Anda di halaman 1dari 2

Apakah Sains dan Agama Bisa Bersatu?

Oleh: Maulida Zulfa Aini

“Sains tanpa agama akan lumpuh, dan agama tanpa sains menjadi buta.” Tentu kita tidak
asing dengan ungkapan itu. Ungkapan yang dikemukakan oleh ilmuwan genius, penemu teori
relativitas yang sangat berguna bagi perkembangan sains dunia, Albert Einstein. Saya sangat
setuju dengan ungkapan si Genius itu, sains dan agama memiliki hubungan yang sangat kuat,
saling membutuhkan satu sama lain.
‘Sains tanpa agama akan lumpuh.’ Ya! Terbukti bahwa sains lahir dari penelitian orang-orang
yang memiliki rasa ingin tahu tinggi, atau singkatnya penasaran, terhadap isi dari ajaran
agama yang menjelaskan berbagai fenomena alam dan hal lainnya yang dianggap mitos pada
saat itu. Dengan adanya rasa penasaran tersebut, sains menjadi tumbuh dan berkembang
hingga seperti sekarang ini.
Al Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, memuat banyak fakta-fakta ilmiah yang baru bisa
dibuktikan belum lama ini. Contoh, ledakan Big Bang yang menjelaskan asal muasal alam
semesta, baru tahun 2016 lalu dijelaskan oleh ilmuwan Amerika, tetapi Al Qur’an sudah
menjelaskannya 1,5 abad yang lalu, dalam surat Al Anbiya ayat 30 "Dan apakah orang-
orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah
suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?"
Manusia yang memiliki nafsu menuntaskan rasa penasarannya, dan ajaran agama yang
membahas tentang Tuhan dan asal usul alam semesta beserta isinya, menjadi ‘energi
penggerak’ lahirnya pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang menjadikan sains bergerak dan
berkembang. Jika tidak ada hal-hal tersebut, tentu sains akan ‘jalan di tempat’ atau lumpuh.
Disisi lain, mari kita ingat-ingat lagi kisah Galileo tahun 1633 silam. Galileo, ilmuwan yang
mendukung teori bahwa bumi itu bulat, bukan datar seperti yang banyak diakui kaum
agamawan di saat itu. Teori tersebut dianggap menyimpang dari ajaran gereja, dan dengan
kekuasan gereja yang sangat kuat pada saat itu, Galileo dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup.
Dari kejadian Galileo tersebut, menimbulkan kesan bahwa logika sains tidak sejalan
dengan agama secara umum saat itu, semua pandangan sains yang bertentangan dengan
pemahaman gereja akan ditindak. Ini pula salah satu penyebab para saintis (meski tidak
semua) menjaga jarak dengan agama/gereja semenjak itu.
Begitulah gambaran ‘agama tanpa sains menjadi buta.’
Kebenaran agama juga harus dibarengi dengan ilmu, karena untuk mempelajarinya kita butuh
ilmu. Seperti contoh ledakan big bang tadi, dalam Al Qur’an sudah disebutkan teorinya, tapi
tentu butuh sains untuk menjelaskan dan membuktikannya.
Contoh lain, diharamkannya mengkonsumsi makanan/minuman tertentu dalam Islam. Dalam
Al Qur’an hanya dijelaskan bahwa makanan/minuman itu diharamkan, tanpa dijelaskan
alasan, maksud, ataupun manfaat dari pengharaman itu.
Misalnya, larangan mengonsumsi darah dan bangkai hewan. Sains mengungkapkan bahwa
darah adalah tempat dimana kuman dan hal berbahaya lainnya yang bisa menimbulkan
penyakit pada manusia. Demikian juga bangkai. Pada bangkai, bakteri dan jamur penyebab
penyakit sangat mudah tumbuh dan berkembang biak. Mengonsumsi bangkai berarti
mengkonsumsi berbagai jenis kuman yang berpotensi menimbulkan penyakit pada manusia.
Dengan memanfaatkan sains, hal yang tadinya dilarang atau dianjurkan agama tanpa
keterangan, menjadi terbuka dan dapat diketahui dengan jelas.
Jadi, sepanjang agama tidak mau menggunakan temuan sains untuk menjelaskan fenomena
alam dan sosial di dunia ini, niscaya umatnya akan tetap berada dalam alam keterbelakangan
(rendah literasi dan tertinggal dalam teknologi). Itu sebabnya mengapa dikatakan
’agama tanpa sains itu buta’.
Kembali pada pertanyaan, apakah sains dan agama bisa bersatu? Jawabannya, ya. Kita ikuti
nasehat si Genius, Albert Einstein, bahwa kita harus menjadi saintis yang religius, dan
menjadi agamis yang ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai