Abses Parafaring
Disusun Oleh:
Natalia Yobeanto
11-2015-146
Pembimbing:
dr. Hari Haksono, Sp.THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT TNI AU Dr ESNAWAN ANTARIKSA
SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK
Jl. Merpati No 2, Halim Perdanakusuma Jakarta Timur 13610
Periode 24 Maret 6 Mei 2017
Nama Mahasiswa : Natalia Yobeanto Tanda Tangan:
NIM : 11.2015.46
Dokter Pembimbing : dr. Hari Haksono, Sp. THT-KL
IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. MY
Usia : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : S1
Agama : Islam
Keluhan utama : Bengkak pada rahang bawah kiri sejak 2 hari SMRS
2. PEMERIKSAAN FISIK
I. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos mentis
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 98x/menit
Suhu : 37.8C
Pernapasan : 24x/menit
Berat badan : 60 kg
II. TELINGA
Kanan Kiri
Bentuk Daun Telinga Normal Normal
Deformitas (-) Deformitas (-)
Kelainan Congenital Tidak ada Tidak ada
Radang, Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Penarikan Daun Telinga Tidak ada Tidak ada
Kelainan pre-, infra-, Tidak ada Tidak ada
retroaurikuler
Regio Mastoid Tidak ada kelaianan Tidak ada kelaianan
Liang Telinga CAE lapang, serumen CAE lapang, serumen
tidak ada tidak ada
Valsava Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Toyinbee Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Membran Timpani MT intak, hiperemis (-), MT intak, hiperemis (-),
edema (-), refleks cahaya edema (-), refleks cahaya
(+) jam 5 (+) jam 7
TES PENALA
TEST KANAN KIRI
Rinne Positif (+) Positif (+)
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : Tidak ada kelainan pada kedua telinga (ADS dalam batas normal)
V. PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Kanan Kiri
Sinus frontalis, grade: Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus maksilaris, grade: Tidak dilakukan Tidak dilakukan
VI. TENGGOROK
VII.LEHER
Regio submandibula sinistra oedem (+), eritem (+), kalor (+), nyeri tekan (+),
fluktuasi (+), angulus submandibula tidak teraba.
Kelenjar limfe submandibula : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe servikal : tidak teraba membesar
VIII. MAKSILO-FASIAL
Parese nervus cranial : tidak ada
Bentuk : deformitas (-); hematom (-)
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5. DIAGNOSIS BANDING
- Abses parafaring
- Abses submandibula
- Abses retrofaring
- Abses peritonsil
6. DIAGNOSIS KERJA
Abses Parafaring
A. Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi Ceftriaxone 1x2 gr IV (skin test)
- Injeksi Metronidazole 3x500 mg IV
- Injeksi Ranitidin 2x1 ampul
- Injeksi Tramadol 2x1 ampul
9. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
PEMBAHASAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa
nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terkena.1,2,3,4
Secara anatomi daerah potensial leher dalam merupakan daerah yang sangat komplek.
Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta penyebab abses
leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi
dan penatalaksanaan yang adekuat.
Tidak ada angka estimasi yang diperoleh terhadap kejadian abses leher dalam. Namun
diperkirakan bahwa kejadian abses leher dalam menurun secara bermakna sejak era
pemakaian antibiotik.5,6 Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam
hal ini.6 Sebelum era antibiotik, 70% infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di
faring dan tonsil ke parafaring. Saat ini infeksi leher dalam lebih banyak berasal dari tonsil
pada anak, dan infeksi gigi pada orang dewasa. 1,2,3,4
Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob,
anaerob maupun fakultatif anaerob. Kultur dari abses retrofaring 90% mengandung kuman
aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman anaerob. Disamping drainase abses yang optimal,
pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik
yang efektif terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan
antibiotik terhadap kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga
diperlukan pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian
terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun bervariasi.
1,2,3,4
Anatomi Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua
fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma
sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior
untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.6-9
Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem muskuloapenouretik,
yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagian
dari daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:6,7
Lapisan superficial : lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah thorax dan aksilla. Pada bagian anterior menyebarkan ke
daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus
m.sternokleidomastoideus, m.trapezius, m.masseter, kelenjar parotis dan submaksila.
Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer, lapisan pembuingkus dan
lapisan anterior.
Lapisan tengah/ media (Middle deep cervical fascia, visceral fascia) : yang dibagi dua
yaitu divisi muskular (terletak di bawah lapisan superficial fasia servikalis profunda
dan membungkus m.sternohyoid, m.sternotiroid, m.tirohyoid, dan m.omohyoid.
Dibagian superior melekat pada os hyoid dan kartilago serta dibagian inferior melekat
pada sternum, klabvikula dan scapula) dan divisi visceral (membungkus organ-organ
anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan esophagus. Disebelah posterosuperior
berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esophagus sedangkan bagian
anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hyoid. Lapisan ini berjalan ke
bawah sampai ke thorax, menutupi trakea dan esophagus serta bersatu dengan
pericardium. Fasia bukofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada
bagian posterior faring dan menutupi m.konstriktor dan m.buccinator).
Lapisan dalam/ profunda (Deep layer of the deep cervical fascia, prevetebra fascia) :
dibagi menjadi dua yaitu divisi alar (terletak diantara lapisan media fasia dan
servikalis profunda dan divisi prevetebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis
profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan
merupakan dinding anterior dari danger space) dan divisi prevetebra (berada pada
bagian korppus vertebra dan lateraql meluas ke prosesus transverses serta menutupi
otot-otot di daerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus
serta merupakan dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus
vertebra).
ruang retrofaring
ruang bahaya (danger space)
ruang prevertebra.
Ruang suprahioid terdiri dari:
ruang submandibula
ruang parafaring
ruang parotis
ruang mastikor
ruang peritonsil
ruang temporalis.
Ruang infrahioid:
ruang pretrakeal.
1. Abses Parafaring
Ruang parapharyngeal adalah ruang potensial penting di leher yang tidak hanya untuk
penyebaran pertumbuhan tumor kepala dan leher tetapi juga untuk penyebaran infeksi yang
dapat melokalisasi di ruang ini untuk membentuk abses. Infeksi ruang parapharyngeal
merupakan komplikasi infeksi faring. Kondisi yang lain yaitu termasuk infeksi gigi geraham
gingivitis dan mastoiditis (abses Bezold). Infeksi dari sekitarnya dapat sampai ke ruang
parapharyngeal melalui otot styloglossus dari dasar mulut, ruang parotis dan ruang kontinyu
lainnya seperti ruang masseter, ruang peritonsillar, ruang submandibula dan kelenjar
submandibular. Jika tidak diobati, infeksi dapat menyebar ke ruang retropharyngeal dan turun
ke mediastinum. tromboflebitis jugularis, sepsis postangial, trombosis sinus kavernosus dan
perdarahan dari arteri karotis dapat terjadi ketika infeksi melibatkan pembuluh darah besar. 1,2
Ruang parapharyngeal (ruang pharyngomaxillary, ruang faring lateral) adalah
berbentuk ruang corong dengan basisnya di dasar tengkorak dan puncaknya pada cornu
mayus dari tulang hyoid. Batas medial ruang ini dibentuk oleh otot konstriktor superior dan
fossa ton-sillar. Batas lateral yang terbentuk masing-masing dari anterior ke posterior oleh
otot pterygoideus medial, permukaan medial dari ramus mandibula, lobus yang mendalam
dari kelenjar parotis dan perut posterior dari otot digastrikus. Persimpangan businator dan
otot konstriktor superior yang membentuk raphe ptery-gomandibular merupakan batas
anterior. Batas posterior adalah tulang punggung dan otot-otot pra-vertebral. 1,2
Ruang ini dibagi menjadi kompartemen oleh aponeurosis styl-opharyngeal.
Kompartemen anterior mengandung jaringan ikat, otot dan kelenjar getah bening. Iritasi otot
pterygoideus medialis dapat mengakibatkan trismus. Pembuluh darah besar dan saraf kranial
yang lebih rendah dijalankan melalui kompartemen posterior. Infeksi ruang ini berbahaya
karena dapat menyebar inferior ke mediastinum dan mungkin melibatkan pembuluh darah
besar. Erosi dari arteri karotis dapat menyebabkan perdarahan. 1,2
Definisi
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat
tonsilektomi, limfogen dan hematogen. 1,2
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:1,2
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan
ruang parafaring dan fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.
Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk
abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior
sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental.
Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini
disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada
mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut. 1,2
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium1
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian antibiotika yang sesuai.
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik
yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak
dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher. 1,2
Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara
selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk
mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran
kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan
lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan
gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. 1,2
Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi
dari luar dan inttra oral. 1,2
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher). 1,2
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. 1,2
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau septikemia. 1,2
Etiologi
Etiologi dari abses peritonsil ini biasanya merupakan kelanjutan dari tonsillitis
berulang dari infeksi faringeal. Bakteri penyebab hampir sama dengan tonsillitis, yaitu
bakteri aerob dan anaerob. Bakteri aerob seperti Streptococcus, M. catharallis, H. influenza,
Staphylococcus, anaerob seperti Bacteroides, Peptocci, Fusobacteria. 1,2
Patogenesis
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar sehingga
infiltrasi atau supurasi ke ruang peritonsil tersering menempati area ini, sehingga palatum
molle tampak membengkak. Infeksi biasanya berasal dari kripta magna yang ada di dekat
kutub atas. 1,2
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), ditandai dengan area infiltrat yang
bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi (proses pembentukan nanah
akibat proses radang) sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlanjut ke area sekitarnya
akan menyebabkan iritasi pada muskulus pterigoid interna sehingga timbul trismus. Abses
peritonsil dapat pecah spontan dan menimbulkan komplikasi aspirasi ke paru. 1,2
Dalam penelitian terbaru, ada keterlibatan kelenjar Weber yang berperan dalam
terjadinya abses peritonsil dimana merupakan kumpulan sekitar 20-25 kelenjar ludah yang
berada langsung diatas rongga tonsil, di dalam palatum molle dan dihungkan dengan
permukaan tonsil oleh sebuah saluran. Kelenjar Weber berperan untuk membersihkan daerah
tonsil dari debris dan sisa-sisa makanan yang terperangkap. Jika kelenjar Weber mengalami
inflamasi, maka dapat terjasi selulitis lokal. Pada proses infeksi yang berlanjut terus-menerus,
saluran yang berada pada permukaan tonsil menjadi tersumbat. Nekrosis jaringan dan
terbentuknya nanah merupakan tanda dan gejala yang klasik dari abses peritonsil. 1,2
Pemeriksaan Fisik
Kadang- kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Orofaring terlihat
asimetris. Palatum molle tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba
fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong ke arah kontralateral. Mukopus dapat terlihat
menutupi daerah tonsil. Sering dijumpai limfadenopati leher pada sisi yang sakit. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan
bawah.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada abses peritonsil antara lain dengan aspirasi jarum, insisi dan
drainase, antibiotik intravena dan tonsilektomi. Pertama yang perlu diperhatikan adalah jalan
nafas. Indikasi rawat inap disesuaikan dengan kondisi umum pasien.
a. Konservatif
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi dan obat simptomatik. Juga
perlu kumur-kumur cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Bila terdapat trismus,
maka untuk mengatasi rasa nyeri dapat diberikan analgetik (lokal) dengan
menyuntikkan xylocain atau novocaine 1% di ganglion sfenopalatina. Pasien sebaiknya
dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan infuse untuk mencegah dehidrasi.
Pemilihan antibiotik sangat tergantung kepada hasil biakan dan uji kepekaan dari pus
yang didapat melalui tindakan aspirasi. Antibiotik sebagai pilihan digunakan golongan
penicillin atau klindamicin, dan oat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan
hangat dan kompres dingin pada leher.
b. Operatif
Ada 3 prosedur operasi untuk pengobatan abses peritonsil, yaitu aspirasi jarum, insisi
dan drainase serta tonsilektomi
Aspirasi jarum/pungsi
Bila telah terbentuk abses, dilakukan aspirasi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan pus/nanah. Aspirasi abses merupakan gold
standard untuk menegakkan abses peritonsil.
Insisi dan drainase
Tempat insisi ialah daerah yang paling menonjol dan lunak, biasanya pada
bagian depan pilar anterior, batas antara 1/3 bagian atas dan tengah tonsil atau
pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham
atas terakhir pada sisi yang sakit.
Tonsilektomi
Setelah dilakukan insisi dan drainase kemudian pasien dianjutkan untuk
operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama tindakan drainase abses
disebut tonsilektomi achaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah
drainase abses, disebut tonsilektomi atide dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6
minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi afroid. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan setelaqh infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase
abses.4,5
Komplikasi
Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring yang dapat menyebabkan abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi
mediastinitis.
Infeksi meluas masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Infeksi dapat
turun ke bawah (mediastinum) melalui ruang visceral vascular. Ruangan ini adalah
ruang potensial dalam carotid sheath yang berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke
mediatinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia profunda dan dapat
menjadi tempat infeksi sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher
dalam termasuk dari ruang peritonsil.
3. Abses Retrofaring
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai dengan pembentukan
pus/ nanah pada daerah retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan hingga 5
tahun. Umumnya, terjadi karena pada usia tersebut, ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring dan tuba Eustachius dan
telinga tengah. Sedangkan pada usia 6 tahun keatas, kelenjar-kelenjar tersebut mengalami
atrofi.1,6
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinyan abses ruang retrofaring ialah
Abses retrofaring yang biasanya terjadi pada anak biasanya merupakan komplikasi
dari infeksi saluran nafas atas
Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan
medis, seperti anestesi lokal (jarum tidak steril), intubasi endotrakea dan endoskopi
Komplikasi dari spondilitis TB serta dipengaruhi oleh keadaan imunitas4
Diagnosis
Anamnesis
Bayi dengan pembengkakan dinding faring tidak dapat dengan mudah dideteksi
dengan inspeksi dan palpasi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat
infeksi saluran nafas atas atau trauma.
Pemeriksaan klinis
Inspeksi pada dinding faring dapat memakai spatel lidah, kadang-kadang memerlukan
laringoskop untuk melihat hipofaring. Untuk memeriksa fluktuasi, pada anak
sebaiknya dihindari untuk mencegah abses pecah spontan.
Laboratorium:
Darah rutin : leukositosis, kultur spesimen untuk hasil aspirasi
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang laboratorium biasanya didapatkan leukositosis. Pemeriksaan
radiologi lain X foto servikal lateral, CT scan, MRI. Pada X foto servikal lateral akan
didapatkan gambaran pelebaran ruang retrofaring.7
Pembengkakan jaringan lunak pada region prevetebra dengan penebalan lebih dari 7
mm pada servikal II dan lebih dari 14 mm pada servikal VI pada anak dan lebih dari 22 mm
pada dewasa. 4,5
CT Scan membantu dalam menentukan lokasi abses dan keterlibatan struktur
pembuluh darah leher dan struktur di sekitarnya, digunakan sebagai panduan dalam insisi
drainase. 4,5
Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob
dan anaerob, diberikan secara parenteral. Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk
membasmi infeksi, mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.
b. Tindakan Bedah
Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien
baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anesthesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. Kadang-kadang, intubasi
endotrakeal atau krikotirotomi mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan tanda-
tanda obstruksi saluiran napas atas.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah pendesakan massa abses sehingga terjadi
obstruksi jalan nafas dan pecah spontan sehingga dapat terjadi aspirasi atau
pneumonia.
4. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot mylohyoid. Di dalam
ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual beserta duktusnya. 4,5
Abses submandibula dan angina Ludovici (Ludwigs angina) dapat terjadi
karena adanya infeksi yang bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. 4,5
Penatalaksanaan
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal
dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi
dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan
luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda. 4,5
Etiologi
Penyebab angina Ludovici adalah trauma bagian dalam mulut/ infeksi odontogenik,
infeksi lokal pada mulut, karies gigi, terutama molar dua atau tiga bawah. Gigi-gigi ini
mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid, dan abses di sini akan
menyebar ke ruang submandibula. Organism paling banyak ditemukan pada penderita
Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. 4,5
Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi,
gejala dan tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici, dapat terjadi fluktuasi. 4,5
Penatalaksanaan
Sebagai gold standard dalam penanganan angina ludovici adalah bebaskan
jalan nafas, kemudian diberikan terapi antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman
aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu, dilakukan eksplorasi yang
dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada
angina ludovici jarang terbentuk pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horizontal os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula), dengan demikian
menghentikan ketegangan yang terbentuk di dasar mulut. 4,5
Sebelum dilakukan insisi dan drainase, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap
kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan dilakukan intubasi pada pasien.
Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi), untuk mencegah
kekambuhan dan pasien dirawat inap sampai infeksi nya reda. 4,5
Daftar Pustaka
1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008. Hal. 226-30.
2. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333.
manajemen bedah
Semua sembilan pasien menjalani eksplorasi leher dan drainase abses di bawah anestesi
umum.
Intubasi endotrakeal tidak masalah dalam delapan pasien. Satu pasien membutuhkan
fibreoptic dipandu endo-intubasi trakea. Tidak ada pasien yang diperlukan trakeostomi pra-
operasi atau dukungan pernapasan pasca-operasi.
teknik operasi
Sayatan kulit tranverse atas ditempatkan 1 cm di bawah dan sejajar dengan badan
mandibula untuk menghindari cabang mandibula dari saraf wajah digunakan pada semua
pasien. Ketika fasia serviks yang mendalam ditemui, ekor akhir parotis dan posterior dari
kelenjar subman-dibular diidentifikasi. Ruang parapharyngeal dimasukkan awalnya dengan
forsep. Abses rongga kemudian dieksplorasi dengan jari seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4. Semua loculations dipecah dengan diseksi jari tumpul. Rongga tersebut kemudian
memadai dikeringkan dan saluran air ditempatkan di bagian superior dan inferior dari ruang
parapharyngeal dan sayatan eksternal adalah par-tially ditutup.
Abses parapharyngeal terlokalisasi ke ruang parapharyngeal kiri pada empat pasien;
parapha- tepat
ruang ryngeal di empat pasien dan melibatkan kedua ruang parapharyngeal pada satu pasien.
Pada pasien ini, abses juga diperluas ke ruang submandibula di kedua sisi. Sebuah jumlah
yang moderat nanah terkuras pada semua pasien. Semua pasien diekstubasi dengan-out
masalah pasca-operasi dan dirawat di unit perawatan ketergantungan yang tinggi di bangsal
umum selama 24 jam.
komplikasi pasca operasi
Tidak ada komplikasi utama dalam tujuh pasien. Mereka dipulangkan dari rumah sakit
antara 7-24 d (mean 12,9 d) setelah masuk.
Kematian
Ada dua kematian. Satu pasien menderita infark miokard akut pada hari pasca operasi
kedua dan meninggal karena gagal jantung pada hari pasca operasi kesepuluh. pasien
mengembangkan pneumonia aspirasi lain pada hari pasca operasi kedua dan duo-Denal
ulkus perforasi pada hari pasca operasi ketujuh. Sebuah laparotomi Emer-Menurut
Kabupaten dan perbaikan dari ulkus duodenum berlubang dengan vagotomy truncal
dilakukan. Dia luka kerusakan dan 'meledak perut' pasca-operasi. Meskipun terapi anti-
mikroba agresif, ia mengembangkan Gram septicemia negatif dan meninggal pada hari ke-
36 setelah masuk.
Bakteriologi
Nanah diperoleh dari abses parapharyngeal adalah