Anda di halaman 1dari 3

Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan

Maulida Zulfa Aini

Kini, perekembangan ilmu pengetahuan semakin melesat. Tidak dapat dipungkiri bahwa
ilmuwan Barat memiliki andil yang cukup besar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Banyak
penemuan dan pemikiran penting yang dihasilkan oleh mereka. Namun disisi lain, dengan berjayanya
para ilmuwan Barat menimbulkan perasaan rendah diri pada sebagian kaum Muslim. Setiap ada
pemikiran dan penemuan baru, kaum Muslim, khususnya sebagian cendekiawan Muslim, dengan cepat
mengatakan “Hal ini sudah ada dalam Al Qur’an, sudah sekian abad yang lalu Al Qur’an
menceritakannya”. Jadi terkesan bahwa cendekiawan Muslim selalu memaksakan keterkaitan ayat-ayat
Al Qur’an dengan hal-hal ilmiah dalam menafsirkannya, bahkan tak sedikit pula yang melakukan
cocokologi karena rasa rendah diri yang dialaminya.
Usaha mengintegrasikan Islam dengan sains memang menjadi tren di kalangan cendekiawan
Muslim, karena itu memang sangat diperlukan bagi perkembangan keduanya. Namun, menurut
Quraish Shihab menghubungkan Islam dengan sains tidak berarti selalu menafsirkan Al Qur’an sesuai
dengan teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Bukan pula dinilai dari banyaknya cabang ilmu
pengetahuan dan pembuktian ilmiah yang terdapat dalam Al Qur’an. Contohnya, di Indonesia, surah
Ar Rahman ayat 33 dijadikan dasar oleh sebagian cendekiawan kita untuk membuktikan bahwa dalam
Al Qur’an terdapat pembahasan mengenai persoalan angkasa luar. Padahal menurutnya, ayat tersebut
membicarakan keaadaan di akhirta kelak, yang berisi tantangan Allah kepada manusia dan jin.
Membahas keterkaitan Al Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat adakah teori
relativitas, dan teori-teori ilmiah liannya didalamnya, tetapi dengan melihat adakah ayat Al Qur’an
yang menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan. Majunya ilmu pengetahuan bukan hanya karena
banyaknya penemuan-penemuan ilmiah yang dihasilkan, tetapi adapula faktor iklim sosial yang dapat
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan tersebut.
Kita ingat-ingat lagi sejarah yang menyatakan bahwa ketika Galileo memaparkan bahwa bumi
itu berotasi. Hal tersebut merupakan penemuan baru bagi ilmu pengetahuan, namun teorinya ditentang
karena tidak sesuai dogma pada saat itu, sehingga Galileo menjadi korban atas penemuannya sendiri.
Dari sinilah kita dapat membahas keterkaitan Al Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Dalam Al Qur’an
terdapat ayat-ayat yang menganjurkan untuk menggunakan akal dan pikiran untuk mencapai hasil serta
melalukakn observasi dan penelitian. Al Qur’an juga mendorong agar umat manusia melihat suatu ide
lebih pada substansinya, bukan sekedar melihat dari mana datangnya ide tersebut. Surat Ali Imran ayat
66 dan 144 serta Surat Az Zumar ayat 9, berisi kritikan yang tertuju pada mereka yang berbicara atau
membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif terkait dengan masalah yang dibicarakan. Ayat-
ayat tersebutlah yang membentuk iklim sosial yang positif sehingga mendorong kemjuan ilmu
pengetahuan.
Telah dipaparkan bahwa tidak ada ayat-ayat Al Qur’an yang menentang perkembangan ilmu
pengetahuan. Namun sebaliknya, dapatkah seorang ilmuwan menentang ayat-ayat Al Qur’an? Kita
meyakini bahwa ilmu pengetahuan manusia bersifat terbatas, sedangkan Al Qur’an yang merupakan
firman-firman Allah bersifat tak terbatas dan tidak lekang oleh waktu. Oleh karena itu, jika ada
ilmuwan Muslim yang mengemukakan suatu teori dan mengangkat ayat-ayat Al Qur’an sebagai
pendukung teorinya, apakah teori tersebut menjadi mutlak kebenaran, seperti halnya ayat-ayat Al
Qur’an? Menurut Zainal Abidin Bagir dalam Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, teori
yang dikemukakan oleh seorang Muslim tidak otomatis lebih unggul dibandingkan teori lainnya
sebelum diuji kebenarannya secara ilmiah. Tidak ada teori yang diunggulkan hanya karena merujuk
pada ayat dan hadits, sebelum kebenarannya teruji. Darimana saja ilmu atau teori itu dikembangkan,
perlakuannya sama yaitu diuji dan dinilai secara ilmiah, dapat ditolak maupun diterima.
Lalu selanjutnya, apa tujuan Allah menurunkan ayat perihal perintah untuk menggunakan akal
dan pikiran serta melakukan obeservasi dan penelitian? Tujuannya tak lain adalah agar manusia
memahami Kagungan dan Keesaan-Nya, serta mendorong manusia agar semakin beriman kepada-Nya.
Allah tidak menurunkan Al Qur’an untuk menerangkan teori-teori ilmiah pada manusia, karena itu
bukanlah tujuan pokok dari Al Qur’an, melainkan memberikan petunjuk bagi manusia demi
kebagaiaan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Ketika Rosulullah SAW ditanya mengenai bulan,
mengapa awalnya kecil seperti benang kemudian dapat membesar menjadi purnama, Allah SWT
menjawab: Mereka bertanya kepadamu perihal bulan, kataknlah “bulan itu untuk menentukan waktu
bagi manusia dan mengerjakan haji” (Q.S. 2:189).
Tentu itu bukanlah jawaban ilmiah, tetapi jawaban itu sesuai dengan tujuan pokoknya yaitu
memberi petunjuk pada manusia, baik itu petunjuk ibadah, aqidah, akhlak, dan lain-lannya yang
menuntun manusia pada kebahagian dunia akhirat.
Dalam Al Qur’an terdapat pembahasan akhlak, sehingga Al Qur’an menjadi sumber ajaran
moral. Kaitannya dengan ilmu pengetahuan, Al Qur’an menjadi petunjuk dasar prilaku dan sikap
seorang ilmuwan. Dari situlah diajarkan sikap-sikap kemanusiaan, toleransi, kejujuran, dan kebenaran,
yang harus dijunjung tinggi dalam aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan.
Kebenaran teori ilmiah dapat kadaluarsa atau dapat disangkal dengan teori baru yang lebih
valid. Hal tersebut tidak berlaku pada benaran Al Qur’an. Al Qur’an akan terus relevan dengan
perkembangan zaman dan perkembangan ilmu pengatahuan. Lalu selanjutnya muncul pertanyaan,
bagaiama seharusnya kita memahami Al Qur’an dengan kemodernan ilmu pengetahuan seperti
sekarang ini? Menurut Quraish Shihab, kita tidak perlu membuktikan keilmiahan Al Qur’an, atau
mencocokkan teori-teori ilmiah yang ada dengan ayat-ayat Al Qur’an. Kita diperintahkan untuk
memahami Al Qur’an menurut akal pikiran kita sendiri, berdiskusi dan bertanya pada cendekiawan
Muslim lain, serta melakukan tadabbur dalam membantu memahami ayat-ayat Allah. Kita dianjurkan
pula untuk memperhatikan alam, langit, bumi, darat, laun, dan sebagainya, agar menyadari kebesaran
dan keagungan Allah, serta dapat menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan ilmu pengatahuan,
Singkatnya, para cendekiawan dan agamawan kita berusaha mengilmiahkan ajaran-ajaran
Islam, karena takut agama Islam dianggap tidak relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Padahal, agama selalu berdampingan dengan ilmu pengetahuan, atau bahkan keduanya merupakan
kesatuan. Menurut M.H Kamba, menyatunya agama dan ilmu pengetahuan tidak perlu dibuat-buat,
melainkan sebuah konsekuensi pertemuan antara ayat-ayat Allah yang tersurat dengan yang tersirat.
Kita mengenal istilah IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan IMTAQ (Iman dan Taqwa).
Keduanya tentu berbeda, IPTEK berasal dari akal, sedangkan IMTAQ bersumber dari hati. Namun
meski berbeda, keduanya bersatu pada diri manusia, yang menjadikan manusai dapat hidup bahagia.
Dalam mengintegrasikan agama dengan sains (ilmu pengetahuan), Guiderdoni (Bruno
Guiderdoni, 2004) mengatakan bahwa sains menjawab pertanyaan ‘bagaimana’, sedangkan agama
menjawab pertanyaan ‘mengapa’, atau sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan
dengan nilai. Sains mempunyai wilayah yang berbeda dengan agama. Keduanya tidak boleh dicampur
adukkan, tetapi juga tidak boleh dipisahkan sepenuhnya karena manusia harus menjadi manusia
seutuhnya.

Anda mungkin juga menyukai