Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR ELIMINASI

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESI (KDP)

DISUSUN OLEH :

KRISNA

113063J122013

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

BANJARMASIN

2022
I. Konsep Kebutuhan Eliminasi
1.1 Definisi kebutuhan eliminasi
Eliminasi adalah proses mengeluarkan zat-zat beracun dalam
tubuh. Kemudian sistem ekskresi merupakan proses pengeluaran
zat-zat sisa metabolisme yang sudah tidak digunakan lagi oleh
tubuh. Sisa-sisa metabolisme ini berupa senyawa-senyawa yang
bersifat toksik (racun), jika tidak dikeluarkan dapat menyebabkan
terganggunya fungsi organ-organ di dalam tubuh. Organ-organ
yang berperan dalam sistem ekskresi pada manusia meliputi kulit,
ginjal, paru-paru, dan hati (Adistiana , 2022), sebagai berikut:
a. Kulit
Kulit merupakan lapisan jaringan pelindung terluar yang
terdapat di permukaan tubuh. Kulit berfungsi sebagai organ
ekskresi karena mampu mengeluarkan zat-zat sisa berupa
kelenjar keringat. Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidermis
(lapisan kulit ari), dermis (lapisan kulit jangat) dan jaringan ikat
bawah kulit. Dermis (lapisan kulit jangat) yang memiliki
kelenjar keringat berfungsi untuk menghasilkan keringat dan
memiliki kelenjar minyak berfungsi untuk mengahasilkan
minyak, agar kulit dan rambut tidak kering.
b. Ginjal
Ginjal merupakan komponen utama penyusun sistem
ekskresi manusia yaitu, urin. Manusia memiliki sepasang ginjal
berukuran sekitar 10 cm. Letak ginjal di rongga perut sebelah
kiri dan kanan ruas-ruas tulang pinggang. Ginjal berfungsi untuk
menyaring zat-zat sisa metabolisme dari dalam darah,
mempertahankan keseimbangan cairan tubuh, mengeskresikan
gula darah yang melebihi kadar normal dan mengatur
keseimbangan kadar asam, basa, dan garam di dalam tubuh.
Bagian-bagian ginjal terdiri dari 3 yaitu, kulit ginjal
merupakan bagian terluar ginjal yang biasa disebut korteks
renalis berfungsi untuk menyaring darah. Kemudian sumsum
ginjal, yaitu bagian tengah ginjal yang biasa dsiebut medula
berfungsi sebagai tempat berkumpulnya pembuluh-pembuluh
darah halus yang mengalirkan urine ke saluran yang lebih besar,
proses yang terjadi adalah reabsorbsi (urine sekunder) dan
augmentasi (urine sesungguhnya). Selanjutnya rongga ginjal
yang merupakan bagian paling dalam, biasanya disebut pelvis
renalis, berfungsi menampung urin sementara sebelum
dikeluarkan melalui ureter.
c. Paru-paru
Paru-paru manusia berjumlah sepasang, terletak di dalam
rongga dada yang dilindungi oleh tulang rusuk. Paru-paru
memiliki fungsi utama sebagai organ pernapasan. Paru-paru
juga merupakan organ ekskresi yang berfungsi mengeluarkan
gas-gas sisa proses pernapasan yaitu gas CO2 (karbon dioksida)
dan H2O (uap air). Paru-paru selain berfungsi sebagai organ
ekskresi, juga berfungsi sebagai organ yang menjaga suhu dan
tingkat kelembaban di dalam tubuh agar tetap normal.
d. Hati
Hati berada di dalam rongga perut sebelah kanan di bawah
diafragma yang dilindungi oleh selaput tipis bernama kapsula
hepatis. Hati berfungsi untuk mengeksresikan getah empedu zat
sisa dari perombakan sel darah merah yang telah rusak dan
dihancurkan di dalam limpa. 

1.2 Fisiologi sistem/Fungsi normal sistem kebutuhan eliminasi


Kebutuhan eliminasi terdiri atas dua, yaitu eliminasi urine
(kebutuhan buang air kecil) dan eliminasi alvi (kebutuhan buang air
besar) (Hamidah, Rosyati, & S, 2017).
2.2.1 Fisiologi sistem dalam eliminasi urine
Berkemih merupakan proses pengosongan vesika
urinaria (kandung kemih). Vesika urinaria dapat
menimbulkan rangsangan saraf bila urinaria berisi ± 250- 450
cc (pada orang dewasa) dan 200-250 cc (pada anak-anak).
Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi
urine yang dapat menimbulkan rangsangan pada saraf-saraf
di dinding vesika urinaria. Kemudian rangsangan tersebut
diteruskan melalui medula spinalis ke pusat pengontrol
berkemih yang terdapat di korteks serebral. Selanjutnya, otak
memberikan impuls/rangsangan melalui medula spinalis ke
neuromotoris di daerah sakral, kemudian terjadi koneksasi
otot detrusor dan relaksasi otot sphincter internal.
Komposisi urine terdiri dari air (96%) dan larutan (4
%), yaitu larutan organic, yaitu urea, amonia, kreatin, dan
asam urat, dan larutan anorganik, seperti natrium (sodium),
klorida, kalium (potasium), sulfat, magnesium, fosfor.
Natrium klorida merupakan garam anorganik yang paling
banyak.
2.2.2 Fisiologi sistem dalam eliminasi fekal
Eliminasi fekal adalah proses pengosongan usus yang
sering disebut buang air besar. Terdapat dua pusat yang
menguasai refleks untuk defekasi, yang terletak di medula
dan sumsum tulang belakang. Apabila terjadi rangsangan
parasimpatis, sphincter anus bagian dalam akan mengendur
dan usus besar mengucup. Refleks defekasi dirangsang untuk
buang air besar, kemudian sphincter anus bagian luar yang
diawasi oleh sistem saraf parasimpatis, setiap waktu
menguncup atau mengendur.
Sistem tubuh berperan dalam proses eliminasi fekal
(buang air besar) adalah sistem gastrointestinal bawah yang
meliputi usus halus dan usus besar. Usus halus terdiri atas
duodenum, jejunum, dan ileum dengan panjang ± 6 m
diameter 2,5 cm. Usus halus berfungsi dalam absorpsi
elektrolit Na+ , Cl-, K+ , Mg2+, HC03, dan Ca2+. Usus besar
dimulai dari rektum, kolon hingga anus yang memiliki
panjang ± 1,5 m atau 50-60 inci dengan diameter 6 cm. Usus
besar merupakan bagian bawah atau bagian ujung dari
saluran pencernaan, dimulai dari katup ileum caecum sampai
ke dubur (anus).
Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang
tidak direncanakan dan zat makanan lain yang seluruhnya
tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme,
sekresi kelenjar usus, pigmen empedu, dan cairan tubuh.
Feses yang normal terdiri atas massa padat, berwarna coklat
karena disebabkan oleh mobilitas sebagai hasil reduksi
pigmen empedu dan usus kecil.

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi sistem


kebutuhan eliminasi
3.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi sistem
kebutuhan eliminasi urine sebagai berikut (Adistiana ,
2022):
a. Diet dan asupan (intake)
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang
memengaruhi output urine (jumlah urine). Protein dan
natrium dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk.
Selain itu, minum kopi juga dapat meningkatkan
pembentukan urine.
b. Respons keinginan awal untuk berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih
dapat menyebabkan urine banyak tertahan di dalam
vesika urinaria, sehingga memengaruhi ukuran vesika
urinaria dan jumlah pengeluaran urine.

c. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan
kebutuhan eliminasi. Hal ini terkait dengan tersedianya
fasilitas toilet.
d. Stres psikologis
Meningkatnya stres dapat meningkatkan frekuensi
keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya
sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urine
yang diproduksi.
e. Tingkat aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria
yang baik untuk fungsi sphincter. Kemampuan tonus
otot didapatkan dengan beraktivitas. Hilangnya tonus
otot vesika urinaria dapat menyebabkan kemampuan
pengontrolan berkemih menurun.
f. Tingkat perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat
memengaruhi pola berkemih. Hal tersebut dapat
ditemukan pada anak, yang lebih memiliki mengalami
kesulitan untuk mengontrol buang air kecil. Namun,
kemampuan dalam mengontrol buang air kecil
meningkat dengan bertambahnya usia.
g. Kondisi penyakit
Kondisi penyakit dapat memengaruhi produksi urine,
seperti diabetes melitus.
h. Sosiokultural
Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan
eliminasi urine, seperti adanya kultur pada masyarakat
tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat
tertentu.

i. Kebiasaan seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet,
biasanya mengalami kesulitan untuk berkemih dengan
melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit.
j. Pembedahan
Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus
sebagai dampak dari pemberian obat anestesi sehingga
menyebabkan penurunan jumlah produksi urine.
k. Pengobatan
Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada
terjadinya peningkatan atau penurunan proses
perkemihan. Misalnya pemberian diuretik dapat
meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian obat
antikolinergik dan antihipertensi dapat menyebabkan
retensi urine.
j. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik ini juga dapat memengaruhi
kebutuhan eliminasi urine, khususnya prosedur-
prosedur yang berhubungan dengan tindakan
pemeriksaan saluran kemih seperti intra venus
pyelogram (IVP). Pemeriksaan ini dapat membatasi
jumlah asupan sehingga mengurangi produksi urine.

3.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi sistem


kebutuhan eliminasi fekal
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fungsi sistem
kebutuhan eliminasi fekal sebagai berikut (Adistiana ,
2022):
a. Usia
Setiap tahap perkembangan usia memiliki kemampuan
mengontrol proses defekasi yang berbeda. Bayi belum
memiliki kemampuan mengontrol secara penuh dalam
buang air besar, sedangkan orang dewasa sudah memiliki
kemampuan mengontrol secara penuh, kemudian pada
usia lanjut proses pengontrolan tersebut mengalami
penurunan.
b. Diet
Diet, pola, atau jenis makanan yang dikonsumsi dapat
mempengaruhi proses defekasi. Makanan yang memiliki
kandungan serat tinggi dapat membantu proses
percepatan defekasi dan jumlah yang dikonsumsipun
dapat mempengaruhi.
c. Asupan cairan
Pemasukan cairan yang kurang dalam tubuh membuat
defekasi menjadi keras. Oleh karena itu, proses absorpsi
air yang kurang menyebabkan kesulitan proses defekasi.
d. Aktivitas
Aktivitas dapat mempengaruhi proses defekasi karena
melalui aktivitas tonus otot abdomen, pelvis, dan
diafragma dapat membantu kelancaran proses defekasi.
Hal ini kemudian membuat proses gerakan peristaltik
pada daerah kolon dapat bertambah baik.
e. Pengobatan
Pengobatan juga dapat memengaruhinya proses defekasi,
seperti pengunaan laksatif yang dapat melunakkan feses
dan meningkatkan peristaltik usus. Penggunaan lama
menyebabkan usus besar kehilangan tonus ototnya dan
menjadi kurang responsif terhadap stimulasi yang
diberikan oleh laksatif.
f. Gaya hidup
Kebiasaan atau gaya hidup dapat mempengaruhi proses
defekasi. Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang
memiliki gaya hidup sehat atau kebiasaan melakukan
buang air besar di tempat yang bersih atau toilet, ketika
seseorang tersebut buang air besar di tempat yang
terbuka atau tempat yang kotor, maka ia akan mengalami
kesulitan dalam proses defekasi.
g. Penyakit
Beberapa penyakit dapat memengaruhi proses defekasi,
biasanya penyakit-penyakit tersebut berhubungan
langsung dengan sistem pencernaan, seperti
gastroenteristis.
h. Nyeri
Adanya nyeri dapat memengaruhi kemampuan/keinginan
untuk defekasi, seperti nyeri pada kasus hemorroid dan
episiotomi.
i. Kerusakan sensoris dan motoris
Kerusakan pada sistem sensoris dan motoris dapat
mempengaruhi proses defekasi karena dapat
menimbulkan proses penurunan stimulasi sensoris dalam
melakukan defekasi. Hal tersebut dapat diakibatkan
karena kerusakan pada tulang belakang atau kerusakan
saraf lainnya.

1.4 Macam-macam gangguan yang mungkin terjadi pada sistem


kebutuhan eliminasi
4.4.1 Macam-macam gangguan yang mungkin terjadi pada sistem
kebutuhan eliminasi urine, sebagai berikut (Adistiana ,
2022)
a. Retensi urine
Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam
kandung kemih akibat ketidakmampuan kandung kemih
untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini
menyebabkan distensi vesika urinaria atau merupakan
keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan
kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan
distensi, vesika urinaria dapat menampung urine
sebanyak 3000-4000 ml urine.
b. Inkontinensia urine
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot
sphincter eksternal sementara atau menetap untuk
mengontrol ekskresi urine. Secara umum, penyebab dari
inkontinensia urine adalah proses penuaan (aging
process), pembesaran kelenjar prostat, serta penurunan
kesadaran, serta penggunaan obat narkotik dan sedatif.
c. Perubahan pola eliminasi urine
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan
seseorang yang mengalami gangguan pada eliminasi
urine karena obstruksi anatomis, kerusakan motorik
sensorik, dan infeksi saluran kemih. Perubahan pola
eliminasi terdiri atas:
1) Frekuensi
Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih
dalam sehari. Peningkatan frekuensi berkemih
dikarenakan meningkatnya jumlah cairan yang masuk.
Frekuensi yang tinggi tanpa suatu tekanan asupan
cairan dapat disebabkan oleh sistitis. Frekuensi tinggi
dapat ditemukan juga pada keadaan stres atau hamil.
2) Urgensi
Urgensi adalah perasaan seseorang yang takut
mengalami inkontinensia jika tidak berkemih. Pada
umumnya, anak kecil memiliki kemampuan yang
buruk dalam mengontrol sphincter eksternal.
Biasanya, perasaan segera ingin berkemih terjadi pada
anak karena kurangnya kemampuan pengontrolan
pada Sphincter.
3) Disuria
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam
berkemih. Hal ini sering ditemukan pada penyakit
infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur uretra.
4) Poliuria
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam
jumlah besar oleh ginjal, tanpa adanya peningkatan
asupan cairan. Biasanya, hal ini dapat ditemukan pada
penyakit diabetes melitus dan penyakit ginjal kronis.
5) Urinaria supresi
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urine
secara mendadak. Secara normal, urine diproduksi
oleh ginjal pada kecepatan 60-120 ml/jam secara
terus- menerus.

4.4.2 Macam-macam gangguan yang mungkin terjadi pada sistem


kebutuhan eliminasi fekal (Adistiana , 2022)
a. Konstipasi
Konstipasi merupakan keadaan individu yang
mengalami atau berisiko tinggi mengalami stasis usus
besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau
keras, serta tinja yang keluar jadi terlalu kering dan
keras.
b. Inkontinensia usus
Inkontinesia usus merupakan keadaan individu yang
mengalami perubahan kebiasaan dari proses defekasi
normal, hingga mengalami proses pengeluaran feses tak
disadari. Hal ini juga disebut sebagai inkontinensia
fekal yang merupakan hilangnya kemampuan otot
untuk mengontrol pengeluaran feses dan gas melalui
sphincter akibat kerusakan sphincter.
c. Kembung
Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut
karena pengumpulan gas secara berlebihan dalam
lambung atau usus.
d. Hemorroid
Hemorroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran
vena di daerah anus sebagai akibat peningkatan tekanan
di daerah anus yang dapat disebabkan karena
konstipasi, perenggangan saat defekasi, dan lain-lain.
e. Fecal Impaction
Fecal impaction merupakan massa feses keras dilipatan
rektum yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi
materi feses yang berkepanjangan. Penyebab fecal
impaction yaitu, asupan kurang, aktivitas kurang, diet
rendah serat, dan kelemahan tonus otot.

5 Rencana Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Kebutuhan Eliminasi


2.1 Pengkajian
2.2.1 Riwayat keperawatan
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan sekarang
c. Riwayat penyakit keluarga
d. Pengkajian psikososial
2.2.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik diperoleh data dari keadaan umum dan
kesadaran, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital (TD, nadi,
pernapasan, suhu), BB sebelum sakit dan BB setelah sakit,
tinggi badan serta lingkar lengan.
Pemeriksaan fisik pada kebutuhan eliminasi difokuskan
pada pemeriksaan abdomen dengan menggunakan
pemeriksaan IAPP, sebagai berikut (Unsoed, 2016) :
a. Inspeksi
Melihat apakah terdapat edema, bengkak, jejas,
bentuk abdomen (buncit/rata), dan luka/bekas luka. Bila
abdomen terlihat kembung dan kencang, hal tersebut
menunjukkan adanya distensi/nyeri karena terdapat udara
dalam abdomen. Perhatikan hal berikut ini :
1) Kulit: apakah ada sikatriks, striae atau vena yang
melebar. Secara normal, mungkin terlihat vena-vena
kecil. Striae yang berwarna ungu terdapat pada
sindroma Cushing dan vena yang melebar dapat
terlihat pada cirrhosis hepatic atau bendungan vena
cava inferior. Perhatikan pula apakah ada rash atau
lesi-lesi kulit lainnya.
2) Umbillikus: perhatikan bentuk dan lokasinya, apakah
ada tanda-tanda inflamasi atau hernia.
3) Perhatikan bentuk permukaan (countour) abdomen
termasuk daerah inguinal dan femoral: datar, bulat,
protuberant, atau scaphoid. Bentuk yang melendung
mungkin disebabkan oleh asites, penonjolan
suprapubik karena kehamilan atau kandung kencing
yang penuh. Tonjolan asimetri mungkin terjadi karena
pembesaran organ setempat atau massa.
4) Simetris dinding abdomen.
5) Pembesaran organ: mintalah penderita untuk
bernapas, perhatikan apakah nampak adanya hepar
atau lien yang menonjol di bawah arcus costa.
6) Apakah ada massa abnormal, bagaimana letak,
konsistensi, dan mobilitasnya.
7) Peristaltik: apabila merasa mencurigai adanya
obstruksi usus, amatilah peristaltik selama beberapa
menit. Pada orang yang kurus, kadang-kadang
peristaltik normal dapat terlihat.
8) Pulsasi: Pulsasi aorta yang normal kadang-kadang
dapat terlihat di daerah epigastrium.
b. Auskultasi
Mendengarkan bising usus menggunakan diafragma
stetoskop dalam waktu 1 menit di setiap kuadrat I, II, III,
IV pada abdomen. Ada 3 hal yang harus diperhatikan
yaitu, apakah suara usus ada, bila ada apakah meningkat
atau melemah (kuantitas), dan perkiraan asal dari suara
(kualitas). Gerakan peristaltik disebut bunyi usus, yang
muncul setiap 2-5 detik. Pada proses radang serosa
seperti pada peritonitis bunyi usus jarang bahkan hilang
sama sekali.
Bila terjadi obstruksi intestin maka intestin berusaha
untuk mengeluarkan isinya melalui lubang yang
mengalami obstruksi dan saat itu muncul bunyi usus
yang sering disebut "rushes". Kemudian diikuti dengan
penurunan bunyi usus gemerincing yang disebut
"tinkles," dan kemudian menghilang. Pada pasca operasi
didapatkan periode bunyi usus menghilang. Kemudian
dengarkan bising arteri renalis pada beberapa sentimeter
diatas umbilikus sepenjang tepi lateral otot rektus dan
bila ada penyempitan akan terdengar murmur, misalnya
insufiensi renal atau pada hipertensi akibat stenosis arteri
renalis.
c. Perkusi
Mengetuk pada kuadrat Kuadran kanan atas/Right
Upper Quadrant (RUQ). Kuadran kanan bawah/Right
Lower Quadrant (RLQ), Kuadran kiri atas/Left Upper
Quadrant (LUQ), dan Kuadran kiri bawah/Left Lower
Quadrant (LLQ) abdomen. Suara normal adalah timpani,
jika suara terlalu keras saat di ketuk maka disebut dengan
hipertimpani.
Perkusi berguna untuk orientasi abdomen, untuk
memperkirakan ukuran hepar, lien, menemukan asites,
mengetahui apakah suatu masa padat atau kistik, dan
untuk mengetahui adanya udara pada lambung dan usus.
d. Palpasi
Palpasi ringan (superficial) berguna untuk
mengetahui adanya ketegangan otot, nyeri tekan
abdomen, dan beberapa organ dan masa superficial.
Palpasi dalam biasanya diperlukan untuk memeriksa
masa abdomen. Dengan menggunakan permukaan pallar
dari ujung jari, lakukan palpasi dalam untuk mengetahui
adanya masa. Tentukanlah lokasinya, ukurannya,
bentuknya, konsitensinya, mobilitasnya, apakah terasa
nyeri pada tekanan. Apabila palpasi dalam sulit
dilakukan (misalnya pada obesitas atau otot yang
tegang), gunakan dua tangan, satu di atas yang lain

2.2.3 Pemeriksaan penunjang


a. Biopsi
Biopsi merupakan prosedur pengambilan sebagian kecil
jaringan dari tubuh pasien untuk diperiksa menggunakan
mikroskop. Secara umum, tujuan dilakukan biopsi untuk
mengetahui apakah seseorang mengalami kanker atau
tidak.
b. Kolonoskopi
Kolonoskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
melihat adanya gangguan atau kelainan pada usus besar
(kolon) dan rectum.

c. Rontgen
Rontgen abdomen digunakan dalam penilaian organ
abdomen, seperti saluran pencernaan, ginjal, dinding
abdomen, dan tulang.
d. CT Scan
CT Scan abdomen adalah suatu pemeriksaan untuk
melihat anatomi dan patolgi abdomen, dimana hasil
scanning berupa gambaran penampang cross-sectional
(Rahmadani, 2017).

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Inkontinensia Fekal
2.2.4 Definisi
Perubahan kebiasaan buang air besar dari pola normal yang
ditandai dengan pengeluaran feses secara involunter (tidak
disadari).
2.2.5 Batasan karakteristik
a. Rembesan konstan feses lunak
b. Bau fekal 
c. Warna fekal ditempat tidur
d. Warna fekal pada pakaian
e. Ketidakmampuan menunda defekasi
f. Ketidakmampuan untuk mengenali dorongan defekasi
g. Tidak perhatian terhadap dorongan defekasi
h. Mengenal fekal penuh tetapi menyatakan tidak mampu
mengeluarkan feses padat
i. Kulit perianal kemerahan
j. Menyatakan sendiri ketidakmampuan mengenali
kepenuhan rektal
2.2.6 Faktor yang berhubungan
a. Tekanan abdomen abnormal tinggi
b. Tekanan usus abnormal tinggi
c.  Diare kronik
d.  Lesi kolorektal  
e.  Kebiasaan diet 
f. Faktor lingkungan (mis, tidak dapat mengakses kamar
mandi)
g. Penurunan umum tonus otot
h. Imobilitas, lmpaksi 
i. Gangguan koknisi
j. Gangguan kapasitas reservoir
k. Pengosongan usus tidak tuntas
l. Penyalahgunaan laksatif
m.  Penurunan kontrol sfingter rektal
n.  Kerusakan saraf motorik bawah 
o. Medikasi
p. Abnormalitas sfingter rektal
q. Stres, Defisit perawatan diri dalam toileting
r. Kerusakan saraf motorik atas.

Diagnosa 2: Retensi urine


2.2.7 Definisi
Retensi urine adalah pengosongan kadung kemih yang tidak
lengkap.
2.2.8 Batasan karakteristik
a. Tidak ada haluaran urine
b. Distensi kandung kemih
c. Menetes, Disuria
d. Sering berkemih
e. Inkontinensia aliran berlebih
f. Residu urine, Berkemih sedikit
g. Sensasi kandung kemih penuh
2.2.9 Faktor yang berhubungan
a. Sumbatan
b. Telakanan ureter tinggi
c. Inhibisi arkus reflex, Sfingter kuat
Diagnosa 3: Konstipasi
2.2.10 Definisi
Penurunan pada frekuensi normal defekasi yang disertai
oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses atau
pengeluaran feses yang kering, keras, dan banyak.
2.2.11 Batasan karakteristik
a. Nyeri abdomen
b. Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot
c. Nyeri tekan abdomen tanpa teraba resistensi otot
d. Anoraksia
e. Penampilan tidak khas pada lansia (mis, perubahan pada
status mental, inkontinensia urinarius, jatuh yang tidak
penyebabnya peningkatan suhu tubuh)
f. Darah merah pada feses
g. Perubahan pola defekasi
h. Penruunan frekuensi
i. Penurunan volume feses
j. Distensi abdomen
k. Rasa rektal penuh
l. Rasa tekanan rektal
m. Keletihan umum
n. Feses keras dan berbentuk
o. Sakit kepala
p. Bising usus hiperantif
q. Bising usus hipoaktif
r. Peningkatan tekanan abdomen
s. Tdak dapat makan, mual
t. Rembesan feses cair
u. Nyeri pada saat defekasi
v. Massa abdomen yang dapat diraba
w. Adanya feses lunak. Seperti pasta didala rectum
x. Perkusi abdomen pekak
y. Sering flatus
z. Mengejan pada saat defekasi
aa. Tidak dapat mengeluarkan feses
2.2.12 Faktor yang berhubungan
a. Fungisonal
1. Kelemahan otot abdomen
2. Kebiasan mengaikan dorongan defekasi
3. Ketidakadekuatan toileting (mis., batasan waktu,
posisi untuk defekasi, privasi)
4. Kurang aktivitas fiisk
5. Kebiasaan defeksi tidka teratur
6. Perubahan lingkungan saat ini
b. Psikologis
1. Depresi, stress emosi
2. Konfusi mental
c. Famakologis
1. Antasida mengandung alumunimun
2. Antikolinergik, antikonvulsan
3. Antidepresan
4. Agens antipemik
5. Garam bismuth
6. Kalsiun karbonat
7. Penyekat saluran kalsium
8. Diuretic, garam besi
9. Penyalahgunaan laksatif
10. Agens antiinflamasi non steroid
11. Oplate, fenotiazid, sedative
12. simpatomimemik
d. Mekanis
1. Ketidakseimbangan Elektrolit
2. Kemoroid
3. Penyakit Hirschsprung
4. Gangguan neurologist
5. Obesitas
6. Obtruksi pasca-bedah
7. Kemahilan
8. Pembesaran prostat
9. Abses rectal
10. Fisura anak rektal
11. Struktur anak rektal
12. Prolaps rectal, Ulkus rectal
13. Rektokel, Tumor
e. Fisiologis
1. Perubahan pola makan
2. Perubahan makanan
3. Penurunan motilitas traktus gastrointestinal
4. Dehidrasi
5. Ketidakadekuatan gigi geligi
6. Ketidakadekuatan higine oral
7. Supan serat tidak cukup
8. Asupan cairan tidak cukup
9. Kebiasaan makin buruk

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Inkontinensia Fekal
2.3.1 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcome criteria) :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24
jam, maka diharapkan kontinensia fekal membaik. Dengan
kriteria hasil :
a. Pengontrolan pengeluaran feses 1,2,3,4,5
b. Defekasi 1,2,3,4,5
c. Frekuensi buang air besar 1,2,3,4,5
d. Kondisi kulit perianal 1,2,3,4,5

Keterangan skor :

a. Skor untuk a:
Menurun (1), cukup menurun (2), sedang (3), cukup
meningkat (4), meningkat (5)
b. Skor untuk b dan c:
Meningkat (1), cukup meningkat (2), cukup menurun
(4), menurun (5)
c. Skor untuk d:
Memburuk (1), cukup memburuk (2), sedang (3), cukup
membaik (4), membaik (5)
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
Diagnosa Ikontinesia Fekal
a. Observasi
1) Identifikasi penyebab inkontinensia fekal baik fisik
maupun psikologis   
2) Identifikasi perubahan frekuensi defekasi dan
konsistensi  feses  
3) Monitor kondisi kulit perianal  
4) Monitor keadekuatan evakuasi feses  
5) Monitor diet dan kebutuhan cairan  
6) Monitor efek samping pemberian obat
b. Terapeutik
1) Bersihkan daerah perianal dengan sabun dan air  
2) Jaga kebersihan tempat tidur dan pakaian  
3) Laksanakan program latihan usus (bowel training),
jika perlu  
4) Jadwalkan BAB di tempat tidur, jika perlu  
5) Berikan celana pelindung/pembalut/popok, sesuai
kebutuhan
6) Hindari makanan yang menyebabkan diare
c. Edukasi
1) Jelaskan definisi, jenis inkontinensia, penyebab
inkontinensia fekal  
Rasional: memberikan pengetahuan agar terjalinnya
kerjasama antara perawat dengan pasien/keluarga
2) Anjurkan mencatat karakteristik feses
Rasional: Guna menentukan intervensi yang akan
dilakukan
d. Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian obat diare (mis. loperamide,
atropin)
Rasional : obat-obat antimotilitas memiliki peranan
dalam penanganan diare akut tanpa komplikasi pada
pasien dewasa

Diagnosa 2 : Retensi urine

2.3.3 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcome criteria) :


Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24
jam, maka diharapkan retensi urine membaik. Dengan
kriteria hasil:

a. Kandung kemih kosong secara penuh


b. Tidak ada residu urin >100-200 cc
c. Bebas dari ISK
d. Tidak ada spasme bladder
e. Balance cairan seimbang
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional :
Urinary Retention Care
a. Monitor intake dan output
Rasional: intake dan ouput yang tidak adekuat alan
menyebabkan dehidrasi. Kemudian untuk memberikan
informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi,
contoh infeksi dan perdarahan.
b. Monitor derajat distensi bladder
Rasional: Membantu identifikasi dini jika terjadi infeksi
saluran kemih sehingga dapat ditindaklanjuti sesegera
mungkin
c. Instruksikan pada pasien dan keluraga untuk mencatat
output urine
Rasional : Melibatkan pasien/keluarga merupakan
bentuk memandirikan dan untuk mengetahui berpa
banyak urin yang telah keluar.
d. Sediakan privacy untuk eliminasi
Rasional : Privasi dalam eliminasi memberi rasa
nyaman bagi pasien
e. Stimulasi reflex bladder dengan kompres dingin pada
abdomen
Rasional: Membantu merangsang tonus otot kandung
kemih
f. Kateterisasi, jika perlu
Rasional: Untuk mengurangi distensi kandung kemih
yang berlebihan
g. Monitor tanda dan gejala ISK (panas, hematuria,
perubahan bau dan konsistensi urine)
Rasional: Hygiene yang buruk dan masuknya bakteri
dapat memberi kecenderungan pasien terkena ISK

Diagnosa 3 : Konstipasi
2.3.5 Tujuan dan Kriteria Hasil (outcome criteria) :
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24
jam, maka diharapkan konstipasi membaik. Dengan kriteria
hasil:
a. Mempertahankan bentuk feses
b. Lunak setiap 1-3 hari
c. Bebas dari kenyamanan dan konstipasi
d. Menidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi
2.3.6 Intervensi keperawatan dan rasional
Constipation, Impaction management:
a. Monitor tanda dan gejala konstipasi
Rasional: Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan
yang terjadi pada eliminasi fekal dengan mencatat
frekuensi, warna dan konsistensi feces
b. Monitor bising usus
Rasional: Untuk mengetahui normal atau tidaknya
pergerakan usus
c. Monitor feses: frekuensi, konsistensi dan volume
Rasional: Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan
yang terjadi pada eliminasi fekal
d. Jelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan terhadap
pasien
Rasional: Agar proses asuahan keperawatan yang
diberikan dapat teealisasikan dengan baik dan tepat
e. Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi
Rasional: Dengan mengetahui penyebab konstipasi,
maka dapat menentukan tindapak apa yang tepat dalam
penangan konstipasi kepada pasien
f. Mendorong meningkatkan asupan cairan, kecuali
dikontraindikasikan
Rasional: Bila asupan cairan tidak adekuat, feses akan
kekurangan kandungan cairan yang cukup untuk
memudahkan pengeluaran melalui Saluran usus bawah
g. Anjurkan pasien untuk diet tinggi serat
Rasional : Jika dalam mengkonsumsi asupan serat
dalam diet akan menyebabkan kurangnya ampas yang
tersedia untuk membentuk feses
h. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar (Laxatif)
Rasional: Untuk membantu dalam pemenuhan
kebutuhan eliminasi
i. Timbang pasien secara teratur
Rasional: Untuk mengetahui adanya penambahan atau
pengurangan berat badan sebelum sakit dan sesudah
sakit, serta setelah melalui tahap proses perawatan.
j. Ajarkan pasien atau keluarga tentang proses pencernaan
yang normal
Rasional: Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan
keluarga serta untuk meningkatkan kerjasama antara
perawat dan pasien, serta keluarga.

III. Daftar Pustaka


Adistiana , K. D. (2022, Maret 4). Organ-Organ Sistem Ekskresi pada
Manusia | Biologi Kelas 11. Retrieved from Ruang Guru:
https://www.ruangguru.com/blog/organ-organ-sistem-ekskresi-pada-
manusia

Hamidah, Rosyati, H., & S, O. I. (2017). Buku Ajar Keterampilan Klinik


Praktik Kebidanan II. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta:
MediAction.

PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Indikator Diagnostik (1st ed). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Tindakan Keperawatan (1st ed). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan


Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed). Jakarta: DPP PPNI.
Rahmadani, S. Z. (2017). Prosedur Pemeriksaan Computed Tomography
(CT) Scan Abdomen Tiga Fase Dengan Kasus Ca Sigmoid Di
Instalasi Radiologi Rsud Dr. Soedono Madiun. R2KN, 1.

Unsoed, P. (2016, April 22). Keterampilan fisik I : Abdomen. Retrieved


from Lab. Ketrampilan Medik PPD Unsoed:
http://fk.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/modul%20labskill/modul
%20ganjil%20I/Ganjil%20I%20-%20keterampilan%20pemeriksaan
%20fisik%20abdomen.pdf

Anda mungkin juga menyukai