Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GLOMERULONEFRITIS

DOSEN PENGAMPU :

SAPARIAH ANGGRAINI, S.Kep., Ners., M.Kep

OLEH :

KELOMPOK 2

1. ANASTRASIA HOAR BEREK 7. LOLA GLORIA LISTY


2. ANDREAS ANGGA FAMFILIO 8. MEILINIA TIRSA
3. BENNY GINOLA 9. MUHAMMAD
FERDIANSYAH
4. CHINTIA CHINDI DAYU INDRIANI 10. PASKALA NAKABAHUM
5. GITA PERMATA HATIKA 11. RICKY SAPUTRA
6. HELLENA I. F. REYAAN 12. RISNO
7. KRISNA

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN SUAKA INSAN BANJARMASIN


PROGRAM STRUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS
TAHUN AJARAN 2020
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GLOMERULONEFRITIS”.

Makalah ini merupakan salah satu tugas yang di berikan kepada kami dalam rangka
pengembangan dasar ilmu keperawatan yang berkaitan dengan Keperawatan Anak. Selain itu
tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang pengetahuan
penyakit glomerulonephritis.

Sehingga besar harapan kami, makalah yang kami sajikan dapat menjadi kontribusi
positif bagi pengembangan wawasan pembaca. Akhirnya kami menyadari dalam penulisan
makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami
menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih. Semoga laporan
ini memberi manfaat bagi banyak pihak. Amin.

Banjarmasin, 23 September 2020

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii

BAB I...............................................................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG............................................................................................................1

B. TUJUAN................................................................................................................................2

BAB II.............................................................................................................................................3

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL................................................................................3

1. Anatomi ginjal...................................................................................................................5

2. Fisiologi.............................................................................................................................5

B. KONSEP PENYAKIT GLOMERULONEFRITIS................................................................6

1. Definisi..............................................................................................................................6

2. Etiologi..............................................................................................................................8

3. Epidemologi......................................................................................................................9

4. Manifestasi Klinis............................................................................................................10

5. Patofisiologi.....................................................................................................................12

6. Pemeriksaan Penunjang...................................................................................................13

7. Penatalaksanaan...............................................................................................................15

8. Pencegahan......................................................................................................................22

9. Komplikasi......................................................................................................................22

C. ASUHAN KEPERAWATAN..............................................................................................24

1. Pengkajian.......................................................................................................................24

2. Diagnosa Keperawatan....................................................................................................30

3. Intervensi Keperawatan...................................................................................................30

4. Implementasi Keperawatan.............................................................................................33

iv
5. Evaluasi Keperawatan.....................................................................................................33

BAB III..........................................................................................................................................34

A. KESIMPULAN....................................................................................................................34

B. SARAN................................................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................35

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Glomeluronefritis merupakan inflamasi pada glomerulus, yang memengaruhi
kemampuan ginjal untuk menyaring urine. Glumerulonefritis adalah suatu
sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan
beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin atau
eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai).
Ginjal mengenali antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk antibodi
untuk menyerangnya. respons peradangan ini menimbulkan penyebaran
perubahan patofisiologi, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus
peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein
plasma terutama albumin dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang
menekan produksi renin dan aldosteron.
Di indonesia studi mengenai epidemiologi glomerulonefritis masih sangat
terbatas. Studi oleh Himawan S et al di jakarta melaporkan berdasarkan total 729
biopsi ginjal pasien sindrom nefrotik, sebanyak 276 kasus (48,9%) merupakan
glomerulonefritis jenis minimal change. Glomerulonefritis tipe mesangial
proliferatif dan focal segmental glomerulosclerosis dilaporkan pada 81 kasus
(14,4%) dan 2 kasus (11%).
Pada studi ini juga ditemukan 124 kasus lupus nefritis dan 97 kasus nefropati
IgA. Selain itu studi oleh Albar H et al melaporkan terdapat 509 kasus anak
dengan glomerulonefritis akut di rumah sakit pendidikan di indonesia dari tahun
1997-2002. Sebanyak 66,6% pasien memiliki peningkatan titer anti-streptolisin
O (ASO) dan 60,4% memiliki penurunan konsentrasi C3. Hal ini
mengindikasikan bahwa mayoritas pasien mengalami post streptococcal
glomerulonefritis (PSGN). Maka dari itu dalam makalah ini kami akan
membahas definisi sampai asuhan keperawatan untuk Glomeluronefritis

1
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
a. Menjelaskan konsep glomerunefritis.
b. Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan glomerunefritis

2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi
b. Mejelaskan konsep penyakit mulai dari definisi sampai komplikasi
c. Menjelaskan asuhan keperawatan bagi glomerunefritis

2
BAB II
ISI

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL


Sistem perkemihan terdiri atas ginjal,kandung kemih,dan uretra.Sistem
perkemihan mempunyai dua ginjal untuk menjaga fungsi ekskresi.Organ ini
memproduksi urin yang berisikan air, ion-ion, dan senyawa-senyawa solute yang
kecil.Urin meninggalkan kedua ginjal dan melewati sepasang ureter menuju dan
ditampung sementara pada kandung kemih, selanjutnya terjadi proses ekskresi urin
yang dinamakan miksi, terjadi ketika adanya kontraksi dari otot-otot kandung kemih
menekan urin untuk keluar melewati uretra dankeluar dari tubuh (Muttaqin &Sari,
2014).

Ginjal adalah organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperiotoneal


bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke

3
medial. Cekungan ini disebut sebagai hilus renalis, yang didalamnya terdapat apeks
pelvis renalisdan struktur lain yang merawat ginjal, yakni pembuluh darah, sistem
limfatik, dansistem saraf. Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung
pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya pada sisi yang lain.Ginjal lelaki
relatiflebih besar ukurannya daripada perempuan. Ukuran rerata ginjal orang dewasa
adalah 11,5 cm (Panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal), dengan beratnya bervariasi
antara 120-170 gram,atau kurang lebih 0,4 % dari berat badan. Ginjal dibungkus oleh
jaringan fibrus tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa (true capsule)ginjal,
yang melekat pada parenkim ginjal (Purnomo, 2014)

Ginjal berperan dalam mempertahankan homeostasis dengan fungsi


mempertahankan stabilitas volume, komposisi elektrolit, dan osmolaritas (konsentrasi
zat terlarut ) CES.Ginjal dapat mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit,
dengan menyesuaikan jumlah air dan berbagai konstituen plasma yang dipertahankan
di tubuh atau dikeluarkan di urindalam kisaran yang sangat sempit yang
memungkinkan kehidupan, meskipun pemasukan dan pengeluaran konstituen-
konstituen ini melalui saluran lain sangat bervariasi.Organginjal melakukan tugasnya
mempertahankan homeostasis sehingga komposisi urin dapat bervariasi.Ginjal
mempunyai fungsi yang sebagian besar membantu mempertahankan stabilitas
lingkungan cairan internalantara lain: pengaturan keseimbangan air dan elektrolitdi
tubuh, pengaturan keseimbangan asam basatubuh,pengaturan volume plasma,
mengeluarkan ( mengekskresikan ) produk-produk akhir (sisa)metabolism tubuh,
mengeluarkanbanyak senyawa asing, meghasilkan eritropoietin dan rennin
(Sherwood,2009).Ginjal secara anatomis terbagi menjadi 2, yaitu korteks dan medulla
ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superficial dan di dalamnya terdapat berjuta-juta
nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal, sedangkan medulla ginjal
terletak lebih profundus banyak terdapat duktuliatau saluran kecil yang mengalirkan
hasil ultrafiltrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus (TC)
proksimalis, Loop of Henle, tubulus kontortus (TC) distalis, dan duktus kolegentes.

4
Darah yang membawa sisa hasil metabolismetubuh difiltrasi (disaring) di dalam
glomerulus dan kemudian setelah sampai di tubulus ginjal beberapa zat yang masih
diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi danzat sisa metabolismeyang tidak
diperlukan oleh tubuh mengalami sekresi membentuk urin(Purnomo,2014).

1. Anatomi ginjal
Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding
abdomen dikanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3.Ginjal
kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar. Ginjal
dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsul arenalis,
jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa,dan jaringan terluar adalah fasciarenal.
Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan memfiksasi
ginjal(Tortora,2011). Ginjal memiliki korteks ginjal dibagian luar yang berwarna
coklat terang dan medulla ginjal dibagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks
ginjal mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron.Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus.Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular
disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang
menonjol ke medial.Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi
yang kemudian disalurkan ketubulus kolektivus menuju pelvisginjal (Tortora, 2011).

2. Fisiologi
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air
secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang sesuai
di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air dieksresikan keluar tubuh
dalam urin melalui sistem pengumpulan urin(PricedanWilson, 2012).Menurut
Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:

a. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.

5
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memeliharakeseimbangan asam basapadatubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asingseperti obat-obatan.

Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian akan
mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari darah pun
diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah
ureter, urina kan ditampung terlebih dahulu dikandung kemih. Bila orang tersebut
merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewaturetra(Sherwood, 2011). Tiga
proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar
cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomeruluske kapsula Bowman.
Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, difiltrasi secara bebas sehingga
konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan
plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak
difiltrasi, kemudian direabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan
dieksresi (Sherwood, 2011).

C. KONSEP PENYAKIT GLOMERULONEFRITIS


1. Definisi
Glomeluronefritis merupakan inflamasi pada glomerulus, yang memengaruhi
kemampuan ginjal untuk menyaring urine. Glumerulonefritis adalah suatu
sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan
beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin atau
eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai). Ginjal

6
mengenali antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk antibodi untuk
menyerangnya. respons peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan
patofisiologi, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus peningkatan
permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma terutama
albumin dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan produksi
renin dan aldosteron.
Glomerolusnefritis kronis adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-
sel glomerolus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerolonefritis akut yg tidak
membaik atau timbul secara spontan. (Muttaqin, Arif & Sari,Kumala, 2011).
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel - sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak
membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul
beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang
disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria (protein dalam
urin) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus dan
hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan jaringan
parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes yang
mengalami hipertensi 13 ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal jangka
panjang yang kurang baik. ( Corwin, Elizabeth, J. 2000 ).
Glomerulonefritis kronis (GNK) adalah suatu kondisi peradangan yang lama
dari sel-sel glomerulus dengan diagnosis klinis berdasarkan ditemukannya
hematuria dan proteinuria yang menetap. Kelainan ini dapat terjadi akibat
glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan.
Glomerulonefritis kronis sering timbul beberapa tahun setelah cedera dan
peradangan glomerulus subklinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam
urine) dan proteinuria (protein dalam urine) ringan (Mutaqqin dan Sari, 2012;
Mansjoer, et al., 2000). Jalan penyakit GNK dapat berubah-ubah. Ada pasien
yang mengalami gangguan fungsi minimal dan merasa sehat. Perkembangan
penyakitnya juga perlahan. Walaupun perkembangan penyakit GNK perlahan

7
atau cepat, keduanya akan berakhir pada penyakit ginjal tahap akhir (Baradero,
2008).

3. Etiologi
Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik.
Kedua penyakit ini berkaitan dengan cedera glomerulus yang bermakna dan
berulang. Hasil akhir dari peradangan tersebut adalah pembentukan jaringan
parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Kerusakan glomerulus sering
diikuti oleh atropi tubulus. (Muttaqin, Arif & Sari,Kumala, 2011)
Sebagian besar glomerulonefritis timbul didahului oleh infeksi
ekstrarenal, terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman
streptococcus beta haemolyticus golongan A tipe 12, 4, 16, 25 dan 49. Antara
infeksi bakteri dan timbulnya GN terdapat masa laten selama 10 hari. GN 
juga dapat disebabkan oleh sifilis, keracunan (timah hitam, tridion),
amiloidosis, trombosis vena renalis, penyakit kolagen, purpura anafilaktoid,
dan lupus eritematosis.
Hubungan antara GN dan infeksi streptococcus ini ditemukan pertama
kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa :
1. Timbulnya GN setelah terjadinya infeksi skarlatina.
2. Diisolasinya kuman sterptococcus beta hemolyticus golongan A.
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum pasien.
Penyebab penyakit ini yaitu :
1. Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi (Streptococcus beta
hemoliticus group A.)
2. Keracunan (timah hitam, tridion).
3. Penyakit sipilis
4. Diabetes mellitus
5. Trombosis vena renalis

8
6. Hipertensi kronik
7. Penyakit kolagen
8. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemui pada stadium lanjut

4. Epidemologi
Secara epidemiologi menunjukkan bahwa glomerulonefritis merupakan salah
satu penyebab utama terjadinya penyakit ginjal pada tahap akhir (PGTA).
Gahulu, post streptococcal glomreulonefritis (PSGN) merupakan tipe
glomerulonefritis yang paling sering ditemukan. Akan tetapi pada beberapa
dekade terakhir ini insidennya cenderung menurun.
Secara global insiden glomerulonefritis primer di seluruh dunia memiliki
rentan antara 0,2-2,5 per 100.000 penduduk per tahun. Glomerulonefritis tipe
IgA nefropati merupakan tipe yang paling sering ditemukan pada pasien dewasa,
yaitu sebanyak 2.5 per 100.000 penduduk per tahun. Pada anak-anak
glomerulonefritis tipe minimal change disease memiliki insiden tertinggi, yaitu
sebesar 2,0 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden glomerulonefritis primer
dan sekunder di Amerika Serikat adalah sebesar 57 dan 134 per 100.000
penduduk per tahun. Di benua Afrika, tiga tipe glomerulonefritis primer yang
paling sering ditemukan adalah minimal change disease (16,5%), focal
segmental glomerulonefritis (15,9%), dan mesangiocapillary glomerulonefritis
(11,8%). Penyakit glomerulonefritis menular akibat hepatitis B (8,4%) dan lupus
eritematosus sistemik (LES) (7,7%) merupakan tipe glomerulonefritis sekunder
prevalensi tertinggi di Afrika. Di singapura, tiga tipe glomerulonefritis yang
paling sering ditemukan adalah lupus nefritis (20,4%), IgA nefropati (17,2%) dan
glomerulosklerosis diabetik (10,9%).
Di indonesia studi mengenai epidemiologi glomerulonefritis masih sangat
terbatas. Studi oleh Himawan S et al di jakarta melaporkan berdasarkan total 729
biopsi ginjal pasien sindrom nefrotik, sebanyak 276 kasus (48,9%) merupakan

9
glomerulonefritis jenis minimal change. Glomerulonefritis tipe mesangial
proliferatif dan focal segmental glomerulosclerosis dilaporkan pada 81 kasus
(14,4%) dan 2 kasus (11%). Pada studi ini juga ditemukan 124 kasus lupus
nefritis dan 97 kasus nefropati IgA. Selain itu studi oleh Albar H et al
melaporkan terdapat 509 kasus anak dengan glomerulonefritis akut di rumah
sakit pendidikan di indonesia dari tahun 1997-2002. Sebanyak 66,6% pasien
memiliki peningkatan titer anti-streptolisin O (ASO) dan 60,4% memiliki
penurunan konsentrasi C3. Hal ini mengindikasikan bahwa mayoritas pasien
mengalami post streptococcal glomerulonefritis (PSGN).
Tingkat mortalitas pasien glomerulonefritis sekunder dan primer adalah 3,9
dan 2,7 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa glomerulonefritis. Lupus
nefritis merupakan tipe glomerulonefritis dengan mortalitas paling tinggi.
5. Manifestasi Klinis
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau
secara menahun (kronis), seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan
gejala. Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau
tipikal diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua
minggu mendahului timbulnya sembab. Glomeruli mengalami kerusakan akibat
penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokokus yang mati dan antibodi
yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli dan
mempengaruhi fungsinya (Lumbanbatu SM, 2003). Periode laten berkisar 10
atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit. Manifestasi klinis GNA sangat
bervariasi, mulai dari yang ringan atau tanpa gejala sampai yang berat. Gejala
pertama yang paling sering ditemukan adalah edema atau sembab palpebra.
Hematuria berat sering menyebabkan orangtua membawa anaknya berobat ke
dokter. Penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) terjadi di
sekitar wajah dan kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema
timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya

10
lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat (Lumbanbatu SM, 2003).
Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anakanak, edema bisa
ditemukan sedang sampai berat. Menurut penelitian yang dilakukan di RSCM
Jakarta mengenai gambaran klinis GNAPS pada anak didapatkan bahwa edema
merupakan manifestasi klinis yang sering ditemukan yaitu sekitar 87%, dan
kadang-kadang disertai edema paru (14%) atau gagal jantung kongestif (2%)
(Pardede SO, 2005).

Gejala lain yaitu hematuria atau kencing yang mengandung darah baik secara
makroskopik maupun mikroskopik. Hematuria makroskopis yang tidak disertai
rasa nyeri merupakan gejala yang sering ditemukan. Gross hematuria terjadi pada
30- 50 % pasien yang dirawat (Sekarwana HN, 2001). Hematuria mikroskopis
umumnya didapatkan pada semua pasien. Eritrosit pada urin terdapat pada 60-
85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus (Fairly KF, 1991).

Oligouri atau volume kencing yang sedikit ditemukan pada 69% kasus
GNAPS di RSCM tahun 2005. Oligouri atau anuria timbul akibat terjadinya
penurunan filtrasi glomerolus ginjal (Pardede SO, 2005). Hipertensi ditemukan
pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada
GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah
menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu (Lumbanbatu, 2003). Variasi
lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu
makan menurun, nyeri kepala, atau lesu (Noer MS, 2002).

Gejala klinis dari penyakit ini dapat bemacam-macam. Kadang-kadang gejala


ringan tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada
dinding kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah
daging dan albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine
mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi, kadang kadang disertai
edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya

11
edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang
terjadi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang
mengakibatkan ekskresi air, natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang,
sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga
berperan pada retensi air dan natrium.

Peningkatan hormon aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita,
meskipun edema paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang
siang.

Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama,
kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat
kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa
minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu
badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama.
Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain
yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA. Hipertensi terjadi
akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih
belum diketahui dengan jelas

6. Patofisiologi
Awitannya mungkin seperti glomerulonefritis akut atau tampak sebagai
tipe reaksi antigen–antibody yang lebih ringan, kadang–kadang sangat ringan
sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal
sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari
jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1
sampai 2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks,
menyebabkan permukaan ginjal kasar dan irreguler. Sejumlah glomeruli dan

12
tubulusnya berubah menjadi jaringan parut, dan cabang–cabang arteri renal
menebal. Akhirnya terjadi kerusakan glomerulus yang parah, menghasilkan
penyakit ginjal tahap akhir (ESRG) (Smeltzer, 2001:hlm. 1440).
Pada yang kronis Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal
sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal, dan terdiri dari
jaringan fibrosa yang luas. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks,
menyebabkan permukaan ginjal kasar dan irreguler. Sejumlah glome- ruli dan
tubulusnya berubah menjadi jaringan parut, dan cabang- cabang arteri renal
menebal. Akhirnya terjadi kerusakan glomerulus yang parah.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis dan serum

Urinalisis menunjukkan adanya hematuria makroskopik ditemukan


hampir pada 50% penderita, proteinuria (+1 sampai +4), kelainan
sedimen urine dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet,
granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan lainlain.
Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan
tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan
hipokalsemia. Kadang-kadang tampak adanya proteinuria masif dengan
gejala sindroma nefrotik. Komplemen hemolitik total serum (total
hemolytic complement) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam
minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit,
sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut
menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.1, 3-5 Penurunan C3
sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus
dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl).

Penurunan C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan


kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai kadar normal kembali

13
dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena
pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan
kadar C3, ternyata berlangsung lebih lama.

Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan


tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi
antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat
dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain antistreptozim,
ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antistreptolisin
cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap
beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolisin O mungkin
meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis,
meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O,
sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila
semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya
infeksi streptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus,
tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen
streptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi
streptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan
secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi.

b. Histopatologi

Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-


titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua
glomerulus terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa.

Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga


mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di
samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel
polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron

14
akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan
humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama,
komplemen dan antigen Streptokokus.

8. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal


ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi
toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah


sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi
dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat
(Suwitra, 2006).

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan


LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006).

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai


dengan derajatnya, dapat dilihat di tabel.

Derajat LFG (mL/Menit/1,73m² Rencana tatalaksana

15
1 ≥90 Terapi penyakit dasar,
kondisi komorbid,

evaluasi perburukan
(progression) fungsi

ginjal, memperkeciol
risiko kardiovaskular.

Menghambat perburukan

2 60-89 (progression)

fungsi ginjal.

Evaluasi dan terapi


komplikasi.
3 30-59
Persiapan untuk terapi
pengganti ginjal
4 15-29
Terapi untuk pengganti
ginjal.

5 <15 atau dialisis

a. Peranan Diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk


mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen
(Sukandar, 2006).

Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60


ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein

16
tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang
0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30- 35 kkal/kgBB/hari,
dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien.
Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea
dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui
ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion
hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan
melalui ginjal (Suwitra, 2006).

Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik


akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik
yang disebut uremia. Pembatasan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik (Suwitra, 2006).

Masalah penting lain adalah, asupann protein berlebihan (protein


Overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
(intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan
fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat
aperlu untuk mencegah terjadinya hyperfosfatemia (Suwitra, 2006).

b. Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan

17
positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi
(Sukandar, 2006).

c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral


Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease)

2. Terapi Simtomatik

a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L (Sukandar, 2006).

b. Anemia

Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia


pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoetin. Hal-hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna,
hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai
saat kadar hemoglobin ≤ 10 g% atau hematokrit ≤ 30g%, meliputi
evaluasi terhadap status besi (Iron Binding Capacity), mencari sumber

18
perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis (Suwitra,
2006).

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya,


Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini, status besi harus selalu diperhatikan karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada
penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak
cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dl (Suwitra, 2006).

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah


satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak (Sukandar, 2006).

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang


sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari PGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik (Sukandar, 2006).

d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular

19
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medika mentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil


risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glmerulus. Beberapa studi membuktikann
bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran sama pentingnya
dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi
farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, yang merupakan
faktor risiko terjadinya perburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular


yang diderita. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal
yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik
disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam
pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah,
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
penyakit ginjal kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2006).

3. Terapi Pengganti Ginjal

20
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah


gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai


sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-
kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup
yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal


Dialysis (CAPD) dipusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasienpasien yang telah menderita penyakit sistem

21
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal ginjal tahap akhir)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri
(mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan


faal). Menurut (Sukandar, 2006) pertimbangan program transplantasi
ginjal, yaitu:

1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh


(100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih
70-80% faal ginjal alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan.
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
9. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah
makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan (National Kidney Foundation, 2009)

22
10. Komplikasi
Derajat Deskripsi LFG Komplikasi
(mL/Menit/1,73m²
)
1 Kerusakan ginjal ≥90 -
disertai

LFG normal atau

Meninggi.

Kerusakan ginjal
2 60-89 Tekanan Darah
disertai
tinggi
penurunan ringan
LFG
Hiperfosfatemia
3 Penurunan 30-59
moderat LFG Hipokalsemia

Anemia

Hiperparatiroid

Hipertensi

Hiperhomosistinemia

Penurunan berat
LFG Malnutrisi
4 15-29
Asidosis Metabolik

Hiperkalsemia

Dislipidemia

23
Gagal ginjal

Gagal jantung

5 <15 atau dialisis Uremia

D. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Glomerulonefritis kronik ditandai oleh kerusakan glomerulus
secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah
berlangsung lama. Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal
usulnya, dan biasanya baru ditemukan pada stadium yang sudah lanjut,
ketika gejala-gejala insufisiensi ginjal timbul. Pada pengkajian
ditemukannya klien yang mengalami glomerulonefritis kronik bersifat
incidental pada saat pemeriksaan dijumpai hipertensi atau peningkatan
kadar BUN dan kreatinin serum (Mutaqqin dan Sari, 2012).
1) Sistem syaraf (Neuorolgic)
Neurologic changes (perubahan neurologis) akibat dari peningkatan
BUN, Creat (produk limbah yg menumpuk di tubuh, metabolic
asidosis, imbalance elektrolite, atrofi dan demyelinasi serabut syaraf
(gejala robeknya selubung myelin pada neuron).
a) Behaviour changes (perubahan perilaku)
b) Merasa terbakar pada bagian tumit
c) Disorientasi tidak mampu konsentrasi
d) Kelemahan tungkai
e) Kejang
f) Tremor

24
g) Kelemahan
h) Kelelahan
2) Sitem Integumen (kulit)
Pruritus has multiple causes (pruritus memiliki banyak penyebab);
kulit kering,deposit kalsium fosfat, sensori neuropati, uremic frost
( karena konsentrasi sistemik yang tinggi, urea diekskresikan dalam
keringat ekrin pada konsentrasi tinggi dan mengkristal pada kulit
saat keringat menguap. Kalium terakumulasi dalam darah
(hiperkalemia dengan berbagai gejala termasuk malaise dan aritmia
jantung yang berpotensi fatal).
a) Rambut kasar dan tipis
b) Kulit kering dan terkelupas
c) Ekimosis
d) Kulit berwarna perunggu abu-abu
e) Gatal
f) Purpura
g) Kuku tipis dan rapuh
3) Sistem Cardiovascular
Retensi sodium, retensi air, malfungsi dari renin-angiotensin-
aldosterone system. Tamponade perikardial akibat retensi produk
limbah uremik.
a) Distensi vena jugular Hiperkalemia
b) Hiperlipidemia
c) Hipertensi
d) Efusi pericardium
e) Pericarditis
f) Periorbital edema
g) Pitting edema (pada kaki, tangan, sacrum)
4) Sistem pernafasan (Pulmonary)

25
Asidosis yg parah tubuh berusaha mengkompensasi dgn Kussmaul
breathing usaha membuang Carbon dioksida mll pernafasan.
Fluid overload (kelebihan cairan), pulmonary edema, dan infeksi
respiratori.
a) Crackles
b) Reflek batuk tertekan
c) Kussmaul tipe respirasi
d) Nyeri pleuritic
e) Shortness of breath (nafas pendek)
f) Takipnea
g) Sputum lengket
h) Uremic pneumonitis
5) Sistem pencernaan (Gastrointestinal)
a) Ammonia odor (bau amonia)
b) Anoreksia, vomiting, nausea
c) Bleeding from gastrointestinal tract
d) Konstipasi atau diarea
e) Cegukan
f) Ulserasi mukosa mulut and bleeding
g) Metallic taste
6) Sistem Hematologic
Anemia ini karena menurun produksi hormone eritropoietin oleh
ginjal eritropoietin biasanya erangsang sel precursor di sumsum
tulang untuk mengahasilkan sel darah merah (eritropoietin).
Penurunan hormon reproduksi.
a) Anemia
b) Trombositopenia
c) Reproduksi
d) Amenorrhea

26
e) Infertility
f) Testicular Atrofi (testis membesar)
7) Sistem Muskuloskeletal
Kalsium serum rendah, fosfat tinggi, dan penurunan vitamin D
berkontribusi pada stimulasi kelenjar paratiroid dan ekskresi PTH.
PTH bekerja pada tulang untuk meningkatkan remodeling dan
meningkatkan kadar kalsium serum. Tingkat percepatan remodeling
tulang menyebabkan matriks tulang melemah dan menempatkan
pasien pada risiko yang lebih tinggi untuk patah tulang (Bone
demineralization).
a) Bone fractures (fraktur tulang)
b) Bone pain (nyeri tulang)
c) Footdrop
d) Loss of muscle strength (kehilangan kekuatan otot)
e) Muscle cramps (kram otot)
f) Renal osteodistrofi (osteodistrofi ginjal)

b. Identitas
Sering ditemukan pada anak umur 3-7 tahun lebih sering padapria

c. Riwayat penyakit sebelumnya :


Adanya riwayat infeksi streptokokus beta hemolitik dan riwayat
lupus eritematosus (penyakit autoimun lain).

d. Riwayat penyakit sekarang :


Adanya keluan kencing berwarna seperti cucian daging, bengkak
sekitar mata dan seluruh tubuh, tidak nafsu makan, mual , muntah  dan
diare yang dialami klien.

27
e. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas atau istirahat
Gejala : kelemahan (malaise)
Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus otot
2) Sirkulasi
Tanda : hipertensi, pucat,edema.
3) Eliminasi
Gejala : perubahan pola berkemih (oliguri)
Tanda : Perubahan warna urine (kuning pekat, merah)
4) Makanan atau cairan
Gejala : edema, anoreksia, mual, muntah
Tanda : penurunan keluaran urine
5) Pernafasan
Gejala : nafas pendek
Tanda :Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman
(pernafasan kusmaul)
6) Nyeri (kenyamanan)
Gejala: nyeri pinggang, sakit kepala
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
7) Pengkajian berpola
Pola nutrisi  dan metabolik:
Suhu badan normal hanya panas hari pertama sakit. Dapat terjadi
kelebihan beban sirkulasi karena adanya retensi natrium dan air,
edema pada sekitar mata dan seluruh tubuh. Perlukaan pada kulit
dapat terjadi karena uremia.
8) Pola eliminasi :
Gangguan pada glumerulus menyebakan sisa-sisa metabolisme
tidak dapat diekskresi  dan terjadi penyerapan kembali air dan

28
natrium pada tubulus yang tidak mengalami gangguan yang
menyebabkan oliguria, anuria, proteinuri, hematuria.
9) Pola Aktifitas dan latihan :
Kelemahan otot dan kehilangan tonus karena adanya
hiperkalemia. Dalam perawatan klien perlu istirahat karena adanya
kelainan jantung dan  dan tekanan darah mutlak selama 2  minggu
dan mobilisasi  duduk dimulai  bila tekanan ddarah sudah normaal
selama 1 minggu. 
10) Pola  tidur dan istirahat :
Klien tidak dapat tidur terlentang karena sesak dan gatal karena
adanya uremia. keletihan, kelemahan malaise, kelemahan otot dan
kehilangan tonus
11) Kognitif & perseptual :
Peningkatan ureum darah menyebabkan kulit bersisik kasar  dan
rasa gatal. Gangguan penglihatan dapat terjadi apabila terjadi
ensefalopati hipertensi.
12) Persepsi diri :
Klien  cemas  dan takut karena urinenya berwarna merah dan
edema dan  perawatan yang  lama.
13) Hubungan peran :
Anak  tidak dibesuk oleh teman – temannya karena jauh  serta
anak mengalami kondisi kritis menyebabkan anak banyak diam.
14) Nilai keyakinan :
Klien berdoa memohon kesembuhan kepada Tuhan.
15) Pemeriksaan Diagnostik
Hasil yang didapat Pada laboratorium :
Hb menurun ( 8-11 )
Ureum dan serum kreatinin meningkat.
(1) Ureum

29
Laki-laki : 8,84-24,7 mmol/24jam atau 1-2,8 mg/24jam
Wanita : 7,9-14,1 mmol/24jam atau 0,9-1,6 mg/24jam
(2) Serum kreatinin
Laki-laki : 55-123 mikromol/L atau 0,6-1,4 mg/dl
Wanita : 44-106 mikromol/L atau 0,5-1,2 mg/dl
Elektrolit serum (natrium meningkat, normalnya 1100 g)
Pada rontgen: IVP abnormalitas pada sistem penampungan
(Ductus koligentes)
(3) Urinalisis (BJ. Urine meningkat : 1,015-1,025 , albumin ,
Eritrosit , leukosit )
(4) Pemeriksaan darah
LED meningkat.
Kadar HB menurun.
Albumin serum menurun (++).
Ureum & kreatinin meningkat.
Titer anti streptolisin meningkat
11. Diagnosa Keperawatan

12. Intervensi Keperawatan

13. Implementasi Keperawatan


Implementasi atau tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
keperawatan yang telah disusun

14. Evaluasi Keperawatan


Evaluasi dilakukan untuk menilai keberhasilan dari tindakan keperawatan.
Evaluasi dibuat untuk mencapai kriteria hasil yang diharapkan

30
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Glomeluronefritis merupakan inflamasi pada glomerulus, yang memengaruhi
kemampuan ginjal untuk menyaring urine. Glumerulonefritis adalah suatu
sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan
beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin atau
eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai).

E. SARAN
Setelah penulisan makalah ini, kami sarankan mahasiswa keperawatan untuk
lebih aktif dalam memberikan penyuluhan untuk mengurangi angka kesakitan
penyakit glomerulonefritis. Dengan tindakan preventif yang dapat dilakukan
bersama oleh semua pihak, maka komplikasi dari glomerulonefritis akan
berkurang

31
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, M. (2008). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta:
EGc.

Hurst, M. (2011). Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Le mone, P., Burke, K., & Bauldoff, G. (2012). Buku ajar keperawatan medikal
bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Pasek, M. D. (2013). Glomerulonephritis akut pada anak pasca infeksi streptokokus.


Bali: Universitas pendidikan ganesha.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.

Riskawa, H., & Rachmadi, D. (2010). Glomerulonephritis Akut Pada Anak. Bandung:
Universitas padjadjaran.

Smeltzer, S. C. (2013). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Ed. 12.


Jakarta: EGC.

32

Anda mungkin juga menyukai