Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Askep jantung kongestif

Kelompok 1
Apricia kusuma dewi (2011081)
Dewi alfrida (2011087)
Dila sri oktaviani (2011088)
Dinda happy ayu (2011089)
Lewinda okta uly s(2011099)
Meisya dwi syafitri (2011102)
Rosa aulia (2011108)
Tingkat 2C

STIKES RUMAH SAKIT HUSADA


JL.RAYA MANGGA BESAR NO. 137-139

JAKARTA PUSAT
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
guna memenuhi tugas mata kuliah Konsep Dasar Keperawatan. Dalam penyusunan
makalah ini, kami mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak,
untuk itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1.Kedua orang tua kami yang tidak pernah putus mendoakan, memberikan semangat,
motivasi hingga tercapainya semua ini.

2.Kepada teman-teman kelas kami atas kesetiaan, pengertian dan kekompakan dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa
mendatang. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan semua pihak yang membaca.

Jakarta, 13september 2021

Kelompok 1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ II

DAFTAR ISI ............................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1

1.3 Tujuan Umum ....................................................................... 2

1.4 Tujuan Khusus ................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 3

2.1 Definisi jantung kongestif............................................................... 3

2.2 Etiologi penyakit jantung kongestif............................................... 3

2.3 Patofisiologi penyakit jantung kongestif....................................... 5

2.4 Manifestasi klinik jantung kongestif..............................................

2.5 Komplikasi penyakit jantung kongestif.........................................

2.6 Pemeriksaan diagnostik ..................................................................

2.7 Penatalaksaan penyakit jantung kongestif ..................................

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA JANTUNG KONGESTIF

3.1 Pengkajian Keperawatan

3.2 Diagnosa Keperawatan

3.3 Intervensi Keperawatan

3.4 Implementasi Keperawatan

3.5 Evaluasi Keperawatan

BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 11

4.1 Kesimpulan ..................................................................................... 11


4.2 Saran ................................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 9

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi


jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri
diikuti gagal jantung kanan, terjadi di dada karena peningkatan kebutuhan oksigen
(Mansjoer, 2009). Menurut Brashers dalam Syandi (2008) masalah kesehatan dengan
penyakit Congestive Heart Failure (CHF) masih menduduki peringkat yang tinggi. CHF
merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas yang tinggi. WHO (2013)
melaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika menderita CHF. Kajian
epidemiologi menunjukkan bahwa ada 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika
Serikat menderita Congestive Heart Failure (CHF) terjadi 700.000 perawatan di rumah
sakit pertahun. Sedangkan di Eropa dan Jepang masing-masing terdapat sekitar 6 juta
dan 2,5 juta kasus dan hampir 1 juta kasus baru didiagnosa tiap tahunnya di seluruh
dunia. Gagal jantung merupakan salah satu penyakit jantung yang angka kejadiannya di
Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Berdasarkan Hasil Riskesdas Kemenkes RI (2013), prevalensi penyakit jantung coroner


di Indonesia mencapai 0,5% dan gagal jantung sebesar 0,13% dari total penduduk
berusia 18 tahun keatas. 1 2 Menurut Rosdahl (2015) gagal jantung diderita oleh sekitar
5 juta orang di Amerika Serikat, dengan 500.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahun.
Berlawanan dengan penurunan kematian akibat penyakit kardiovaskuler lain, insiden
gagal jantung dan kematian terkait dengan gagal jantung telah meningkat dengan stabil
sejak 1975. Sekitar 300.000 pasien meninggal karena konsekuensi langsung atau tidak
langsung dari gagal jantung setiap tahun dan jumlah kematian karena gagal jantung
terus meningkat 6 kali lipat setelah 40 tahun. Gagal jantung merupakan penyakit primer
pada orang berusia lanjut, mengenai 6% sampai 10% orang berusia lebih dari 65 tahun.
Penyakit ini juga merupakan kasus terbanyak yang menyebabkan orang berusia lanjut
dirawat di rumah sakit. Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD Wates Kulon
Progo didapatkan sejumlah 43 pasien yang menderita CHF yang dirawat di ICCU
selama tahun 2017. Pasien tersebut ada yang murni hanya CHF dan ada pula yang
menderita CHF disertai penyakit yang lain. Selain itu, salah satu ruang rawat inap di
RSUD Wates melaporkan bahwa CHF menduduki peringkat pertama dalam 10 besar
penyakit terbanyak yang diderita pasien dalam periode Januari 2017 sampai Januari
2018 dengan rincian sebanyak 122 pasien. Gagal jantung diklasifikasikan menjadi gagal
jantung kronik dan akut, gagal jantung kiri dan kanan, dan gagal jantung berdasarkan
derajatnya. Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah sesak nafas, batuk, mudah lelah,
kegelisahan yang diakibatkan gangguan oksigenasi dan disfungsi ventrikel. 3 Terapi
yang dapat dilakukan untuk pasien CHF meliputi terapi fisik, terapi okupasi, terapi
pernapasan, dan nutrisi. Jika CHF tidak segera ditangani maka akan menurunkan cara
kerja jantung dan darah tidak akan berfungsi dengan baik saat memompa darah.
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal jantung adalah aktual/
resiko tinggi penurunan curah jantung, nyeri dada, aktual/ resiko tinggi gangguan
pertukaran gas, aktual/ resiko tinggi ketidakefektifan pola nafas, aktual/ resiko tinggi
penurunan tingkat kesadaran, aktual/ resiko tinggi kelebihan volume cairan, dan
intoleransi aktivitas (Mutaqqin, 2009). Pada pasien gagal jantung kongestif dengan pola
nafas tidak efektif terjadi karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang
datang dari paru-paru sehingga terjadi peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru yang
menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru (Nugroho, 2016). Menurut Suratinoyo
(2016) pada pasien gagal jantung kongestif sering kesulitan mempertahankan oksigenasi
sehingga mereka cenderung sesak nafas. Seperti yang kita ketahui bahwa jantung dan
paru-paru merupakan organ tubuh penting manusia yang sangat berperan dalam
pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam darah, sehingga apabila paruparu dan
jantung tersebut mengalami gangguan maka hal tersebut akan berpengaruh dalam proses
pernapasan. Gagal jantung kongestif menyebabkan suplai darah ke paru-paru menurun
dan darah tidak masuk ke jantung. Keadaan ini menyebabkan penimbunan cairan di
paru-paru, sehingga menurunkan pertukaran oksigen dan karbondioksida.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu:

1. Apa pengertian jantung kongestif ?

2. Bagaimanaetiologi penyakit jantung kongestif?

3. Bagaimana patofisiologi penyakit jantung kongestif ?

4. Bagaimana manifestasi klinik jantung kongestif ?

5. Komplikasi penyakit jantung kongestif ?

6. Bagaimana pemeriksaan diagnostiknya ?

7. Penatalaksaan jantung kongresif ?

1.3 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari makalah ini, yaitu:

1. Mengetahuidefinisi jantung kongestif

2. Mengetahuibagaimana etiologi penyakit jantung kongestif

3. Mengetahui patofisiologi penyakit jantung kongestif

4. Mengetahuimanifestasi klinik jantung kongestif

5. Mengetahui komplikasijantung kongestif

6. Mengetahui pemeriksaan diagnostik jantung kongestif

Mengetahui penatalaksaan jantung kongestif

1.4 Tujuan Khusus


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi jantung kongestif

Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah


dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan
nutrien. Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume
diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan
kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.

2.2 Etiologi penyakit jantung kongestif

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :

1) Kelainan otot jantung Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot
jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan
penyakit degeneratif atau inflamasi.

2) Aterosklerosis koroner Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya


aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal Meningkatkan beban kerja jantung dan pada
gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.

4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif Berhubungan dengan gagal


jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan
kontraktilitas menurun.

5) Penyakit jantung lain Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung
yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya
terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup
semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium,
perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.
6) Faktor sistemik Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan
dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia
dan anemia diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen
sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung.
Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan
kontraktilitas jantung

2.3 patofisiologis penyakit jantung kongestif

Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem
tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak
mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai
dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu
keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik
yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung
atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi
yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan
pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga menyebabkan
aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam
oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.

Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function)


dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan
ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa
terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot
jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena
beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam
tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin
aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan
kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi
penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan
merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk
sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload
akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini
tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi
jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi
ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang
berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi
terbatas (misal pada penyakit 11 koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan
kontraktilitas.
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi
ventrikel.Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik
dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter.Disamping itu keadaan penyakit
jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke
miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan irama
dan sistem konduksi kelistrikan jantung.4,10 Beberapa data menyebutkan bradiaritmia
dan penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase kematian jantung
mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun.WHO
menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi mekanis
jantung, seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik
(emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas.

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan


kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO= HR X SV
dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup.Curah
jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat
frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme kompensasi
untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung. Tapi
pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung,
volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada
tiga faktor yaitu:

1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi
jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut jantung.

2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada


tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium.

3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk


memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan arteriole.
2.4 manifestasi klinik penyakit jangtung kongestif

Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien,


beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat,
apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan
jantung. Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :

1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.

2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer. Kematian pada CHF Aritmia dan gangguan aktivitas
listrik Hipertrofi dilatasi jantung Disfungsi diastolik dan disfungsi sistolik
Tromboemboli PJK yang berat Berdampak pada aliran darah pada myocard yang belum
infark Gangguan kontraktilitas

3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai
delirium.

2.5 komplikasi penyakit jantung kongestif

1. Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam


atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik
tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
2. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan
digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin).
3. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan
dosis ditinggikan.
4. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac
death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi,
amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai
peranan.

2.6 pemeriksaan diagnostik jantung kongestif


Pemeriksaan laboratorium pada gagal jantung mencakup pemeriksaan darah
perifer lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin serum, uji fungsi hati, profil lipid, thyroid-
stimulating hormone (TSH), asam urat, dan urinalisis.

 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada gagal jantung mencakup pemeriksaan darah perifer


lengkap, elektrolit, ureum, kreatinin serum, uji fungsi hati, profil lipid, thyroid-
stimulating hormone (TSH), asam urat, dan urinalisis. Apabila pasien tertentu memiliki
faktor risiko terhadap infeksi human immunodeficiency virus (HIV), skrining infeksi
HIV dapat dipertimbangkan

Pemeriksaan darah perifer lengkap dapat mengungkap adanya anemia yang bukan
hanya merupakan komorbiditas utama gagal jantung [2], tapi juga mungkin disebabkan
oleh kondisi lain seperti hemodilusi, penggunaan zat besi dalam tubuh yang buruk,
anemia akibat penyakit kronik, dan keganasan. Kadar elektrolit serum dapat membantu
mengidentifikasi hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat meningkatkan risiko
aritmia ventrikuler pada pasien gagal jantung [1]. Hiperkalemia biasanya
mengisyaratkan adanya gagal ginjal sebagai komplikasi gagal jantung kronik dan dapat
pula disebabkan oleh suplementasi kalium maupun efek samping obat penghambat
sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) . Selain itu, elektrolit serum juga dapat
menguatkan bukti adanya hiponatremia yang lazim terjadi pada pasien dengan gagal
jantung kronik serta akibat penggunaan diuretik dan pengaruh obat lain.

Peningkatan kadar kreatinin serum atau penurunan estimasi laju filtrasi glomerulus
(eGFR < 60 ml/menit/1,73 m2) dapat ditemukan pada pasien gagal jantung yang telah
mengalami komplikasi penyakit ginjal kronik, pasien dengan kongesti ginjal, dehidrasi,
penggunaan ACE-I, ARB, serta obat-obatan nefrotoksik lainnya. Namun, interpretasi
eGFR juga perlu dilakukan dengan saksama, khususnya pada pasien dengan penyakit
hati kronik yang dapat mengalami pelepasan kreatinin yang rendah (sehingga kreatinin
tampak normal) dan nilai murni eGFR tersamarkan oleh peningkatan bilirubin serum
serta penurunan albumin

Hasil pemeriksaan fungsi hati yang abnormal pada pasien dengan gagal jantung akut
dapat berkaitan peningkatan risiko kematian total. Secara spesifik, peningkatan kadar
transaminase serta penurunan albumin pada hari ketiga sejak perawatan merupakan
prediktor independen luaran mortalitas buruk 6 bulan pada pasien gagal jantung akut.
Parameter enzim kolestatik alih-alih kadar transaminase lebih berkaitan dengan
keparahan gagal jantung kronik. Sementara itu, peningkatan transaminase lebih jelas
terlihat pada pasien gagal jantung akut dan syok kardiogenik meskipun enzim kolestatik
juga dapat sedikit meningkat.
Pemeriksaan profil lipid puasa amat penting pada pasien gagal jantung dengan berbagai
stadium keparahan. Pada pasien gagal jantung stadium A, terapi hiperlipidemia pada
pasien yang berisiko tinggi dapat membantu menekan risiko gagal jantung di masa yang
akan datang [2]. Pemeriksaan fungsi tiroid terutama penting pada pasien yang memiliki
riwayat penyakit tiroid atau pernah mengalami aritmia ventrikuler akibat tirotoksikosis .
Di sisi lain, peningkatan TSH disertai kadar hormon tiroid yang rendah dapat
mengindikasikan suatu hipotiroidisme. Hipotiroidisme dapat berpengaruh terhadap
luaran pada pasien gagal jantung yang mendapat terapi resinkronisasi jantung maupun
pasien gagal jantung secara umum .

Asam urat dapat meningkatkan stres oksidatif, vasokonstriksi, dan disfungsi endotel
serta peningkatan risiko gagal jantung. Pemeriksaan asam urat pada gagal jantung perlu
dilakukan sebagai prediktor risiko kejadian kardiovaskuler pada gagal jantung seperti
fibrilasi atrium, perawatan berulang di RS, dan mortalitas jangka panjang. Sementara
itu, urinalisis akan sangat membantu dalam mengidentifikasi sedimen urin abnormal
pada kasus gagal jantung imbas penyakit glomerulus maupun sebagai prediktor adanya
kerusakan organ seperti albuminuria.

 Pemeriksaan Biomarker

Pasien dengan gagal jantung awitan baru atau mengalami dekompensasi akut perlu
menjalani pemeriksaan biomarker untuk mendukung temuan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.

BNP (brain natriuretic peptide) dan NT-proBNP (N-terminal pro-B-type natriuretic


peptide) merupakan biomarker gagal jantung yang muncul sebagai akibat dari
peregangan ventrikel dan stres pada dinding ventrikel. Pasien dengan gagal jantung akut
umumnya memiliki nilai BNP dan NT-proBNP yang jauh lebih tinggi dibandingkan
pasien dengan gagal jantung kronik yang stabil. Namun, berbagai kondisi lain juga
dapat menimbulkan peningkatan NT-proBNP seperti penyakit jantung katup, hipertensi
pulmonal, penyakit jantung iskemik, aritmia atrium. Oleh sebab itu, interpretasi kadar
BNP dan NT-proBNP perlu hati-hati dengan mempertimbangkan data anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang lainnya secara akurat.

 Pemeriksaan Noninvasif

Ekokardiografi, pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging/MRI),


computed tomography (CT) jantung, dan pencitraan nuklir merupakan metode
pemeriksaan noninvasif yang dapat dipertimbangkan dalam mendiagnosis gagal
jantung.

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan noninvasif awal yang disarankan bagi seluruh


pasien yang datang dengan manifestasi gagal jantung. Ekokardiografi 2 dimensi dengan
Doppler bermanfaat dalam menilai fungsi, ukuran, ketebalan dinding, gerakan dinding
ventrikel, serta fungsi katup jantung. Apabila terdapat temuan klinis yang mengarah
pada diagnosis penyakit jantung katup, diseksi aorta, endokarditis, penyakit jantung
kongenital, dan trombus intrakaviti pada kasus fibrilasi atrium yang memerlukan
kardioversi, teknik ekokardiografi transesofageal dapat dipertimbangkan.

MRI jantung memiliki kelebihan dibandingkan ekokardiografi dalam hal penyangatan


resolusi, kemampuan dalam evaluasi ukuran dan fungsi ventrikel, serta penilaian adanya
pirau dan katup. Meskipun bukan pemeriksaan noninvasif yang rutin dilakukan pada
gagal jantung, MRI dapat dipertimbangkan apabila perlu dilakukan identifikasi penyakit
infiltratif pada jantung (misalnya amiloidosis, hemokromatosis), membedakan
kardiomiopati iskemik dari non iskemik, dan miokarditis.

CT jantung terutama baik dilakukan untuk memvisualisasi anatomi arteri koroner pada
pasien gagal jantung yang memiliki pre-test probability penyakit jantung koroner yang
rendah atau hasil uji stres non invasif yang meragukan. Seperti halnya CT jantung,
pencitraan nuklir juga dapat membantu penilaian iskemia dan viabilitas jaringan. Selain
itu, pencitraan nuklir juga dapat membantu menilai prognosis pasien gagal jantung
dengan kardiomiopati iskemik yang memerlukan penilaian perfusi miokard
dibandingkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dalam penentuan prognosis.

 Pemeriksaan Invasif

Angiografi koroner, kateterisasi ventrikel kiri, evaluasi kateter arteri pulmonal dan
biopsi endomiokard adalah beberapa pemeriksaan invasif yang mungkin perlu
dilakukan pada pasien dengan gagal jantung.

Angiografi koroner dan kateterisasi ventrikel kiri disarankan bagi pasien gagal jantung
dengan nyeri dada yang membandel terhadap terapi farmakologi apabila pasien tidak
memiliki kontraindikasi terhadap revaskularisasi koroner. Angiografi koroner juga
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat aritmia ventrikuler simptomatik atau
pernah mengalami henti jantung. Jika pasien memiliki pre-test probability penyakit
jantung koroner yang tinggi dan terdapat bukti iskemia pada pemeriksaan non invasif,
angiografi koroner dapat membantu menegakkan etiologi iskemia dan derajat keparahan
penyakit jantung koroner.

Terapi yang dipandu evaluasi kateter arteri pulmonal (pulmonary artery catheter/PAC)
mungkin diperlukan pada pasien tertentu meskipun belum ada bukti peran evaluasi
kateter arteri pulmonal dalam memperbaiki luaran pasien dengan gagal jantung akut.
Pemberian terapi gagal jantung yang dipandu evaluasi PAC dapat dipertimbangkan pada
pasien gagal jantung stadium akhir yang refrakter. Selain itu, penggunaan PAC berguna
pada pasien gagal jantung akut yang gagal terapi disertai kesulitan pemantauan status
volum berdasarkan parameter klinis semata, mengalami gagal ginjal, instabilitas
hemodinamik, dan mendapat obat vasopresor.
Biopsi endomiokard dapat bermanfaat apabila suatu diagnosis spesifik perlu ditegakkan
segera guna memulai terapi atau pasien mengalami perburukan klinis secara cepat
walau telah mendapat terapi farmakologi optimal. Amiloidosis jantung primer
merupakan salah satu kondisi yang memerlukan peran biopsi endomiokard sebelum
kemoterapi dapat dimulai. Selain itu, pada pasien dengan kardiomiopati idiopatik dan
miokarditis akut tanpa penyebab yang jelas, biopsi endomiokard dapat membantu
mengarahkan diagnosis. Mengingat peran dan hasil diagnostik dari biopsi endomiokard
sangat terbatas, pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan pada pasien dengan gagal jantung.

2.7 penatalaksanaan penyakit jantung kongresif

Penatalaksanaan gagal jantung kongestif dapat dilakukan dengan terapi non


farmakolohi dan terapi farmakologi :

1. Terapi Non Farmakologi

1) Diet

Pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet yang
sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, dan berat badannya. Asupan NaCl
harus dibatasi menjadi 2-3 g Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai
berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/hari hanya untuk gagal jantung berat.

2) Merokok : Harus dihentikan

3) Aktivitas fisik Olah raga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan
untuk pasien gagal jantung yang stabil (NYHA kelas II-III) dengan intensitas yang
nyaman bagi pasien.

4) Istirahat : Dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil.

5) Bepergian

Hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau lembab.

2. Terapi Farmakologi

1) Penghambat ACE

Penggunaan penghambat ACE untuk terapi gagal jantung didukung oleh berbagai uji
klinik yang mengikutsertakan lebih dari 100.000 pasien. Penghambat ACE terbukti
dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik.
Penghambat ACE menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana
angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosterone.
Enzim ACE adalah kinase II, maka penghambat ACE akan menghambat degradasi
bradikinin sehingga kadar bradikinin yang terbentuk lokal di endotel vaskuler akan
meningkat. Bradikinin bekerja lokal pada reseptor BK2 disel endotel dan menghasilkan
nitric axide (NO) dan prostasiklin (PGI2), keduanya merupakan vasodilator,
antiagregasi trombosit dan antiproliferasi. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek
penurunan tekanan darah dari ACE, tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek
samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan AC.

2) Diuretik

Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu disertai
dengan kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer.
Penggunaan diuretik dapat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan
melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga
mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik vena, dan tekanan pengisian vertikel.
Dengan demikian, edema perifer dan kongesti paru akan berkurang/hilang .Diuretik
tiazid merupakan diuretik lemah dan tidak pernah diberikan sendiri pada pengobatan
gagal jantung, tetapi jika dikombinasi dengan diuretik kuat menunjukkan efek
sinergistik. Jika laju filtrasi glomerulus <30 mL/menit, diuretik tiazid tidak boleh
digunakan karena tidak efektif, kecuali diberikan bersama diuretik kuat Diuretik hemat
kalium adalah diuretik lemah, karena itu tidak efektif untuk mengurangi volume. Obat
ini digunakan untuk mengurangi pengeluaran K atau Mg oleh ginjal atau memperkuat
respon diuretis terhadap obat lain. Pada pengobatan gagal jantung, obat ini hanya
digunakan jika hipokalemia menetap setelah awal terapi dengan penghambat ACE dan
diuretik. Pemberian diuretik hemat kalium dimulai dengan dosis rendah selama 1
minggu, lalu ukur kadar K dan kreatinin serum setelah 5-7 hari.

3) Beta bloker

Penggunaan β-bloker untuk terapi gagal jantung bekerja mengeblok atau menghentikan
rangsangan pada reseptor β pada tubuh. β-bloker juga digunakan untuk penyakit angina,
tekanan darah tinggi, dan antiaritmia. β-bloker efektif sebagai antiangina karena
mengurangi frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas akibatnya kebutuhan oksigen
akan berkurang Penggunaan β-bloker untuk terapi gagal jantung kronik membuktikan
bahwa β-bloker memperbaiki gejala-gejala, mengurangi hospitalisasi, dan mortalitas
pada pasien gagal jantung ringan dan sedang.

Pemberian β-bloker pada gagal jantung sistolik akan mengurangi kejadian iskemia
miokard, mengurangi stimulasi sel-sel automatik jantung dan efek antiaritmia lainnya,
sehingga mengurangi resiko terjadinya aritmia jantung, dan dengan demikian
mengurangi resiko terjadinya kematian mendadak (kematian kardiovaskular).

4) Antagonis Aldosteron

Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosteron meningkat karena aktivasi sistem
renin angiotensin-aldosteron. Aldosteron menyebabkan retensi Na dan air serta ekskresi
K dan Mg. Retensi Na dan air menyebabkan edema dan meningkatan preload jantung.
Aldosteron memacu remodeling dan disfungsi ventrikel melalui peningkatan preload
dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferensi fibroblas.
Karena itu antagonisasi efek aldosteron akan mengurangi progresi remodelling jantung
sehingga dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat gagal
jantung.Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang sering meningkat
pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting pada retensi potassium.
Triamteren dan amirolid beraksi pada tubulus distal dalam mengurangi sekresi
potassium. Potensi diuretik obat-obat tersebut ringan dan tidak cukup untuk sebagian
besar pasien gagal jantung, namun dapat meminimalkan hipokalemia akibat agen
tertentu.Efek samping akibat pemakaianspironolakton adalah gangguan saluran cerna,
impotensi, ginekomastia, menstruasi tidak teratur, letargi, sakit kepala, ruam kulit,
hiperkalemia, hepatotoksisitas, dan osteomalasia. Spironolakton dapat berinteraksi
dengan aspirin, suplemen kalium, kolestiramin, digoksin dan propoksifen.
Spironolakton kontraindikasi pada pasien insufisiensi ginjal akut, anuria, hiperkalemia,
hipermagnesia dan gagal ginjal bera.

5) Vasodilator

Vasodilator adalah obat yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Obat golongan ini
diberikan jika terjadi penyempitam pembuluh darah yang mengakibatkan suplai darah
dan O² ke berbagai organ berkurang . Vasodilator berguna untuk mengatasi preload dan
afterload yang berlebihan. Preload adalah volume darah yang mengisi ventrikel selama
diastole. Peningkatan preload menyebabkan pengisian jantung berlebih. Afterload
adalah tekanan yang harus di atasi jantung ketika memompa darah ke sistem arterial.
Dilatasi vena mengurangi preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena, dilator
arterial menurunkan resistensi arteriol sistemik dan menurunkan afterload.

6) Digoksin

Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta)
lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
% dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap
angka kelangsungan hidup. Pada pasien dengan gagal jantung dan takiaritmia
supraventrikuler seperti fibrilasi atrial, pemberian digoksin dapat dipertimbangkan pada
tahap awal terapi untuk membantu mengontrol laju respon ventrikel. Pada pasien
dengan ritme sinus yang normal, pemberian digoksin tidak meningkatkan survival,
namun efek inotropic positif, kemampuan mereduksi gejala, serta memperbaiki kualitas
hidup yang dimilikinya dapat digunakan untuk pasien dengan tingkat keparahan gagal
jantung antara rendah hingga parah. Maka dari itu pemberian digoksin harus dibarengi
dengan pemberian obat standar dalam terapi gagal jantung (ACE inhibitor, β-bloker,
dan diuretik) pada pasien gagal jantung dengan gejala. Namun, beberapa pertimbangan
menyarankan bahwa pemberian digoksin dilakukan setelah terapi β-bloker, karena
terdapat efek bradikardia dari digoksin yang dapat mempengaruhi penggunaan βbloker.

BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Saran

Kami sadar bahwa penyusunan makalah ini jauh dari sempurna.Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun.Untuk terakhir kalinya kami berharap
pembuatan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi perawat
sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja dan mampu menjadi perawat profesional
dibidangnya.

Daftar Pustaka

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1367/3/3.%20chapter%201.pdf

https://www.google.com/search?
q=alur+kematian+chf&sxsrf=AOaemvKl9SQaq_lwlcP4XB_6ysj_7fI32Q:16315365825
27&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwjZycGz-
_vyAhXDfH0KHd6SBsYQ_AUoAnoECAEQBA&biw=1366&bih=625#imgrc=XsdyJ
OUo-usyIM

http://eprints.undip.ac.id/43854/3/Etha_Yosy_K_Lap.KTI_Bab2.pdf

https://www.alomedika.com/penyakit/kardiologi/gagal-jantung/diagnosis

http://repo.unand.ac.id/29265/1/Dian%20Ayu%20Juwita%20Fak%20Farmasi%20RD
%202019_Laporan%20Akhir.pdf

Anda mungkin juga menyukai