Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SURVEILEN

PENYAKIT DIARE PADA ANAK, TBC, FLU BURUNG

OLEH :

NAMA : ERNI
RISMAULI

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
CITRA DELIMA BANGKA BELITUNG
2015
 KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan karunia-Nya

penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Dalam penulisan proposal penelitian ini penulis memperoleh banyak bimbingan, saran,

dan bantuan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu penulis ingin menyampaikan terima

kasih dan penghargaan yang setinggi - tingginya kepada dosen mata kuliah epidemiologi

Pangkal pinang, Oktober 2015

Penulis
DAFTARISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................

DAFTAR ISI .......................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.    Survelens Diare pada Anak.................................................................................

B. Survelen pada TBC..............................................................................................

C.     Survelen pada Flu Burung...................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Penyakit diare masih merupakan salah satu penyebab utama masalah kesehatan

masyarakat Indonesia, baik ditinjau dari segi angka kesakitan maupun angka kematiannya.

Penyakit ini dapat menyerang semua golongan umur dengan angka kesakitan berkisar 280 per

1000 penduduk dan untuk balita menderita satu sampai satu setengah kali episode diare setiap

tahunnya atau 53% dari semua kesakitan diare.(Dep.Kes.RI,1998).

Angka kematian diare pada semua umur selama dasawarsa terakhir dapat diturunkan dari

110,1 per 100.000 penduduk (1985) rnenjadi 56 per 100.000 penduduk

( 1995). Sedangkan kematian karena diare pada kelompok balita diturunkan dari 5,7 per seribu

balita menjadi 2,5 per seribu balita pada episode yang sama. (Dep. Kes.RI,1998)

Bedasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang ditetapkan bahwa

pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan

hidup sehat bagi seiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan

dengan pendekatan pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan

berkesinambungan.

Diare dapat timbul dalam bentuk KLB dengan jumlah penderita dan kematian yang besar.

Fasilitas kasus (CFR) terjadi penurunan yang cukup bermakna dari 35 %


(awal Repelita I) menjadi dibawah 3 % pada akhir Repelita VI. Penurunan CFR yang nyata

dikarenakan makin meningkatnya manajemen penanggulangan KLB. (Dep.Kes. RI, 1998).

Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 proporsi penyakit

infeksi dan parasit sebagai penyebab kematian adalah 22,7%. Kematian bayi dibawah umur 1

tahun 33,5% disebabkan oleh gangguan prenatal dan 32,1% oleh penyakit sistem pernapasan.

Diare sebagai bagian dari kelompok penyakit infeksi dan parasit, proporsinya sebesar 9,6 %

sebagai penyebab kematian pada bayi dibawah 1 tahun.

Pada kematian anak balita golongan umur 1-4 tahun, proporsi penyebab kematian paling

tinggi adalah penyakit sistem pernapasan yaitu sebesar 38,8%, kemudian penyakit diare serta

infeksi/parasit lain masing-masing sebesar 14,3%.

Kematian anak pada kelompok umur 1-4 tahun terutama disebabkan oleh penyakit infeksi

dan parasit dengan proporsi sebesar 44,7%, pernapasan 13%. Sedangkan pada kelompok umur

15-34 tahun, penyakit infeksi dan parasit menduduki peringkat pertama sebagai penyebab

kematian yaitu sebesar 36,5%, berturut-turut infeksi dan parasit lain 16,8%, kemudian TBC

13,9%.

Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare disebabkan oleh beberapa faktor

yaitu antara lain kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi, kependudukan,

pendidikan, faktor musim dan geografi daerah, keadaan sosial pencegahan pemberantasan

penyakit diare tidak akan berhasil baik tanpa adanya kesadaran yang tinggi dari masyarakat

untuk ikut berpartisipasi didalamnya serta kesiapan petugas kesehatan dilapangan. yang ditandai

oleh penduduknya hidup

dalam lingkungan perilaku

Gambaran Epidemiologi Penyakit Diare di Pulau laut RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta
pusat pada tahun 2004 menunjukkan bahwa angka kesakitan diare sebanyak 1.066 kasus.

Dengan melihat data di atas maka sangat penting sekali untuk dilakukan penelitian

tentang Gambaran Epidemiologi Penyakit Diare berdasarkan tempat, orang dan waktu

pemberantasan penyakit diare di Pulau laut RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta pusat.

B.     Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu

Rumusan masalah sebagai berikut : bagaimana gambaran epidemiologi dan faktor-faktor yang

berhubungan dengan terjadinya penyakit diare pada anak balita.

C.    Tujuan

1.      Tujuan Umum

Tujuan mengetahui gambaran epidemiologi penyakit diare pada anak balita.

2.      Tujuan Khusus

1)      Diketahui hubungan antara karakteristik balita (umur, jenis kelamin, status gizi)

terhadap penyakit diare

2)     Diketahui hubungan antara faktor pendukung (petugas kesehatan, penatalaksanaan)

terhadap penyakit diare

3)     Diketahui hubungan antara faktor lingkungan (sumber air minum, jamban keluarga)

terhadap penyakit diare


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Diare

Penyakit diare adalah suatu penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan

konsistensi tinja melembek sampai mencair dan bertambahnya frekwensi gerak lebih dari

biasanya, lazimnya tiga kali atau lebih dalam sehari (Depkes RI, 1993).

B.     Penyebab Kejadian Diare

Penyebab penyakit diare bisa bermacam-macam yaitu antara lain infeksi, intoxikasi,

malabsorbsi, alergi dan keracunan.

1.      Penyebab Diare Infeksius

Bakteri, virus dan parasit adalah merupakan penyebab utama diare infeksius. Penyebab

diare karena infeksi dapat disebabkan oleh organisme yang berbeda-beda serta gejalanya sulit

dibedakan antara satu dengan yang lainnya.

a.       Bakteri

Ada beberapa jenis bakteri yang merupakan penyebab paling penting penyakit diare

terutama yang menyerang bayi.

b.      Vibrio cholera

Vibrio cholera mempunyai 2 biotope yaitu tipe El Tor dan Mask selain itu ada 2 serotipe

yaitu Ogawa dan Inaba. Pada tauhn 1961 biotipe El Tor pernah menyebabkan pandemi ketujuh.
c.       Shigella:

Genus Shigella dibagi menjadi 4 kelompok serologik yaitu :

–        Shigella flexneri, adalah kelompok yang paling sering terdapat di Negara berkembang.

–        Shigella sonei adalah kelompok yang terdapat di negara maju.

–        Shigella dysentriae tipe 1 adalah penyebab epidemi dengan angka kematian tinggi.

–        Shigella biydii, kelompok ini jarang ditemui

Pada umumnya Shigella hanya ditemukan pada manusia dan beberapa jenis

binatang primata. Penyebarannya melalui kontak langsung antara orang yang satu dengan orang

yang lainnya. Dengan dosis infeksius yang rendah (10 s.d 100 organisma) sudah dapat

menyebabkan sakit. Penularan penyakit terjadi melalui makanan dan minuman yang

terkontaminasi (Depkes RI, 1990).

d.      Salmonella

Terdapat lebih dari 2.000 serotipe Salmonella, dimana sekitar 6 s.d 10 diantaranya

menyebabkan gastroenteritis pada manusia. Dalam hal ini binatang seperti misalnya unggas

adalah reservoir utama. Oleh karena itu penularan penyakit oleh Salmonella dapat terjadi apabila

mengkonsumsi makanan yang berasal dari hewan unggas, daging, telur dan susu. Gastroenteritis

yang diakibatkan Salmonella yang menyerang anak kecil relatif jarang terjadi di negara

berkembang dibanding dengan daerah industri. Hal ini dimungkinkan karena di negara

berkembang pada umumnya anak kecil jarang diberi makanan dalam kaleng yang merupakan

media bagi salmonella. Gastroenteritis yang diakibatkan Salmonella biasanya berbentuk diare

cair akut dengan diikuti rasa mual, nyeri perut dan demam (Depkes RI, (990).

e.       Escherichia coli (E. Coli)

Sampai saat ini sudah ditemukan lima kelampok Ecoli yaitu enterotoxigenic (ETEC),
enterohaemorrhagic (EPEC), enteroadherent (EAEC), enteroinvasive (EIEC), dan

enterohaemorrhagic (EHEC).

f.       Infeksi Virus

Virus menyebabkan 50 % semua diare pada anak yang datang berobat kesarana

kesehatan. Rotavirus dapat menyerang sel-sel usus, mengubah fungsi dan regenerasinya.

Keadaan ini menyebabkan diare dan gejala umum misalnya malaise dan demam. Penyembuhan

terjadi bila permukaan mukosa telah regenerasi (Depkes RI, 1990).

g.      Infeksi Parasit

Menurut Sunoto (1990) ada beberapa golongan protozoa yang dapat menyebabkan diare yaitu :

1.      Entamoeba histolytica

Insiden penyakit ini bertambah sesuai dengan pertambahan usia. Infeksi ini sering salah

diagnosiskan sebab menentukan ptotozoa ini tidak mudah dan parasit ini sering dikira leukosit

polimorfonuklear. Penyebaran terjadi melalui makanan dan minuman. Kista E.histolytica sangat

kebal terhadap desinfektan kimia, termasuk klorinasai. (Depkes RI, 1990).

2.      Cyptosporidium

Cyptosporidium adalah parasit bentuk kokus yang ada pada awalnya dikenal sebagai

penyebab diare pada binatang. Mula-mula ditemukan sebagai penyebab diare cair pada yang

menurun kekebalan tubuhnya, khususnya penderita AIDS. Di negara berkembang parasit ini

menyebabkan 4-11 % kasus diare pada anak Cryptosporidiasis ditularkan melalui jalur fekal-

oral. (Depkes RI, 1990).

3.      Giardia lamblia

Giardia lamblia tersebar luas di seluruh dunia, dengan angka prevalensi infeksi sampai

100 % pada beberapa penduduk. Anak berumur 1-5 tahun paling sering dijangkiti. Infeksi
Giardia lamblia biasanya melalui makanan, minuman atau manular dari orang ke orang.

Penularan dari orang ke orang terjadi terutama pada anak yang tinggal di keluarga yang terlalu

padat atau tempat penitipan anak (Sunoto, 1990).

C.    Penyebab Lain

Selain beberapa penyebab di atas, diare juga bisa disebabkan oleh faktor faktor lain

misalnya obat, keadaan karena pembedahan, penyakit lain dan infeksi sistematik serta intoleransi

makanan.

lntoleransi makanan karena kekurangan laktase atau alergi terhadap makanan dapat

menyebabkan diare. Tuberkulosis saluran pencernaan. penyakit granulomatosiskronik usus

misalnya penyakit crohn dan beberapa jenis tumor dapat juga menimbulkan diare. (Depkes RI,

1990).

D.    Cara Penularan

Agen infeksius yang menyebabkan penyakit diare biasanya ditularkan melalui jalur fecal-

oral, terutama karena (Depkes RI, 1990):

1.      Menelan makanan yang terkontaminasi (terutama makanan sapihan) atau air.

2.      Kontak dengan tangan yang terkontaminasi.

3.      Beberapa faktor dikaitkan dengan bertambahnya penularan kuman enteropatogen perut

termasuk (Depkes RI, 1990) :

4.      Tidak memadainya penyediaan air bersih (jumlah tidak cukup).

5.      Air tercemar oleh tinja.

6.      Kekurangan sarana kebersihan (pembuangan tinja yang tidak higienis).


7.      Kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek.

8.      Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak semestinya.

9.      Tindakan penyapihan yang jelek (penghentian ASI yang terlaiu dini, susu botol, pemberian

ASI yang diselang-seling dengan susu botol pada 4-6 bulan pertama).

E.     Ukuran Frekuensi Penyakit.

Ditinjau dari sudut epidemiologi, upaya mengukur frekwensi masalah kesehatan ini

termasuk dalam epidemiologi deskrihtif karena hanya sersifat menggambarkan tentang jumlah

masalah kesehatan yang ditemukan saja (Azrul Azwar, 1999).

Beberapa ukuran frekwensi penyakit menurut Azrul Azwar adalah sebagai berikut :

1.      Rate

"Rate" ialah perbandingan suatu peristiwa dibagi dengan jumlah penduduk memungkin

terkena peristiwa yang dimaksud (population at risk) dalam waktu yang sama yang dinyatakan

dalam persen atau permil. Rate biasanya digunakan untuk menggambarkan morbiditas

pendudukmenderita suatu penyakit naik atau turun disuatu daerah pada waktu tertentu.Beberapa

ukuran rate yang biasanya digunakan adalah sebagai berikut (AzrulAzwar, 1999).

a.       Insiden Rate

Insiden rate adalah jumlah penderita baru suatu, penyakit yang ditemukan pada suatu

jangka waktu tertentu (umunnya satu tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang

mungkin terkena penyakit baru tersebut pada pertengahan jangka waktu yang bersangkutan

dalam persen atau permil.

Rumus yang dipergunakan untuk mengukur insiden rate ialah :

Isidenrate
contoh : pada suatu daerah dengan jumlah penduduk pada tanggal 30 Juli 1999 sebanyak

seratus ribu orang yang semuanya rentang terhadap penyakit, ditemukan laporan penderita

baru sebagai berikut : Bulan Januari 50 orang, Maret 100 orang, Juni 150 orang, September

10 orang dan bulan Desember 90 orang.

b.      Prevalen

Prevalen ialah gambaran tentang frekwensi penderita lama dan baru yang ditemukan pada

suatu jangka tertentu ,disekelompok masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain pada

perhitungan nilai prvalen dipergunakan jumlah seluruh penduduk. Ditinjau dari sudut ini,

jelas bahwa angka prevalen sebenamya bukan suatu rate yang murni, karena mereka yang

tidak mungkin terkena penyakit, juga dimasukkan dalam perhitungan. Secara umum

pervalen ini dibedakan atas dua macam yakni:

(1)   Periode Prevalen Rate

Rumus yang dipergunakan untuk menghitung nilai period prevalen rate ialah:

= x 100% (1000 0/00

contoh : suatu kantor dengan jumlah karyawarv sebanyak 100 orang, 20 orang diantaranya sejak

2 bulan yang lalu tidak masuk kantor karena menderita penyakit A, dan selanjutnya pada hari ini

30 orang lainnya terpaksa pulang karena juga menderita penyakit, Maka jawabnya:

Period Prevalance Rate =

(2)   Poin Prevalance

Poin Prepalance Rate = x 100% (1000 0/00)

Contoh: satu Fakultas Kesehatan Masyarakat dengan mahasiswa sebanyak 100 orang, kemarin 5

orang mahasiswa menderita penyakit diare, dan hari ini 5 orang lainnya menderita penyakit
diare. Maka jawabnya

Period Prevalance Rate =

c.       Atteck Rate

Rate

Contoh Dari 500 orang mahasiswa yang tercatat pacta FKM X temyata 100

mahasiswa tiba-tiba menderita muntah berak setelah makan gado-gado

dikantin kampus. Maka jawabnya

Atteck Rate =

Atteck Rate atau angka serangan sebetulnya adalah suatu angka insiden tetapi ada angka

serangan resiko seseorang untuk mendapatkan penyakit eriangsung dalam waktu singkat, ini

mungkin karena faktor penyebab penyakit tersebut hanya bereaksi dalam tempo yang singkat

misalnya keracunan makanan atau wabah (Azrnl Azwar 1999).

d.      Angka fatalitas (Case Fatality Rate)

Angka fatalitas adalah suatu perbandingan yang dinyatakan dengan

CFR =

Angka fatalitas biasa digunakan untuk melihat keganasan suatu penyakit dan dapat pula

melihat keberhasilan pelayanan kesehatan pada suatu daerah atau

fasilitas kesehatan pada waktu tertentu.

e.       Ratio

"Ratio" merupakan suatu perbandingan yang pada umumnya dinyatakan sebagai berikut :

Ratio =
Misalnya sex ratio, yaitu perbandingan antara jumlah penduduk perempuan. Ratio biasanya

digunakan untuk melihat kecenderungan ratio jumlah laki-laki terhadap jumlah perempuan pada

tahun tertentu, apakah lebih sedikit atau lebih banyak (Azrul Azwar, 1999).

f.       Porsi

Proporsi" merupakan suatu perbandingan yang pada umumnya dinyatakan sebagai berikut :

Proporsi =

Misalnya, "proporsi penyakit diare di Rumah sakit A tahuan 1999 adalah 10 berarti jumlah

kejadian penyakit diare di Rumah sakit A tahun 1999 adalah dari seluruh kasus penyakit yang

ada di wilayah Rumah sakit A. Proporsi biasanya digunakan untuk mengukur angka suatu

penyakit terhadap penyakit lainnya. Semakin tinggi angka proporsi ini berarti semakin banyak

kejadian penyakit tersebut dibandingkan dengan penyakit lainnya dalam suatu wilayah dan

waktu tertentu (Azrul Azwar 1999).

F.     Epidemiologi Diare

Epidemiologi diare dapat diartikan sehagai suatu study menganai kejadian diare,

penyebarannya dan faktor-faktor yang menentukan terjadinya diare pada kelompok penduduk.

1.      Penyebaran Diare Menurut Orang

Penyakit diare lebih banyak menyerang golongan umur anak balita pada daerah endemis,

sedangkan pada waktu terjadinya kejadian luar biasa (KLB) dapat menyerang semua golongan

semua umur. Kejadian diare di Indonesia diperkirakan 40-50 per 100 penduduk per tahun,

dimana 70 % - 80 % dari padanya terjadi pada golongan umur balita. Insiden tertinggi terdapat

pada usia dibawah 2 tahun (Sunoto, 1979 ; dalam Asnil dkk, 1982).
2.      Penyebaran Diare Menurut Ternpat

Penyebaran diare di suatu ternpat dengan tempat lainnya berbeda. Perbedaan tersebut

disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian diare itu diataranya keadaan

geografis, kebiasaan penduduk, kepadatan penduduk dan pelayanan kesehatan. (Depkes'RI,

1990).

Secara teoritis diketahui bahwa penularan diare dipengaruhi oleh sanitasi dan hygiene

perorangan, namun adanya perbedaan insiden di suatu tempat juga dipengaruhi oleh spesifikasi

tempat tersebut. Misalnya tempat pemukiman kumuh dengan jumlah penduduk yang padat akan

lebih mudah terjadi penularan secara cepat bila dibandingkan dengan pemukiman lain yang tidak

padat.

3.      Penyebaran Diare Menurut Waktu

Penyebaran diare dapat berada dalam frekwensi dan waktu tertentu. Variasi kajadian

diare rnenurnt waktu berbeda antara daerah satu dengan yang lainnya. WHO pemah mengadakan

penelitian dimana diketahui bahwa insiden diare dipengaruhi oleh iklim (WHO, 1985).

Sedangkan menurut Winardi Bambang (1982) diperkirakan sekitar 10 % dari kunjungan

ke Rumah Sakit, Balai Pengobatan, Puskesmas, berdasarkan laporan dari seluruh Indonesia

adalah penderita penyaklit diare serta terlihat pula adanya variasi musim hujan (September -

Januari).

G.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Diare

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare antara lain faktor gizi. kepadatan

penduduk, sosial ekonomi, perilaku, dan kesehatan lingkungan (Sutoto.1992 ).

1.      Faktor Gizi

Beratnya dan lamanya diare sangat dipengaruhi oleh status gizi penderita. Pada
penelitian yang cermat insiden diare pada anak bergizi kurang ternyata saran dengan anak yang

gizinya baik. Namun anak yang gizinya menderita diare lebih berat dan keluaran tinja lebih

banyak sehingga dehidrasi lebih berat. Juga diare pada anak bergizi kurang berlangsung lebih

lama, sebagian karena penyembuhan dan perbaikan kerusakan usus akibat infeksi lebih lambat

terjadi pada anak yang gizinya kurang (Depkes RI. 1990).

Jadi proses diare dan gizi kurang merupakan lingkaran setan. Diare mendorong anak

ke arah gizi kurang, dan gizi kurang mendorong anak ke arah diare yang lebih berat. Bila

lingkaran ini tidak diputus pada waktunya mungkin dapat amat berat atau karena infeksi lain

menimbulkan kematian, karena diare yang misalnya penemonia. (Depkes RI, 1990).

2.      Faktor Kepadatan Penduduk

Jumlah penduduk yang padat dapat memudahkan terjadinya penularan diare.

Kelompok usia di bawah lima tahun merupakan kelompok umur yang paling banyak menderita

diare. Penelitian tentang hubungan pengetahuan, sikap dengan kejadian diare pada anak balita

yang tinggal bersama ibu dan jumlah anggota keluarga banyak mempunyai hubungan yang

bermakna. (Tandiyo, 1984).

Selain itu rumah tinggal dengan kepadatan 10 meter persegi atau lebih untuk tiap

orang, didapati kejadian diare anak balita 10,3 % di kota dan 9,7 % di desa. Sedangkan

kepadatan kurang dari 10 meter persegi tiap orang 11,8 % dan 13,5 %.

Rumah tinggal merupakan kebutuhan pokok disamping sandang dan pangan. Demi

kenyamanan tinggal di rumah maha seharusnya rumah memenuhi kebutuhan kondisi tempat

tinggal yang sehat. Rumah yang sehat dengan memenuhi tata ruang yang memenuhi syarat dapat

menghindari terjadinya dan menularnya penyakit. Kepadatan hunian adalah satu unsure

kenyamanan tinggal di rumah, perlu dipikirkan dan diupayakan 10 meter persegi atau lebih tiap
orang, mengingat kepadatan hunian termasuk factor yang mempunyai pengaruh dominan

terhadap kejadian diare anak balita. Dalam analisis ini hampir 60,% anak balita tinggal di rumah

dengan kepadatan kurang dari 10 meter persegi tiap orang. Anilisis faktor ini menunjukkan anak-

anak balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan kurang dari 10 meter persegi tiap orang

mempunyai resiko menderita diare 1,37 kali dibanding anak balita yang tinggal di rumah dengan

kepadatan 10 meter persegi atau lebih tiap orang. Risiko ini mengingat menjadi 1,85 setelah

kepadatan hunian berinteraksi dengan faktor sosial demografi dan lingkungan yang lain (Joko

Iriantc dkk ; Analisis Lanjut SDKI, 1994).

3.      Faktor Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi masyarakat yang rendah dapat mempengaruhi tingkat partisipasi aktif

dalam melaksanakan upaya pelayanan kesehatan masyarakat, misalnya meningkatkan fasilitas

kesehatan, meningkatkan status gizi masyarakat. Hal ini merupakan faktor yang berhubungan

dengan kejadian diare di masyarakat. Selain itu masyarakat yang berpenghasilan rendah pada

umumnya mempunyai keadaan sanitasi dan hygiene perorangan yang buruk (Tandiyo, 1984).

4.      Faktor Prilaku Masyarakat

Kebiasaan yang berhubungan dengan keberhasilan. adalah bagian terpenting dalam

penularan kuman diare, mengubah kebiasaan tertentu seperti mencuci tangan dapat memutuskan

penularan. Mencuci tangan dengan sabun terutama sesudah buang air besar dan sebelum

menyiapkan makanan atau makan, telah dibuktikan mempunyai dampak dalam kejadian diare

dan harus menjadi sasaran utama dalam pendidikan kebersihan, Sebagai contoh rotavirus dapat

terdeteksi dalam air mencuci tangan dari 79 % perawat pasien yang datang dan dirawat di sebuah

rumah sakit di Banglades karena diare (Akral, 1990).

Menurut Sunoto (1990) penurunan 14-48 % kejadian diare dapat diharapkan sebagai
hasil pendidikan tentang kebersihan dan perbaikan kebiasaan.

Kebiasaan adat istiadat dapat mempeugaruhi kesenatan individu. Oleh sebab itu faktor

kebiasaan merupakan faktor yang penting dalam penyebaran terjadinya penyakit diare antara lain

penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak saniter. Tindakan penyapihan yang jelek

(penghentian ASI yang terlalu dini, susu botol 4-6 bulan pertama) serta kebersihan perorangan

(Depkes Rl; Ajar Diare, 1990).

5.      Faktor Kesehatan Lingkungan

Kesehatan lingkungan rnerupakan faktor yang dominan dalam mempengaruhi kejadian

diare di masyarakat. Keadaan kesehatan lingkungan yang berkaitan erat dengan diare adalah

pengadaan air bersih dan jamban keluarga.

Menurut Warsito Sidik (1986) tidak rnereukupinya kebutuhan air bersih akan

menyebabkan masyarakat menggunakan air yang tidak memenuhi syarat kesehatan untuk

kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Hal ini dapat memudahkan masuknya kuman penyakit dan

terkontaminasinya rnakanan yang akan dikonsumsi masyarakat. penggunaan jamban yang tidak

saniter akan semudahkan cara penularan penyakit diare. Berdasarkan penelitian Sidik Wasito di

Sumedang menunjukkan bahwa pada kelompak keluarga yang membuang kotoran secara saniter

mempunyai angka terkena penyakit diare lebih rendah dibandingkan dengan keluarga yang

membuang kotoran yang tidak saniter.

Angka kejadian penyakit diare ternyata dipengaruhi pula oleh kwalitas persediaan air

bersih (minum) Sutrisno Eram (1977) meingatakan bahwa kejadian tersangka kolera ternyata

lebih tinggi di wilayah air dangkal (Kabupaten Sleman, Bantul dan Kodya Yogyakarta).

Sedangkan Sumantri dkb: (1979) mendapatkan dari 68 keluarga di pinggiran kota Semarang,

sebanyak 17,65 % mempergunakan air minum "baik" dan 82,35 % air minum kotor (rakteri E.
Col' positif) dengan kejadian yang berbeda bermakna (ignatius SP; 1980).

Selain itu penggunaan jamban yang benar dapat mengurangi risiko diare lebih baik

dari pada perbaikan sumber air, walaupun dampak yang paling tinggi dapat diharapkan dari

gabungan kebersihan dan perbaikan sumber air. Hasil penelitian dampak proyek sumber air dan

kebersihan 28 negara menunjukkan penurunan angka kesakitan diare 22-27 % dan penurunan

angka kematian diare 21-30 % (Sunoto, 1990).

6.      Faktor Musim

Penyakit diare adakalanya dipengaruhi oleh musim. Pada daerah yang bermusim

tropis, diare oleh bakteri cenderung terjadi lebih sering pada musim panas. Sedangkan diare oleh

virus terutama oleh rotavirus cenderung terjadi Sepanjang tahun dengan peningkatan kekerapan

sepanjang bulan musim kemarau. Sedangkan diare oleh bakteri cenderung memuncak pada

musim hujan (Depkes KL.Ajar Diare, 1990).


B.Pengertian Tuberculosis Survailens
Menurut Depkes RI (2006), TB Paru (tuberculosis) adalah penyakit menular yang
langsung disebabkan oleh kuman TB (Mycobaterium tuberculosa). Sebagian besar kuman
TBC ini menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman
Myocobacterium tuberculosis.  Bakteri ini berbentuk  batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Kuman tersebut biasanya masuk
ke dalam tubuhmanusia melaui udara pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut
menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalu sistem peredaran darah, sistem saluran
limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau menyebar langsung ke bagian tubuh lainnya. TB
dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.
Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan,pengolahan, analisis, dan
interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit
yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu di kembangkan
suatu definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau
kajianepidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya
kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.
Surveilans Epidemiologi dapat didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang
sistematis dan berkesinambungan dalam pengumpulan, analisis, interpretasi data dan
penyampaianinformasi dalam upaya menguraikan dan memantau suatu penyakit/peristiwa
kesehatan.Kaitannya dengan penyakit menular, kegiatan surveilans epidemiologi bertujuan
untuk mengidentifikasi kelompok risiko tinggi dalam masyarakat, memahami cara
penularan penyakit serta berusaha memutuskan rantai penularan. Dalam hal ini setiap
penyakit harusdilaporkan secara lengkap dan tepat, yang meliputi keterangan mengenai orang
(person),tempat (place) dan waktu (time) (Budioro dalam Sikumbang, 2012).

Tujuan Survailens Epidemiologi TBC  


Tujuan Surveilans Epidemiologi:
Surveilans  bertujuan  memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan  faktor risiko  dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan
respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans ((Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).:
1)    Memonitor kecenderungan (trends) penyakit
2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak
3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada
populasi
Tujuan Surveilans Epidemiologi TBC:    
       Gambar  dibawah ini menyajikan contoh penggunaan surveilans untuk memonitor performa
dan efektivitas program pengendalian TB. Perhatikan, dengan statistik deskriptif sederhana
surveilans mampu memberikan  informasi  tentang  kinerja  program  TB  yang  meningkat 
dari  tahun  ke  tahun,    baik  jumlah  kasus  TB yang  dideteksi,  ketuntasan  pengobatan 
kasus,  maupun  kesembuhan  kasus.  Perhatikan  pula  peran  penting  data  time-series 
dalam  analisis  data  surveilans  yang  dikumpulkan  dari  waktu  ke  waktu dengan interval
sama. 
                                                
Tujuan  jangka panjang  Penanggulangan  Nasional TB adalah  menurunkan  angka
kesakitan  dan  angka  kematian  penyakit TB dengan cara memutuskan  rantai penularan,
sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

Manfaat Surveilans Epidemiologi:


Manfaat surveilans epidemiologi yaitu deteksi perubahan akut dari penyakit yang
terjadi dan distribusinya, perhitungan trend, identifikasi pola penyakit, identifikasi kelompok
risikotinggi menurut waktu, orang dan tempat, identifikasi faktor risiko dan penyebab
lainnya,deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi, dapat memonitoring
kecenderungan penyakit endemis, mempelajari riwayat alamiah penyakit dan
epidemiologinya, memberikaninformasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan
kesehatan dimasa akan datang,membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan
prioritas sasaran program pada tahap perencanaan. Inti kegiatan surveilans pada akhirnya
adalah bagaimana data yang sudahdikumpul, dianalisis, dan dilaporkan ke pemegang
kebijakan guna ditindaklanjuti dalam pembuatan program intervensi yang lebih baik untuk
menyelesaikan masalah kesehatan diIndonesia (HIMAPID dalam Sikumbang 2008).
Manfaat Umum SE menurut Thacker dalam Kumalasari (2013):
1.     Perencanaan
2.     Implementasi
3.     Evaluasi Kegiatan kesehatan masyarakat.

Manfaat khusus SE:


1.     Memperkirakan kuntitas masalah.
2.     Menggambarkan riwayat alamiah penyakit.
3.     Mendeteksi wabah/ KLB.
4.     Menggambarkan distribusi masalah.
5.     Memfasilitasi penelitian dan epidemiologi dan laboratories.
6.     Membuktikan hipotesis.
7.     Menilai kegiatan pencegahan dan penanggulangan.
8.     Memonitornperubahan agen infeksius.
9.     Memonitor upaya isolasi.
10.   Mendeteksi kegiatan perubahan.
11.   Merencanakan kegiatan.
Manfaat Surveilans Epidemiologi TBC:
Melihat dari manfaat Surveilans epidemiologi secara umum, maka manfaat surveilans
epidemiologi penyakit tbc yaitu:
1.     Dapat diketahui distribusi penyakit tuberculosis menurut orang, tempat, waktu, dan
kelompok umur pada suatu daerah tertentu dimana dilakukannya surveilans.
2.     Bagi pensurvei (puskesmas), sebagai bahan informasi penting mengenai suatu penyakit
tuberkulosis dan dapat digunakan untuk penentu kebijakan selanjutnya dalam langkah
penanggulangan penyakit tuberculosis tersebut.
3.     Bagi masyarakat, surveilans epidemiologi tbc dapat dijadikan sebagai informasi dan sebagai
bahan masukan agar masyarakatlebih meningkatkan lagi kesehatanya.

        IMPLEMENTASI
         
       Indikator dalam Survailens Epidemiologi TBC
Indikator dalam survei TBC (survey tuberkulin, studi tentang kematian, pengkajian pelaksanaan
DOTS di RS), antara lain:
1.     Komitmen pemerintah untuk mempertahankan control terhadap TB;
2.   Deteksi kasus TB di antara orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan
dahak;
3. Enam hingga delapan bulan pengobatan teratur yang diawasi (termasuk pengamatan langsung
untuk pengkonsumsian obat setidaknya selama dua bulan pertama);
4.     Persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus;
5.  Sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan program.
6. Memasukkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) sebagai penilaian
akreditasi rumah sakit;
7. Menggunakan 18 alat Gene Xpert sebagai Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV;
8.  Memperluas pelayanan TB MDR keseluruh Indonesia;
9. Melibatkan lintas sector Pemerintah dan asosiasi profesi untuk menjangkau seluruh kelompok
masyarakat;
10.Mengembangkan Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis;
11.Memberdayakan masyarakat dengan pembentukan Jaringan Peduli TB Indonesia dan
paguyuban masyarakat peduli TB;
12.Menyusun exit strategy agar tidak tergantung pada bantuan luar negeri; Menyepakati dengan
PT ASKES dan Jamsostek dalam penerapan standar pengobatan TB dan pembiayaan berbasis
asuransi bagi seluruh pasien TB.  

    Metode-Metode Survailens Epidemiologi TBC


Metodologi yang digunakan dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif, termasuk 
modeling, eksperimentasi, kuasi eksperimen, focus group discussion, in-depth interview dan
lain-lain. Tidak ada metode khusus yang digunakan.Dalam melakukan survei tuberkulosis,
keterlibatan manajer dan pelaksana program sangat diperlukan. Keberhasilan dalam
surveidinilai dari seberapa besar pemanfaatan hasil penelitian untuk perbaikan pelaksanaan
program. Pengalaman menunjukkan bahwa hasil survei  akan dimanfaatkan, bila pelaksana
program diikutsertakan sejak dari awal.
          Surveilans  tuberkulosis, dengan demikian mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a)     Spesifik terhadap program tuberkulosis
b)    Membantu pengambil keputusan menemukan solusi yang berbasis lokal
c)     Mengarah kepada kegiatan yang bersifat berkesinambungan (sustainable)
d)  Memperkuat kapasitas manajer kesehatan dan petugas pelaksana program untuk
melaksanakan penelitian operasional guna mengatasi masalah
e) Melibatkan seluruh stakeholder yang berkepentingan terhadap hasil penelitian operasional,
khususnya manajer atau petugas pelaksana program pada tingkat kabupaten kota dan provinsi
f)  Memberikan akses kepada manajer atau petugas pelaksana program dari daerah lain untuk
menjadikan hasil penelitian sebagai bahan pembelajaran.

Langkah-langkah surveilans TBC, meliputi:


1.     penentuan dan penetapan masalah (problem identification),
2.     upaya pemecahan masalah (hypothesis)
3.     ujicoba pemecahan masalah (research implementation)
4.     telaah keberhasilan upaya pemecahan masalah (analysis and discussion)
5.     penyebarluasan hasil (publication).

Surveilans TBC juga dapat dilakukan dengan cara:


1.  Sentinel surveillance merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat dari populasi atau
fasilitas tertentu karena jumlah kasusnya sangata kecil dan jarang terjadi.
2.   Laboratory-based reporting merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat dari
laboratorium
3. Passive surveillance merupakan sistem surveilans dimana laporan didapat tanpa
permohonan,intervensi, atau kontak oleh dinas kesehatan yang melakukan surveilans.
Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang
harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan.Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan.
4.  Active surveillance merupakan organisasi menginisiasi prosedur surveilans untuk
mendapatkan laporan.Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk
kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis
lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru
penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus
indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan
oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu.Selain itu,
surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal.Kelemahan surveilans aktif, lebih
mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.

     Kelebihan Dan Kekurangan Survailens Epidemiologi TBC


           
Kelebihan dan Kekurangan Secara Umum
Kelebihan Surveilens Epidemiologi Penyakit TBC
      Informasi epidemiologi penyakit TBC terdistribusi kepada program terkait, pusat-pusat
kajian, dan pusat penelitian serta unit surveilans lain.
    Terkumpulnya data kesakitan, data laboratorium dan data KLB penyakit TBC di Puskesmas,
Rumah Sakit danLaboratorium, sebagai sumber data Surveilans Terpadu Penyakit
    Dapat mendistribusikan data kesakitan, data laboratorium serta data KLB penyakit TBC
kepada unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, unit surveilans Dinas Kesehatan
Propinsi dan unit surveilans Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
    Terlaksananya pengolahan dan penyajian data penyakit dalam bentuk tabel, grafik, peta dan
analisis epidemiologi penyakit TBC lebih lanjut oleh Unit surveilans Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM &PL Depkes
     Dapat mendistribusikan hasil pengolahan dan penyajian data penyakit beserta hasil analisis
epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi kepada program terkait di Puskesmas, Rumah
Sakit, Laboratorium, Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional, pusat-pusat riset, pusat-pusat
kajian dan perguruan tinggi serta sektor terkait lainnya
   Memantau kemampuan program TB untuk mendeteksi kasus, menjamin selesainya
pengobatan dan kesembuhan.

kekurangan dalam hal surveilens epidemiologi penyakit TB antara lain:


      a)     Permaslahan dalam pencatatan data TB di rumah sakit seperti:
1. Pertama, ketidakakuratan data, terjadi karena pengisian formulir masih dilakukan secara
manual sehingga untuk mengisi seluruh formulir baik standar maupun buku bantu terdapat
data yang sama ditulis berulang kali, sehingga mudah menimbulkan kesalahan
2. Masalah ketidaklengkapan data, sebagai contoh data yang diisi dalam formulir pelaporan TB
01 tidak lengkap sebelum pelaksanaan validasi sampling diambil 10 laporan TB 01 secara
acak semuanya tidak lengkap pengisiannya, dikarenakan petugas harus mengumpulkan data
dari berbagai sumber untuk melengkapi laporan TB 01
3. Validasi data memerlukan waktu lama, karena data dari Puskesmas, BP4, Rumah Sakit dan
Puskesmas harus disalin ulang oleh wasor TB kabupaten/kota untuk kepentingan pengisian
data register kabupaten. Supervisi ke UPK dilaksanakan setiap 3 bulan sekali dan setiap kali
supervisi untuk validasi data pada satu UPK dibutuhkan waktu lebih dari 2 jam sampai sehari
penuh
4. Tidak dapat memberikan informasi bulanan tepat waktu, karena supervisi dilaksanakan setiap
3 bulan sekali sementara propinsi menghendaki laporan bulanan. Dengan demikian laporan
bulanan hanya berupa laporan estimasi.
5.  Banyak pasien yang tidak tercatat dalam program DOTS disebabkan karena pindah
pengobatan dan tidak terpantau bahkan tidak dilaporkan
6.    Kesulitan untuk monitoring pasien selama pengobatan
7.   Kesulitan jika ingin membuat laporan yang bervariasi dengan tampilan tabel, grafik maupun
peta karena harus menghitung secara manual. Terakhir kesulitan untuk mengambil keputusan
klinis berkaitan penegakan diagnosis TB karena kebutuhan data klinis belum ada dalam
formulir TB standar, sehingga perlu dikembangkan format laporan misalnya clinical pathway
yang di kembangkan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

     b)    permasalahan yang berkaitan dengan structural dan pendanaan , seperti:
1.     Selama ini pelaksanaan surveilans masih bersifat vertikal, dan terpisah antar satu program
dengan program lainnya. Pemerintah pusat telah mengeluarkan Kepmenkes
No.1116/SK/VIII/2003 yang mengatur penyelenggaraan sistem surveilans.Kepmenkes ini
menyebutkan agar dibentuk unit surveilans dan unit pelaksana teknis surveilans serta
dibentuk jejaring surveilans antara unitunit tersebut.Pengamatan menunjukkan bahwa
pelaksanaan Kepmenkes belum berjalan secara maksimal di daerah.Belum ada Perda atau
Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota yang merujuk ke Kepmenkes.Surveilans saat ini banyak
didanai pemerintah pusat.Dana masuk dalam anggaran pusat yang bersifat program vertikal.
Tidak ada dana untuk pengembangan surveilans di daerah. Akibatnya jarang sekali dilakukan
pencegahan sekunderprimer oleh pemerintah daerah. Respons oleh pemerintah pusat dari
kegiatan surveilans lebih banyak ke pencegahan tersier yang mempunyai risiko keterlambatan
2.  Perlu penguatan sistem surveilans di daerah dengan cara penguatan kedudukan unit surveilans
dalam tatanan struktural dinkes dan optimalisasi anggaran, terutama dari APBD. Ada
kemungkinan pemerintah daerah merasa bahwa urusan surveilans adalah urusan pemerintah
pusat, sehingga pemerintah daerah tidak memprioritaskan program surveilans dan
menganggap surveilans tidak terlalu penting.Persepsi pemerintah daerah seperti ini yang
menjadikan alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan surveilans sangat rendah.
c.  Permaslahan yang menjadi kekurangan dalam surveilens dilihat dari prosesnya meliputi:
1. Input, meliputi kurangnya sumber daya manusia, kurangnya peranan kelompok jabfung,
minimnya dukungan anggaran, dan tidak adanya dukungan dari Perda
2.  Segi proses, dinyatakan bahwa jejaring surveilans selama ini tidak ada, belum ada konfirmasi
kasus, belum terjadi koordinasi lintas program apalagi lintas sektoral, respon selama ini
hanya bersifat by case
3.   Output, kelengkapan dan ketepatan data masih rendah, diseminasi buletin epidemiologi dan
umpan balik pun belum ada di semua daerah, hanya saja di beberapa daerah umpan balik
dilakukan dengan pertemuan bulanan dokter, atau ada pula yang memberi umpan balik
dengan menyebarkan edaran ke Puskesmas - Puskesmas.

                                        

C. SURVEILANS FLU BURUNG

Pengertian surveilans epidemiologi


Surveilans epidemiologi sebagai suatu proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan
interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta diseminasi/penyebaran informasi
kepada unit pengguna/terkait yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan (WHO)
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap penyakit atau masalah masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi
terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah – masalah kesehatan tersebut,
agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada pemegang
program kesehatan. (KEPMEN no 1116/MENKES/SK/VIII/2003)

Surveilans epidemiologi Flu Burung merupakan upaya kewaspadaan dini KLB FB dan
sekaligus kewaspadaan dini pandemi influenza beserta faktor – faktor yang
mempengaruhinya dan dimamfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan,
upaya – upaya dan tindakan penanggulangannya yang cepat dan tepat.

Sistem Kewaspadaan Dini Flu Burung


Pengertian SKD KLB
Merupakan kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB serta faktor – faktor yang
mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan
untuk meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan upaya – upaya dan tindakan
penanggulangan kejadian luarbiasa yang cepat dan tepat (Permenkes no.
949/Menkes/SK/Vlll/2004).
Pada sistem kewapadaan dini flu burung dilakukan dengan mendeteksi adanya kasus pada
hewan, peningkatan kasus ILI, adanya kluster pneumonia sehingga bisa dilakukan
kewaspadaan dengan pengamatan ketat kepada yang kemungkinan dapat tertular.
Jadi untuk kewaspadaan pada surveilans flu burung, data dapat diperoleh dari :
  Surveilans faktor resiko
  Surveilans ILI sesuai dengan STP
  Surveilans sentinel ILI
  Surveilans pneumonia
  Surveilans kasus flu burung di rumah sakit dan puskesmas
  Surveilans rumah sakit rujukan FB
  Surveilans virologi dan serologi pada manusia
  Surveilans kontak unggas pada wabah FB pada unggas
  Surveilans kontak kasus FB

DEFINISI KASUS
(Lihat Modul 5 Penatalaksanaan Kasus Flu Burung pada Manusia)
Kasus FB H5N1 pada manusia diklasifikasikan dalam 3 jenis kasus sesuai perkembangan
diagnosis, yaitu kasus suspek FB, kasus probable dan kasus konfirmasi.

Kasus Suspek FB H5N1


Seseorang yang menderita demam panas ≥ 38 ºC disertai dengan satu atau lebih gejala
berikut :
         batuk
         sakit tenggorokan
         pilek
         sesak nafas (nafas pendek)
ditambah dengan satu atau lebih keadaan di bawah ini :
1)    pernah kontak dengan unggas sakit / mati mendadak yang belum diketahui penyebabnya
serta produk mentahnya (telur, jeroan) termasuk kotoran dalam 7 hari terakhir sebelum
timbul gejala diatas.
2)    yang dimaksud dengan kontak adalah merawat, membersihkan kandang, mengolah,
membunuh, mengubur/membuang/membawa
3)    pernah tinggal di lokasi yang terdapat kematian unggas yang tidak biasa dalam 7 hari
terakhir sebelum timbul gejala diatas. Luas lokasi ditentukan dengan mobilisasi unggas yang
mati
4)    pernah kontak dengan penderita FB konfirmasi dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala
diatas
5)    pernah kontak dengan spesimen FB H5N1 dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala diatas
6)    ditemukan adanya leukopenia (< 5000/μl)
7)    ditemukan adanya antibodi terhadap H5 dengan pemeriksaan Hemaglutinase Inhibition (HI)
test menggunakan eritrosit kuda
atau
seseorang yang menderita Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dengan satu atau
lebih keadaan di bawah ini :
1)    Leukopenia (<5000) atau limfositopenia
2)    Foto toraks menggambarkan pneumonia atipikal atau infiltrat baru di kedua sisi paru yang
makin meluas pada serial foto

Definisi kontak
Identifikasi dan diagnosis dari orang orang yang mungkin mempunyai kontak erat (kurang
dari 1 meter) dengan individu yang terinfeksi. Atau kontak erat dengan hewan yang positif
menderita flu burung, seperti memegang, memotong, mengolah unggas ataupun
membersihkan kandangnya.

LANGKAH – LANGKAH SURVEILANS FLU BURUNG

1.    Melakukan deteksi dini risiko penularan FB unggas – manusia


a)    Mendapatkan data adanya kejadian wabah FB pada unggas
b)    Melakukan penyelidikan epidemiologi dan surveilans ILI di antara kontak unggas
2.    Pelaporan standar kasus flu burung
Format laporan kasus (lampiran 3 sampai lampiran 10 halaman 48 sampai 61, Pedoman
Surveilans Epidemiologi Avian Influensa Integrasi di indonesia)
3.    Cara pelaporan kasus
Setiap kasus FB dianggap sebagai KLB, sehingga pelaporannya sesuai dengan tata cara
pelaporan KLB, yaitu dalam 24 jam
4.    Alur pelaporan kasus (hal 35, Pedoman Surveilans Epidemiologi Avian Influensa Integrasi
di indonesia)

Semua kasus yang dicurigai FB harus dilaporkan segera dan ditindaklanjuti dengan
penatalaksanaan klinis maupun epidemiologi.
1)    Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengirimkan formulir hasil Pelacakan Kasus FB, baik
Pelacakan Kasus di RS maupun Pelacakan Kasus di lapangan ke Dinas Kesehatan Provinsi
dan Direktur Jenderal PP&PL, Depkes, ub Posko FB, Ditjen PP&PL, Depkes melalui faks
021-42877588 atau email : poskofluburung@yahoo.com dan skdklb@depkes.go.id dan
skd_klb@yahoo.com.
2)    Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuat laporan hasil Penyelidikan Epidemiologi dan
mengirimkan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Jenderal PP & PL Depkes RI ub.
Posko FB, Ditjen PP&PL melalui faks atau email.
3)    Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bersama Puskesmas tetap melakukan pemantauan
terhadap Kasus FB dan Kontak Kasus FB serta membuat laporan perkembangan KLB sampai
pemantauan kontak kasus FB berakhir. Laporan perkembangan KLB disampaikan ke Dinas
Kesehatan Provinsi dan Direktur Jenderal PP&PL ub. Posko FB pada hari Senin setiap
minggunya melalui faks atau email.
4)    Puskesmas dan RS di daerah tertular membuat Pemantauan Wilayah Setempat Kasus ILI dan
FB dan secara teratur setiap minggu mengirimkan laporan PWS KLB tersebut ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Setiap penemuan Kasus FB di wilayah Kabupaten/Kota segera
dilaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Jenderal PP&PL melalui Posko KLB
FB dengan formulir KLB/Wabah 24 Jam (W1).
5)    RS melaporkan adanya Kasus FB ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan
formulir KDRS.
6)    RS Khusus Rawat Kasus FB melaporkan Perkembangan Harian ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Jenderal PP&PL, Depkes RI ub.
Posko FB Ditjen PP&PL, Depkes melalui faksimili atau email.
7)    Alur pelaporan kasus dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
                                              Daftar Pustaka
Binongko, Adhien. 2012. Laporan Surveilans Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis di Puskesmas
Wajo Kota BauBau Tahun2006-2010. Makalah di Publikasikan. BauBau: Unidayan BauBau,
Sulawesi Tenggara.
Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 2006. Pedoman  Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia 
Kumalasari, Tri Novia. 2013. Modul Mata Kuliah Surveilans Epidemiologi “Konsep Surveilans
Epidemiologi”.Indralaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya.
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2263

Anda mungkin juga menyukai