Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

Abses Parafaring

Disusun Oleh:
Natalia Yobeanto
11-2015-146

Pembimbing:
dr. Hari Haksono, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 24 MARET 6 MEI 2017
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT TNI AU Dr ESNAWAN ANTARIKSA
SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK
Jl. Merpati No 2, Halim Perdanakusuma Jakarta Timur 13610
Periode 24 Maret 6 Mei 2017
Nama Mahasiswa : Natalia Yobeanto Tanda Tangan:
NIM : 11.2015.46
Dokter Pembimbing : dr. Hari Haksono, Sp. THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. MY
Usia : 24 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : S1
Agama : Islam

1. ANAMNESIS : Auto anamnesis , tanggal/jam : 10 April 2017 / 10.00

Keluhan utama : Bengkak pada rahang bawah kiri sejak 2 hari SMRS

Keluhan tambahan : Nyeri menelan dan sukar membuka mulut

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang kepoli klinik THT RS Pusat TNI AU dengan keluhan bengkak dibawah
rahang kiri dirasakan pasien sejak 2 hari sebelum MRS, bengkak semakin lama semakin
besar. Bengkak disertai adanya nyeri dan panas pada rahang bawah. Pasien susah membuka
mulut sejak 2 hari sebelum MRS, pasien sulit makan, minum dan berbicara. Pasien juga
mengeluhkan adanya demam sejak 3 hari sebelum MRS. Awalnya pasien mengeluhkan
amandelnya yang kambuh, sehingga pasien merasakan sakit jika menelan sejak 1 minggu
sebelum MRS, yang kemudian diikuti dengan pembengkakan pada rahang bawah kanan dan
kiri pasien. Pasien mengkonsumsi obat amoxicilin dan paracetamol sejak 5 hari SMRS,
namun keluhan tidak berkurang, Pasien juga mengatakan alergi terhadap ciprofloksasin dan
levofloksasin.

Riwayat Penyakit Dahulu


Dalam 2 tahun ini, OS mengaku memiliki amandel yang sering kambuh sekitar 2-3
kali dalam setahun, keluhan-keluhan yang dirasakan saat serangan tersebut dirasakan
terutama setelah OS mengkonsumsi gorengan serta minuman dingin, dan pasien sering
meminum amoxicilin.
.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita pembengkakan atau sakit di leher.

2. PEMERIKSAAN FISIK
I. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos mentis
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 98x/menit
Suhu : 37.8C
Pernapasan : 24x/menit
Berat badan : 60 kg

II. TELINGA
Kanan Kiri
Bentuk Daun Telinga Normal Normal
Deformitas (-) Deformitas (-)
Kelainan Congenital Tidak ada Tidak ada
Radang, Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Penarikan Daun Telinga Tidak ada Tidak ada
Kelainan pre-, infra-, Tidak ada Tidak ada
retroaurikuler
Regio Mastoid Tidak ada kelaianan Tidak ada kelaianan
Liang Telinga CAE lapang, serumen CAE lapang, serumen
tidak ada tidak ada
Valsava Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Toyinbee Test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Membran Timpani MT intak, hiperemis (-), MT intak, hiperemis (-),
edema (-), refleks cahaya edema (-), refleks cahaya
(+) jam 5 (+) jam 7
TES PENALA
TEST KANAN KIRI
Rinne Positif (+) Positif (+)
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz
Kesan : Tidak ada kelainan pada kedua telinga (ADS dalam batas normal)

III. HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Bentuk : Normal, tidak ada deformitas
Tanda peradangan : Hiperemis (-), Panas (-), Nyeri (-), Bengkak (-)
Vestibulum : Hiperemis -/-, sekret -/-
Cavum nasi : Lapang +/+, edema -/-, hiperemis -/-
Konka inferior : Eutrofi/eutrofi
Meatus nasi inferior : Eutrofi/eutrofi
Konka medius : Eutrofi/eutrofi
Meatus nasi medius : Sekret -/-
Septum nasi : Deviasi -/-
Pasase udara : Hambatan -/-
Daerah sinus frontalis : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)
Daerah sinus maksilaris : Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)

IV. RHINOPHARYNX (RHINOSKOPI POSTERIOR) ---- Tidak dilakukan


pemeriksaan
Koana :-
Septum nasi :-
Muara tuba eustachius :-
Torus tubarius :-
Konka inferior dan media :-
Dinding posterior :-

V. PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Kanan Kiri
Sinus frontalis, grade: Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus maksilaris, grade: Tidak dilakukan Tidak dilakukan

VI. TENGGOROK

MULUT trismus 2 cm, fetor (+), gigi geligi : sulit dievaluasi

FARING sulit dievaluasi

LARING (Laringoskopi) --- tidak dilakukan


Epiglotis :-
Plika aryepiglotis : -
Arytenoid :-
Ventrikular band : -
Pita suara asli :-
Rima glotis :-
Cincin trakea :-
Sinus piriformis : -

VII.LEHER
Regio submandibula sinistra oedem (+), eritem (+), kalor (+), nyeri tekan (+),
fluktuasi (+), angulus submandibula tidak teraba.
Kelenjar limfe submandibula : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe servikal : tidak teraba membesar

VIII. MAKSILO-FASIAL
Parese nervus cranial : tidak ada
Bentuk : deformitas (-); hematom (-)

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Belum dilakukan pemeriksaan penunjang


4. RESUME
OS, perempuan usia 24 tahun datang dengan keluhan bengkak dibawah rahang kiri
dirasakan pasien sejak 2 hari sebelum MRS, bengkak semakin lama semakin besar.
Bengkak disertai adanya nyeri dan panas pada rahang bawah. Pasien susah membuka
mulut sejak 2 hari sebelum MRS, pasien sulit makan, minum dan berbicara. Pasien juga
mengeluhkan adanya demam sejak 3 hari sebelum MRS. Awalnya pasien mengeluhkan
amandelnya yang kambuh, sehingga pasien merasakan sakit jika menelan sejak 1 minggu
sebelum MRS. Pasien mengkonsumsi obat amoxicilin dan paracetamol sejak 5 hari
SMRS, namun keluhan tidak berkurang, Pasien juga mengatakan alergi terhadap
ciprofloksasin dan levofloksasin. Dalam 2 tahun ini, OS mengaku memiliki amandel yang
sering kambuh sekitar 2-3 kali dalam setahun dan pasien sering mengkonsumsi
amoxicillin untuk keluhannya.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan :


Mulut: trismus 2 cm, fetor (+), gigi geligi : sulit dievaluasi
Faring sulit dievaluasi.
Leher : Regio submandibula sinistra oedem (+), eritem (+), kalor (+), nyeri tekan (+),
fluktuasi (+), angulus submandibula tidak teraba.

5. DIAGNOSIS BANDING
- Abses parafaring
- Abses submandibula
- Abses retrofaring
- Abses peritonsil

6. DIAGNOSIS KERJA

Abses Parafaring

7. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan Darah Rutin
- CT SCAN
- Pemeriksaan laboratorium berupa kultur pus dan uji resistensi kuman
8. PENATALAKSANAAN.

A. Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm
- Injeksi Ceftriaxone 1x2 gr IV (skin test)
- Injeksi Metronidazole 3x500 mg IV
- Injeksi Ranitidin 2x1 ampul
- Injeksi Tramadol 2x1 ampul

9. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam

PEMBAHASAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa
nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terkena.1,2,3,4
Secara anatomi daerah potensial leher dalam merupakan daerah yang sangat komplek.
Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang potensial leher secara baik, serta penyebab abses
leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi
dan penatalaksanaan yang adekuat.
Tidak ada angka estimasi yang diperoleh terhadap kejadian abses leher dalam. Namun
diperkirakan bahwa kejadian abses leher dalam menurun secara bermakna sejak era
pemakaian antibiotik.5,6 Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam
hal ini.6 Sebelum era antibiotik, 70% infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di
faring dan tonsil ke parafaring. Saat ini infeksi leher dalam lebih banyak berasal dari tonsil
pada anak, dan infeksi gigi pada orang dewasa. 1,2,3,4
Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob,
anaerob maupun fakultatif anaerob. Kultur dari abses retrofaring 90% mengandung kuman
aerob, dan 50% pasien ditemukan kuman anaerob. Disamping drainase abses yang optimal,
pemberian antibiotik diperlukan untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik
yang efektif terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan
antibiotik terhadap kuman. Namun ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga
diperlukan pemberian antibiotik secara empiris. Berbagai kepustakaan melaporkan pemberian
terapi antibiotik spektrum luas secara kombinasi. Kombinasi yang diberikan pun bervariasi.
1,2,3,4

Anatomi Leher
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua
fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma
sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior
untuk berinsersi di bagian inferior mandibula.6-9
Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem muskuloapenouretik,
yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagian
dari daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3
lapisan, yaitu:6,7
Lapisan superficial : lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar
tengkorak sampai daerah thorax dan aksilla. Pada bagian anterior menyebarkan ke
daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus
m.sternokleidomastoideus, m.trapezius, m.masseter, kelenjar parotis dan submaksila.
Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer, lapisan pembuingkus dan
lapisan anterior.
Lapisan tengah/ media (Middle deep cervical fascia, visceral fascia) : yang dibagi dua
yaitu divisi muskular (terletak di bawah lapisan superficial fasia servikalis profunda
dan membungkus m.sternohyoid, m.sternotiroid, m.tirohyoid, dan m.omohyoid.
Dibagian superior melekat pada os hyoid dan kartilago serta dibagian inferior melekat
pada sternum, klabvikula dan scapula) dan divisi visceral (membungkus organ-organ
anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan esophagus. Disebelah posterosuperior
berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esophagus sedangkan bagian
anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hyoid. Lapisan ini berjalan ke
bawah sampai ke thorax, menutupi trakea dan esophagus serta bersatu dengan
pericardium. Fasia bukofaringeal adalah bagian dari divisi viscera yang berada pada
bagian posterior faring dan menutupi m.konstriktor dan m.buccinator).
Lapisan dalam/ profunda (Deep layer of the deep cervical fascia, prevetebra fascia) :
dibagi menjadi dua yaitu divisi alar (terletak diantara lapisan media fasia dan
servikalis profunda dan divisi prevetebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis
profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan
merupakan dinding anterior dari danger space) dan divisi prevetebra (berada pada
bagian korppus vertebra dan lateraql meluas ke prosesus transverses serta menutupi
otot-otot di daerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus
serta merupakan dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus
vertebra).

Gambar 2. Fascia profunda. 6,7


Ruang potensial leher dalam
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.
Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari:

ruang retrofaring
ruang bahaya (danger space)

ruang prevertebra.
Ruang suprahioid terdiri dari:

ruang submandibula

ruang parafaring

ruang parotis

ruang mastikor

ruang peritonsil

ruang temporalis.

Ruang infrahioid:
ruang pretrakeal.

Gambar 3. Potongan Sagital Leher. 6,7


Abses Leher Dalam

1. Abses Parafaring
Ruang parapharyngeal adalah ruang potensial penting di leher yang tidak hanya untuk
penyebaran pertumbuhan tumor kepala dan leher tetapi juga untuk penyebaran infeksi yang
dapat melokalisasi di ruang ini untuk membentuk abses. Infeksi ruang parapharyngeal
merupakan komplikasi infeksi faring. Kondisi yang lain yaitu termasuk infeksi gigi geraham
gingivitis dan mastoiditis (abses Bezold). Infeksi dari sekitarnya dapat sampai ke ruang
parapharyngeal melalui otot styloglossus dari dasar mulut, ruang parotis dan ruang kontinyu
lainnya seperti ruang masseter, ruang peritonsillar, ruang submandibula dan kelenjar
submandibular. Jika tidak diobati, infeksi dapat menyebar ke ruang retropharyngeal dan turun
ke mediastinum. tromboflebitis jugularis, sepsis postangial, trombosis sinus kavernosus dan
perdarahan dari arteri karotis dapat terjadi ketika infeksi melibatkan pembuluh darah besar. 1,2
Ruang parapharyngeal (ruang pharyngomaxillary, ruang faring lateral) adalah
berbentuk ruang corong dengan basisnya di dasar tengkorak dan puncaknya pada cornu
mayus dari tulang hyoid. Batas medial ruang ini dibentuk oleh otot konstriktor superior dan
fossa ton-sillar. Batas lateral yang terbentuk masing-masing dari anterior ke posterior oleh
otot pterygoideus medial, permukaan medial dari ramus mandibula, lobus yang mendalam
dari kelenjar parotis dan perut posterior dari otot digastrikus. Persimpangan businator dan
otot konstriktor superior yang membentuk raphe ptery-gomandibular merupakan batas
anterior. Batas posterior adalah tulang punggung dan otot-otot pra-vertebral. 1,2
Ruang ini dibagi menjadi kompartemen oleh aponeurosis styl-opharyngeal.
Kompartemen anterior mengandung jaringan ikat, otot dan kelenjar getah bening. Iritasi otot
pterygoideus medialis dapat mengakibatkan trismus. Pembuluh darah besar dan saraf kranial
yang lebih rendah dijalankan melalui kompartemen posterior. Infeksi ruang ini berbahaya
karena dapat menyebar inferior ke mediastinum dan mungkin melibatkan pembuluh darah
besar. Erosi dari arteri karotis dapat menyebabkan perdarahan. 1,2

Definisi

Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan saat
tonsilektomi, limfogen dan hematogen. 1,2
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:1,2
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan
ruang parafaring dan fosa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.

Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk
abses sublingual, submental, submandibula, mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior
sampai M1 bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental.
Bila infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini
disebakan posisi akar gigi M2 dan M3 berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada
mandibula sedang gigi anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut. 1,2

Gambar 4. Jalur infeksi dari gigi.18


Gambar 5. Jalur perluasan potensial abses leher dalam. 18

Gejala dan tanda


Gejala dan tanda yang utama ialah demam, trismus, nyeri tenggorok, otalgia ,
odinofagia, disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus submandibula sehingga angulus mandibula tidak teraba,dan pembengkakan
diniding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial. 1,2
Terdapat trias tanda-tanda abses parafaring adalah (1) trismus, karena iritasi pada m.
Pterygoideus medialis, (2) pembengkakan dan indurasi di belakang angulus mandibula atau
di ujung bawah glandula parotis, (3) prolaps tonsil dan fossa tonsilaris karena terdesak ke
medial. 1,2

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium1
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian antibiotika yang sesuai.
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostik
yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak
dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher. 1,2
Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara
selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat digunakan untuk
mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran
kelenjar getah hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan
lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan
gambaran kontras pada dinding abses dan edema jaringan lunak disekitar abses. 1,2

Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob
dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan
antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi
dari luar dan inttra oral. 1,2
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis,
insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher). 1,2

Gambar 6. Insisi Mosher.25


Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri
eksplorasi dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang
parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap
insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. 1,2

Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum. 1,2
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila
terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau septikemia. 1,2

2. Abses Peritonsil (Quinsy)


Definisi
Abses peritonsil (Quinsy) adalah kumpulan nanah/ pus dalam ruang peritonsil. Abses
peritonsil merupakan kelanjutan dari infeksi tonsila palatine yang berlanjut menjadi selulitis
di daerah tonsila meluas sampai ke palatum molle. Kemudian terbentuk abses diantara kapsul
tonsil dengan dinding faring lateral. Pada penjelasan lain, dikatakan abses peritonsil terbentuk
dari kelompok kelenjar di fossa supratonsil yang terinfeksi. Kelenjar ini dikenal sebagai
kelenjar Weber. Infeksi gigi dapat pula merupakan faktor predisposisi infeksi peritonsil.
Biasanya lebih banyak terjadi pada dewasa, jarang terjadi pada anak-anak. 1,2
Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan kuman
aerob dan anaerob. Streptococcus pyogenes (grup A beta hemolytic streptococcus)
merupakan kuman aerob yang paling sering dijumpai pada abses peritonsil. Infeksi gigi dan
merokok juga menjadi faktor resiko terjadinya abses peritonsil. 1,2

Etiologi
Etiologi dari abses peritonsil ini biasanya merupakan kelanjutan dari tonsillitis
berulang dari infeksi faringeal. Bakteri penyebab hampir sama dengan tonsillitis, yaitu
bakteri aerob dan anaerob. Bakteri aerob seperti Streptococcus, M. catharallis, H. influenza,
Staphylococcus, anaerob seperti Bacteroides, Peptocci, Fusobacteria. 1,2
Patogenesis
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar sehingga
infiltrasi atau supurasi ke ruang peritonsil tersering menempati area ini, sehingga palatum
molle tampak membengkak. Infeksi biasanya berasal dari kripta magna yang ada di dekat
kutub atas. 1,2
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), ditandai dengan area infiltrat yang
bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi (proses pembentukan nanah
akibat proses radang) sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlanjut ke area sekitarnya
akan menyebabkan iritasi pada muskulus pterigoid interna sehingga timbul trismus. Abses
peritonsil dapat pecah spontan dan menimbulkan komplikasi aspirasi ke paru. 1,2
Dalam penelitian terbaru, ada keterlibatan kelenjar Weber yang berperan dalam
terjadinya abses peritonsil dimana merupakan kumpulan sekitar 20-25 kelenjar ludah yang
berada langsung diatas rongga tonsil, di dalam palatum molle dan dihungkan dengan
permukaan tonsil oleh sebuah saluran. Kelenjar Weber berperan untuk membersihkan daerah
tonsil dari debris dan sisa-sisa makanan yang terperangkap. Jika kelenjar Weber mengalami
inflamasi, maka dapat terjasi selulitis lokal. Pada proses infeksi yang berlanjut terus-menerus,
saluran yang berada pada permukaan tonsil menjadi tersumbat. Nekrosis jaringan dan
terbentuknya nanah merupakan tanda dan gejala yang klasik dari abses peritonsil. 1,2

Tanda dan Gejala


Abses peritonsil biasanya didahului oleh nyeri tenggorokan selama 2-3 hari yang
secara perlahan-lahan menjadi lebih berat dan biasanya unilateral. Abses peritonsil bilateral
pernah dilaporkan namun jarang terjadi. Dapat terjadi nyeri alih pada telingan dan
pembengkakan pada leher akibat limfadenopati infektif. Pada pemeriksaan klinik dapat
ditemukan demam, takikardi, dehidrasi, trismus, pembengkakan tonsil dan palatum molle
unilateral, fluktuasi, eritema dan eksudat tonsil, pergeseran uvula ke medial. Nyeri adalah
faktor predominan pada abses peritonsil dan terjadi bersama dengan trismus dan
odinofagia1,2
Gejala klinis abses peritonsil terdiri dari:
Demam tinggi, suhu tubuh bisa mencapai 39-40 C atau lebih
Nyeri tenggorok yang berat, biasanya unilateral dan dapat menjalar ke telinga dan
sudut mandibula. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan nanah.
Nyeri menelan (odinofagia) yang disebabkan oleh inflamasi otot konstriktor faring
superior yang membentuk dinding lateral tonsil dan sulit menelan (disfagia) sehingga
intake oral berkurang
Hipersalivasi dan air ludah menetes dari sudut mulut
Suara tidak jelas seperti mengulum makanan, yang dikenal dengan sebutan hot
potato voice
Mulut berbau (foetor ex ore)
Sukar membuka mulut (trismus)
Nyeri bila menggerakan kepala ke lateral akibat infiltasi ke jaringan leher di region
tonsil

Pemeriksaan Fisik
Kadang- kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Orofaring terlihat
asimetris. Palatum molle tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba
fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong ke arah kontralateral. Mukopus dapat terlihat
menutupi daerah tonsil. Sering dijumpai limfadenopati leher pada sisi yang sakit. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan
bawah.

Gambar 7. Abses Peritonsil. 1,2


Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan adanya leukositosis. Pemeriksaan
radiologi yang dapat dilakukan antara lain X foto servikal lateral, CT Scan sevikal dengan
hasil adanya akumulasi cairan hipodens dan penyegatan pada tepinya. Ultrasonografi
intraoral juga dapat dilakukan untuk mengetahui abses peritonsil. Untuk mengetahui
komplikasi ke paru-paru dapat dilakukan X foto thorax. Aspirasi dengan jarum dapat
dilakukan untuk mengetahui apakah telah terbentuk abses. 1,2

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada abses peritonsil antara lain dengan aspirasi jarum, insisi dan
drainase, antibiotik intravena dan tonsilektomi. Pertama yang perlu diperhatikan adalah jalan
nafas. Indikasi rawat inap disesuaikan dengan kondisi umum pasien.
a. Konservatif
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik dosis tinggi dan obat simptomatik. Juga
perlu kumur-kumur cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Bila terdapat trismus,
maka untuk mengatasi rasa nyeri dapat diberikan analgetik (lokal) dengan
menyuntikkan xylocain atau novocaine 1% di ganglion sfenopalatina. Pasien sebaiknya
dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan infuse untuk mencegah dehidrasi.
Pemilihan antibiotik sangat tergantung kepada hasil biakan dan uji kepekaan dari pus
yang didapat melalui tindakan aspirasi. Antibiotik sebagai pilihan digunakan golongan
penicillin atau klindamicin, dan oat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan
hangat dan kompres dingin pada leher.
b. Operatif
Ada 3 prosedur operasi untuk pengobatan abses peritonsil, yaitu aspirasi jarum, insisi
dan drainase serta tonsilektomi
Aspirasi jarum/pungsi
Bila telah terbentuk abses, dilakukan aspirasi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan pus/nanah. Aspirasi abses merupakan gold
standard untuk menegakkan abses peritonsil.
Insisi dan drainase
Tempat insisi ialah daerah yang paling menonjol dan lunak, biasanya pada
bagian depan pilar anterior, batas antara 1/3 bagian atas dan tengah tonsil atau
pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham
atas terakhir pada sisi yang sakit.
Tonsilektomi
Setelah dilakukan insisi dan drainase kemudian pasien dianjutkan untuk
operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama tindakan drainase abses
disebut tonsilektomi achaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah
drainase abses, disebut tonsilektomi atide dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6
minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi afroid. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan setelaqh infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase
abses.4,5

Komplikasi
Abses dapat pecah spontan dan menyebabkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia
Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring yang dapat menyebabkan abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi
mediastinitis.
Infeksi meluas masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Infeksi dapat
turun ke bawah (mediastinum) melalui ruang visceral vascular. Ruangan ini adalah
ruang potensial dalam carotid sheath yang berada mulai dari dasar tengkorak hingga ke
mediatinum dan menerima kontribusi dari seluruh tiga lapisan fasia profunda dan dapat
menjadi tempat infeksi sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher
dalam termasuk dari ruang peritonsil.

3. Abses Retrofaring
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai dengan pembentukan
pus/ nanah pada daerah retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan hingga 5
tahun. Umumnya, terjadi karena pada usia tersebut, ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe dari hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring dan tuba Eustachius dan
telinga tengah. Sedangkan pada usia 6 tahun keatas, kelenjar-kelenjar tersebut mengalami
atrofi.1,6

Gambar 8. Abses Retrofaring. 4,5

Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinyan abses ruang retrofaring ialah
Abses retrofaring yang biasanya terjadi pada anak biasanya merupakan komplikasi
dari infeksi saluran nafas atas
Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan
medis, seperti anestesi lokal (jarum tidak steril), intubasi endotrakea dan endoskopi
Komplikasi dari spondilitis TB serta dipengaruhi oleh keadaan imunitas4

Tanda dan Gejala


Pada anak dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Pada
orang dewasa dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding
posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau riwayat batuk kronis. 4,5
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak kecil,
rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan dan minum susu/
ASI. Juga terdapat demam, leher bengkak dan nyeri. Pada keadaan lanjut keadaan umum
anak menjadi kurang baik, terdapat kekakuan leher dan nyeri pada penekanan. Jika
pembengkakan dinding posterior faring semakin besar dapat timbul perubahan suara,
hipersalivasi, sendi leher menjadi kaku dan kesukaran bernafas, penderita akan lebih nyaman
posisi berbaring dengan leher ekstensi. 4,5
Inspeksi tampak pergerakan leher yang terbatas dengan limfadenopati servikal,
dinding faring menonjol (bombans) dan tampak berwarna merah, dengan palpasi akan
didapatkan fluktuatif positif, didapatkan pembengkakan limfadenopati leher servikal, bisa
unilateral atau bilateral. Bila terjadi rupture spontan dari abses tersebut akan menjadi sesak
nafas berat karena aspirasi pus yang dapat menimbulkan pneumonia aspirasi, abses paru dan
sepsis.1,4
Berdasarkan umur, gejala pada orang dewasa yaitu sakit tenggorokan, demam,
disfagia, odinofagia, leher sakit, dan dispneu. Gejala pada anak-anak diatas 1 tahun yaitu
sakit tenggorokan (84%), demam (64%), odinofagia (55%), dan batuk. Sedangkan gejala
pada bayi yaitu demam (85%), leher bengkak (97%), kurangnya asupan oral (55%), letargi
(38%) dan batuk (33%).4,5

Diagnosis
Anamnesis
Bayi dengan pembengkakan dinding faring tidak dapat dengan mudah dideteksi
dengan inspeksi dan palpasi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat
infeksi saluran nafas atas atau trauma.
Pemeriksaan klinis
Inspeksi pada dinding faring dapat memakai spatel lidah, kadang-kadang memerlukan
laringoskop untuk melihat hipofaring. Untuk memeriksa fluktuasi, pada anak
sebaiknya dihindari untuk mencegah abses pecah spontan.
Laboratorium:
Darah rutin : leukositosis, kultur spesimen untuk hasil aspirasi

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang laboratorium biasanya didapatkan leukositosis. Pemeriksaan
radiologi lain X foto servikal lateral, CT scan, MRI. Pada X foto servikal lateral akan
didapatkan gambaran pelebaran ruang retrofaring.7
Pembengkakan jaringan lunak pada region prevetebra dengan penebalan lebih dari 7
mm pada servikal II dan lebih dari 14 mm pada servikal VI pada anak dan lebih dari 22 mm
pada dewasa. 4,5
CT Scan membantu dalam menentukan lokasi abses dan keterlibatan struktur
pembuluh darah leher dan struktur di sekitarnya, digunakan sebagai panduan dalam insisi
drainase. 4,5

Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob
dan anaerob, diberikan secara parenteral. Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk
membasmi infeksi, mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.
b. Tindakan Bedah
Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien
baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau anesthesia umum. Pasien
dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda. Kadang-kadang, intubasi
endotrakeal atau krikotirotomi mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan tanda-
tanda obstruksi saluiran napas atas.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah pendesakan massa abses sehingga terjadi
obstruksi jalan nafas dan pecah spontan sehingga dapat terjadi aspirasi atau
pneumonia.

4. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot mylohyoid. Di dalam
ruang sublingual terdapat kelenjar liur sublingual beserta duktusnya. 4,5
Abses submandibula dan angina Ludovici (Ludwigs angina) dapat terjadi
karena adanya infeksi yang bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain. 4,5

Gambar 9. Linea mylohyoidea. 4,5


Etiologi
Sumber infeksi seringkali dari gigi molar ke dua atau ke tiga, ataupun
peradangan supuratif kelenjar limfe servikal di ruang submandibula yang merupakan
penyebab dari abses sublingual ataupun submental. Pada kasus yang berasal dari infeksi
gigi, sering ditemukan kuman anaerob Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium
Peptostreptococcus dan yang jarang adalah kuman Fusobacterium. Pada infeksi ruang
sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah di bagian superior dan posterior,
sehigga menghambat jalan nafas.6,8
Gambar 10. Abses Submandibula

Tanda dan Gejala


Demam dan nyeri leher yang disertai pembengkakan di bawah dagu atau dibawah
lidah baik unilateral atau bilateral, disertai demam, nyeri tenggorokan, atau trismus.7,8
Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan dapat berfluktuasi
atau tidak.

Gambar 11. Abses Submandibula. 4,5


Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus terkadang sulit untuk menentukan lokasi
abses terutama jika melibatkan beberapa daerah infeksi leher dalam dan jika pasien sudah
mendapatkan pengobatan sebelumnya, pada pasien biasanya dijumpai riwayat sakit gigi,
mengorek atau mencabut gigi. 4,5

Penatalaksanaan
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal
dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi
dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan
luas abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda. 4,5

5. Angina Ludovici (Ludwigs Angina)


Ludwigs angina atau angina ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa
selulitis atau flegmon dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang
submandibula, tidak membentuk abses dan tidak ada limfadenopati, sehingga keras pada
perabaan submandibula.1 Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan berlebihan pada
jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan kebelakang.4,6 Dengan demikian
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas secara potensial. 4,5

Etiologi
Penyebab angina Ludovici adalah trauma bagian dalam mulut/ infeksi odontogenik,
infeksi lokal pada mulut, karies gigi, terutama molar dua atau tiga bawah. Gigi-gigi ini
mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid, dan abses di sini akan
menyebar ke ruang submandibula. Organism paling banyak ditemukan pada penderita
Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. 4,5

Tanda dan Gejala


Tanda-tanda dan gejala Ludwigs angina adalah selulitis, nyeri tenggorok dan leher,
disertai selulitis yang berkembang pesat atau pembengkakan di daerah submandibula,
yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan (board-like). Demam, sakit gigi,
malaise, disfagia dan nafas berbau, serta trismus merupakan gejala yang umum. 4,5
Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar
mulut dan mendorong lidah ke atas dan belakang, sehingga menimbulkan sesak nafas
dan dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas secara potensial. 4,5

Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi,
gejala dan tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici, dapat terjadi fluktuasi. 4,5
Penatalaksanaan
Sebagai gold standard dalam penanganan angina ludovici adalah bebaskan
jalan nafas, kemudian diberikan terapi antibiotika dengan dosis tinggi, untuk kuman
aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu, dilakukan eksplorasi yang
dilakukan untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada
angina ludovici jarang terbentuk pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horizontal os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula), dengan demikian
menghentikan ketegangan yang terbentuk di dasar mulut. 4,5
Sebelum dilakukan insisi dan drainase, sebaiknya dilakukan persiapan terhadap
kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan dilakukan intubasi pada pasien.
Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber infeksi (gigi), untuk mencegah
kekambuhan dan pasien dirawat inap sampai infeksi nya reda. 4,5

Daftar Pustaka
1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008. Hal. 226-30.
2. Adams, G.L. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar
Penyakit THT. Jakarta : EGC. 1997. Hal.333.
manajemen bedah

Semua sembilan pasien menjalani eksplorasi leher dan drainase abses di bawah anestesi
umum.
Intubasi endotrakeal tidak masalah dalam delapan pasien. Satu pasien membutuhkan
fibreoptic dipandu endo-intubasi trakea. Tidak ada pasien yang diperlukan trakeostomi pra-
operasi atau dukungan pernapasan pasca-operasi.

teknik operasi
Sayatan kulit tranverse atas ditempatkan 1 cm di bawah dan sejajar dengan badan
mandibula untuk menghindari cabang mandibula dari saraf wajah digunakan pada semua
pasien. Ketika fasia serviks yang mendalam ditemui, ekor akhir parotis dan posterior dari
kelenjar subman-dibular diidentifikasi. Ruang parapharyngeal dimasukkan awalnya dengan
forsep. Abses rongga kemudian dieksplorasi dengan jari seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4. Semua loculations dipecah dengan diseksi jari tumpul. Rongga tersebut kemudian
memadai dikeringkan dan saluran air ditempatkan di bagian superior dan inferior dari ruang
parapharyngeal dan sayatan eksternal adalah par-tially ditutup.
Abses parapharyngeal terlokalisasi ke ruang parapharyngeal kiri pada empat pasien;
parapha- tepat
ruang ryngeal di empat pasien dan melibatkan kedua ruang parapharyngeal pada satu pasien.
Pada pasien ini, abses juga diperluas ke ruang submandibula di kedua sisi. Sebuah jumlah
yang moderat nanah terkuras pada semua pasien. Semua pasien diekstubasi dengan-out
masalah pasca-operasi dan dirawat di unit perawatan ketergantungan yang tinggi di bangsal
umum selama 24 jam.
komplikasi pasca operasi
Tidak ada komplikasi utama dalam tujuh pasien. Mereka dipulangkan dari rumah sakit
antara 7-24 d (mean 12,9 d) setelah masuk.
Kematian
Ada dua kematian. Satu pasien menderita infark miokard akut pada hari pasca operasi
kedua dan meninggal karena gagal jantung pada hari pasca operasi kesepuluh. pasien
mengembangkan pneumonia aspirasi lain pada hari pasca operasi kedua dan duo-Denal
ulkus perforasi pada hari pasca operasi ketujuh. Sebuah laparotomi Emer-Menurut
Kabupaten dan perbaikan dari ulkus duodenum berlubang dengan vagotomy truncal
dilakukan. Dia luka kerusakan dan 'meledak perut' pasca-operasi. Meskipun terapi anti-
mikroba agresif, ia mengembangkan Gram septicemia negatif dan meninggal pada hari ke-
36 setelah masuk.

Bakteriologi
Nanah diperoleh dari abses parapharyngeal adalah

Anda mungkin juga menyukai