Anda di halaman 1dari 7

Stimulus yang berhubungan dengan kebijakan moneter antara lain bantuan covid yang ada kaitannya

dengan pendapatan nasional. Bantuan UMKM yang berhubungan dengan pendapatan nasinal, kebijakan
perbankan tentang keringan kredit.

Perkembangan Kebijakan Pemerintah terhadap UMKM di Indonesia


Perhatian pemerintah terhadap sektor UMKM semakin lama semakin besar. Hal ini tampak dari berbagai
kebijakan, baik dari sisi program bantuan, aturan pendukung, maupun lembaga yang menangani UMKM.
Pemerintah menganggap penting sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bagi perekonomian
Indonesia. Hal ini tampak dari data terkini tentang proporsi biaya yang dialokasikan untuk menangani
dampak ekonomi Covid-19 sektor UMKM, yakni sebesar Rp 123,46 triliun.
Proporsi biaya yang dianggarkan untuk UMKM tersebut menempati urutan kedua setelah perlindungan
sosial yang dialokasikan sebesar Rp 203,9 triliun. Bahkan, proporsi biaya untuk dukungan UMKM jauh
lebih besar daripada biaya yang dianggarkan di bidang pembiayaan korporasi yang mendapat jatah Rp
53,57 triliun.
Dukungan besar pemerintah terhadap sektor UMKM didasarkan pada besarnya pontensi dan kontribusi
sektor UMKM bagi perekonomian Indonesia.
Keseriusan pemerintah Indonesia dalam memperhatikan sektor UMKM dapat dilihat dari kebijakan-
kebijakan yang tertuang dalam program bantuan, produk hukum terkait UMKM, serta pembentukan
lembaga untuk menangani UMKM.

Sektor penting
Pentingnya sektor UMKM bagi perekonomian di Indonesia dapat dilihat dalam lima potret UMKM di
bawah ini.
Pertama, jumlah UMKM yang besar. Pada tahun 2018, jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 64,19 juta
usaha atau sekitar 99,99 persen dari total unit usaha di seluruh Indonesia. Kedua, UMKM menyerap
tenaga kerja dalam jumlah besar. Jumlah UMKM di atas menyerap 117 juta pekerja atau 97 persen dari
daya serap tenaga kerja dunia usaha pada 2018. Ketiga, kontribusinya yang besar pada PDB. Sektor
UMKM memberikan kontribusi sebesar 61,07 persen dari total PDB 2018 atau sebesar Rp 8.573 triliun.
Keempat, data Otoritas Jasa Keuangan (OKJ) menunjukkan, kredit yang disalurkan perbankan ke UMKM
per Juni 2020 sebesar Rp 1.015,438 triliun. Dari jumlah itu, setengah di antaranya disalurkan untuk sektor
perdagangan besar dan eceran, yakni Rp 505,656 triliun. Kelima, dalam krisis ekonomi global tahun
1997–1998 UMKM terbukti mampu bertahan dalam perubahan kondisi pasar yang cepat, selain sebagai
penunjang yang penting dalam industri yang tidak stabil, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di Asia.
Pentingnya UMKM bagi perekonomian Indonesia juga dapat dilihat dari 10 karakter dan keunggulan
UMKM yang dijelaskan oleh Tulus Tambunan dalam bukunya Usaha Mikro Kecil dan Menengah di
Indonesia (2012).
Pertama, berjumlah sangat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia baik perkotaan maupun perdesaan,
bahkan di pelosok terpencil. Kedua, sangat padat karya, mempunyai potensi pertumbuhan kesempatan
kerja yang besar dan peningkatan pendapatan. Ketiga, banyak terdapat dalam sektor pertanian yang secara
tidak langsung mendukung pembangunan. Keempat, menampung banyak tenaga kerja berpendidikan
rendah. Kelima, mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi, seperti yang terjadi pada tahun
1997/1998.
Keenam, bisa menjadi titik awal mobilisasi investasi di pedesaan sekaligus wadah bagi peningkatan
kemampuan wiraswasta. Ketujuh, menjadi alat untuk mengalokasikan tabungan warga pedesaan daripada
untuk konsumsi. Kedelapan, mampu menyediakan barang-barang kebutuhan relatif murah bagi
masyarakat berpenghasilan rendah, selain juga produksi barang mahal. Kesembilan, mampu mengikuti
kemajuan zaman melalui beragam jenis investasi dan penanaman modal. Kesepuluh, memiliki tingkat
fleksibilitas yang tinggi.

Program bantuan
Dari sisi program, pemerintah mulai memberikan perhatian pada UMKM pada tahun 1970-an dengan
berbagai program bantuan.
Pada tahun 1973, Presiden Soeharto memperbaiki kebijakan dalam pemberian kredit dengan tujuan
membantu golongan pengusaha kecil pribumi. Program yang telah ada, yakni kredit investasi kecil (KIK),
mendapatkan keringanan persyaratan.
Selain itu, disetujui pula program kredit modal kerja permanen (KMKP) dengan ketentuan yang akan
dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Program KMPK memiliki plafon pinjaman maksimal lima juta rupiah
dengan masa pinjaman maksimal tiga tahun dan bunga 15 persen setahun. Keunggulan program tersebut
adalah persyaratan yang jauh lebih mudah daripada pinjaman investasi (Kompas, 5/12/1973).
Hingga bulan April 1974, pengajuan kredit baik untuk KMPK maupun KIK tercatat sebesar Rp 11,6
miliar dari sejumlah 3.195 pengajuan kredit. Penyaluran kredit tersebut dilakukan oleh Bank BRI
(Kompas, 5/4/1974).
Selain itu, Bank Indonesia, juga melalui Bank BRI, telah memberikan kredit untuk usaha kecil dengan
besaran mulai Rp 10.000 hingga Rp 100.000 per orang (Kompas, 9/4/1974).
Pada tahun 1999, setelah keluar UU 23/1999, Bank Indonesia lebih fokus pada pencapaian dan
pemeliharaan stabilitas rupiah sehingga program kredit dialihkan kepada bank BUMN lain, yakni BRI,
BTN, dan PT Permodalan Nasional Madani (Kompas, 28/10/1999).
PT Permodalan Nasional Madani dibentuk oleh pemerintah pada bulan Maret 1999 untuk memberikan
penyertaan modal. Terdapat empat kriteria perusahaan yang mendapat penyertaan modal ekuitas ini.
Pertama, perusahaan itu harus mempunyai pasar yang jelas (captive market). Kedua, perusahaan yang
berorientasi ekspor diutamakan. Ketiga, dipilih perusahaan yang menggunakan substitusi impor dalam
produksinya. Keempat, usahanya harus mempunyai dampak yang besar terhadap penyediaan tenaga kerja
(Kompas, 6 Maret 1999).
Dalam perkembangannya, berbagai program dana bagi sektor usaha UMKM tidak hanya dikelola oleh
pemerintah lewat bank komersial, tetapi juga kredit dari lembaga nonbank atau lembaga keuangan mikro
(LKM). LKM merupakan badan usaha jasa keuangan yang  menyediakan layanan jasa keuangan mikro
yang bertujuan mempercepat akses pembiayaan UMK dengan tiga kategori, yakni LKM formal, LKM
semi formal dan LKM nonformal.
Beberapa program bantuan UMKM nonbank, antara lain Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan
Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Perdesaan (LDKP), Baitul Maal Wat Tanwil (BMT), Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Selain itu, terdapat pula program bantuan UMKM dari BUMN di luar bank, seperti bantuan dari PLN dan
Pertamina, baik dana bantuan atau dana hibah dengan persyaratan yang jauh lebih mudah daripada
pinjaman bank. Akan tetapi, pinjaman dari BUMN sangat terbatas tergantung dari laba BUMN tersebut.
Pada tahun 2005, Menteri Negara Koperasi dan UKM bekerja sama dengan BPD meluncurkan program
pembiayaan produktif untuk kredit usaha mikro (P3-KUM) sebagai penguatan LKM berbadan hukum
koperasi bersama dengan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Pada tahun 2008, Kementerian
Koperasi tidak lagi menyalurkan dana tersebut dan dikembalikan kepada Departemen Keuangan.

Kebijakan UMKM era Orde Baru


Di sisi kebijakan, dukungan pemerintah terhadap UMKM dapat dilihat dari produk hukum terkait
UMKM.
Meskipun belum secara khusus menerbitkan produk hukum mengenai UMKM, secara eksplisit dukungan
pemerintah terhadap UMKM mulai tampak dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Dalam pasal 12 UU ini, disebut bahwa pemerintah dapat menugaskan Bank Umum untuk
mendukung pengusaha golongan ekonomi lemah/usaha kecil.
Baru pada 1995, produk hukum yang mengatur persoalan UMKM secara formal disahkan, yakni Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Peraturan ini hadir dengan pertimbangan usaha kecil
sebagai kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki kedudukan, potensi, dan peran yang strategis untuk
mewujudkan struktur perekonomian nasional.
Undang-undang ini mengatur kriteria usaha kecil, yakni memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200
juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Kriteria berikutnya adalah memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak Rp 1 miliar.
Sebagai peraturan yang bertujuan mengembangkan usaha kecil, UU ini memuat kebijakan penting, yaitu
dukungan untuk usaha kecil yang mencakup pemberdayaan, iklim usaha, pembinaan dan pengembangan,
pembiayaan, penjaminan, serta kemitraan.
Visi jangka panjang dari dukungan pemerintah ini adalah ketangguhan dan kemandirian usaha kecil yang
dihadapkan pada perdagangan bebas dalam iklim perekonomian yang semakin terbuka. Usaha kecil yang
tangguh dan mandiri diproyeksikan akan berkembang menjadi usaha menengah. Lebih jauh, usaha kecil
yang kuat akan meningkatkan produksi nasional, kesempatan kerja, ekspor, serta pemerataan hasil-hasil
pembangunan.
Untuk mendukung UU 9/1995 di atas, pada bulan Februari 1998, Presiden Soeharto menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil. Aturan
ini memuat kebijakan dalam membina dan mengembangkan usaha kecil untuk berkembang menjadi
usaha menengah.
Ruang lingkup pemerintah dalam membina dan mengembangkan usaha kecil meliputi bidang produksi
dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia dan teknologi. Usaha kecil yang didampingi dan
akhirnya berkembang menjadi usaha menengah masih bisa mendapatkan pembinaan dan pengembangan
hingga jangka waktu paling lama tiga tahun.

Kebijakan UMKM masa Reformasi


Pada masa Reformasi, muncul beberapa aturan terkait usaha kecil. Akan tetapi, aturan utama yang diacu
masih UU 9/1995 tentang Usaha Kecil.
Pada Desember 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Keppres Nomor 127 Tahun 2001
tentang Bidang/Jenis Usaha yang Dicadangkan untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha yang Terbuka
untuk Usaha Menengah atau Besar dengan Syarat Kemitraan. Keppres ini mengatur berbagai macam
bidang yang diperuntukkan bagi usaha kecil.
Bidang atau jenis usaha tersebut meliputi sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, energi dan
sumber daya mineral, industri dan perdagangan, perhubungan, telekomunikasi, serta kesehatan. Masing-
masing sektor tersebut diperinci lagi ruang lingkupnya yang dijelaskan dalam Lampiran I Keppres
127/2001.
Selanjutnya dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terdapat dua aturan
penting terkait usaha kecil. Pertama, Inpres 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.
Kedua, Inpres 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah.
Aturan yang pertama mencakup empat poin penting terkait usaha kecil dan menengah, yakni
penyempurnaan aturan terkait perizinan, pengembangan jasa konsultasi, peningkatan akses finansial, serta
penguatan kemitraan antara usaha kecil dan menengah dengan usaha besar. Sementara aturan kedua
memuat 141 tindakan langsung terkait UMKM yang dijelaskan dalam bagian lampiran kurang lebih 50
halaman.
Kedua kebijakan di atas dimaksudkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat
melambat pada akhir 2005 dan awal 2006 akibat kenaikan BBM (Kompas, 13/6/2007).
Setahun berselang, pemerintah memberi kebaruan terhadap usaha golongan ekonomi rendah. Kebaruan
ini ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah. Hal yang paling mencolok adalah istilah yang digunakan, yakni usaha mikro, kecil dan
menengah.
Tidak hanya istilahnya, kriteria untuk masing-masing kelompok juga mengalami penyesuaian. Rincian
kriteria untuk usaha mikro, kecil, dan menengah terdapat dalam pasal 6 UU No. 20/2008.
Terkait penumbuhan iklim usaha, sebagaimana tertuang dalam pasal 6 UU di atas, kebijakan pemerintah
meliputi aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha,
kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan.
Setelah ada pembaruan konsep tentang UMKM melalui UU 20/2008, Presiden SBY pada 2014
mengeluarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil. Produk
hukum ini bertujuan menambah kuatnya legalitas usaha kecil dan menengah. Izin Usaha Mikro dan Kecil
(IUMK) memberi kepastian dan perlindungan berusaha di lokasi yang telah ditetapkan.
Pelaksana IUMK adalah camat yang mendapat pendelegasian wewenang dari bupati/wali kota.
Sementara, camat akan mendelegasikan pelaksanaan terhadap lurah/kepala desa dengan pertimbangan
karakteristik wilayah. Hal praktis yang dilakukan oleh lurah/kepala desa adalah mendata usaha mikro dan
kecil di wilayahnya.
Sebagaimana tertulis dalam pasal 2 ayat 4 Perpres ini, untuk pengurusan IUMK, pelaku usaha tidak
dikenakan biaya, retribusi, serta pungutan yang lain.

Lembaga terkait
Selanjutnya, perhatian pemerintah pada pengusaha kecil tampak dari pembentukan kelembagaan baru.
Lembaga pemerintah yang membidangi masalah UMKM secara pokok adalah Kementerian Koperasi dan
UMKM.
Dalam Kabinet Pembangunan VI, pemerintah mengganti nama Departemen Koperasi menjadi
Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil melalui Keppres 58/1993. Departemen inilah yang
menjadi cikal bakal Kemenkop dan UMKM saat ini.
Tiga tahun kemudian, Departemen Koperasi membentuk tiga direktorat jenderal baru sebagai langkah
lanjut penyesuaian, yaitu Ditjen Pembinaan Koperasi Perkotaan, Ditjen Pembinaan Koperasi Pedesaan,
dan Ditjen Pembinaan Usaha Kecil.
Pada tahun 1998, Departemen Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil diubah menjadi Departemen
Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah melalui Keppres 102/1998.
Pada tahun 1999, departemen ini berubah menjadi Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan
Menengah berdasarkan Keppres 134/1999. Menteri negara bertugas menangani bidang tugas tertentu
dalam kegiatan pemerintahan negara yang tidak ditangani oleh suatu departemen.
Kebijakan ini berlanjut pada tahun 2000 dengan penambahan nama “urusan” menjadi Menteri Negara
Urusan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah  sesuai Keppres 163/2000. Pada tahun 2001, nama
tersebut kembali menjadi Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah berdasarkan Keppres
101/2001.
Pada tahun 2015, Menteri Negara Koperasi dan UKM diubah menjadi Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah melalui Perpres 62/2015. Kementerian ini mengurus sisi dukungan pemberdayaan
dan pendampingan selain juga melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan terkait
UMKM.
Meskipun demikian, urusan UMKM tidak melulu terkait dengan Kementerian Koperasi dan UMKM.
Dengan cakupan sektor yang luas, hampir semua kementerian yang terkait dengan sumber daya dan
perekonomian bersinggungan dengan kegiatan UMKM.
Beberapa kementerian yang terkait secara signifikan, di antaranya Kementerian Keuangan, Kementerian
Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
Kementerian Keuangan mengambil bagian terutama dalam urusan pembiayaan dan pemberian kredit.
Salah satu program yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan adalah Kredit Ultra Mikro (UMi).
Program ini menyasar pelaku UMKM yang belum terfasilitasi oleh Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari
perbankan.
Sementara, Kementerian Perindustrian memiliki bagian khusus yang membidangi UMKM, yakni Dirjen
Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA). Salah satu agenda Dirjen IKMA baru-baru ini adalah
membangun jejaring antara industri kecil dan menengah dengan industri besar. Harapannya, sektor kecil
dan menengah mampu menjadi rantai suplai untuk industri lokal maupun global.
Lembaga berikutnya yang terkait dengan UMKM adalah Kementerian Perdagangan. Tugas Kemendag
dalam mendukung UMKM adalah memberi atau membukakan pangsa pasar. Tidak hanya di dalam
negeri, peluang pasar luar negeri juga diusahakan oleh Kemendag dengan melakukan kajian intelijen
pasar serta membangun jaringan dengan para pembeli, asosiasi, dan kamar dagang di negara-negara
tujuan. Harapan dari upaya ini adalah meluasnya pasar UMKM di dalam dan luar negeri.
Di luar beberapa kementerian di atas, masih banyak pihak yang terkait dengan UMKM sesuai dengan
penekanan BAB I UU 20/2008 bahwa pihak-pihak yang terkait mendukung UMKM mencakup
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat umum.
Lima Poin Penting dalam Kebijakan Keringanan Kredit Bank dan Leasing Pemerintah telah memutuskan
keringanan kredit perbankan dan leasing untuk membantu masyarakat yang terdampak Covid-19. Pingit
Aria Oleh Pingit Aria 30 Maret 2020, 14:07 Perajin menyelesaikan pesanan perabot lukis dari barang
bekas di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2020). Pemerintah menargetkan peningkatan
penyaluran plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp190 triliun pada tahun 2020 atau meningkat
Rp50 t ANTARA FOTO/Maulana Surya Perajin menyelesaikan pesanan perabot lukis dari barang bekas
di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, Jumat (28/2/2020). Pemerintah menargetkan peningkatan
penyaluran plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp190 triliun pada tahun 2020 atau meningkat
Rp50 triliun dibandingkan tahun 2019, serta akan terus ditingkatkan secara bertahap hingga Rp325 triliun
pada 2024, guna meningkatkan kelas dan produktivitas UMKM nasional .

Anda mungkin juga menyukai