Anda di halaman 1dari 3

Ulama Itu....

Maulida Zulfa Aini

Akhir-akhir ini, media sosial ramai dengan beredarnya video ceramah salah satu
ulama, yang isinya berupa umpatan dan kata-kata kasar. Bahkan banyak yang menganggap
ceramah tersebut berisi ujaran kebencian. Dari hal itu, muncullah pertanyaan, “siapa
sebenarnya ulama itu?”
Seperti yang kita ketahui bahwa kata ulama berasal dari bahasa Arab, artinya
orang-orang yang mengetahui. Dari pengertian ini, dapat diartikan bahwa orang yang ahli
dalam bidang apapun dapat dikategorikan sebagai ulama. Namun kemudian terjadi
penyempitan pengertian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah ulama hanya diartikan
sebagai orang yang ahli dalam bidang agama Islam.
Akibat penyempitan pengertian tersebut, timbul sikap mengutamakan ilmu agama
dan menganggap rendah ilmu-ilmu lain. Bahkan dalam kehidupan sosial, ada yang
beranggapan bahwa untuk menjadi ulama cukup dengan menguasai ilmu-ilmu agama saja
tanpa perlu mempelajari ilmu lainnya diluar ilmu agama. Pemahaman ini tentu tidak tepat,
bahkan jika ilmu itu berasal dari Barat sekalipun, bukan berarti harus dihindari dan ditolak,
tetapi ambil dan pelajari hal yang baik, dan buang jika memang ada yang berselisihan dengan
Al Qur’an. Karena selama ilmu itu bermanfaat dan mengantarkan kita pada kesadaran akan
kekuasaan-Nya, itu merupakan ilmu Islam, yang sudah sepatutnya kita pelajari.
Jadi, ulama adalah orang-orang yang menguasai ilmu, baik itu ilmu agama maupun
ilmu umum. Tetapi pengertian tersebut belum sempurna. Seorang ulama harus bisa
menyampaiakn ilmunya pada orang lain. Jika kita sering mendengar bahwa ulama adalah
pewaris para nabi, hal tersebut benar adanya, karena tugas-tugas seorang ulama adalah
menggantikan tugas para Nabi terdahulu dalam mengayomi dan memimpin umat.
Tugas ulama tidaklah ringan, ulama bertugas menyampaikan isi dari Al Qur’an,
baik yang tersirat maupun tersurat . Seperti yang kita tahu, Al Qur’an tidak hanya berisi ilmu-
ilmu agama saja, tetapi Al Qur’an merupakan petunjuk hidup umat manusia. Sebagai
petunjuk hidup, Al Qur’an merupakan hal yang kompleks, mencakup semua aspek. Kita
sebagai individu tentu perlu memahami isi dari Al Qur’an, namun tetap saja perlu bantuan
ulama untuk memahaminya lebih dalam dan akhirnya sampai pada mempraktekan isi dari Al
Qur’an. Disitulah tugas penting seorang ulama.
Tugas yang tak kalah penting adalah memutuskan perkara atau masalah yang
sedang dihadapi masyarakat. Putusan dan penyelesaian masalah tersebut tentu harus
berdasarkan ayat, Allah turunkan bersama mereka Al Kitab dengan benar, agar dapat
memutuskan perkara yang diperselisihkan manusia. Di zaman seperti ini, ulama dituntut agar
terus mengembangkan prinsip dalam penafsiran ayat Al Qur’an, karena permasalahan
masyarakat yang semakin kompleks. Al Qur’an merupakan petunjuk umat manusia hingga
akhir zaman, maka hal modern sekalipun, misal perekonomian modren, pasti terdapat
petunjuknya dalam Al Qur’an, penafsirannya-lah yang harus terus berkembang. Ulama
diharapkan mampu memberikan petunjuk dan bimbingan yang mengarahkan pada
perkembangan budaya modern atau teknologi canggih, agar umat Islam tidak selalu tertinggal
dan dipandang sebelah mata oleh bangsa Barat.
Dalam bahasa Arab, kata ulama merupakan kata jamak. Maka ulama itu tidak
hanya satu orang. Tugas yang berat dipikul bersama. Jika dalam sepakbola, ada yang bertugas
sebagai penjaga gawang, benteng pertahanan, sayap, lini tengah, dan penyerang. Begitu juga
dengan ulama, ustadz atau kyai pengasuh pondok pesantren sebagai penjaga gawang.
Tugasnya menjaga generasi muda dari pengaruh negatif, serta mendidik dan
membimbingnya. Tentu saja dengan bimbingan yang dinamis, tidak hanya sebatas hapalan,
karena harus menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Selanjutnya, ulama yang terjun langsung pada bidang tertentu, sebagai benteng
pertahanan. Misal, Kiai Ma’ruf Amin di bidang politik praktis, Ustadz Yusuf Mansyur di
bidang perkonomian, dan lain-lain. Idealnya, ulama dapat masuk ke segala bidang, karena
dengna adanya ulama di bidang-bidang tersebut, ajaran-ajaran Islam dapat masuk ke segala
bidang itu.
Lalu, para ilmuwan Islam sebagai sayap. Dengan adanya ulama yang berfokus
pada perkembangan ilmu pengetahuan, Islam akan sedikit demi sedikit bangkit kembali,
seperti pada Abad Pertengahan. Contoh ulama sayap ini adalah Prof. Nadirsyah Husein, Prof.
Quraish Shihab, dan tentu masih banyak lagi.
Kemudian, pendakwah sebagai lini tengah dan penyerang. Dakwah bisa dilakukan
dengan berbagai warna. Bisa dengan lemah lembut, dan bisa juga dengan sikap yang tegas.
Lini tengah adalah warna dakwah yang lembut, dan penyerang adalah warna dakwah yang
menunjukkan sikap ketegasan. Lini tengah dan penyerang bertugas untuk berdakwah dengan
warnanya masing-masing. Sasaran dan tujuan dakwah menentukan pendakwah harus
menggunakan warna dan corak yang mana.
Dari keempat bagian tersebut, masing-masing bagian mempunyai tugasnya sendiri.
Tapi tidak menutup kemungkinan jika seorang ulama bisa melakukan keempat bagian
tersebut. Namun, tetap saja, tidak ada saling salah-menyalahkan, kenapa kamu hanya jaga
gawang saja? atau kenapa kamu hanya mengurusi lini depan saja?, semua bertugas sesuai
porsinya.
Namun tetap saja, di bidang apapun seorang ulama bertugas, kewajiban utama
tetap menjadi tanggung jawabnya, yaitu memberikan contoh pengamalan ayat-ayat Al Qur’an
dalam kehidupan sehari-seharinya. Termasuk adab dan tutur kata.
Lalu, kita sebagai umat, sebisa mungkin tidak hanya berpegang pada satu ulama.
Akan menjadi ideal jika kita berpegang pada seluruh bagiam, baik itu penjaga gawang,
benteng pertahanan, sayap, lini tengah, ataupun penyerang. Untuk menjalankan kehidupan
bernegara di masa sekarang, berpegang teguh pada semua lini adalah kunci agar tetap
menjadi muslim yang tangguh dan tidak terbawa arus yang negatif.
Terakhir, perlu disadari bahwa ulama hanyalah manusia biasa dan tidak mungkin
sempurna tanpa cacat. Ulama hanya pewaris nabi yang tidak akan memerankan kenabian
dalam seluruh bidang. Dalam kaitannya dengan pemahaman dan penyampaian ayat-ayat Al
Qur’an, serta dalam membimbing umat, Nabi Muhammad memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh ulama. Meskipun seorang ulama adalah pewaris Nabi, ulama tidak akan
mewarisi keistimewaan itu secara sempurna. Jadi, jika memang ada hal yang tidak sepatutnya
diutarakan oleh ulama, itu merupakan hal yang wajar. Ambil apa yang baik, dan tinggalkan
apa yang buruk. Lalu sebaliknya, jika memang dia adalah seorang ulama, tindakannya pasti
sudah diperhitungkan sedemikian matang karena dia adalah pembimbing umat, adapun jika
perbuatannya terbukti terlalu jauh dari tuntunan Nabi, ia akan legowo mengakui kesalahannya
dan meminta maaf. Seperti itulah seorang ulama.

Anda mungkin juga menyukai