Anda di halaman 1dari 6

Beranda 

Dayok Nabinatur, Kuliner yang Kaya Filosofi

  SUMBER:
HTTPS://INDONESIA.GO.ID/KATEGORI/PARIWISATA/733/DAYOK-
NABINATUR-KULINER-YANG-KAYA-FILOSOFI

Simalungun kaya akan kuliner. Salah satu yang paling populer adalah kuliner Dayok
Nabinatur. Dalam bahasa Simalungun, dayok artinya ayam, sedangkan nabinatur maknanya
yang diatur. Jika diterjemahkan, Dayok Nabinatur berarti ayam yang dimasak dan disajikan
secara teratur. Hingga kini, masyarakat Simalungun terus mewariskan kuliner satu ini dari
generasi ke generasi. Sehingga, orang-orang Simalungun yang berdiam di perantauan
umumnya masih tahu cara menyajikan dayok nabinatur dan paham petuah-petuahnya.

Disebut nabinatur, karena pengerjaannya musti dilakukan dengan cermat, runut, dan teratur
sejak proses pemotongan mengikuti alur anatomi ayam, sampai penghidangannya. Saat
hendak dihidangkan, daging ayam disusun secara teratur di atas talam dan ditata menyerupai
wujud ayam tersebut ketika masih hidup.

Di zaman Kerajaan Simalungun, kuliner satu ini disajikan hanya untuk raja-raja Simalungun
dan kaum bangsawan. Kokinya juga harus laki-laki. Akan tetapi, seiring perkembangan
zaman, makanan ini kini sudah bisa dinikmati oleh rakyat jelata. Dan perempuan pun sudah
bisa meraciknya.

Dewasa ini, dayok nabinatur kerap disajikan pada acara-acara adat Simalungun, acara gereja
(pembaptisan anak, angkat sidi, memasuki rumah baru), dan acara penting keluarga seperti
perayaan ulang tahun, memberangkatkan anak merantau, atau mendapat pekerjaan, wisuda
dan lainnya.

Orang Simalungun percaya, dayok nabinatur menjadi sarana menyampaikan doa berkat.


Secara filosofis, orang yang menikmati dayok nabinatur akan menerima berkat dan
menemukan keteraturan dalam hidup. Tak heran ketika menyerahkan dayok nabinatur,  orang
tua menyertainya dengan doa-doa dan umpasa (petuah) yang berisi petuah-petuah agar si
anak hidup teratur di tanah rantau menjunjung kesantunan dan etika.

Makna petuah dari dayok nabinatur amat berharga baik dalam hidup berkeluarga,


bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Termasuk di dalamnya, petuah untuk memahami
posisi serta tanggung jawab baik sebagai bapak, ibu, anak, orangtua, mertua, sahabat, petani,
pedagang, buruh, pegawai, atau berbagai profesi.

Orang harus pandai menempatkan dirinya dan menjalan fungsinya seperti unsur-unsur dalam
tubuh yang saling bekerja sama, berkoordinasi, dan bersinergi. Tubuh akan bekerja optimal
jika setiap unsur bekerja menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.

Itu sebabnya, saat proses pemotongan ayam dan memasaknya, tidak boleh bersifat kemaruk.
Orang yang memotong ayam dan memasak kuliner dayok nabinatur musti jujur pada dirinya
sendiri. Tidak boleh menyembunyikan sepotong daging pun dan diharamkan mencicipinya
saat masih dimasak.

Hindari saling menghujat, provokator negatif, saling mencari kelemahan orang lain, saling
fitnah, saling curiga, menang sendiri, dan menghalalkan segala cara merupakan petuah dari
simbol makanan adat Simalungun Dayok Binatur.

Menyajikan dayok nabinatur diupayakan agar bagian-bagian tubuh ayam yang layak dimakan


itu tetap utuh (tidak hilang), karena akan menjadi sarana penyampaian pesan luhur secara
simbolik. Dalam masa sekarang ini, pemberian dayok nabinatur mengajarkan generasi kita
untuk tidak menjadi provokator, pemecah belah, dan penyebar hoax. Agar hidup teratur,
maka saling menghargai, saling membantu, saling mengutamakan menjadi kunci. Inti dari
petuah dayok nabinatur adalah hidup yang bermanfaat bagi masyarakat, mau berbagi, sedia
menyebarluaskan perbuatan yang baik, dan saling mengasihi dalam kelemahan.

Bahan baku dayok nabinatur biasanya ayam kampung jantan. Ayam itu kemudian diolah
dengan dua proses memasak, yakni dipanggang dan digulai. Kenapa ayam jantan?
Menurutnya, ayam jantan diyakini sebagai simbol kekuatan, kegagahan, semangat, kerja
keras, tahan banting, dan pantang menyerah.

Orang Simalungun layak bersyukur, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia


menetapkan makanan khas Simalungun, Dayok Nabinatur, sebagai Warisan Budaya Tak
Benda (WBTB). Ini menegaskan sebuah penghargaan yang setinggi-tingginya atas daya cipta
leluhur orang Simalungun.

Dengan diakuinya dayok nabinatur sebagai warisan budaya tak benda, semoga bangsa kita
yang berbilang kaum ini semakin bangga atas keragaman budaya, bahasa, seni dan
kulinernya. Mewariskan bahasa, budaya, seni dan makanan harus terus digalakkan dari
generasi ke generasi agar kekayaan keragaman budaya kita tetap lestari dan menjadi kekuatan
menangkal serangan budaya yang destruktif dari luar. (K-DH)
Resep Dayok Nabinatur Khas Simalungun

Bahan-bahan :

1. Ayam Kampung 1 ekor


2. Sikkam (kulit batang daun salam) ukuran 5x30 cm
3. Kelapa parut 1 buah
4. Lengkuas 2 cm
5. Jahe 1 cm
6. Serai 5 batang
7. Bawang merah 5 siung
8. Bawang putih 2 siung
9. Daun salam secukupnya
10. Lada secukupnya
11. Cabe merah/rawit secukupnya
12. Darah ayam yang ditampung

Cara membuat:

A. Siapkan Hinasumba (daging halus)

1. Rebus daging ayam hingga hampir matang


2. Ambil daging dari bagian dada lalu cincang hingga halus
3. Memarkan sikkam sampai halus, kemudian tambahkan sedikit air supaya bisa diperas.
4. Peras sikkam dan ambil airnya saja
5. Campurkan air sikkam dengan darah ayam (ketika ayam dipotong, darahnya
ditampung).
6. Campurkan daging cincang dengan darah dan air sikkam. Campuran ketiga bahan
itulah yang dinamakan hinasumba.

B. Siapkan Ayam

1. Potong ayam dan kemudian bedah menurut anatominya, lalukan sesuai adat
Simalungun.
2. Sisihkan daging dari bagian dada untuk dijadikan hinasumba
3. Haluskan semua bumbu-bumbu (lengkuas, jahe, bawang merah, bawang putih, lada)
kecuali serai cukup dimemarkan.
4. Tumislah bumbu yang telah dihaluskan di dalam kuali. Kemudian masukkan batang
serai dan daun salam.
5. Selanjutnya masukkan potongan daging ayam beserta bagian dalamnya. Masak
hingga daging setengah matang.
6. Ketika daging sudah setengah matang, bubuhkan kelapa parut yang sudah disangrai.
Biarkan selama 30 menit sampai ayamnya benar-benar matang, lalu angkat.

C. Cara Penyajian :
1. Susun ayam di atas sebuah piring lonjong atau talam. Susunannya mulai dari kepala,
bagian dalam, sayap, paha hingga bagian buntut.
2. Taburi hinasumba di sekeliling ayam yang sudah disusun tadi, lalu hidangkan

Upacara kematian adat Simalungun ”Sayur matua”


 Sumber : https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/download/29729/28637/
Upacara kematian sayur matua Merupakan upacara adat kematian yang Berlaku ketika
seluruh anak-anaknya sudah Menikah dan memiliki cucu dari anaknya Perempuan ataupun
anaknya laki-laki. Pelaksanaan upacara ini tergantung Kepada lamanya jenazah
disemayamkan. Idealnya tiga sampai dengan empat hari Apabila semua keluarga yang
bersangkutan Telah hadir. Salah satu sarana demi Berlangsungnya upacara kematian sayur
Matua ini keluarga yang mengadakan Upacara mereka mempersiapkan jamuan Berupa dayok
nabinatur (ayam), babi, dan Kerbau. Dalam hal ini seekor kerbau tidak Diwajibkan untuk
disembelih tetapi dengan syarat harus ada siopat nahei (yang berkaki empat). Dengan
memotong kerbau pada upacara kematian sayur matua berarti menggambarkan kemampuan
keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Upacara Kematian sayur matua
ini dilakukan tanpa membedakan agama, karena Suku Simalungun tidak hanya pemeluk
agama Kristen saja. Mayarakat Simalungun yang memeluk agama Islam pun turut
melaksanakan upacara kematian ini namun tidak diwajibkan dan untuk pelaksanaan adatnya
biasanya baru digelar setelah penguburan agar tidak bertentangan dengan ajaran agama yang
mereka anut. Proses persiapan upacara sayur Matua diawali dengan adanya ikatan
Persaudaraan, saling memberi atas dasar Kesepakatan dan keputusan bersama. Sistem
Jaringan yang terdapat pada modal sosial ini Tergambar melalui masyarakat bersatu Dengan
masyarakat lainnya untuk Memberikan kontribusi sebagai peningkatan Modal sosial. Jaringan
sosial dalam upacara Kematian sayur matua ini dibangun melalui Saudara kandung,
masyarakat kampung, dan Masyarakat daerah maupun masyarakat luar Jaringan sosial yang
dibangun dalam Upacara sayur matua menggambarkan akan Sesuatu yang terjadi dimasa
yang akan Datang dengan tindakan hubungan timbal Balik (Resiproritas), sehingga dengan
Adanya tindakan yang baik akan Menimbulkan semakin kuatnya rasa saling Percaya dan
menumbuhkan suatu tindakan Proaktif yang ditandai dengan saling Bekerjasama yang terjadi
dikalangan Masyarakat demi tercapainya tujuan Bersama. Disamping itu nilai dan norma
Tidak bisa dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan adat istiadat yang telah dibangun dalam
menjalankan kegiatan bersama-sama. Tanpa modal sosial yang berkembang di dalam
masyarakat Suku Simalungun
 Sumber dari: https://text-id.123dok.com/document/7q0rr5gq-makna-porsa-dalam-
upacara-kematian-sayur-matua-etnik-simalungun-di-desa-dolog-huluan-kecamatan-
raya-kabupaten-simalungun.html.

Etnis Simalungun memiliki kebudayaan yang banyak menghasilkan kesenian daerah dan
upacara adat, dan hal tersebut masih dilakukan oleh masyarakat Simalungun sebagai upaya
mensyukuri anugerah alam dan berkah yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Kesenian
dan upacara adat yang terdapat dalam masyarakat Simalungun adalah warisan leluhur yang
turun temurun dari generasi ke generasi yang masih selalu dilakukan sampai sekarang. Salah
satu warisan tersebut adalah upacara adat. Upacara adat pada masyarakat Simalungun terbagi
atas beberapa bagian seperti upacara adat Marhajabuan (perkawinan), upacara adat
marujung goluh sayur matua (kematian), upacara adat mangongkal holi (mengangkat
tulang-belulang orang yang sudah lama meninggal dunia) dan masih banyak upacara yang
lainnya. Salah satu upacara adat yang sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat
Simalungun adalah upacara adat marujung goluh sayur matua. Upacara ini adalah upacara
kematian yang dilakukan kepada orangtua yang kematiannya sudah uzur usianya, dan sudah
memiliki cucu dari anaknya laki-laki maupun perempuan. Acara Sayur Matua masyarakat
Simalungun dibagi dalam dua acara yakni yang pertama mandingguri (berjaga). Tugas para
keluarga bukan hanya memberi penghormatan, namun tetap berjaga di dekat orangtua
yang meninggal tersebut. Mandingguri yang memang diadakan pada malam hari tersebut
bertujuan agar keluarga yang ditinggal tetap terjaga sampai pagi menjelang. Acara
Mandingguri dilaksanakan di dalam rumah. Pada adat Mandingguri inilah dilaksanakan acara
Padalan Porsa. Porsa dipakai mulai dari pembukaan acara adat mandingguri hingga pada saat
proses pemakaman selesai. Kedua adalah mangiligi yang disebut dengan melayat. Pada acara
mangiligi ini terdapat magalo-alo tondong yang berarti menyambut tondong ( sanak saudara).
Seluruh keluarga yang sudah datang baik yang dekat maupun jauh disambut oleh Hasuhuton (
keluarga yang berduka). Acara mangiligi juga diisi dengan menari bersama antara hasuhuton
dengan tutur / rombongan dalam rangka melayat jenazah. Pada saat mangiligi ini banyak
acara adat yang dilaksanakan oleh seluruh keluarga yang ditinggalkan. Keduanya ini jelas
memiliki perbedaan yakni Upacara adat kematian Mandingguri ini dilakukan pada malam
hari dan Upacara adat kematian Mangiligi dilakukan pada siang harinya. Kedua acara
tersebut adalah pemberian rasa hormat kepada orang tua yang meninggal tersebut. Selain
perbedaan waktu pelaksanaan, Mandingguri dan Mangiligi dibedakan atas bentuk penyajian
acara adat yang ada di dalamnya. Pada acara Mandingguri tidak ada acara Mangalo-alo
tondong, namun pada acara Mangiligi, mangalo-alo tondong terdapat di dalamnya. Upacara
adat Sayur Matua yang didalamnya terdapat acara Mandingguri dilaksanakan oleh seluruh
keturunan, kerabat, dan keluarga yang dimiliki oleh orangtua yang meninggal tersebut.
Mandingguri dalam bahasa Simalungun berasal dari kata dinggur yang berarti berjaga. Jadi
tugas para keluarga atau kerabat bukan hanya memberi penghormatan, namun tetap berjaga
di dekat orangtua yang meninggal tersebut. Mandingguri dalam upacara ini bukan hanya
sebatas kelengkapan atau kebesaran adat itu sendiri, namun juga sebuah media keluarga
untuk mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan umur yang
panjang kepada orangtua yang meninggal tersebut dan sudah mengentaskan anaknya pada
kemandirian hidup. Zaman dahulu, yang dapat melaksanakan acara Mandingguri adalah
keluarga dimana seluruh anak-anaknya sudah menikah, akan tetapi sesuai berkembangnya
zaman dan perubahan masa, masyarakat Simalungun sudah mengadakan upacara adat sayur
matua walaupun masih ada anaknya laki-laki ataupun perempuan yang belum menikah,
namun demikian walaupun anaknya tersebut belum menikah tetapi sudah dapat menanggung
hidupnya sendiri atau sudah dikatakan dewasa dan sudah bekerja, serta umur dari anak-
anaknya tersebut minimal sudah berusia tiga puluh tahun. Pada kondisi tersebut diatas,
upacara ini sudah boleh dilaksanakan sesuai kesepakatan dan persetujuan antara pihak
keluarga besar dengan tulang dari orang tua yang meninggal tersebut. Pada pelaksanaan acara
Mandingguri tersebut dilakukan acara pemakaian Porsa. Porsa merupakan kain berwarna
putih yang diikatkan ke kepala kaum laki-laki. Proses ini disebut sebagai Padalan Porsa.
Porsa tersebut memiliki peran dan arti bagi masyarakat Simalungun sebagai tanda atau
lambang kesucian. Padalan Porsa yang merupakan salah satu proses pada upacara kematian
sayur matua yang harus dilaksanakan dalam masyarakat Simalungun. Tentunya hal ini dilatar
belakangi oleh sistem adat mereka juga berhubungan dengan aturan dan kepercayaan dari
masyarakat Simalungun itu sendiri. Porsa selalu dipakai dalam setiap Upacara kematian
Sayur Matua karena sesuatu yang dianggap penting dan bernilai bagi etnik Simalungun dan
hal ini sudah turun-temurun dilaksanakan dan sudah menjadi suatu tradisi. Setiap Upacara
Kematian Sayur Matua tersebut, orang yang menghadirinya ada yang memakai Porsa dan ada
juga yang tidak. Dalam hal ini Porsa tersebut hanya dipakai oleh kaum laki-laki dan tidak
dengan kaum perempuan. Setiap Upacara adat Sayur matua yakni mandingguri tersebut
tidaklah lepas dari Porsa. Selain itu pemakaian Porsa tersebut juga dilaksanakan berdasarkan
aturan dalam sistem kekerabatan mereka. Pada rangkaian adat Padalan Porsa tersebut terdapat
proses cara memakaikannya, siapa yang memakaikannya dan siapa yang dipakaikan. Porsa
merupakan hal yang penting dalam melakukan upacara adat Sayur matua. Tanpa adanya
Porsa pelaksanaan adat Sayur matua dianggap menjadi kurang sempurna. Untuk itu Porsa
digunakan demi berlangsungnya upacara yang sempurna dan demi kelancaran dan
kesuksesan upacara ini.

Anda mungkin juga menyukai