
 Menjelaskan tujuan dan resiko biopsi
 Kontrol ke poli THT minggu depan

I. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam

8
9
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas (kanker) yang berasal
dari sel epitel nasofaring, bagian atas tenggorokan belakang hidung dan dekat dengan
dasar tengkorak.1 Kejadian KNF masih jarang di temukan di dunia, sekitar 1% dari
seluruh keganasan pada anak.1 Namun di Indonesia, karsinoma nasofaring (KNF)
merupakan kanker daerah kepala leher dengan prevalensi terbanyak. Hampir 60%
tumor ganas kepala dan leher di Indonesia merupakan karsinoma nasofaring,
kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan paranasal, laring, dan tumor ganas
rongga mulut, tonsil dan hipofaring dalam persentase yang sedikit.1
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas
serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg
bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada
leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis
(angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.2
Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam
pencegan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.
Untuk dapat bereperan dalam hal tersebut dokter perlu mengetahui terlebih dahulu
sega aspek dai kanker nasofaring ini, meliputi definisi, anatomi fisiologi nasofaring,
epidemiologi dan etiologi, gejala dan tanda, patofisiologi, diagnosis, komplikasi,
terapi maupun pencegahannya. Penulis berusaha untuk menuliskan semua aspek
tersebut dalam tinjauan pustaka refarat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.

B. Anatomi dan Fisiologi


Interpretasi optimal dari suatu proses malignansi di nasofaring, selain dievaluasi
melalui gejala klinis dan riwayat pasien, juga diperlukan pemahaman mengenai
struktur anatominya. Nasofaring adalah ruang kuboid terbuka yang terletak di bawah
dasar tengkorak pada aspek posterior fossa hidung. Ukurannya 4.0 sampai 5,5 cm
melintang; 2,5-3,5 cm pada dimensi anteroposterior; dan tingginya kira-kira 4,0 cm.3 
Nasopharing berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.4

10
Pembagian daerah nasofaring:3
1. Dinding posterosuperior: daerah setinggi batas palatum durum dan mole
sampai dasar tengkorak
2. Dinding lateral: termasuk fosa rosenmuleri
3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole

Batas nasopharing:4
 Superior : basis kranii
 Inferior : orofaring
 Anterior : kavum nasi melalui choana
 Posterior : vertebra cervicalis II dan III
 Lateral : Muara tuba eustachii, Fossa rosenmulleri

Gambar 1.

Bangunan yang penting pada nasopharing

 Ostium tuba eustachii pars pharyngeal


Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum nasi dan
nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium tuba tidak datar
tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.1,3
 Torus tubarius
 Fossa rosen mulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius.
Fossa rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian epitel dari
epitel kolumnar/ kuboid menjadi epitel pipih. Daerah ini merupakan tempat

11
predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang mematikan nomor 1 di
THT.3
 Fornix nasofaring
Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat tumor
angiofibroma nasopharing
 Adenoid/ Tonsil pharyngeal/ Tonsil lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada
orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi1,3

Nasopharing akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak.

Fungsi nasopharing :
 Sebagai jalan udara pada respirasi
 Jalan udara ke tuba eustachii
 Resonator
 Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:


 Gaya gravitasi
 Gerakan menelan
 Gerakan silia (kinosilia)
 Gerkan usapan palatum molle

C. Histologi
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermaca-macam,
yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel klumnar berlapis, epitel kolumnar
berlapis bersilia, dan epitel kolumner berlapis semu bersilia. Asal tumor ganas
nasofaring adalah tempat peralihan atau celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di
bawahnya.

D. Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan prediksi di foSsa Rosenmuller dan atap nasofaring. Letaknya

12
kadang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital sehingga diagnosa
dini sulit untuk ditegakkan.5
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia.1

E. Epidemiologi

Di Indonesia, 60% tumor ganas kepala leher adalah KNF dan menduduki
urutan kelima dari seluruh keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara,
kelenjar getah bening, dan kulit.1 Di Amerika dan Eropa, prevalensi KNF sangat
sedikit yaitu 0,5 per 100.000 penduduk per tahun dan hanya 1–2% dari seluruh tumor
ganas kepala dan leher. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan
(termasuk Hongkong), dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki
mencapai 20-50/100000 penduduk. per tahun.1,3,6
Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid,
bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai
mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini
telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian
mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan
Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San
Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya
Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan
penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam
dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih
tinggi.5
Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para
kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang
bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran
tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih
mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF),
tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor
13
yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak
tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap
hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya
seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah
nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi
yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.3,5
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat
people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak
mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya.
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah
mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966,
seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta
titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini
sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali
dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai
menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya
virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring
(KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi
lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan
tertentu. Meskipun demikan tetap ada peneliti yang mencoba menghubungkannya
dengan merokok , secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali
dibandingkan dengan bukan perokok (HSU dkk.2009). ditemukan juga bahwa
menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil
dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan
dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah
yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan
gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan
dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina
makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.1,3
Tentang factor genetic telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier
dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu cintoh terkenal di
Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien

14
KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari
pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti
formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan
terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB). Hildesheim dkk
memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan
CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV
yg laten. Seperti pada TPA ( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di
alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari
bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen
EBV di tikus, meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan
mempromosikan pembentukan KNF (genesis).3,7

F. Etiologi dan Patofisiologi


Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel
epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat
bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF,
yaitu:1,3,7

1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten
dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu
sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B
dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d
(CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan
protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang
berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat

15
dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan
dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR
(Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr
dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila
terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus
epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga
sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi
antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel
sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan
LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat
siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam
transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam
amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein
transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C).
Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor
necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel
B dan menghambat respon imun lokal.

2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan
gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin
dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosamin yang

16
mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu
merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang mengandung
formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma
nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

G. Gejala Klinis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat penting dilakukan dalam
mengevaluasi tumor kepala dan leher. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi
semua aspek kepala, wajah, leher, hidung, rongga mulut, dan dasar lidah. Sebaiknya
dilakukan pemeriksaan kaca nasofaring dan laring indirek atau pemeriksaan
nasofaringoskopik serat optik fleksibel. Hindari pemeriksaan yang hanya berfokus
pada daerah tempat tumor berada , tetapi melakukan pemeriksaan seluruh daerah
kepala dan leher.
Gejala atau manifestasi klinis dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu gejala hidung/nasofaring, gejala telinga, gejala tumor di
leher, gejala mata dan gejala saraf.5,8,9
1. Gejala Hidung/Nasofaring
Harus dicurigai adanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
 Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita
usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
 Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih
jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus
paranasal.
 Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari
hidung (epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan
pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.
2. Gejala Telinga
Gejala pada telinga umumnya berupa pendengaran yang berkurang, telinga
terasa penuh seperti terisi air, berdengung (tinitus) dan nyeri (otalgia). Gangguan
pendengaran yang terjadi biasanya berupa tuli hantaran dan terjadi bila ada
perluasan tumor atau karsinoma nasofaring ke sekitar tuba, sehingga terjadi
sumbatan.

3. Gejala Tumor Leher

17
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran terdekat secara
limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini bisa terjadi unilateral
maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring
adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di
dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak.
Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring,
tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan.

4. Gejala Mata
Penderita akan mengeluh penglihatannya berkurang, namun bila ditanyakan
secara teliti, penderita akan menerangkan bahwa ia melihat sesuatu menjadi dua
atau dobel. Jelas yang dimaksud di sini adalah diplopia. Hal ini terjadi karena
kelumpuhan N.VI yang letaknya di atas foramen laserum yang mengalami lesi
akibat perluasan tumor. Keadaan lain yang dapat memberikan gejala mata adalah
karena kelumpuhan N.III dan N.IV, sehingga menyebabkan kelumpuhan mata
yang disebut dengan oftalmoplegia. Bila perluasan tumor mengenai kiasma
optikus dan N.II maka penderita dapat mengalami kebutaan.

5. Gejala Saraf
Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranialis biasanya didahului oleh beberapa
gejala subyektif yang dirasakan sangat menganggu oleh penderita seperti nyeri
kepala atau kepala terasa berputar, hipoestesia pada daerah pipi dan hidung, dan
kadang mengeluh sulit menelan (disfagia). Tidak jarang ditemukan gejala
neuralgia trigeminal oleh ahli saraf saat belum ada keluhan yang berarti. Proses
karsinoma yang lebih lanjut akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika perjalanan
melalui foramen jugulare. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila
sudah mengenai seluruh saraf kranial disebut dengan sindrom unilateral. Dapat
pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah demikian
prognosisnya menjadi buruk.

H. Klasifikasi
Klasifikasi nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan
gambaran histopatologinya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring menggunakan
sisten TNM menurut Union Internationale Contre Center tahun 1992:4,10
 T = Tumor Primer
18
 TO = Tidak tampak tumor
 T1 = Tumor terbatas pada satu lokalisasi (lateral/posterosuperior/atap dan
lain-lain)
 T2 =Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas
didalam rongga nasofaring.
 T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (kerongga hidung atau
orofaring dan sebagainya)
 T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang
tengkorak atau mengenai syaraf-syaraf otak.
 TX = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak jelas
 N = Pembesaran kelenjar getah bening.
 NO = Tidak ada pembesaran
 N1 = Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkan.
 N2 = Terdapat pembesaran kontra/bilateral dan masih dapat digerakkan.
 N3 = Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontra lateral, maupun
bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitarnya.
 M = Metastasis jauh
 M1 = Tidak ada metastasis jauh
 M2 = Terdapat metastasis jauh

Stadium T Nasofaring M
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T1/T2/T3 N1 M0
T3 N0 M0
IV T4 N0/N1 M0
T1/T2/T3/T4 N2/N3 M0
T1/T2/T3/T4 N0/N1/N2/N3 M1

Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma faring dibedakan menjadi


3 tipe menurut WHO. Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan dengan mikroskop
electron dimana karsinoma nasofaring adalah salah satu variasi dari karsinoma

19
epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih dari 70% ahli patologi dan tetap
dipakai hingga saat ini.
Tipe 1.karsinoma sel skuamosa berkeratin,ditandai dengan:2,3,11
a. Adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel mengalami
keratinisasi (diskratosis).
b. Adanya stratifikasi dari sel, terutama pada sel yng terletak di permukaan atau
suatu rongga kistik.
c. Adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin
disebabkan arena sel mengalami pegerutan akibat dehidrasi pada waktu membuat
sediaan.

Tipe 2.karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, ditandai dengan :


a. Masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun
tertur/berjajar.
b. Sering terlihat bentuk plekiform yang mungkin terihat sebagai sel tumor yang
jernih atau terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel.
c. Tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.

Tipe 3 karsinoma tidak berdifrensiasi,ditandai dengan:


a. Susunan sel tumor berbentuk sinsitial.
b. Batas sel atu dengan yang lain suit dibedakan.
c. Sel tumor berbentuk spindle dan beberapa sel mempunyai inti yang hiperkromatik
dan sel ini sering bersifat dominan.
d. Sel tumor tidak memproduksi musin.
Tipe 2 dan 3 biasanya lebih radiosensitive dan memiliki hubungan yang kuat
dengan VEB

20
21
Gambar 2. Stadium karsinoma nasofaring berdasarkan gejala klinik dan radiologi9

Keterangan :

 Stage 0: In situ cancer before the tumor growth


 Stage I: Small tumor confined to nasopharynx
 Stage II: Tumor extending in the local area or any evidence of limited neck
(nodal) disease
 Stage III: A large tumor with or without neck disease, or a tumor with bilateral
neck disease
 Stage IV: Intracranial or infratemporal involvement of tumor, extensive neck
disease, or any distant metastasis

I. Diagnosis

22
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti
serta stadium tumor:
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi),
atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung
atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi
topical dengan xylocain 10%.12,13
 Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsy.
 Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat
daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui
kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui
mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu:11
 Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik,
sedang dan buruk.

23
Gambar 2. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma11

 Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe


ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup
jelas.

Gambar 3. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma


 Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya
batas sel tidak terlihat dengan jelas.

24
Gambar 4. Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang membentuk sarang-
sarang padat (“Regaud type”)

5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic
tersebut adalah:12
 Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor
pada daerah nasofaring
 Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
 Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.

a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

 Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft


tissue technique)
 Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
 Tomogram Lateral daerha nasofaring
 Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi
polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan

25
bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan
tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan
pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke
jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-
kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan
dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk
membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang,
gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang
masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah
ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya
destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

 Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft


tissue technique)
 Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
 Tomogram Lateral daerha nasofaring
 Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat
berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.3

26
J. Diagnosa Banding

1. Angiofibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam


jaringan, yaitu jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan
radiologis dengan menggunakan foto polos didapatkan gambaran massa
jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang
lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi.1
2. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, non ulseratif. Limfoma
yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat daripada di
daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan
munculnya penyakit otitis media serosa.3
K. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu
pencegahan dan pengobatan.4,12

1) Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang
dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan
timbulnya karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah penggunaan
vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan menghindari bahan-bahan atau
polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya karsinoma nasofaring, dan
perbaikan sosial ekonomi.
Penerangan akan cara hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan berbahaya, penyuluhan
mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meingkatka keadaan social-
ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinana
factor penyebab.

2) Pengobatan

Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi,


penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan imunoterapi.
a. Pembedahan

27
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal
(Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson),
tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif.
Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor metastase dengan membuang
kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk membuang kelenjar limfe
permukaan tetapi sulit untuk membuang kelenjar di daerah retrofaring dan
parafaring.

b. Radioterapi

Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya.


Radioterapi dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi. Teleterapi bila
sumber sinar jauh dari tumor dan di luar tubuh penderita. Sedangkan
brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor dan dipasang dalam tubuh
penderita. Teknik penyinaran dengan teleterapi diberikan bila ada perluasan
tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta belum ada metastase
ke kelenjar limfe leher.

c. Obat-obatan Sitostatika

Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal


umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan
sebagai sitostatika tunggal adalah methotrexat, metomycine C, Endoxan,
Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif
dan sinergistik dengan radiasi dan diberikan pada permulaan seri pemberian
radiasi. Obat bisa juga diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai
sandwich terapy.11

Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi,


serta penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak kombinasi
obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: BCMF (Adriamycin,
Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), ABUD (Adriamycin,
Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA (Cyclophosphamide,
Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin).3

d. Imunoterapi

28
Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di
klinik onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan research
dan trial. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan penelitian antara lain
dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC.

e. Obat Antivirus

Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat menghambat


pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr. Obat antivirus ini
penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan EBV carrying
tumor dengan DNA EBV positif .

f. Perawatan paliatif

Perhatian pertama diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.


Mulut terasa kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun
minor sewaktu penyinaran. Menasihati dengan banyak makan dengan kuah,
membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan
mengunyah bahan yang rasa asa sehingga merangsang keluarnya air liur.
Gangguan lain adalah fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan legkap


dimana tumor tetep ada (residu) atau kambuh kembali (residif). Dapat ppula
timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati dan otak.
Pada keadaan tersebut di atas, tidak banyak tindakan medis yang dapat
diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Perawatan paliatif diindikasikan langsung kepada pasien untuk
pengurangan rasa nyeri, mengntrol gejala dan memperpanjang usia. Radiasi
sangat efektif untuk menguragi nyeri akibat metastasis tulang. Pasien
akhirnya meninggal akibat keadaan umumt yang buruk, perdarahan dari
hidung dan nasofaring yang tida dapat dihentikan dan terganggunya fungsi
alat-alat vital akibat metastasis tumor.

J. Follow Up
Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai risiko
terjadinya rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan

29
tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara
5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah
terapi.5

K. Prognosis

Sangat mencolok perbedaan prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) dari


stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk
stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV.5,6

Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :


 Stadium yang lebih lanjut.

 Usia lebih dari 40 tahun


 Laki-laki dari pada perempuan
 Ras Cina dari pada ras kulit putih
 Adanya pembesaran kelenjar leher
 Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
 Adanya metastasis jauh

L. Pencegahan

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan


risiko tinggi. Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan risiko tinggi ke
tempat lain. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan
faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA secara
missal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring
secara lebih dini.5

30
Daftar Pustaka

1. Roezin A, Adham M. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok,


kepala, dan leher. Ed.6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009,h.158-63.
2. Adams GL, Boeis LR, Higler PH. Boeis buku ajar penyakit tht. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 2013. h.436-43.
3. Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery.
16th ed. Ontario: BC Decker Inc; 2010.p.1392-6.
4. Jamir JC. Basic of otorhinolaryngology. Filipina: University of Philippines; 1993.
P.281-3.
5. Lee KJ. Essential otolaryngology: head and neck surgery. 6th ed. Stamford:
Appleton & Lange; 2009. P.537, 549-51.
6. Bull P, Clarke R. Diseases of the ear, nose, and throat. 10 th ed. Oxford: Blackwll
Publishing; 2007. P.103.
7. American Cancer Society. Nasopharyngeal cancer. Atlanta, American Cancer
Society. 2011.
8. Blandino, Alfredo. Pandolfo, Ignazio. Neoplasms, Nasopharynx. Baert, Albert L.
In: Encyclopedia of Diagnostic Imaging. New York. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. 2008;p1261-4.
9. Rosai J, Ackermans. Surgical pathology. 9th ed.. Philadelphia: Mosby, 2004.
10. Japaries, Willie. Karsinoma Nasofaring. Desen, Wan. Dalam: Buku Ajar
Onkologi Klinis Edisi 2. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008, h.263-73.
11. Marur, S and Forastiere A.A. Head and neck cancer: changing epidemiology,
diagnosis, and treatment. Mayo Clin Proc. April 2008; 83(4). p.489-501.
12. Ellis, Harold. The Pharynx. Sugden, Martin. In: Clinical Anatomy Eleventh
Edition. London. Blackwell Publishing. 2006; h.277-8.
13. Hasselt CA, Gibb AG. Nasopharyngeal carcinoma. Hongkong : The Chinese
Univesity Press, 2003, p.72-6.

31

Anda mungkin juga menyukai