Anda di halaman 1dari 11

Demokrasi Dalam Keberagamaan di Indonesia

Nusantara Foundation, pimpinan tokoh Muslim Indonesia di Amerika Serikat (AS) Imam Shamsi Ali,
baru-baru ini menyelenggarakan diskusi daring bertajuk "Masalah Rasial di Amerika dan Apa yang
Bisa Indonesia Pelajari Darinya". Bahasan utamanya adalah bahwa meski bukan negara agama,
Indonesia yang demokratis selalu memiliki hubungan yang dinamis dengan isu-isu keberagaman
(multiculturalism) dan keberagamaan (religiosity).

Dua pembicara utamanya, yakni Imam Shamsi Ali sendiri dan ahli keberagamaan di Indonesia dari
Boston University AS Profesor Robert Hefner sama-sama melihat bahwa dinamisme tersebut,
sayangnya, tak jarang mengerucut pada isu-isu sensitif, seperti rasialisme, radikalisme, dan politik
identitas. Hal ini tentunya perlu mendapat atensi serius dari kita bersama.

Isu-isu terkait keberagaman ini sebenarnya bukan unik untuk Indonesia. Secara global, contohnya,
dunia baru-baru ini digetarkan oleh gerakan Black Lives Matter (BLM) di AS yang membuka tabir
bahwa negara adidaya itu juga punya problem keberagaman yang pelik.

Kesenjangan ekonomi dan sosial antar kelompok sosial yang identik dengan ras (kulit hitam vs putih)
menjadi pemicu gerakan tersebut.

Di era digital ini, BLM kemudian bersentuhan dengan permasalahan sosial di luar AS. Di Indonesia,
BLM disinggungkan dengan kesenjangan ekonomi dan sosial yang terjadi antar daerah dan antar
suku, etnis, dan agama, misalnya, dengan munculnya gerakan Papuan Lives Matter.

Karakter keberagaman Indonesia

Dalam diskusi tersebut, Profesor Robert Hefner menyampaikan bahwa multikultiralisme di AS dan di
Indonesia berbeda konteksnya. Jika di AS isu keberagamannya erat dengan sejarah perbudakan antara
kelompok kulit putih dan hitam, di Indonesia tidak demikian. Keberagaman di Indonesia erat
kaitannya dengan dinamika hubungan historis antar berbagai suku dan etnis.

Adalah umum, misalnya, di Indonesia bahwa sektor tertentu di dominasi oleh kelompok suku, agama,
atau etnis tertentu. Umumnya warga asli lokal atau pribumi, apapun sukunya, mengelola pekerjaan-
pekerjaan di pemerintahan dan politik, sebab sejarahnya merekalah para pemilik tanah dan
administrator kerajaan.

Sementara sektor bisnis sering dikelola oleh ‘perantau’ (Arab dan Tionghoa misalnya) yang secara
historis memang sebagian besar datang ke Nusantara untuk mengadu nasib dengan berdagang.

Di Indonesia, keberagaman ini menjadi lebih kompleks karena terdapat aspek agama, khususnya
Islam, di dalamnya, yang menurut Profesor Hefner, memainkan peran penting dalam sejarah
tumbuhnya bangsa Indonesia.

Sebagai contoh, hadirnya sekolah-sekolah Muhammadiyah sejak era kolonial telah konsisten
memberikan pendidikan modern bagi generasi muda Muslim di Indonesia. Selain itu, Resolusi Jihad
KH Hasyim Asyari misalnya menjadi tonggak (milestone) penting bergeraknya kalangan Nahdlatul
Ulama, termasuk para santri, untuk berjuang memerdekakan Indonesia.

Perumusan Pancasila oleh Bapak Bangsa Sukarno sebagai generasi Muslim cemerlang di zamannya,
juga dianggap sebagai sumbangan penting kalangan agama terhadap Indonesia. Di masa awal, sila
pertama Pancasila bahkan sempat memuat kata ‘Syariat Islam’ secara eksplisit, yang kemudian
diuniversalkan menjadi ketuhanan.

Sebagaimana diungkapkan Imam Shamsi, Indonesia beruntung memiliki Pancasila sebab universalitas
nilai-nilai yang dibawanya berperan penting menjaga keutuhan negara ini.

Indonesia: Antitesis

Hingga saat ini, agama-agama, khususnya Islam terus memainkan peran penting dalam
penyelenggaraan negara di Indonesia yang demokratis. Organisasi massa berbasis agama seperti NU
dan Muhammadiyah terus aktif menjadi tempat konsultasi dan penyeimbang kebijakan pemerintah.

Islam dan Barat (democracy) pernah dipertentangkan dalam buku The Clash of Civilizations yang
ditulis oleh Samuel Huntington (1993). Namun, menurut Profesor Hefner, tesis Huntington
menemukan bukti nyata (living proof) antitesisnya di Indonesia.

Hubungan erat antara keberagaman, keberagamaan dan demokrasi di Indonesia juga menunjukkan
bahwa demokrasi liberal a la AS bukanlah panacea (tujuan akhir/puncak). Demokrasi itu tidak
monolitik. Sebab pada kenyataannya, demokrasi religius di Indonesia pun bisa berkembang.

Terkait tidak monolitiknya demokrasi ini juga pernah disinggung oleh Bapak Bangsa Singapura, Lee
Kuan Yew (LKY). Dalam sebuah wawancara dengan wartawan kawakan Fareed Zakaria (1994), ia
mengatakan bahwa AS tidak perlu memaksakan model demokrasinya kepada negara lain sebab
konteks tiap negara berbeda-beda. Baginya, biarlah demokrasi mewujud sesuai konteks lokal.

Di Singapura misalnya, demi menjaga harmoni sosial, jabatan presiden ‘digilir’ untuk dijabat tokoh
dari ras tertentu sesuai komposisi rasial di sana (Tionghoa, Melayu, dan India).

Profesor Hefner menyatakan bahwa memaksakan demokrasi liberal malah mempersulit proses
demokratisasi di negara-negara yang punya konteks sosial dan keberagaman berbeda-beda. Karena
itu, kesuksesan penyelenggaraan negara yang demokratis harus berbasis konteks lokal.

Ketika Bung Karno memformulasikan Pancasila, barangkali itu adalah wujud bahwa beliau sadar
kalau bangsa Indonesia memerlukan sebuah ideologi yang demokratis sekaligus menyatukan
keberagaman.

Dengan keberagamannya, Indonesia tentunya ‘akrab’ dengan konflik karena perbedaan. Namun
demikian, menurut Imam Shamsi, meski ada krisis karena isu-isu rasial, radikalisme dan politik
identitas, Indonesia diyakini masih akan tetap solid, salah satunya karena memiliki Pancasila.

Menerima keberagaman

Dari beberapa kali momentum peralihan kekuasaan yang penuh konflik (Kemerdekaan – Orde Lama,
Orde Lama – Orde Baru, Orde Baru – Reformasi), Indonesia tetap terjaga persatuaanya. Meski
berbeda-beda penerjemahannya, Pancasila tetap menjadi bertahan menjadi ideologi negara.

Menurut Imam Shamsi, Pancasila menjadi titik krusial pembeda antara krisis di Indonesia dan di
negara lain, misalnya di Timur Tengah. Arab Spring menjadi tonggak keberhasilan proses peralihan
kekuasaan di beberapa negara Arabia. Namun pasca-peralihan kekuasaan, situasi sosial dan ekonomi
masyarakatnya tak banyak berubah.
Meski negara-negara Timur Tengah itu makin demokratis, banyak ahli menyatakan situasi sosial dan
ekonomi mereka malah memburuk. Hadirnya demokrasi tidak dibarengi perumusan ideologi
pemersatu seperti Pancasila, yang mempersatukan perbedaan kelompok atau suku-suku di sana.

Kembali ke Indonesia, oleh sebab itu, adalah krusial bahwa keberagaman harus diterima menjadi
kenyataan dalam bernegara. Berbagai kebijakan dan program pemerintah perlu difokuskan untuk
mendewasakan umat beragama dan suku-sukunya demi menciptakan kerukunan antar etnis dan antar
agama.

Misalnya, perlu digalakkan berbagai forum dan kegiatan yang dihadiri masyarakat dari latar agama,
suku, dan etnis berbeda di berbagai level, dari pusat, provinsi, kota/kabupaten, hingga level RT.

Namun demikian, masalah lain yang juga krusial untuk ditangani adalah kesenjangan ekonomi antar
etnis sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Hefner. Berbagai kebijakan ekonomi harus dibuat dan
dilaksanakan untuk meningkatkan keseimbangan (bukan kesamaan) peran antar-etnis di bidang
ekonomi.

Tentu inisiatif ini akan tidak mudah pelaksanaannya. Selain membutuhkan waktu yang panjang,
upaya ini membutuhkan kerja keras para elite pemerintah dan masyarakat untuk mentransformasi
kepercayaan tradisional di masyarakat, misalnya bahwa tempat pribumi adalah di pemerintahan dan
‘pendatang’ di bisnis.

Upaya-upaya menaikkan jumlah partisipasi etnis pribumi Muslim dalam sektor ekonomi, misalnya
pelatihan bisnis, telah banyak diinisiasi. Hal tersebut tinggal dijaga konsistensinya. Ini tidak berarti
bahwa pengusaha pribumi Muslim sukses tidak banyak, hanya perlu ditingkatkan terus jumlahnya.

Akhirnya, perlu disadari bahwa Pancasila adalah keberhasilan Indonesia merumuskan persamaan
(common ground – kalimatun sawa) dari dinamika dan divergensi antara demokrasi, keberagamaan
dan keberagaman di dalamnya.

Meski demikian, dengan adanya Pancasila, bukan berarti lantas isu-isu karena keberagaman
menghilang sendirinya. Berbekal Pancasila dan kerangka peraturan yang ada, pemerintah dan
masyarakat perlu berkolaborasi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjaga demokrasi,
persatuan, dan menciptakan kesejahterakan masyarakat Indonesia yang beragam.

Samsul Wahidi, Dasar – dasar Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan,

(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 241.

Yang mengundang kontroversi, serta kasus kerusuhan Wamena Papua yang belum kunjung
diselesaikan dengan baik. Tidak hanya itu, kasus korupsi yang melibatkan pejabat – pejabat serta
wakil rakyat di lembaga – lembaga pemerintahan, tercatat menduduki peringkat 4 se – ASEAN,
dengan indeks

Dengan kata lain, rakyat seakan mengalami krisis kepercayaan kepada wakil – wakilnya di lembaga
pemerintahan, sehingga dalam kurun waktu dua minggu terakhir, aksi demo yang dipelopori oleh
mahasiswa, terjadi di wilayah di Indonesia.

Jika ditinjau dari berbagai permasalahan yang demikian, terhitung sejak Indonesia merdeka hingga
saat ini, demokrasi seakan belum dapat dilaksanakan dengan sebaik – baiknya. Oleh karena itu,
dalam tulisan ini, penulis ingin membahas kembali terkait hakikat demokrasi di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, khususnya di Indonesia.
Konsep Demokrasi di Indonesia

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demos” yang berarti rakyat, dan “kratos/kratein” yang
berarti kekuasaan. John Dewey mengatakan bahwa demokrasi adalah pandangan hidup yang
dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk
nilai – nilai yang mengatur kehidupan bersama.

Sama halnya dengan Dewey, Abraham Lincoln berpendapat bahwa demokrasi ialah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Konsep – konsep demokrasi ini, hingga sekarang, menjadi pijakan utama penerapan demokrasi
dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan utama dalam penerapan demokrasi
adalah kebebasan. Kebebasan dalam menentukan nasib, menentukan peraturan dan perundangan,
dan termasuk juga kebebasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Kebebasan dalam
kehidupan berdemokrasi.

Adeng Muchtar Ghazali and Abdul Majid, PPKn: materi kuliah di perguruan tinggi Islam Hlm. 13

Samsul Wahidi, Dasar – dasar Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, kebebasan
yang bersifat mutlak. Melainkan sebuah kebebasan yang mengikat dan bertanggungjawab. Bebas
dalam artian terbatas oleh peraturan pendapat di muka umum, meski dimaknai secara bebas, akan
tetapi harus dapat dipertanggung jawabkan.

Indonesia sebagai negara yang berbentuk republik dan memiliki berjuta – juta penduduk, masih
berusaha untuk dapat menerapkan konsep demokrasi dengan baik. Apabila kita menganalisis fakta –
fakta yang terjadi di lapangan, masih banyak contoh – contoh cacat proses demokrasi, yang kemudian
mampu memicu terjadinya konflik di berbagai wilayah. Alhasil, dengan latar belakang penduduk
yang sangat kaya akan perbedaan, kegagalan penerapan demokrasi akan membahayakan kedaulatan
negara.

Salah satu contohnya adalah politik dinasti yang saat ini sudah mulai menjamur di kalangan
masyarakat dan elit negarawan. Mulai dari kepala desa, hingga pejabat pemerintahan daerah. Apabila
mereka telah terpilih selama dua periode untuk menjabat di pemerintahan. Saat masa jabatannya telah
berakhir, mereka akan mencalonkan istri ataupun kerabatnya sendiri, dan mengerahkan
pendukungnya untuk memilih kandidat yang telah dicalonkan. Banyak contoh juga, usaha yang
demikian berjalan mulus, tanpa ada pengawalan dari aparat penegak hukum. Meski, secara
konstitusional memang sah. Akan tetapi, hal ini dapat merusak originalitas konsep demokrasi yang
telah dijalankan.

Menurut Abdurrahman Wahid, konsep demokrasi tidak hanya sebatas kebebasan. Melainkan
juga terkait dengan persamaan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat. Hal ini juga
didukung oleh pernyataan Syekh Ali Abdurraziq, yang mengatakan bahwa demokrasi adalah
kebebasan, keadilan, dan syura.

Maka, dalam konsep demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan.

Bebas bukan berarti mutlak, melainkan sebuah kebebasan yang memiliki.

Adeng Muchtar Ghazali and Abdul Majid, PPKn: materi kuliah di perguruan tinggi Islam alur dan
prosedur, serta pedoman untuk dapat dilaksanakan dengan baik di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Demokrasi dalam Keberagaman dan Perbedaan

Keberagaman dan perbedaan masyarakat, dari segi etnis, suku bangsa, maupun adat istiadat,
menjadi ciri khas bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan. Memiliki wilayah darat dan laut
yang sangat luas, menjadikan Indonesia hidup dalam konsensus keberagaman dan perbedaan sangat
bermacam – macam. Masyarakat mengalami perubahan sosial yang pesat. Perubahan awal ditandai
dengan tumbuhnya kelas menengah baru yang muncul dari berbagai latar belakang sosial. Sebagian
kelompok ini memiliki orientasi agama atau etnis, seperti tumbuhnya kaum kapitalis lokal yang
berorientasi agama dalam kasus pengusaha santri di Jawa atau kaum Cina yang melakukan ekspansi
dagang.

Selain itu, mobilitas sosial masyarakat yang tinggi semakin mempercepat percampuran dan
pertukaran informasi budaya dan keragaman. Kehidupan bernegara yang saat ini memasuki era
milenial dan disrupsi, menjadikan warga negara harus memiliki prinsip – prinsip utama dalam
menjaga kedaulatan negara. Semakin mudahnya akses informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sangat pesat, dipandang sebagai sebuah konsensus yang dapat memberikan
dampak negatif kepada masyarakat. Saat ini yang rawan menjadi penggiringan opini publik,
penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian adalah hal – hal yang terkait dengan keberagaman
dan perbedaan masyarakat di Indonesia. Begitu mudahnya para penyebar hoax menimbulkan
perpecahan, sehingga saat ini masyarakat lebih beresiko untuk menghadapi permasalahan –
permasalahan yang dapat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini disebabkan oleh
bercampurnya masyarakat yang memiliki latar belakang bermacam – macam pada satu wilayah
pemukiman.

Dimana Irwan Abdullah, Politik Bhinneka Tunggal Ika dalam Keberagaman Budaya di Indonesia.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 5 No. 2 Tahun 2003.

Ibid, mereka memiliki tuntutan dalam hal ekonomi dan pekerjaan. Perkumpulan pemukiman ini,
disatu sisi mempermudah seseorang untuk bersikap toleransi. Akan tetapi juga menciptakan
sebuah konsensus baru, seperti halnya gaya hidup yang berubah, mengasimilasikan budaya asing
dengan budaya lokal, serta memiliki orientasi kehidupan yang semakin berkemajuan.

Pancasila sebagai falsafah dan pedoman hidup bangsa Indonesia mengandung butir – butir sila yang
sangat representatif dan up to date untuk dijadikan landasan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara saat ini. Dimulai dari sila keTuhanan, sila kemanusiaan, sila persatuan, sila
permusyawaratan dan sila keadilan sosial, masing – masing memberikan pedoman yang utuh bagi
warga negaranya. Tentu, jika dibenturkan dengan kondisi bangsa yang semakin heterogen saat ini,
pengamalan sila – sila

Pancasila sudah menjadi prioritas utama. Adapun salah satu cara untuk mengenalkan Pancasila
ialah dengan melakukan pendidikan kewarganegaran dan Pancasila kepada generasi – generasi
penerus bangsa. Di dalam Pancasila sila ke – 4, yang berbunyi “Kerakyatan yang dipahami bahwa
demokrasi sebenarnya sudah menjadi falsafah dan pedoman hidup bangsa Indonesia. Keberagaman
masyarakat yang dimiliki oleh bangsa saat ini, menjadikan tuntutan dan kepentingan masyarakat yang
harus diselesaikan pemerintah semakin banyak. Dengan munculnya etnis – etnis baru, seperti China
yang melakukan ekspansi dagang, serta menjadi role model dalam perdagangan di Indonesia, juga
akan membentuk persepsi masyarakat yang bermacam – macam. Setidaknya, ada beberapa hal
penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk menjaga kepentingan dan kebutuhan bangsa
di era milenial ini.
Nucholis Madjid berpendapat bahwa demokrasi pada dasarnya memiliki norma – norma pokok,
yaitu:

1.Pentingnya kesadaran akan pluralism.

2.Musyawarah

3.Cara haruslah sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai.

4.Pemufakatan yang jujur dan sehat.

5.Pemenuhan kebutuhan pokok secara berencana.

6.Kerjasama dan sikap saling mempercayai itikad baik.

7.Pentingnya pendidikan demokrasi.

Dari pemaparan Nurcholis Madijd di atas, diketahui bahwa sejatinya demokrasi tetap memperhatikan
dan mengutamakan aspek persatuan dan kesatuan, serta kedaulatan negara. Dalam proses demokrasi,
tidak dikenal adanya mementingkan kepentingan individu. Mutlak kepentingan bersama menjadi
prioritas yang harus diutamakan. Selain itu, konsep pluralisme yang dicantumkan oleh beliau,
mendasarkan pada pentingnya sikap memahami perbedaan dan keragaman bangsa Indonesia. Untuk
dapat mencapai kata mufakat, sikap toleransi dalam keragaman dan perbedaan, akan menjadi wadah
yang relevan dalam perumusan tujuan bersama. Selain itu, menurut Prof Azyumardi Azra,
demokrasi dapat dikembangkan menjadi lebih baik dengan memperhatikan beberapa hal berikut :

1.Peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan.

2.Pemberdayaan dan pengembangan kelompok – kelompok masyarakat yang favourable bagi


pertumbuhan demokrasi.

3.Hubungan internasional yang lebih adil dan seimbang.

4.Sosialisasi pendidikan kewarganegaraan.

Maka, demokrasi yang berasaskan Pancasila menjadi solusi yang jitu untuk mengatasi berbagai
problematika masyarakat yang menyangkut hal – hal tentang keberagaman dan perbedaan. Kelima
sila Pancasila yang saling memiliki keterkaitan, sejatinya merupakan sebuah cita – cita luhur bangsa
Indonesia, yakni membentuk manusia – manusia seutuhnya. Tidak hanya rumusan yang simple,
Pancasila juga memiliki sistem integrasi antara pengetahuan agama dan budaya yang dibutuhkan oleh
negara. Dengan kata Noor Ms. Bakry, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2014), Adeng Muchtar Ghazali and Abdul Majid, PPKn: materi kuliah di perguruan tinggi.

Islam lain, falsafah hidup Pancasila dapat diterapkan secara universal, dan tidak memihak pada satu
agama, etnis ataupun kepentingan masyarakat tertentu. Konsep “Bhinneka Tunggal Ika” yang
diartikan berbeda – beda tetapi tetap satu tujuan, hendaknya juga dijadikan sebagai pondasi
masyarakat dalam bersikap. Terkait dengan perbedaan dan keragaman yang senantiasa lekat pada
kehidupan berbangsa dan bernegara, demokrasi memiliki peran untuk memperhatikan
kepentingan – kepentingan masyarakat dengan menyampaikan aspirasi secara berimbang, serta
mendahulukan kepentingan bersama dan bangsa sebagai prioritas utama.
Oleh sebab itu, demokrasi Pancasila yang sedang diterapkan oleh bangsa saat ini, bisa menjadi sebuah
konsesi dan solusi yang tepat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat beragam.

Demokrasi indonesia dalam pusaran konflik

Demokrasi merupakan sistem bermasyarakat dan bernegara yang paling populer saat ini. Dengan
demokrasi masyarakat dapat menyelenggarakan tatanan organisasi yang tertinggi yaitu Negara.
Demikianlah yang menjadi alasan mengapa Indonesia memilih demokrasi sebagaimana diungkapkan
oleh Mahfud MD (Rosyada, 2005, hal. 112). Namun dikarenakan pemahaman yang kurang
mendalam, pelaksanaan demokrasi tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Benih-benih konflik bukan suatu barang baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Latar belakang
yang berbeda merupakan penyebab yang dijadikan penyulut konflik. Ketika demokrasi dikembalikan
ke definisinya sebagai pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Saat dihadapkan
pada kepentingan rakyat yang sangat majemuk ini timbullah pertanyaan baru. Rakyat yang manakah
yang dimaksud?

Dalam sejarahanya di era kerajaan Majapahit, Nusantara sudah pernah disatukan oleh patih Gajah
Mada di bawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk. Tapi Sumpah Amukti Palapa tidak lagi mempan
untuk benar-benar dijadikan dasar persatuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Sebab jika
dianalisis lebih jauh, penyatuan Nusantara di era Hayam Wuruk itu bukanlah atas dasar cinta
Nusantara ataupun persamaan nasib, melainkan bersatu karena dipaksa atau dengan jalan penaklukan.
Diperlukan subuah penyebab lain yang bisa menyatukan tekad seluruh rakyat.
Sebagai contoh, pada tahun 1926 ketika para pemuda sudah mulai sadar bahwa persatuan adalah
modal utama meraih kemerdekaan, maka diselenggarakanlah Kongres Pemuda pertama. Persamaan
nasib sebagai korban penjajahan itulah yang berperan menimbulkan kesadaran untuk bersatu. Mereka
sadar bahwa masing-masing harus menanggalkan ego kedaerahan dan agamanya.
Tidak ada lagi yang mengagungkan identitas kedaerahan sebagai Jong Java, Jong Celebes, Jong
Betawi, dan sebagainya. Juga tidak pula mengedepankan ego keagamaan sebagai Jong Islamieten
Bond, ataupun Perkumpulan Pemuda Kristen, Perhimpunan Pemuda Katolik, dan sebagainya. Yang
ada hanyalah para putra-putri Indonesia yang mendekarasikan tanah air, kebangsaan, dan bahasa yang
satu, yaitu Indonesia. Sehingga dalam kongres pemuda kedua, tahun 1928, mereka bisa merumuskan
Sumpah Pemuda.
Selama beberapa dekade semangat Sumpah pemuda itu menjadi landasan pemersatu yang cukup
relevan, sehingga mendorong terjadinya kemerdekaan dengan diikrarkannya Proklamasi pada 17
Agustus tahun 1945. Untuk beberapa saat, euforia perayaan kemerdekaan masih menjadi pemersatu
negara Indonesia. Namun lagi-lagi karena banyaknya kepentingan, Indonesia lagi-lagi mengalami
pergolakan dalam revolusi kemerdekaan.
Disini penulis tidak membahas sejarah pergolakan politik secara detail, sebagaimana sudah dibahas di
ratusan buku sejarah, namun hanya sekilas saja yang berfokus pada keberagaman partai politik yang
ada.
Pemilu pertama yang dilaksanakan pada tahun 1955, selang 10 tahun saja setelah merdeka, sudah
diikuti 172 kontestan partai politik. Nampak bahwa euforia kemerdekaan justru mendorong
keberanian untuk berpecah, bukan malah bersatu. Pemilu selanjutnya di tahun 1971 diikuti oleh 10
Parpol. Banyaknya kontestan partai politik yang ada menunjukkan betapa banyaknya keberagaman
golongan dan kepentingan.
Sementara pemilu tahun 1977 hingga 1997 (baca: Orde Baru), dimana kontestan hanya terdiri dari 3
partai saja: PPP, Golkar, PDI tidak dapat dijadikan indikator bahwa demokrasi mampu meminimalisir
perbedaan yang ada. Justru pada masa itulah demokrasi kita sedang sakit dan tercekik oleh rezim
penguasa, dimana kebebasan berpolitik dikebiri, sehingga pemenang pemilu sudah bisa ditebak
sebelumnya.
Sementara di era reformasi, lagi-lagi euforia merayakan kemenangan rakyat yang berhasil
melengserkan rezim penguasa, melahirkan banyak parpol baru dalam pemilu 1999. Yaitu diikuti oleh
48 parpol. Selanjutnya di tahun 2004 diikuti 24 parpol, tahun 2009 diikuti 38 parpol nasional dan 6
parpol lokal (Aceh), dan di tahun 2014 jumlahnya menyusut hingga hanya 12 parpol saja.

Akar keberagaman pemicu konflik

Dari data yang telah disebutkan di atas, tampak betapa beraneka ragamnya partai atau golongan yang
ada di Indonesia. Disamping keberagaman lainnya, yang sedikit banyak pasti memberi pengaruh
terhadap jalannya demokrasi. Jika dianalisis, maka ada beberapa penyebab utama dalam menimbulkan
keberagaman.
Pertama, Perbedaan suku. Kita mafhum bahwa suku merupakan identitas bawaan yang tidak bisa
ditolak oleh siapapun. Tidak ada orang yang bisa memilih dari suku mana dia akan dilahirkan.
Seharusnya identitas yang bersifat permanen tersebut tidak usah dijadikan alasan untuk bertikai.
Namun faktanya, banyak sentimen-sentimen yang dipicu oleh perbedaan suku.
Peristiwa konflik besar antaretnis yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya ialah konflik antara
etnis pribumi dan Tionghoa yang mengiringi era reformasi pada tahun 1998. Konflik pertikaian antara
Suku Dayak dengan Suku Madura di awal tahun 2000-an, dan yang terbaru adalah konflik Jawa
versus Lampung di tahun 2012 yang terulang kembali di tahun 2014. Juga konflik-konflik lain yang
berskala lebih kecil dari pada peristiwa di atas.
Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya konflik-konflik tersebut tidaklah murni sebagai genosida atau
niat pemusnahan suku tertentu. Namun di balik peristiwa tersebut ada kepentingan lain yang saling
bergesekan–misalnya faktor ekonomi, dan tersulut menjadi konflik ketika ada provokator yang
menggunakan nama suku. Akibat sentimen tersebut banyak warga sipil yang menjadi korban.
Kedua, Perbedaan Agama. Berbeda dengan suku, agama bukanlah identitas bawaan yang permanen.
Akan tetapi setiap individu memiliki kemerdekaan untuk memilih agama apa yang akan dipeluknya,
dan kepercayaan mana yang akan dianutnya. Agama memang urusan keyakinan yang bersumber
dalam hati yang tidak kasat mata. Namun dalam pelaksanaan ritualnya, tentu melibatkan anggota
badan yang tentu saja dapat dilihat oleh siapapun.
Namun sebagai keyakinan yang menancap dalam di sanubari tiap pemeluknya, agama acapkali
menjadi sumber konflik yang sangat tajam ketika terjadi gesekan antar pemeluk agama yang berbeda.
Sedikit saja sentilan yang menyinggung agama dan simbol-simbol di dalamnya, dapat menyulut
pertikaian yang sangat besar.
Sebut saja kasus penistaan agama yang sedang menjerat Gubernur DKI non-aktif Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok. Ucapannya yang hanya beberapa detik itu dapat menimbulkan dampak yang
sangat massive. Walaupun ada juga beberapa tokoh yang mengatakan bahwa dampak ucapan Ahok
tidaklah sedemikian besar jika tidak berbarengan dengan momen Pilkada. Namun perkiraan semacam
itu terbantahkan jika melihat reaksi jutaan umat Islam dari segala penjuru Nusantara yang tentu saja
tidak mempunyai kepentingan langsung dengan pilkada DKI, namun turut meramaikan demonstrasi.
Dalam urusan agama, persaudaraan menjadi terikat sangat kuat bahkan melebihi ikatan persaudaraan
kandung. Maka tidak heran jika umat Buddha di seluruh dunia mengerahkan penjagaan yang lebih
ketat pasca peristiwa genosida Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya.
Ketiga, perbedaan kepentingan dan golongan. Perbedaan semacam ini lebih tepatnya dikerucutkan
lagi menjadi perbedaan partai politik dan imbasnya pada kepentingan terhadap kekuasaan dan
jabatan-jabatan strategis.
Sudah menjadi kodrat manusia untuk mempunyai ambisi terhadap kekuasaan, bahkan kadang
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sudah kita saksikan banyak contoh di media
massa, bagaimana upaya perseorangan atau golongan untuk mencapai tujuan politiknya, hingga
akhirnya menimbulkan konflik. Dan konflik tersebut semakin meluas dan merebak hingga ke daerah-
daerah sejak diberlakukannya otonomi daerah.
Otoda (otonomi daerah) secara resmi telah diterapkan di seluruh wilayah Republik Indonesia mulai
Januari 2001. Dasar hukumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Hakekat otonomi
daerah adalah “keleluasaan” pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam
segala-urusan, kecuali urusan tertentu yang masih menjadi urusan pemerintah pusat. Namun di
samping tujuan baik di atas, rupanya pilkada sering dijadikan tunggangan untuk kepentingan tertentu
sehingga memicu berbagai konflik.

Menyikapi keberagaman menuju demokrasi yang sehat dan dinamis

Bersumber dari berbagai penyebab keberagaman di atas, maka untuk menerapkan demokrasi yang
sehat kita memerlukan berbagai solusi. Dimulai dari menyikapi keberagaman etnis, sudah sewajarnya
kita kembalikan pada sebuah prinsip. Bahwa hak asasi seseorang dibatasi oleh hak asasi orang lain.
Demikian pula dalam menjalankan berbagai ritual etnis tertentu, jangan sampai ada diskriminasi pada
etnis lainnya, terutama apabila hidup berdampingan di suatu wilayah.
Mengenai etnis dan budaya, sebagai produk manusia, tentunya masih memungkinkan untuk terjadinya
asimilasi atau penerimaan unsur budaya dari luar sehingga terciptalah budaya baru. Akulturasi budaya
pun, yang merupakan percampuran dua budaya atau lebih, juga sangat memungkinkan terjadi. Yang
penting antar etnis tersebut terjadi saling pengertian dan tidak ada unsur pemaksaan.

Akan tetapi lain halnya dengan keberagaman agama yang merupakan “produk langit”. Tentu saja
tidak memungkinkan untuk dicampuradukkan seperti budaya. Tiap agama mempunyai aturan dan
syariatnya sendiri yang sangat asasi. Agama, yang dalam Bahasa Sansekerta berarti “kumpulan
aturan” (Sasongko, 2005, hal. 19) tentu memiliki norma-normanya tersendiri yang semuanya
mengajak kepada kebaikan dan keteraturan.
Untuk menyikapi keberagaman beragama, yang diperlukan tidak lain adalah teloransi atau saling
menghormati antar umat beragama. Bisa dikatakan, pada dasarnya setiap agama mengajarkan
toleransi dan menjauhi pemaksaan dalam akidah. Walaupun dalam pelaksanaannya tidaklah selalu
mulus.
Agama Islam mempunyai contoh nyata dalam toleransi, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an
Surat Al-Mumtahanah ayat 8 yang artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu.”
Pengejewantahan ayat tersebut sudah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad seperti yang terekam dalam
Konstitusi Madinah, dimana Umat Islam bisa hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani dalam
damai. Kaum Yahudi juga mendatangi Nabi untuk bermusyawarah mengenai contoh-contoh hukuman
yang tepat bagi kaumnya yang melakukan tindakan kriminal.
Contoh lain dari toleransi sudah dipraktikkan pula oleh Shalahuddin Al-Ayyubi setelah berhasil
merebut kota Yerussalem. Dimana di bawah kekuasaan Islam, umat Kristiani bisa bebas menjalankan
ibadahnya.
Demikian juga yang dipraktikkan oleh Sultan Mehmed II, yang dikenal sebagai Muhammad Al Fatih
dari Turki, setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel. Dimana pada saat itu untuk pertama kalinya
adzan dikumandangkan di Hagia Sofia, sebuah gereja yang kemudian berubah menjadi masjid. Sultan
Mehmed tidak pernah memaksakan penganut Kristiani untuk memeluk Islam, dan memperlakukan
tawanan perang dengan sangat adil (Siauw, 2016, hal. 258).
Dalam konteks ke-Indonesia-an, contoh toleransi yang dicontohkan umat Islam adalah dalam
perumusan Pancasila sila pertama. Dimana pada awalnya berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, kemudian berubah menjadi teks yang
sekarang yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Faktanya, umat Islam yang sejak dulu mayoritas, tidak
serta merta memaksakan kehendak untuk mempertahankan teks yang semula dengan kalimat syariat
Islam di dalamnya. Namun memilih untuk memakai teks yang lebih umum seperti sekarang ini.
Dengan asumsi bahwa negara Indonesia adalah negara yang Berketuhanan yang Maha Esa (Kaelan,
2002, hal. 15).
Sementara dalam konteks kekinian, kita mengenal sosok Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme dan Guru
Bangsa. Baginya, Indonesia harus dibangun dengan sikap kebersamaan tanpa diskriminasi antar
kelompok. Tak heran jika di momen tahlilan wafatnya, dihadiri pula oleh sejumlah pemeluk agama
lain seperti kalangan Hindu, Buddha, Konghucu, Nasrani, hingga penganut aliran kepercayaan Sunda
Wiwitan (EIN Institute, 2010, hal. 26) .
Agama lain pun juga mengajarkan toleransi. Untuk Kristen, sebagaimana ditulis oleh A.A. Susanto
dalam bukunya, Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin, bahwa berdasarkan refleksi cinta kasih
Yesus hubungan antar pemeluk agama Nasrani maupun terhadap selain Nasrani harus didasarkan
pada pemahaman, penerimaan, dan toleransi.
Di dalam ajaran Katholik juga terdapat konsep toleransi, seperti yang tercantum dalam Deklarasi
Konsili Vatikan II tentang sikap Gereja terhadap agama-agama lain didasarkan pada asal kisah rasul-
rasul 17 : 26 sebagai berikut: “Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat dan asalnya pun
satu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa manusia untuk menghuni seluruh bumi.”
Dalam agama Hindu terdapat ajaran Dharma atau perbuatan yang baik terhadap sesama. Sementara
dalam ajaran Buddha terdapat Metta atau hubungan yang baik antar sesama sebagaimana ibu kandung
kepada anaknya.
Sementara untuk menyikapi keberagaman antar golongan -lebih mengerucut lagi partai politik-
tentunya diperlukan sikap yang dewasa. Dengan kata lain, tiap individu harus bisa legowo menerima
apapun hasil dari pelaksanaan pesta demokrasi. Hendaknya semua pihak mampu menahan diri. Yang
menang menahan diri dari euforia yang melebihi batas kewajaran, dan pihak yang kalah menghindari
penghujatan. Apalagi di era digital seperti saat ini dimana segala macam berita, foto, ucapan, dan
sebagainya bisa menyebar dalam hitungan detik. Sementara konsekuensi dari hal tersebut bisa dialami
berbulan-bulan bahkan hitungan tahun.
Demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia untuk tatanan keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk itu, tidak ada pilihan lagi selain demokrasi haruslah dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab oleh setiap warga negara. Masyarakat yang demokratis hendaknya
memenuhi ciri-ciri sebagai masyarakat yang penuh tanggung jawab, toleran, kritis, terbuka, jujur, dan
adil.
DEMOKRASI DALAM KEBERAGAMAN

OLEH :

NAMA : RIZKA SABANI

SUCI ANASTASYA

CHAIRANI

YURI FADILAH

KELAS : XII – BM 1

SMK BRIGJEND KATAMSO II


MEDAN
2021

Anda mungkin juga menyukai