Disusun oleh :
KHG.D 20010
A. Definisi
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan
adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang
berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau
mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.
2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian
kehilangan.
3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan
menangis, keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.
1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak
jantung cepat, menangis, gelisah.
4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
B. Tipe Kehilangan
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti
adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe
kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.
Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena
keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada,
kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional
yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri,
kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan
dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa
aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran,
ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada
kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya.
Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.
Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada dalam rentang
yang fluktuatif, dari tingkatan yang adaptif sampai dengan maladaptif.
D. Fase Kehilangan
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga proses, yaitu
syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima pedihnya
kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang dibutuhkan untuk menoleransi
ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan
kematian.
b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain, perasaan bersalah
dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan menangis untuk menurunkan
tekanan dalam perasaan yang dalam.
c. Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga membantu
menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan
termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang menjadi
keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan
menggunakan alkohol.Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan,
yaitu fase awal,
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan
dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama beberapa hari,
kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu
merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk tidak
mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu
sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
E. Definisi berduka
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger),
penawaran (bargaining),depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering
disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat
atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial
yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam,
terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta
berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin
muncul antara lain sebagai berikut.
3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam, panas/dingin dan
kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak nyaman.
7. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan kematian, tapi
tidak demikian dengan emosional.
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan. Perasaan
marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda di
sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan
tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
“Mengapa aku?”
2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.
4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.
5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang akan
mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-menawar.
Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak melakukan hal tersebut..
mungkin semua tidak akan terjadi ......”atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat
itu ... pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien dapat berupahal
sebagai berikut.
1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
3. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-menawar dibuat
dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan
di ruang kerja pribadi pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak menanggapi
permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih berkenan bila aku ajukan
permintaan itu dengan cara yang lebih baik.” “Bila saya sembuh, saya akan…….”
4. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali perbuatannya, dan
menangis mencari pendapat orang lain.
Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan penyakitnya
yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan
orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih,
dan penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya
“Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya
mengatasi permasalahannya
tanpa kehadiran saya?” Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap
yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan
damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan
dan kegelisahannya.
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran terhadap
sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai
dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan
dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat
mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya
pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.........”Seorang individu yang telah
mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika
individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap
penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan
kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan
akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.
Faktor Predisposisi
1. Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap optimis dan
menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai
kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan yang tinggi
terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.
Faktor Presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu dan
kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi seksual,
kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posisi di
masyarakat.
Perilaku
2. Marah.
3. Putus asa.
H. Diagnosa Keperawatan
2. Berduka disfungsional.
3. Berduka fungsional
I. Perencanaan
Prinsip intervensi
b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan kehilangan pasien secara
emosional.
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan menghakimi.
d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu yang mengalami
kehilangan.
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk bahu, dan
merangkul.
f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan singkat.
2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan memberikan
dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan marahnya secara verbal
tanpa melawan kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah adalah
ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi tingkat depresi,
risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa bersalah.
Tindakan Keperawatan
1. Tujuan
c. Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan
dirinya.
2. Tindakan
b. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan
spiritual sebelum/sesudah mengalami peristiwa kehilangan serta hubungan antara kondisi saat
ini dengan peristiwa kehilangan yang terjadi).
1. Tujuan
2. Tindakan
a. Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan dampaknya pada
pasien.
b. Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami oleh pasien.
Daftar Pustaka
Keliat, BA., Helena, N.C.D., dan Farida P. 2007. Manajemen Keperawatan Psikosisial dan
Kader Kesehatan Jiwa: CMHN (Intermediate Courese). Jakarta: EGC.
Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Pratice of Psychiatric Nursing, 8thEdition. St.Loius:
Mosby.
Stuart, G. W, dan Sundeen, S. J. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.
Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Varcarolis. 2006. Fundamental of Psychiatric Nursing. Edisi 5. St.Louis: Elsevier.
WHO. 2001. The World Health Reports 2001, Mental Health: New Understanding, New
Hope.
Geneva: WHO