Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PAPER FILSAFAT PANCASILA

MERAJALELANYA PEDOFIL KARENA LEMAHNYA


HUKUM DAN PERLINDUNGAN
Dosen Pengampu:

Dr. Agustinus W. Dewantara, S.S., M.Hum

Disusun oleh:
Sasti Nindi Nur Lintang
3903019043
Manajemen B

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Madiun


Tahun 2019/2020
ABSTRAK

Kekerasan seksual pada anak-anak dibawah umur sudah menjadi momok bagi
masyarakat di negara kita tercinta ini, Indonesia. Pasalnya tidak hanya terjadi sekali
ataupun dua kali di negara kita tercinta ini. Sudah sangat sering dan menjadi sesuatu yang
membudaya bahkan menurut yang saya pelajari semakin tahun jumlah korban pelecehan
seksual pada anak semakin bertambah.
Seperti yang kita tahu bahwa banyak orang mempresepsikan pelecehan seksual
pada anak di bawah umur adalah tindakan seorang pedofil. Padahal pemikiran itu tidaklah
selalu benar. Bahwasanya banyak pelaku-pelaku pelecehan seksual pada anak di luar sana
yang melakukan tanpa mempunyai riwayat penyakit pedofilia.
Pedofilia adalah sebuah penyakit gangguan seks yang harus disembuhkan dengan
para ahli. Bukan berarti para pedofil sengaja melakukan hal tersebut hanya karena semata-
mata untuk bersenang-senang saja.
Korban pelecehan seksual pada anak dengan semestinya harus segera ditangani.
Namun tak dapat dipungkiri banyak korban yang tidak berani menyuarakan akan hal
tersebut, terlebih mereka masih anak-anak dibawah umur yang masih belum bisa berfikir
dengan matang.
Pada dasarnya otak anak tanpa sadar akan merekan kejadian apapun yang
dialaminya, entah itu hal baik maupun buruk. Ketika seseorang sudah memberikan bekas
yang pahit dan tidak segera ditangani, hal terburuk akan terjadi mulai dari menjadi orang
yang menyendiri, depresi, hingga rasa balas dendam dan menjadikannya seorang pedofil
pun sangat berpeluang.

Tiga kata kunci:

- Seksual
- Pedofil
- Anak
LANDASAN TEORI

Pedofilia adalah gangguan seksual pada orang dewasa berupa nafsu tehadap remaja
atau anak-anak usia di bawah 14 tahun, sedangkan orang yang mengidap pedofilia disebut
pedofil. Seseorang dapat dianggap pedofil apabila usianya minimal 16 tahun.
Menurut orang awam dan yang beredar di media sosial, pedofilia lebih dikenal
sebagai aksi pelecehan pada anak. Definisi ini kurang tepat dan tidak akurat. Perlu
diketahui bahwa pedofilia adalah sebuah penyakit yang harus disembuhkan dengan cara
direhabilitasi dan konsultasi rutin dengan para ahli psikolog. Tidak semua pedofilia
melakukan pelecehan seksual pada anak-anak, dan tidak semua yang melakukan pelecehan
seksual pada anak-anak adalah seorang pedofil.
Penyebab pedofilia masih belum dapat diketahui dengan jelas. Kesulitan untuk
menentukan penyebab yang pasti juga didasari oleh perbedaan karakteristik pada setiap
orang. Menurut penelitian pada beberasa pasien pedofil gejala yang dirasakan antara lain
perasaan inferior, terisolasi, dan bahkan depresi.
Banyak sekali korban pedofil yang tidak melaporkan karena berbagai macam
faktor, terutama faktor sosial yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sebagai
makhluk sosial, sebagaian dari mereka sebagai korban menutup dirinya dari lingkungan
sekitar, entah itu karena sebuah ancaman ataupun rasa takut tentang diskriminasi. Mereka
yang tidak berani bersuara akan menjadikan sebuah kenangan pahit yang membekas
seumur hidup dan menjadikan seseorang memiliki trauma yang tinggi, belum lagi jika hal
tersebut akan menjadi sebuah penyakit dalam dirinya sendiri dan kemungkinan besar bisa
mengindikasikan ia akan menjadi seorang pedofil.
Terlebih lagi bagaimana kita bisa mewujudkan tujuan negara: “the good life”
sedangkan arti dari hidup baik yang dimaksudkan adalah happiness. “Kebahagiaan
menunjuk kepada self-sufficient; kebutuhan tercukupi. Aristoteles menggagas polis
sebagai sistem hidup bersama memaksudkan pertama-tama agar kebutuhan para
anggotanya tercukupi. Sekurang-kuranngnya kebutuhan fisik, ekonomi, keamanan,
pendidikan, dan segala sesuatu untuk dapat hidup cukup, meskipun happiness tidak hanya
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan material. Happiness yang dimaksudkan
Aristoteles juga menunjuk pada realisasi prinsip-prinsip keadilan dalam tata hidup
bersama.” Dewantara (2017;117)
ARGUMENTASI

Yang baru saja terjadi di negara ini tepatnya di Kota Padang, seorang anak berusia
12 tahun yang menderita penyakit kanker rektum stadium 4. Bukan suatu hal yang wajar
bagi anak usia 12 tahun untuk mengidap penyakit berbahaya seperti itu yang sudah
stadium 4. Hal ini terjadi karena akibat pelecehan seksual yang dialaminya pada
pertengahan 2018 lalu oleh seorang pedofil.
Gejala awal yang dirasakannya adalah sering merasakan sakit pada organ intim dan
perut bagian bawah. Pada bulan Maret lalu ia mengalami pendarahan, usia 12 tahun adalah
usia awal bagi anak-anak perempuan kebanyakan mengalami datang bulan pertamanya.
Oleh karena itu orang tuanya hanya menganggap bahwa ia sedang datang bulan. Namun
karena sakitnya yang tak kunjung sembuh, saat itu juga ia dibawa ke bidan terdekat dan
akhirnya terungkap bahwa ia pernah mengalami pelecehan skesual pada tahun 2018 silam.
Orang tuanya pun langsung membawanya ke Rumah Sakit Djamil, Padang.
Ia mengaku tak berani menceritakan permasalahan yang dialaminya karena
diancam oleh si pelaku yang mencabulinya. Hingga akhirnya kini bocah malang tersebut
harus menerima kenyataan pahit di usia yang masih belia itu. Terlebih lagi organ intimnya
mengalami luka.
Pada kasus lain ada sebuah video yang beredar di media sosial yang berisi anak
laki-laki dibawah umur dengan seorang wanita dewasa. Pada tahun 2011-2014 menurut
riset korban kekerasan seksual pada anak yang paling banyak terjadi adalah pada
perempuan, sedangkan karena adanya perubahan tren pada tahun 2015-2017 bergeser
menjadi kekerasan seksual pada anak banyak terjadi pada anak laki-laki. Dapat
disimpulkan disini bahwa tidak hanya anak perempuan yang rentan menjadi korban
kekerasan seksual, namun sekarang anak laki-laki pun juga rentan menjadi korban.
Motif seorang pedofil sangat banyak, yang paling mudah dilakukan adalah dengan
“mengimingi-imingi” atau menjanjikan sesuatu yang ia inginkan, juga bisa dengan cara
mendekati orang tua dari sang anak tersebut untuk mendapatkan simpati dan kepercayaan
lalu memeprdayanya. Banyak orang tua yang sudah melaporkan kasus kekerasan seksual
yang terjadi pada anaknya, tetapi saya yakin bahwa lebih banyak sebenarnya bagi mereka
yang belum melapor karena berbagai faktor, entah itu karena rasa malu, rasa takut tentang
diskriminasi sosial, atau bisa jadi sebuah ancaman dan masih banyak lagi.
Tidak hanya pedofil, sekarang “pembeli seks” mengalami pergeseran yaitu tidak
hanya menikmati orang dewasa, namun lambat laun menjadi ke anak- anak dan tidak
hanya menikmatinya secara langsung, karena sekarang banyak oknum-oknum yang
memeperjual belikan foto ataupun video yang sengaja memproduksi pornografi dengan
memanfaatkan anak-anak. Tidak hanya di Indonesia, di Filipina, Thailand, Kamboja, dan
Vietnam menjadi target pembuatan video dan foto tersebut untuk diperjualbelikan. Jika
membahas kasus kekerasan seksual pada anak sebenarnya tidak hanya membahas tentang
suatu penyakit yang disebut pedofilia dan pelakunya yang disebut pedofil, namun juga
banyak oknum yang terkait yang tidak pernah disebutkan oleh pihak polisi.
Suatu riset menyatakan bahwa ada suatu website di Amerka Serikat yang
pemiliknya tersebut adalah orang Indonesia yang berganti menjadi Warga Negara Asing,
dimana untuk mengakses website tersebut harus menggunakan suatu akun bank dan
pembayaran menggunakan sistem transfer bank tersebut (dimana bank tersebut menjadi
salah satu bank swasta terbesar di Indonesia). Dari sini kita mengetahui bahwa tidak hanya
Bank yang terlibat, namun harus dipertanyakan dimana tempat memproduksi suatu video
atau foto tersebut? Tentu saja jawaban yang paling tepat adalah sebuah hotel.
Tidak banyak orang yang memikirkan akan hal itu, karena orang orang awam
hanya memikirkan bagaimana seorang pedofil dihukum dan korban harus dilindungi.
Padahal disisi lain masih banyak lagi yang harus diperhatikan. Seperti hotel-hotel tersebut
harus ditindak lanjuti, karena sudah ada larangan dalam World Trade Organization (WTO)
bahwa hotel tidak boleh dipakai sebagai tempat eksploitasi. Jika dipikirkan lebih dalam
lagi, tidak mungkin pihak hotel tidak tahu. Karena kode etik perhotelan mengatakan
apabila anak-anak check in dengan orang dewasa yang diduga bukan orang tuanya apalagi
keluarganya sepatutnya pihak hotel wajib mempertanyakan hal tersebut. Dari sini sudah
terlihat bahwa tidak hanya bank yang telibat namun hotel juga terlibat.
Video atau foto yang diproduksi tersebut lalu diperjualbelikan di website-website
luar negeri. Hal tersebut memang “lumrah” dan menjadi legal diluar negeri dengan catatan
usia di atas 18 tahun. Karena oknum-oknum tidak kehabisan akal, mereka menerapkan
pemalsuan usia. Katakanlah dalam keterangannya para oknum tersebut merubah usia yang
semestinya, misal Ani 19 tahun, atau Ana 21 tahun, padahal sebenarnya yang terdapat di
dalam video atau foto tersebut adalah seorang anak-anak dibawah umur.
Pada suatu kasus lain, ada salah satu pedofil yang tertangkap. Ketika di interigasi
oleh pihak berwajib ia mengakui kesalahannya sudah mencabuli 41 anak. Pelaku tersebut
dikenai pasal 82 Undang-Undang Dasar no. 38 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Ketika diinterogasi lebih dalam lagi, pelaku mengakui bahwa dulu ia juga menjadi seorang
korban pedofil namun karena ia tidak segera ditangani dan direbahilitasi dengan
semestinya mengakibatkan ia tanpa disadari menjadi seorang pedofil. Dari sisi psikologi
seseorang mengalami traumatik sehingga menjadi kenangan buruk yang membekas
membuat rasa takut, khawatir yang lambat laun membuatnya mempunyai rasa balas
dendam.
Pedofilia adalah suatu keputusan medis yang merupakan sebuah penyakit. Sehingga
tidak semua kejahatan seksual pada anak dapat dikatakan sebagai seorang pedofil. Bahkan
di Jerman para pedofil tidak dipenjara, namun direhabilitasi dalam rumah sakit selama
bertahun-tahun oleh para ahli.
Ada seorang ahli dari Bali, Luh Ketut Suryani. Menurut catatan, Luh Ketut Suryani
adalah seorang kepala Psikiatri di Universitas Udayana. Dia telah menulis ecara luas
tentang berbagai topik mulai dari meditasi hingga budaya Bali. Dia adalah seorang advokat
terhadap pedofilia dan pendiri Komite Menentang Pelecehan Seksual, sebuah LSM yang
berbasis di Jakarta. Ia telah berhasil menyembuhkan 13 orang yang menjadi korban
seorang pedofil dan terindentifikasi akan menjadi seorang pedofil.
“Anda tidak memiliki Child Protection Policy untuk sekolah-sekolah yang ada di
Indonesia sehingga apa yang terjadi, banyak pelaku kejahatan seksual itu memilih profesi-
profesi sebagai guru, tenaga medis, atau baby sitter yang berdekatan aksesnya dengan
anak-anak. Jadi selama kita tidak memiliki sistem recruitment untuk mengawasi terhadap
profesi-profesi ini yang masuk, di Bali itu pedofil jadi guru Bahasa Inggris yang tertangkap
beberapa tahun yang lalu, satu bagian lagi voluntir untuk sekolah-sekolah itu hal lazim
juga. Voluntir ini membantu sekolah, jadi memang akses kepada anak dekat dan memilih
profesi itu” Kritik Ahmad Sofian kepada Kementerian Pendidikan dalam perbincangan
dalam CNN Indonesia.
Jadi seharusnya hukum dan perlindungan di Indonesia lebih bisa membedakan
mana yang harus dihukum dan mana yang harus diobati. Sehingga para korban tidak
menjadi trauma yang berkepanjangan yang bisa memnyebabkan suatu hal yang fatal dan
para pedofil pun juga bisa diobati dengan semestinya. Sedangkan para pelaku pelecehan
seksual pada anak-anak, yang mengeksploitasi anak-anak untuk melakukan hal-hal yang
tidak semestinya pun juga harus dihukum dengan semestinya. Sesungguhnya, karena
langkanya para ahli tentang penyakit pedofilia di Indonesia menjadikan banyak kurang
tepatnya penanganan pedofilia di Indonesia dan lemahnya perlindungan serta kurangnya
edukasi tentang seks di Indonesia menjadikan para korban takut untuk melaporkan hal
yang sebenarnya terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

DEWANTARA, Agustinus. Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini. 2017

Anda mungkin juga menyukai