Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIK

DISUSUN OLEH
Brian Angelo Soekamto
112014190

PEMBIMBING
dr. M. Roikhan Harowi, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

PERIODE 10 OKTOBER – 12 NOVEMBER 2016

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
terselesaikannya laporan kasus ini. Laporan kasus ini disusun sebagai sarana diskusi dan
pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi persyaratan penilaian di Kepaniteraan Klinik
Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala dan Leher di Rumah Sakit Angkatan Udara dr.
Esnawan Atariksa, Jakarta.

Penyusun juga ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan laporan kasus
ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan
oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan
penyusunan laporan kasus besar ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, Oktober 2016

Penyusun
LAPORAN KASUS PASIEN

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF PENYAKIT THT-KL
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA ESNAWAN ATARIKSA

Nama Mahasiswa : Brian Angelo Soekamto Tanda Tangan


NIM : 11 2014 190
...........................................
Dr. Pembimbing : dr. M. Roikhan Harowi, Sp.THT

............................................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. RH
Usia : 48 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Jakarta

I. ANAMNESIS
Autoanamnesis tanggal 21 Oktober 2016, pukul 11:00 WIB di Klinik THT RSAU Esnawan
Atariksa.

Keluhan Utama : Nyeri menelan sejak 2 minggu SMRS

Keluhan Tambahan : pilek, nafas bau, badan lemas


Dua minggu SMRS, pasien mengeluh sering nyeri menelan yang hilang timbul. Nyeri
menelan dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh perasaan tidak
enak di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga mengeluh nyeri menelan
disertai dengan sering demam, batuk, pilek dengan lender putih yang kumat-kumatan dan
hidung tersumbat. Keluhan dirasa semakin hebat bila pasien mengkonsumsi makanan pedas
dan gorengan. Menurut keluarga pasien saat tidur mengorok tetapi tidak sampai terbangun.
Pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, tidak ada kurang pendengaran, tidak
gemerebek dan tidak ada sakit kepala. Pasien mengaku membeli obat flu yang dibeli di
warung, pasien merasa baikan namun kambuh lagi.
3 hari SMRS, pasien masih sering nyeri menelan dirasakan terutama saat menelan makanan.
Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak di tenggorokan dan bau mulut. Tidak ada keluhan
pilek dan hidung tersumbat, Tidak ada keluhan nyeri hebat yang menyebabkan sulit
membuka mulut ataupun suara yang serak. Tidak ada keluhan telinga berdenging, terasa
penuh, nyeri telinga, ataupun pendengaran berkurang. Tidak ada keluhan pada mata, seperti
pandangan ganda dan visus turun.

Sejak 1 tahun SMRS, pasien mengeluh nyeri menelan yang hilang timbul. Nyeri menelan
terutama dirasakan saat menelan makanan padat disertai demam, batuk, pilek yang kumat-
kumatan dan hidung tersumbat, pasien mengaku setahun tiga kali serangan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku bahwa 1 tahun yang lalu mengeluh dengan keluhan yang sama tiga kali.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa (-), alergi (-), asma(-), maag (-), hipertensi(-), diabetes
mellitus (-)

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran : Compos Mentis
Tensi : 130/70 mmHg
Pernafasan : 18x/ menit
Suhu : 36,4 0C
Nadi : 84x/menit
Berat Badan : 52 kg
Tinggi Badan : 158 cm
a. Telinga

Kanan Kiri
Bentuk daun telinga Normotia Normotia
Kelainan Kongenital Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Tumor/ tanda peradangan
 Pre aurikuler Tidak ditemukan Tidak ditemukan
 Retroaurikuler Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Nyeri tekan tragus (-) (-)
Penarikan daun telinga (-) (-)
Tes Fungsi Tuba
 Valsava Tidak dilakukan Tidak dilakukan
 Thoinbee Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Liang Telinga CAE lapang, serumen (-), CAE lapang, serumen (-),
sekret (-), hiperemis (-), sekret (-), hiperemis (-),
benda asing (-) benda asing (-)
Membran Timpani Intak, refleks cahaya (+), Intak, refleks cahaya (+),
bulging (-) bulging (-)
Tes Penala Tidak dilakukan Tidak dilakukan

b. Hidung dan Sinus Paranasal


o Bentuk : Simetris, deformitas (-)
o Tanda peradangan : Tidak ditemukan
o Vestibulum : Sekret (-/-), furunkel (-/-),
krusta (-/-)
o Konka inferior kanan/kiri : atrofi/atrofi, hiperemis (-/-), krusta (-/-)
o Konka medius kanan/kiri : atrofi/atrofi, hiperemis (-/-), krusta (-/-)
o Meatus medius kanan/kiri : poip -/-
o Septum nasi : Tidak terdapat septum deviasi
o Pasase udara kanan/kiri : Hambatan -/-
o Daerah sinus frontalis & maksilaris : Tidak terdapat nyeri tekan
c. Nasofaring (rhinoskopi posterior) tidak dilakukan
o Koana :
o Septum nasi posterior :
o Muara tuba eustachius :
o Torus tubarius :
o Konka inferior dan media :
o Dinding posterior :
d. Faring
o Dinding faring : Hiperemis (-)
o Arkus faring : Tidak ditemukan kelainan
o Tonsil : T3-T3, hiperemis (+/+), kripta (melebar/melebar), detritus
(+/+), permukaan tidak rata
o Uvula : Letak ditengah, tidak hiperemis, edema (-), memanjang (-)
o Gigi geligi : Caries (-), berlubang (-)
o Lain-lain :-
o Gambar :-
e. Laring (laringkoskopi) Tidak dilakukan
o Epiglotis :
o Plika aryepiglotis :
o Arytenoid :
o Plika ventikularis :
o Pita suara asli :
o Rima glotis :
o Cincin trakea :
o Sinus piriformis :
f. Leher
o Kelenjar limfe submandibula : Tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
o Kelenjar limfe servikal : Tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
g. Maksilo-fasial
o Deformitas : Tidak ditemukan
o Parese saraf otak : Tidak ditemukan

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


-
IV. RESUME

Seorang perempuan usia 48 tahun datang dengan keluhan odinofagia hilang timbul
sejak 2 minggu SMRS.Keluhan ini dirasakan terutama saat menelan makan dan semakin
hebat bila mengkonsumsi makanan pedas dan gorengan disertai dengan perasaan tidak enak
di tenggorokan, bau mulut, dan snoring. Pada riwayat penyakit sebelumnya, pasien memiliki
keluhan yang sama tiga kali dalam setahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil T3/T3 hiperemis, kripte melebar, permukaan
tidak rata, detritus +

V. DIAGNOSIS BANDING
- Tonsilitis kronik
- Tonsilitis akut berulang
VI. DIAGNOSIS KERJA
Tonsilitis kronik

VII. PENANGANAN
Medika mentosa
- Ciprofloxacin 2 x500 mg
- Metil prednisolon 8 mg 3 x 2
- As. Mefenamat 3 x 500 mg

Non Medika mentosa

- Tonsilektomi

Edukasi
- Diet makanan lunak
- Tirah baring

VIII. PROGNOSIS
o Quo ad vitam: dubia ad bonam
o Quo ad functionam: dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Tonsil
Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris di antara kedua pilar fausium dan berasal dari
invaginasi hipoblas di tempat ini. Selanjutnya cekungan yang terbentuk dibagi menjadi
beberapa bagian, yang akan menjadi kripta permanen pada tonsil. Permukaan dalam, atau
permukaan yang terpapar, termasuk cekungan pada kripta dilapisi oleh mukosa, sedangkan
permukaan luar atau permukaan yang tertutup dilapisi oleh selubung fibrosa yang disebut
kapsul. Tampak bahwa semua tonsil tumbuh di belakang membran faring, sehingga semua
penonjolan epitel tumbuh ke dalam jaringan ikat yang sudah ada di sekitar saluran cerna
primitif.1
Tonsil fausium, masing – masing sebuah pada tiap sisi orofaring, adalah jaringan
limfoid yang berbentuk seperti buah kenari dibungkus oleh kapsul fibrosa yang jelas.
Permukaan sebelah dalam atau permukaan yang bebas, tertutup oleh membran epitel
skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas dalam kantung atau kripta yang
membuka ke permukaan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh sinus tonsilaris, daerah
yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Bagian luar tonsil terikat longgar
pada m. Konstriktor faringeus superior, sehingga tertekan setiap kali menelan. M.
Palatoglossus dan m.palatofaringeus (pada pilar) juga menekan tonsil. Bila dilihat tampak di
bawah mikroskop, tonsil terdiri dari tiga unsur utama: 1
1. Jaringan ikat yaitu trabekula atau retikulum, bertindak sebagai rangka penunjang
tonsil. Trabekula mengandung pembuluh darah, saraf dan kelenjar limfe.
2. Folikel germinativum merupakan pusat, tempat sel induk dari kelompok leukosit
mengalami karioknesis dan membentuk sel – sel limfoid muda.
3. Jaringan interfolikular terdiri dari sel – sel limfoid dalam berbagai stadium
perkembangan. Sel – sel ini berbeda ukuran dan bentuknya tergantung dari lokasinya.
Sekitar folikel jumlahnya lebih besar dan di dekat kripta menunjukkan perbedaan
besar dalam struktur anatomi.

Gambar 1
Anatomi tonsil

- Kapsul Tonsil
Tonsil digambarkan mempunya sebuah kapsul tetapi adanya kapsul yang pasti
disangkal oleh beberapa ahli anatomi. Untuk keperluan klinik, kapsul adalah sebuha selubung
fibrosa berwarna putih yang disebut fasia faringeal yang menutupi 4/5 bagian tonsil. Kapsul
tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula ini mengandung
pembuluh darah, saraf – saraf dan pembuluh limfe eferen tidak ditemukan. Plika triangularis
adalah struktur normal yang timbul dalam kehidupan embrional. 1
- Kripta Tonsil
Terdiri dari 8 – 20 kripta, biasanya tubular dan hampir selalu memanjang dari dalam
tonsil sampai ke kapsul pada permukaan luarnya. Kripta tersebut tidak bercabang – cabang
tetapi merupakan saluran yang sederhana.Jaringan ikat sub epitel yang terdapat dengan jelas
dibawah permukaan epitel segera hilang ketika epitel membentuk kripta. Hal ini
menyebabkan sel – sel epitel dapat menempel pada struktur limfatik tonsil. Sering kali tidak
mungkin untuk membuat garis pemisah antara epitel kripta dengan jaringan interfolikuler.
Epitel kripta tidak sama dengan epitel asalnya yang menutupi permukaan tonsil, tidak
membentuk sawar pelindung yang kompak dan utuh. 1
- Fossa Tonsilaris
Pilar anterior berisi m. palatoglosus dan membentuk batas anterior, pilar posterior
berisi m.palatofaringeus dan membentuk batas posterior sinus. Palatoglosus mempunyai
origo berbentuk seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral
lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun verikal dan diatas melekat pada palatum
mole, tuba Eustachius dan pada dasar tenggorok. Otot ini meluas kebawah sampai ke dinding
atas esophagus. Otot ini lebih penting daripada otot palatoglosus. Kedua pilar bertemu diatas
untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada
dasar lidah dan dinding lateral faring. Dinding luar fosa tonsilaris terdiri dari m. konstriktor
faringeus superior. M. konstriktor superior mempunyai serabut melintang yang teratur,
membentuk otot sirkularfaring. Fowler dan Todd menggambarkan otot keempat yang
dinamakan m. tonsilofaringeus yang dibentuk oleh serabut – serabut lateral dari m.
palatofaringeus. Otot ini melekat pada kapsul tonsil pada pertemuan lobus atas dan bawah. 1
- Sistem Pembuluh Limfe Faring dan Tonsil
Kelenjar limfe menerima pembuluh aferen dari bagian bawah oksipital. Kelenjar
limfe ini dibagi oleh eferen yang berjalan menuju bagian atas kelenjar mstoid substernal.
Kelenjar mastoid atau kelenjar retroaurikular (biasanya berpasangan) terdapat di dekat
insersi m. sternokleidomastoid, menerima pembuluh aferen dari bagian temporal kepala,
permukaan dalam telinga dan bagian posterior liang telinga. 1
- Pendarahan
Pendarahan ke faring berasal dari banyak sumber dan kadang – kadang tudak teratur.
Aliran yang utama adalah dari a. Faringeal asendens dan cabang – cabang a. Karotis eksterna
dan dari cabang palatina superior dari a. Maksillaris interna. 1
A. Tonsilaris, cabang dari a. Maksilaris eksterna, merupakan pembuluh utama ke
tonsil, walaupun kadang –kadang dari a. Palatina asendens, cabang lain dari a. Aksilaris
ekserna. A. Tonsillaris berjalan ke atas pada sisi luar m. Konstriktor superior, kemudian
menyilang otot tersebut dan memberi cabang untuk tonsil dan palatum mole. A. Platina
asendens juga memberikan percabangan yang melalui m. Konstriktor superior menuju tonsil.
A. Faringeal ascendens berjalan ke atas di luar m. Konstriktor superior dan jika a. Palatina
asendens kecil, akan memberikan cabang tonsilar yang lebih besar. A. Lingualis dorsalis,
cabang dari a. Lingualis, naik ke dasar lidah dan memberi cabang ke tonsil dan memberi
cabang ke tonsil dan pilar fausium. A. Palatina posterior, cabang desendens dari a. Maksilaris
interna, mendarahi tonsil dan palatum mole dari sebelah aas. Membentuk anastomosis dengan
a. Palatina asendens. A. Menineal minor memberikan lebih banyak cabang untuk tonsil,
walaupun perannya tidak begitu penting. 1

Gambar 2. Perdarahan tonsil

Fisiologi dan immunologi Tonsil


Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disentisisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu :
1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif.
2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal dari diferensiasi
limfosit B.
Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama – sama dengan
adenoid limfosit B berkisar 50 – 65 % dari seluruh limfosit pada kedua organ tersebut.
Limfosit T berkisar 40 % dari seluruh limfosit tonsil tonsil dan adenoid. Tonsil berfungsi
mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju
mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh. 5
Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa
( sel M ), antigen presenting cells(APC), sel makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada
tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator
yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk immunogloulin (Ig)M pentamer diikuti oleh
pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori. IgG dan IgA secara pasif
akan berdifusi ke lumen. Bila ransangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag.
Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum
germinativum sehingga tersensitisasi terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia
struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol
proliferasi sel dan pembentukan immunoglobulin. 5
Aktifitas tonsil paling maksimal antara umur 4 – 10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi
pada saat pubertas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T terhadap sel B
meningkat. Pada tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler terjadi
perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun dan
menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal sistem sel B,
serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum germinativum juga
berkurang.5

Etiologi
Infeksi virus atau bakteri dan faktor imunologi menyebabkan tonsilitis dan
komplikasinya. Sebagian besar episode tonsilitis akut disebabkan oleh virus seperti berikut : 2
- virus herpes simpleks
- virus Epstein-Barr (EBV)
- cytomegalovirus
- virus herpes lainnya
- adenovirus
- virus campak
Dalam satu studi menunjukkan bahwa EBV dapat menyebabkan tonsilitis tanpa adanya
mononucleosis sistemik, EBV ditemukan pada 19% dari tonsilitis eksudatif pada anak-anak.
Bakteri yang menyebabkan 15-30% kasus faringotonsilitis. bakteri anaerob memainkan peran
penting dalam penyakit tonsil. Sebagian besar kasus tonsilitis bakteri disebabkan oleh grup A
beta-hemolitik Streptococcus pyogenes (GABHS). S pyogenes menganut adhesin reseptor
yang terletak di epitel tonsil. Immunoglobulin lapisan patogen mungkin penting dalam
induksi awal tonsilitis bakteri. 2
Bakteri polymicrobial terdapat pada sebagian besar kasus tonsillitis kronis, terutama
bakteri streptokokus alfa dan beta-hemolitik, S aureus, H influenzae, dan Bacteroides. Sebuah
studi yang didasarkan pada bakteriologi dari permukaan tonsil dan inti dalam 30 anak-anak
yang menjalani tonsilektomi menyarankan bahwa antibiotik yang diresepkan 6 bulan sebelum
operasi tidak mengubah bakteriologi tonsil pada saat tonsilektomi. Sebuah hubungan antara
ukuran tonsil dan tonsilitis bakteri kronis diyakini ada. Hubungan ini didasarkan pada kedua
beban bakteri aerobik dan jumlah absolut dari B dan T limfosit. H influenzae adalah bakteri
yang paling sering terisolasi di amandel hipertrofi dan kelenjar gondok. Berhubungan dengan
resistensi penisilin atau produksi beta-laktamase, mikrobiologi dari amandel dihapus dari
pasien dengan GABHS berulang faringitis belum terbukti secara signifikan berbeda dari
pasien mikrobiologi tonsil yang sudah dibuang dengan hipertrofi tonsil. Mekanisme
imunologi lokal penting dalam tonsilitis kronis. Distribusi sel dendritik dan sel antigen-
presenting diubah selama penyakit, dengan sel dendritik yang lebih sedikit pada epitel
permukaan dan lebih dalam kriptus dan daerah extrafollicular.2

Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan linfoid diganti oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh dedritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan engan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses
ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.3

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan menentukan tingkat kesulitan mengenai
saluran napas dan menelan fungsi. Pemeriksaan faring dapat difasilitasi dengan membuka
mulut tanpa lidah tonjolan, diikuti oleh depresi pusat lembut lidah. penilaian penuh mukosa
mulut, gigi, dan saluran ludah kemudian dapat dilakukan dengan lembut "berjalan" penekan
lidah tentang rongga mulut lateral. nasopharyngoscopy fiberoptik fleksibel mungkin berguna
dalam kasus-kasus tertentu, terutama dengan trismus yang berat. 2

Pemeriksaan Laboratorium
Kultur tenggorokan adalah standar kriteria untuk mendeteksi kelompok A
Streptococcus pyogenes beta-hemolitik (GABHS). GABHS adalah organisme utama yang
terapi antibiotik (sensitivitas 90-95%) pasti ditunjukkan. Sebuah tes serum Monospot, CBC
count, dan uji kadar serum elektrolit dapat diindikasikan. 2
Sebuah tes rapid antigen detection (RADT), juga dikenal sebagai tes streptokokus
cepat, mendeteksi adanya dinding sel karbohidrat GABHS dari swab dan dianggap kurang
sensitif dibandingkan kultur tenggorokan; Namun, tes ini memiliki spesifisitas 95% atau lebih
tetapi hasil lebih cepat dari yang dibutuhkan untuk kultur tenggorokan. 2
Kultur atau RADT tidak diindikasikan dalam kebanyakan kasus berikut terapi
antibiotik untuk faringitis GABHS akut. pengujian rutin kontak rumah tangga tanpa gejala
yang sama biasanya tidak dibenarkan. Serum diperiksa untuk antibodi antistreptococcal,
termasuk antistreptolisin-O antibodi dan antideoxyribonuclease (anti-DNAse) antibodi B.
Titer berguna untuk mendokumentasikan infeksi sebelum pada orang yang didiagnosis
dengan demam akut rematik, glomerulonefritis, atau komplikasi lain dari GABHS faringitis.
Evaluasi laboratorium di tonsilitis kronis bergantung pada dokumentasi hasil dari swab faring
atau budaya diambil selama episode sebelumnya tonsilitis. Kegunaan dan biaya swab
tenggorokan untuk faringitis diperdebatkan. 2

Gejala dan tanda


Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus
melebar dan beberapa kripti terisi oleh dedritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, di
rasakan kering di tenggorok dan napas berbau.3
Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rinitis kronik, sinusitis ata otitis meda. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositis nefritis, uveitis, iridosiklitis,
dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.3

Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4:


• T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula.
• T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½ jarak anterior –
uvula.
• T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak pilar anterior
– uvula.
• T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih.

Gambar 3. Pembesaran tonsil T1 –


T4

Diagnosis
Keluhan penderita tonsilitis kronik mirip dengan tonsilitis akut tetapi sangat ringan
bahkan kadang –kadang tanpa keluhan. Misalkan rasa nyeri tenggorok, mulut berbau busuk,
suhu badan kadang – kadang normal kadang – kadang subfebris, lesu dan nafsu makan
berkurang. Pada pemeriksaan tonsil hipertrofi tetapi kadang – kadang atrofi, hiperemi dan
oedema. Didapatkan dedritus atau dedritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula
lidah. 6

Komplikasi
Radang kronik tonsi dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjaid
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositis, nefritis,
uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis. 3
Penatalaksanaan
Pengobatan tonsilitis meliputi medikamentosa dan pembedahan. Terapi
medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut
maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Antibiotik jenis penisilin
merupakan antibiotik pilihan pada sebagian kasus. 5
TONSILEKTOMI
Anestesi umum dilakukan terhadap semua anak – anak dan pada pasien dewasa yang
gelisah dan tidak koperati. Pada pasien dewasa yang kooperatif cukup denan anestesi lokal .
Pada saat prabedah dari kedua anestesi tersebut, pasien diberi barbiturat dan atropin atau obat
sejenis. Obat anestesi lokal (misalnya lidokain 1% dengan epinefrin 1 : 200.000) disuntikkan
di beberapa tempat, untuk setiap tonsil diberikan 5 – 7 ml. Lebih enak lagi bagi pasien bila
sebelumnya diberikan semprotan tetrakain 1% pada daerah tonsil. 1

Indikasi
Walaupun mungkin terdapat berbagai pendapat tentang indikasi yang pasti untuk torsilektomi
pada anak-anak, terdapat sedikit perselisihan pendapat tentang indikasi prosedur ini pada
orang dewasa.Tonsilektomi biasanya dilakukan pada dewasa muda yang menderita episode
ulangan tonsilitis, selulitis peritonsilaris, atau abses peritonsilaris. Tonsilitis kronis dapat
menyebabkan hilangnya waktu bekerja yang berlebihan. 4
Anak-anak jarang menderita tonsilitis kronis atau abses peritonsilaris. Paling sering, mereka
mengalami episode berulang tonsilitis akut dan hipertrofi penyefta. Beberapa episode
mungkin disebabkan oleh virus atau bakteri. Indikasi Absolut. Indikasi-indikasi untuk
tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini: 4
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan penyerta.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses peritonsilaris berulang alau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif. Indikasi yang paling sering
adalah episode berulang dari infeksi streptokokokus beta hemolitikus grup A. Biakan
tenggorokan standar tidak selalu menunjukkan organisme penyebab dari episode faringitis
yang sekarang. Biakan permukaan tonsil tidak selalu menunjukkan flora yang terdapat di
dalam tonsil. Demikian juga, keputusan untuk mengobati dengan antibiotik tidak selalu
bergantung pada hasil biakan saja. Sprinkle menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar
"sakit tenggorokan" disebabkan oleh infeksi virus, Streptococcus pyogenes merupakan
bakteri penyebab pada 4070 pasien dengan tonsilitis eksudatifa rekurens. Streptokokus grup
B dan C, adenovirus, virus EB, dan bahkan virus herpes juga dapat menyebabkan tonsilitis
eksudatifa. Ia percaya bahwa kasus-kasus tertentu adenotonsilitis berulang disebabkan oleh
virus yang dalam keadaan tidak aktif (dormant) yang terdapat dalam jaringan tonsilaris. 4
Sekarang ini, tonsilektomi mungkin hanya satu-satunya jalan untuk menetapkan lebih
banyak flora mulut normal pada pasien-pasien tefientu dengan adenotonsilitis berulang.
Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergantung pada kebijaksanaan dokter yang
merawat pasien. Mereka sebaiknya menyadari kenyataan bahwa tindakan ini merupakan
prosedur pembedahan mayor yang bahkan hari ini masih belum terbebas dari komplikasi-
komplikasi yang serius. 4
Di samping indikasi-indikasi absolut, indikasi tonsileldomi yang paling dapat diterima
pada anak-anak adalah berikut ini : 4
1.Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan penatalaksanaan medis
yang adekuat).
2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan patogenik (keadaan
karier).
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan).
4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi mononukleosis
(biasanya pada dewasa muda).
5. Riwayat demam reumatik dengan kentsakan jantung yang berhubungan dengan tonsilitis
rekurens kronis dan pengendalian antibiotik yang buruk.
6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap penatalaksanaan
medis (biasanya dewasa muda).
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas orofasial dan gigi
geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.
8. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.
Jika terdapat infeksi streptokokus berulang, mungkin terdapat karier pada orang-orang yang
tinggal serumah, dan biakan pada anggota keluarga dan pengobatan dapat menghentikan
siklus infeksi rekuren. Pertimbangan dan pengalaman ahli dalam menilai manfaat indikasi-
indikasi ini yang akan diberikan pada pasien, tentu saja semuanya sama penting. Seperti juga
indikasi pembedahan, tentu terdapat non-indikasi dan kontraindikasi tertentu yang juga harus
diperhatikan, karena telah menjadi mode untuk melakukan jenis pembedahan ini untuk
mengatasi masalah-masalah ini.
Kontraindikasi untuk tonsilektomi adalah di bawah ini: 4
1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.
2. Infeksi sistemik atau kronis.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.
5. Rinitis alergika.
6. Asma.
7. Diskrasia darah.
8. Ketidakmanpuan yang ullrunr atau kegagalan untuk tumbuh.
9. Tonus olol yang Iemah.
10. Sinusitis.
Tonsilektomi dapat dilakukan pada individu-individu yang mempunyai deformitas
palatoskisis. Walaupun, terdapat keadaan- keadaan yang meringankan terhadap petunjuk
prosedur pembedahan ini, dan pasien harus diberitahu mengenai kemungkinan timbulnya
efek pada kualitas suara akibat prosedur pembedahan.4

Komplikasi tonsilekomi
Pratt melaporkan bahwa mortallitas dari tonsilektomi dan adenoidektomi, jika dilakukan oleh
ahli bedah dan anestesiolog yang berppengalaman adalah 0,006%. Komplikasi yang terjadi
adalah : 1
a. Perdarahan. Perdarahan yang kecil maupun besar merupakan komplikasi yang paling
umum. Pencegahan yang terbaik adalah memastikan bahwa pasien bebas dari
komplikasi pernapasan dan kecenderungan perdarahan pada waktu operasi. Jika
timbul perdarahan, biasanya di antara 2-4 jam setelah operasi. Untuk mengontrol
perdarahan pasca operasi sangat diperlukan penerangan yang baik, berarti diperlukan
lampu kepala atau cermin. Perlu juga menggunakan alat pengisap yang baik melalui
kanula metal.
b. Abses paru. Jarang terjadi dari komplikasi tonsilektomi. Abses disebabkan karena
aspirasi darah dan debris atau infeksi yang sudah ada sebelumnya dan bermanifestasi
pasca operasi. Operasi dengan anestesi lokal lebih aman karena pasien dapat menahan
aspirasi dengan refleks batuk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballenger John J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jilid 1, Edisi
13;jakarta- Binarupa Aksara.1997.hal. 348 – 56.
2. Shah udayan K. Tonsilitis and Peritonsilitis Abscess. 2016. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/871977-overview#a5
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesahatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala & leher. Ed.6. Jakarta: Balai Penerbit UI, 2012,201-02.
4. Adams George L, Boeis Lawrence R, Higler Peter A. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT
Edisi 6; jakarta-EGC; 1997. Hal: 321-7,337 – 40.
5. Novaldin, M. Rusli. Mikrobiologi Tonsilitis Kronik. 2008 Diunduh dari :
http://repository.unand.ac.id/18395/1/MIKROBIOLOGI%20TONSILITIS%20KRONIS.pdf
6. Herawati Sri, Rukmini Sri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok untuk
mahasiswa fakultas kedokteran gigi. Jakarta-EGC; 2003 Hal. 46-8

Anda mungkin juga menyukai