Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TETANUS NEONATORUM

Dosen Pengampu :
ISY ROYHANATY, S.SiT, M.Si.Med

Disusun oleh :
KELOMPOK 3
 Dwi Arryani (2004457)  Nuliya Shinta (2004470)
 Gadis Ayu A (2004463)  Sulistyoningsih (2004478)
 Harisah Ulya (2004464)  Yevi Laili Isma (2004479)
 Lailatun Nashiroh ( 2004467)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA


HUSADA

SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka kejadian tetanus neonatorum di Indonesia masih tinggi terbukti


pada tahun 2014 prevalensinya itu 59,18% dari seluruh jumlah kelahiran yaitu 4,9
juta jiwa (Kemenkes RI, 2012). Kejadian tersebut masih banyak terjadi
dikarenakan banyaknya ibu hamil yang tidak mendapatkan imunisasi Tetanus
Toksoid (TT) selama kehamilan ataupun wanita usia subur yang tidak
mendapatkan imunisasi TT, dimana imunisasi TT ini perlu dilakukan jika calon
ibu hamil belum memiliki imun/kekebalan terhadap penyakit tetanus karena akan
membahayakan janinnya. Imunisasi TT merupakan pemberian suntikan imunisasi
untuk meningkatkan kekebalan terhadap infeksi tetanus. Imunisasi TT diberikan
saat pelayanan antenatal dengan jarak 4 minggu setelah pemberian imunisasi TT
yang pertama. Selama hamil pemberian imunisasi TT diberikan sebanyak 2 kali
untuk mencegah penyakit tetanus neonatorum (Kemenkes RI, 2013). Imunisasi
TT termasuk salah satu standar dari pelayanan Antenatal Care (ANC). Pelayanan
ini merupakan salah satu program pemerintah yang ditujukkan untuk ibu hamil.
Selain program untuk ibu hamil, pemerintah pun memiliki program untuk
mengurangi jumlah tetanus neonatorum di Indonesia yang bernama Eliminasi
Tetanus Maternal dan Neonatal. 1 Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2017 Angka Kematian Neonatal (AKN) adalah 15
kematian per 1.000 kelahiran hidup, artinya bahwa 1 dari 67 anak meninggal
dalam bulan pertama kehidupannya sedangkan, Angka Kematian Bayi (AKB)
adalah 24 kematian per 1.000 kelahiran hidup, artinya bahwa 1 dari 42 anak
meninggal sebelum ulang tahun pertamanya.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Tetanus Neonatorum? 
b. Bagaimana patofisiologi dari Tetanus Neonatorum?
c. Bagaimana etiologi dari Tetanus Neonatorum?
d. Apa presdiposisi Tetanus Neonatorum?
e. Apa saja diagnosis dan dari Tetanus Neonatorum?
f. Apa penatalaksanaan dari Tetanus Neonatorum?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui definisiTetanus Neonatorum?
b. Untuk mengetahui patofisiologiTetanus Neonatorum?
c. Untuk mengetahui etiologi dari Tetanus Neonatorum?
d. Untuk mengetahui predesposisi Tetanus Neonatorum?
e. Untuk mengetahui diagnosis Tetanus Neonatorum?
f. Untuk mengetahui penatalaksanaan Tetanus Neonatorum?

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Lahan
Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
khususnya penanganan pada bayi patologi dengan indikasi Tetanus
Neonatorum.
2. Bagi Profesi Bidan
Dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang nyata
bagi penulis dalam memberi asuhan kebidanan pada bayi dengan indikasi
Tetanus Neonatorum
3. Bagi Pasien
Dapat memberikan pengetahuan melalui informasi tentang penyebab
dari Tetanus Neonatorum sehingga memperluas ilmu pengetahuan dan
wawasan pada ibu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

a. Pengertian/definisi

Tetanus neonatorum (TN) adalah penyakit yang timbul pada bayi

baru lahir, disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang dapat

menyerang otak, saraf otonom, saraf spinal, dan neuromuscular

junction. Bayi dengan peningkatan risiko mengalami TN adalah bayi

yang lahir dari ibu yang tidak divaksin tetanus dan terekspos spora C.

tetani. Spora bisa didapat dari alat persalinan yang terkontaminasi,

misalnya saat menggunting tali pusar.

Gejala klinis Tetanus Neonatorum disebabkan oleh pengaruh

tetanospasmin, suatu toksin spesifik yang diproduksi di bagian luka yang

terinfeksi C. tetani, yang mengganggu transmisi neuromuskuler,

menyebabkan supresi hiperpolarisasi membran neuron, dan

menimbulkan disfungsi saraf otonom. Sebagai akibatnya, kasus TN

biasanya dapat mudah diidentifikasi pada bayi yang dibawa ke dokter

dengan keluhan kekakuan kelompok otot yang letaknya dekat dengan

situs masuknya kuman atau kekakuan otot menyeluruh yang ditandai

dengan trismus, iritabilitas, kaku leher, sulit menelan, dan kekakuan otot

abdomen dan toraks. Masa inkubasi Tetanus Neonatorum 3-28 hari,

rata-rata 6 hari. Apabila masa inkubasi kurang dari 7 hari, biasanya

penyakit lebih parah dan angka kematiannya tinggi.

Tanda dan gejala :

a. Tiba-tiba demam
b. Bayi yg semula dapat menetek menjadi sulit menetek / kejang
otot rahang dan faring (trismus)
c. Mulut mecucu seperti mulut ikan
d. Mudah terjadi kejang jika kena rangsangan cahaya, suara &
sentuhan
e. Kadang-kadang disertai sesak napas, & wajah bayi membiru
f. Kadang-kadang ditemukan adanya kaku kuduk, opistotonus
(posisi punggung melengkung, kepala mendongak ke atas) angka
kematiannya tinggi.

Penegakan diagnosis Tetanus Neonatorum umumnya dilakukan


dengan mengenali gejala klinis khas tetanus, riwayat luka terbuka atau
cedera, maupun adanya faktor risiko terhadap tetanus pada ibu.
Sementara itu, pemeriksaan penunjang seperti kultur bakteri dan
pemeriksaan antitoksin serum hanya memiliki sedikit peran dalam
mengarahkan diagnosis tetanus, sehingga tidak dilakukan secara rutin
dalam praktik sehari-hari.

Penatalaksanaan pada kasus Tetanus Neonatorum bertujuan untuk


menekan morbiditas dan mortalitas dengan cara menghentikan produksi
toksin pada tempat infeksi dan pemberian terapi suportif untuk
meredakan gejala. Hal ini dicapai dengan cara membersihkan luka secara
operatif, perawatan ketat dan berkesinambungan untuk mencegah
tetanospasme, pemantauan keseimbangan cairan, elektrolit, dan  kalori,
serta penggunaan antitoksin. Namun, tindakan pencegahan TN melalui
upaya imunisasi aktif menggunakan toksoid tetanus pada wanita usia
reproduktif yang belum terimunisasi merupakan pendekatan yang lebih
efektif daripada pengobatan setelah infeksi berlangsung.
b. Patofisiologi
Patofisiologi tetanus neonatorum (TN) sangat berkaitan dengan kerja
tetanospasmin pada empat bagian susunan saraf pusat, yakni taut neuromuskular di
otot rangka, saraf spinal, otak, dan sistem saraf otonom.
a. Dari Spora Menjadi Toksin
Spora Clostridium tetani yang masuk ke luka belum membahayakan
hingga diubah oleh serangkaian stimulus menjadi bentuk vegetatif yang
kemudian berkembang biak namun belum menyebabkan gejala hingga spora
diubah menjadi bentuk bacillus pelepas toksin.
Gejala klinis muncul akibat pelepasan toksin tetanolisin dan tetanospasmin
pada area tempat sel kuman vegetatif berkembang biak. Tetanolisin dapat
memicu terjadinya hemolisis namun tidak secara langsung menyebabkan
gejala klinis sedangkan tetanospasmin lebih berpengaruh pada serangkaian
gejala yang timbul pada pasien dengan tetanus.
[1] Potensi toksisitas tetanospasmin sangat kuat sehingga hanya
membutuhkan 1350000 hingga 12500 dosis letal pada kucing dan ayam untuk
dapat menimbulkan gejala tetanus pada manusia.
b. Efek Tetanospasmin terhadap Neuromuscular Junctio
Tetanospasmin menimbulkan efek berupa gangguan transmisi
pada neuromuscular junction. Selain menghambat pelepasan asetilkolin dari
ujung saraf di otot, tetanospasmin pada sistem sarkotubuler otot rangka juga
dapat mengganggu mekanisme yang terlibat pada relaksasi dan kontraksi otot
rangka. Kegagalan pelepasan neurotransmitter secara dominan
mempengaruhi inhibisi neuron motorik.
c. Efek Tetanospasmin terhadap Saraf Spinal
Efek tetanospasmin pada saraf spinal melibatkan perubahan pada
aktivitas refleks polisinaptik pada sejumlah interneuron sehingga
menyebabkan inhibisi antagonistik. Hiperpolarisasi membran neuron yang
secara normal terjadi apabila jaras inhibitorik terstimulasi, menjadi
mengalami supresi oleh toksin. Sebaliknya, depolarisasi akibat eksitasi
neuron tidak terpengaruh.
d. Efek Tetanospasmin pada Otak dan Saraf Simpatis
Tetanospasmin pada otak diduga berperan terhadap manifestasi
kejang tipikal pada tetanus. Teori ini didukung oleh adanya bukti ikatan
toksin dengan gangliosida di otak. Tetanospasmin memicu penurunan inhibisi
antidromik dari aktivitas kortikal. Efek lain tetanospasmin yang terlihat di
saraf spinal juga ditemukan pada efek tetanospasmin terhadap jaringan otak.
Sementara itu, gejala yang merefleksikan adanya disfungsi otonom dapat pula
ditemukan pada pasien dengan tetanus. Gejala tersebut termasuk diaforesis,
vasokonstriksi perifer, hipertensi, aritmia, takikardia, peningkatan kadar
katekolamin dalam urin, dan hipotensi khususnya pada stadium tetanus yang
berat.
c. Penyebab langsung/etiologi
Secara etiologi, tetanus neonatorum (TN) disebabkan oleh
neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani, suatu bakteri gram
positif, anaerob obligat, berbentuk batang yang biasanya membentuk
spora. C. tetani berspora memiliki ciri khas tampilan mikroskopis
menyerupai tabuh yang disebabkan karena spora terletak di ujung dari
organisme.
Spora C. tetani banyak ditemukan pada tanah dan saluran cerna hewan serta
manusia, dan dapat mengkontaminasi berbagai permukaan secara langsung.
Spora kuman ini sangat sulit dibasmi kecuali dengan menggunakan autoklaf
dan paparan iodin, hidrogen peroksida, dan formalin
a. Faktor Risiko
Faktor risiko spesifik terkait tetanus neonatorum sering teridentifikasi
secara bersamaan pada satu individu sehingga meningkatkan risiko
kejadian penyakit secara kumulatif. Praktik persalinan di rumah,
sebagaimana umumnya ditemukan di negara berkembang dan area
terpencil, yang tidak dibantu oleh tenaga medis terlatih dapat
menimbulkan banyak faktor risiko tetanus neonatorum dan maternal.
Sebagai contoh, pemeliharaan tali pusat menggunakan instrumen
tradisional yang tidak steril telah terbukti pada beberapa analisis
multivariat sebagai faktor risiko Selain itu, tingkat kemiskinan, kurangnya
pengetahuan orang tua, usia maternal yang muda, serta pembatasan
budaya tentang hak wanita terhadap akses kesehatan turut berkaitan
dengan praktik persalinan yang tidak higienis, rendahnya kunjungan
kehamilan, dan vaksinasi toksoid tetanus yang inadekuat.
 Faktor Risiko Tetanus Neonatorum

Faktor yang berkaitan dengan prosedur medis yang tidak aman

 Persalinan atau prosedur medis lainnya yang dilakukan di luar


fasilitas kesehatan
 Penolong persalinan yang tidak terlatih secara medis
 Instrumen dan tangan penolong yang tidak bersih
 Penggunaan tikar, tanah, atau alas persalinan yang tidak bersih
 Terdapat hewan peliharaan yang tinggal dalam rumah atau dekat
rumah tempat bersalin
 Penggunaan bahan tradisional untuk membantu persalinan, misalnya
minyak sayur, jus, jamu-jamuan, dan minyak samin
 Perawatan tali pusat menggunakan bahan tradisional seperti tanah,
pasir, minyak, jus buah, jamu-jamuan, dan kotoran hewan
Faktor yang berkaitan dengan imunisasi
Pemberian imunisasi toksoid tetanus yang tidak lengkap
Faktor yang berkaitan dengan prosedur medis yang tidak aman atau
imunisasi tak lengkap, maupun keduanya

 Kemiskinan
 Tingkat pendidikan orang tua yang rendah
 Pemeriksaan antenatal yang tidak rutin
 Usia ibu yang muda atau kondisi kehamilan pertama, maupun
keduanya
 Adat istiadat tentang pembatasan gerakan dan kontak wanita selama
kehamilan
Faktor lainnya

 Riwayat kematian anak sebelumnya dalam keluarga akibat tetanus


neonatorum
 Jenis kelamin anak laki-laki (terkait peningkatan risiko tetanus
neonatorum pada bayi laki-laki)

d. Penyebab tidak langsung/Predesposisi


a. Adanya spora tetanus
b. Adanya jaringan yang mengalami injury, misalnya pada pemotongan
tali pusat
c. Kondisi luka tidak bersih, yang memungkinkan perkembangan
mikroorganisme host yang rentan
e. Diagnosis
Diagnosis tetanus neonatorum (TN) umumnya cukup jelas untuk
ditegakkan secara klinis.
 Anamnesis
Temuan anamnesis yang mengarah pada diagnosis tetanus TN
mencakup presentasi bayi berusia 3-14 hari pasca persalinan yang
menunjukkan kemampuan menyusu yang lemah disertai tangisan
tanpa sebab yang jelas. Keluhan utama yang mungkin timbul pertama
kali antara lain trismus, gangguan menelan, adanya spasme tetanik
pada kelompok otot lainnya, dan opistotonus.
f. Pentalaksanaaan ( kewenaangan bidan mandiri dan kolaborasi )
1. Bayi ditempatkan di tempat yang hangat tenang dan sedikit sinar
2. Menjaga jalan napas tetap bebas dengan membersihkan jalan napas
3. Memenuhi kebutuhan oksigen, nutrisi keseimbangan cairan &
elektrolit
4. Atasi kejang bila terjadi
5. Kolaborasi pemberian anti biotik, ATS dan obat anti kejang
Penatalaksanaan tetanus neonatorum (TN) bertujuan untuk eradikasi
kuman C. tetani, netralisasi toksin, dan pemberian terapi suportif
spesifik sesuai keparahan penyakit.
 Terapi Antitoksin
Terapi antitoksin dengan menggunakan imunoglobulin
antitetanus (human tetanus immune globulin/HTIG) dari serum
manusia maupun kuda (antitetanus serum/ATS) masih menjadi
terapi pilihan pada penanganan tetanus. Pemberian HTIG
bertujuan untuk mencegah progresivitas penyakit dengan cara
menghancurkan toksin tetanus yang belum terikat pada
jaringan namun tidak mempengaruhi efek toksin yang telah
terikat pada jaringan. HTIG diberikan melalui rute
intramuskular dosis tunggal 3000-6000 IU.
6. Lakukan perawatan tali pusat
DAFTAR PUSTAKA

1. Roper MH, Vandelaer JH, Gasse FL. Maternal and neonatal tetanus. Lancet.
2007;370(9603):1947–59.

2. Hassel B. Tetanus: Pathophysiology, treatment, and the possibility of using botulinum


toxin against tetanus-induced rigidity and spasms. Toxins (Basel). 2013;5(1):73–83.

3. Centers for Disease Control and Prevention. Tetanus. Epidemiology and Prevention of
Vaccine-Preventable Disease. 2015. Available from:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/tetanus.html

4. Liu ZC, Zhou B, Tan SK. Tetanus vaccines: WHO position paper – February 2017.
Relev Epidemiol Hebd. 2017;92(6):53–76. Available from:
http://www.scientific.net/AMR.658.399

5. Leman MM, Tumbelaka AR. Penggunaan Anti Tetanus Serum dan Human Tetanus
Immunoglobulin pada Tetanus Anak. Sari Pediatr. 2010;12(4):283–8.

6. Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. Pharmacological management of tetanus: an


evidence-based review. Crit Care. 2014 Mar 26;18(2):217. Available from: Critical Care

7. Azizah, N. (2015). Pengetahuan Ibu Primigravida tentang Suntik Tetanus Toksoid


dengan Pelaksanaannya. Jurnal Edu Health, Vol 5 No 2(2).

8. Azwar, A. (2010). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Binarupa Aksara.

9. Bartini, I. (2012). ANC. Asuhan Kebidanan pada Ibu Hamil Normal. Yogyakarta.

10. Blencowe, H., Lawn, J., Vandelaer, J., Roper, M., & Cousens, S. (2010). Tetanus
Toxoid Immunization to Reduce Mortality from Neonatal Tetanus. International Journal of
Epidemiology, 39 (SUPPL. 1), 102–109. https://doi.org/10.1093/ije/dyq027.

Anda mungkin juga menyukai