Anda di halaman 1dari 21

Teori Pembelajaran Sosial (Sosiokultural)

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Bimbingan Konseling Anak Usia Dini”

Dosen Pengampuh:
Nurhayati, S.Psi., M.Psi

Disusun Oleh:
Ina Yati Dewi

PIAUD
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
FAKULTAS AGAMA ISLAM
STAI IBNU SINA BATAM
Tahun Akademik 2021/2022
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat,
taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah “Bimbingan
Konseling Anak Usia Dini” ini yang berjudul “Teori Pembelajaran Sosial ( Sosiokultural).
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Nurhayati selaku guru Mata
kuliah yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Semoga dengan pembahasan ini dapat menambah khazanah keilmuan kita yang
kemudian mampu kita pelajari dan terapkan sehingga kita dapat mengambil ibrah atas ilmu
yang kita dapat untuk pegangan kita dalam kehidupan sehari- hari. Kami mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Rektor STAI Ibnu Sina Batam, Bapak Dr. H. Muhammad Juni Bedu, LC. MA
2. Ketua prodi PIAUD, Ibu Qory Ismawaty, S.S., M.Pd.I
3. Nurhayati, S.Psi., M.Psi yang telah memberi dan membimbing kami meteri kuliah
mengenai bimbingan konseling anak usia dini.
4. Kepada suami dan kedua orang tua yang tidak jemu untuk mendo’akan dan terus
memberikan semangat.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, karena
keterbatasan ilmu pengetahuan dan kemampuan kami. Penulis berharapa atas kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan dalam menyusun makalah ini. Semoga dengan ilmu dari
makalah ini mampu membawa perubahan yang lebih baik dalam pendidikan.

Batam, 31 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... ii


DAFTAR ISI …………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 3
A. Landasan teori sosiokultural .......................................................... 3
B. Pengertian teori sosiokultural ........................................................ 4
1. Piaget .......................................................................................... 4
2. Vygotsky .................................................................................... 5
C. Tujuan teori sosiokultural ............................................................ 13
D. Peran siswa dalam teori sosiokultural .......................................... 13
E. Peran guru dalam teori sosiokultural ........................................... 13
F. Aplikasi teori sosiokultural .......................................................... 15
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17
Kesimpulan............................................................................................ 17
Saran …………………………………………………………………..17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teori belajar sosiokultur berangkat dari penyadaran tentang betapa pentingnya sebuah
pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang tidak bisa dipisahkan.
Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di mana pendidikan dan
kebudayaan berbicara pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai. Tylor dalam H.A.R Tilaar
(2002: 7) telah menjalin tiga pengertian manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi
dari hal yang bersamaan. Oleh sebab itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan
dan hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat.

Ainul Yaqin (2005: 6) berpendapat bahwa “budaya adalah sesuatu yang general dan
spesifik sekaligus”. General dalam hal ini berarti setiap manusia di dunia ini mempunyai
budaya, sedangkan spesifik berarti setiap budaya pada kelompok masyarakat adalah bervariasi
antara satu dan lainnya. Sedangkan Tylor dalam H.A.R Tilaar (2002: 39) berpendapat bahwa
“Budaya atau peradaban adalah suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuaan kemampuan dan kebiasaan
lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

H.A.R Tilaar (2002: 41) sendiri berpendapat bahwa kebudayaan merupakan suatu proses
pemanusiaan yang artinya di dalam kehidupan berbudaya terjadi perubahan, perkembangan
dan motivasi.

Pentingnya kebudayaan dalam kehidupan manusia inilah yang kemudian mendasari bahwa
kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Melihat kondisi bangsa Indonesia yang
terdiri dari berbagai budaya, Syamsul Ma‟arif (2005: 90) berpendapat bahwa masyarakat yang
harus mengekspresikan pendidikan kebudayaan adalah masyarakat yang secara obyektif
memiliki anggota yang heterogenitas dan pluralitas.

Pentingnya menghargai budaya dalam pendidikan ini karena dorongan yang timbul dalam
diri manusia sadar ataupun tidak sadar adalah hasil kebudayaan di mana pribadi itu hidup.

1
H.A.R Tilaar (2002: 51 ) mengutip pendapat yang disampaikan John Gillin perkembangan
kepribadian manusia dalam kebudayaan dilihat dari pandangan behaviorisme dan psikoanalitis:

1. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar
2. Kebudayaan mendorong secara sadar aataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi kelakuan
tertentu.
3. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment”, terhadap kelakuan-
kelakuan tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong setiap kelakuan yang sesuai
dengan sistem nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman
terhadap kelakuan-kelakuan yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup
suatu masyarakat budaya tertentu.
4. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses
belajar.

B. Rumusan Masalah

1. Apa landasan sosiokultural ?


2. Apa pengertian teori sosiokultural ?
3. Apa tujuan pembelajaran sosiokultural ?
4. Bagaimana peran siswa dalam teori sosiokultural ?
5. Bagimana peran guru dalam teori sosiokultural ?
6. Bagaimana penerapan teori sosiokultural dalam pembelajaran atau layanan Bimbingan
Konseling ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui aliran teori sosiokultural.


2. Untuk mengetahui tujuan pembelajaran sosiokultural pada perkembangan kognisi.
3. Untuk mengetahui aplikasi teori sosiokultural.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan teori sosiokultural

Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural:

1. Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu artinya
pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu
teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya
belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial
menjadi faktor sekunder.

Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan belajar, sedangkan
penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar. Perkembangan kognitif
merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi biologis dengan lingkungan sehingga
terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi
dan akomodasi).

Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang
kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan
kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat
menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih
mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan
dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-
sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.

2. Vygotsky
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul tindakan
sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang dilatari
sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu
sendiri melainkan berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya.

3
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan
dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan
keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun
keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai
dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi
sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan
sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-
Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh
individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.

Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui


kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya.
Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya
dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran
sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa
mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya. Banyak ahli psikologi
perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang
menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-
proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan
pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga
menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-
orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.

B. Pengertian teori sosiokultural


Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kultural:
1. Piaget
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu artinya
pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu
teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya
belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial
menjadi faktor sekunder.

4
Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan belajar, sedangkan
penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar. Perkembangan kognitif
merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi biologis dengan lingkungan sehingga
terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi (asimilasi
dan akomodasi).

Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang
kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan
kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat
menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih
mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan
dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-
sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.

2. Vygotsky
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget yang
kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan
kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat
menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih
mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan
dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-
sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.

Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan


dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan
keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun
keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai
dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi
sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan
sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-
Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh
individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.

5
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui
kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya.
Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya
dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran
sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa
mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya.

Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan
Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai
sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia
menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian,
dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan
sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang
dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang
tersebut.

Teori belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar ko-
kontruktivistik merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada
bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona
keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development (ZPD) atau Zona
Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya
membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang
dihadapinya

Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa
intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini
juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui
interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang
terjadi dalam diri sendiri).

6
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan
terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) secara
spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah :
1. Membantu memecahkan masalah
Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya.
Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang
diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.

2. Memudahkan dalam melakukan tindakan


Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang
mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin
untuk mencapai tujuan.

3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir
dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang
ada di sekitarnya.

4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.


Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens
menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai
dengan kapasitasnya.

Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan
sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki
oleh setiap individu. Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan
bahwa “siswa itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan
informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan
memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori belajar Sosiokultur ini
menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang
telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai
informasi-informasi baru.

7
Teori belajar sosiokultur meliputi tiga konsep utama, yaitu :

1. Hukum Genetik tentang Perkembangan


Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-fakta atau
keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu, perkembangan seseorang
melewati dua tataran. Tataran soaial tempat orang-orang membentuk lingkungan
sosialnya (dapat dikategorikan sebagai interpsikologis atau intermental), dan
tataran sosial di dalam diri orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai
intrapsikologis atau intramental)

Teori sosiokultur menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor


primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan
kognitif seseorang. Fungsi-fungsi mental yang tinggi dari seseorang diyakini
muncul dari kehidupan sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini
dipandang sebagai derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan
internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak
baru akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses
internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang
menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang.

Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky meyakini bahwa
kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara spesifik,
namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi secara
keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.

2. Zona Perkembangan Proksimal


Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development (ZPD) merupakan
konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar sosiokultur Vygotsky.
Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky berpendapat bahwa setiap anak
dalam suatu domain mempunyai „level perkembangan aktual‟ yang dapat dinilai
dengan menguji secara individual dan potensi terdekat bagi perkembangan
domain dalam tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara
dua level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona
Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual seperti

8
yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan level
perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang
lebih mampu. Secara jelas Vygotsky memberikan pandangan yang matang
tentang konsep tersebut seperti yang dikutip oleh Luis C. Moll (1993: 157)

Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi tersebut yang


belum pernah matang, tetapi dalam proses pematangan. Fungsi-fungsi tersebut
akan matang dalam situasi embrionil pada waktu itu. Fungsi-fungsi tersebut dapat
diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga” perkembangan yang dibandingkan
dengan “buah” perkembangan.

Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan Proksimal sebagai fungsi-


fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses
pematangan”. Karena fungsi-fungsi yang belum matang ini maka anak
membutuhkan orang lain untuk membantu proses pematangannya. Sedangkan I
Gusti Putu Suharta dalam makalahnya berpendapat bahwa :
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.

Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa belajar konsep
paling baik apabila konsep itu berada pada zona perkembangan terdekat mereka
(Guruvalah). Sedangkan Marysia (2003) dalam makalahnya menyatakan bahwa
“ZPD merupakan suatu wilayah aktifitas-aktifitas di mana individu dapat
mengemudikan dengan kawan-kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun
orang yang lebih ahli yang memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky
tentang interaksi antara kawan sebaya dan pencontohan adalah cara-cara penting
untuk memfasilitasi perkembangan kognitif individu dan kemahiran pengetahuan.

9
Dalam makalah lain, Julia berpendapat bahwa “ZPD merupakan level
perkembangan yang dicapai ketika anak-anak ikut serta dalam tingkah laku
sosial”.

Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan penuh ZPD tergantung pada
interaksi sosial yang penuh, di mana keahlian dapat diperoleh dengan bimbingan
oraang dewasa atau kolaborasi antar kawan sebaya ataupun orang yang lebih
faham melampaui apa yang difahaminya.

Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada empat tahapan ZPD
yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran yang menyangkut ZPD,
yaitu:
 Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos kakinya
ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada orang tua dan
pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan cara kerja yang
ditunjukkan orang dewasa
 Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri. Anak
mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan
kanan. Memakai bajupun masih membutuhkan waktu yang lama karena
keliru memasangkan kancing.
 Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi. Anak
mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa. Setiap
pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa saja yang harus
dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki dan sepatu.
 Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak
siap untuk berfikir abstrak.

Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat melakukan


sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya dalam mengingat
urutan suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan kembali apa yang
dilakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah. Pada empat tahapan ini dapat
disimpulkan bahwa. Seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya

10
tidak bisa dia lakukan dengan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun
teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut.

3. Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Ada dua jenis
mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1) tema mediasi semiotik
di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan seseorang untuk
memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat dari hal yang belum ada di
sekitar kita, kemudian dibuat oleh orang yang lebih faham untuk membantu
mengkontruksi pemikiran kita dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang
dimaksudkan; (2) scaffalding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang
digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat
dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang yang lebih
faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut akan membantu
menjelaskan kepada orang yang belum faham sehingga menjadi faham terhadap
hal yang dimaksudkan.

Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau lambang-
lambang tersebut sebenarnya merupakan produk dari lingkungan sosiokultural di
mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini, anak-anak
dibantu oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih faham.
Wertsch dalam Yuliana (2005: 45-46) berpendapat bahwa :
Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan fungsi-fungsi mental
didasari oleh tema mediasi semiotik. Artinya tanda atau lambang beserta makna
yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas-
sosiokultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnyaa
proses mental.

11
Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang
perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :
1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan
yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
dari pada perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan
intramentalnya.
4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan
pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan
prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi
lebih merupakan ko-konstruksi

Dalam teori belajar sosiokultur ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal
dari sumber-sumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi
pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Karena pengetahuan
dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan
dipengaruhi oleh orang lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar sosiokultur yang
banyak digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah :

 Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif


 Tekanan proses belajar mengajar terletak pada siswa
 Mengajar adalah membantu siswa belajar
 Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil
belajar
 Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
 Guru adalah fasilitator.

12
C. Tujuan teori sosiokultural

Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:

1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

D. Peran siswa dalam teori sosiokultural


Peranan Siswa (Si-pelajar), Menurut teori ko – konstruktivisme, belajar adalah proses
pemaknaan atau penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan
refleksi serta interpretasi. Proses tersebut harus dilakukan oleh siswa (pelajar), karena
pembelajaran konstruktivistik lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau
pandangan pelajar. Sehingga siswa bisa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap
pengetahuan yang dipelajari. Dalam pembelajaran konstruktivistik, siswa menjadi pusat
kegiatan dan guru sebagai fasilitator. Akan tetapi kadang guru harus mengambil prakarsa
untuk menata lingkungan agar terbentuk proses belajar yang optimal sehingga siswa
termotivasi untuk belajar dan menggali informasi. Namun pada akhirnya yang paling
menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar dari siswa itu sendiri. Dengan kata
lain, bahwa pada dasarnya hakekat kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.

E. Peran guru dalam teori sosiokultural

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu, penyelenggaraan bimbingan dan


konseling di sekolah bukan hanya menjadi tanggung jawab guru bimbingan dan konseling
(guru BK) melainkan menjadi tanggung jawab bersama semua guru, baik guru kelas maupun
guru mata pelajaran di bawah koordinasi guru bimbingan dan konseling. Sekalipun tugas dan
tanggung jawab utama guru kelas maupun guru mata pelajaran adalah menyelenggarakan
kegiatan belajar dan pembelajaran, bukan berarti dia sama sekali lepas dari kegiatan pelayanan
bimbingan dan konseling. Peran dan konstribusi guru kelas dan guru mata pelajaran tetap
sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisiensi pelayanan bimbingan dan

13
konseling di sekolah, bahkan dalam batas-batas tertentu guru kelas maupun guru mata
pelajaran dapat bertindak sebagai pembimbing (konselor) bagi siswanya. Salah satu peran
yang harus dijalankan oleh guru yaitu sebagai pembimbing dan untuk menjadi pembimbing
yang baik guru harus memiliki pemahaman tentang siswa yang dibimbingnya. Lebih jauh,
Makmun (2003) menyatakan bahwa guru sebagai pembimbing dituntut untuk mampu
mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa,
prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya
(remedial teaching). Berkenaan dengan upaya membantu mengatasi kesulitan atau masalah
siswa, peran guru tentu berbeda dengan peran yang dijalankan oleh konselor profesional.

Berkenaan peran guru kelas dan guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling, Willis
(2005) mengemukakan bahwa guru-guru mata pelajaran dalam melakukan pendekatan kepada
siswa harus manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong, konkret, jujur dan asli,
memahami dan menghargai tanpa syarat. Prayitno dkk (2004) memerinci peran, tugas dan
tanggung jawab guru kelas dan guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling sebagai
berikut:

1. Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa


2. Membantu guru pembimbing/konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan
layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa
tersebut.
3. Mengalih tangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling
kepada guru pembimbing/konselor
4. Menerima siswa alih tangan dari guru pembimbing/konselor, yaitu siswa yang
menuntut guru pembimbing/konselor memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus
(seperti pengajaran/ latihan perbaikan, program pengayaan).
5. Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-
siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.
6. Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan
layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani
layanan/kegiatan yang dimaksudkan.
7. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi
kasus.

14
8. Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan
bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.

F. Aplikasi teori sosiokultural


Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori sosio-kultural dalam
pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:
1. Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertamakali melihat,
memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh
karena itu perkembangan prilaku masing-masing anak akan berbeda manakala berasal
dari keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak
dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi
keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.
2. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk memberikan
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya kursus membatik.
Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang berkembang di
lingkungan sosial masyarakatnya.
3. Pendidikan formal
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai
Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri
nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri nomor 22
tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan
di Indonesia memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk
mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional
melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi
antara lain:
 Siswa
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung
ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai dan
sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak mengalami pembelajaran secara
langsung. Selain itu pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk

15
berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya pencapaiannya sesuai
standar kompetensi yang telah ditetapkan.
 Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih
berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer
pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam
pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan guru
membantu perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri dalam bentuk
pengayaan, remedial pembelajaran.

16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru berfungsi sebagai
moivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki gairah untuk berfikir,
fasilitator, yang membantu menunjukan jalan keluar bila siswa menemukan hambatan dalam
proses berfikir, manager yang mengelola sumber belajar, serta rewarder yang memberikan
penghargaan pada prestasi yang dicapai oleh siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi
yang lebih tinggi dalam diri siswa. Pada intinya, siswalah yang dapat menyelesaikan
permasalahannnya sendiri untuk membangun ilmu pengetahuan.

Dapat disimpulkan bahwa teori belajar sosiokultur, proses belajar tidak dapat dipisahkan dari
aksi (aktifitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis.
Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dan pemikiran individu melalui
interaksi dalam suatu konteks sosial.

Dalam hal ini tidak ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau
benar. Vygotsky percaya bahwa perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dimanapun
pengetahuan itu dikonstruksikan, dan dimana makna diciptakan, serta dari komunitas budaya
dimana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui aktivitas, interaksi sosial,
tersebut penciptaan makna terjadi.

Saran
Sebagai mahasiswa calon guru sekolah dasar tentunya kita harus mengetahui bahwa anak usia
SD berada dalam Zona Perkembangan Proksimal dimana fungsi-fungsi atau kemampuan yang
belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Untuk membantu proses
pematamgam tersebut kita harus bisa menjadi fasilitator, mediator, motivator, evaluator,
desainer pembelajaran dan tutor. Motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan
memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator yang membantu menunjukkan jalan keluar bila siswa
menemukan hambatan dalam proses berfikir, mediator yang mengelola sumber belajar, juga
sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga
mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Budi Ningsih, Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta

Anwar, Kasful & Hendra Harmi, 2011, Perencanaan Sistem Pembelajaran Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), Bandung: ALFABETA

Siregar, Dewi Salma Prawiradilaga Eveline, 2004, Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta
Timur: PRENADA

Suyono, 2011, Belajar Dan Pembelajaran, Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.

Hariyanto, 2011, BelajarDan Pembelajaran, Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.

Sobry Sutikno, M. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Prospect.

18

Anda mungkin juga menyukai