Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN


PSIKOSOSIAL KEHILANGAN DAN BERDUKA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Jiwa


Program Profesi Ners Angkatan X
Dosen Penguji : Rudy Alfiansyah S.Kep,Ns,M.Pd

Disusun oleh :

SUNI SUNDARI SATORI

KHG.D 20010

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN X

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT

Tahun Ajaran 2020-2021


ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN

KEHILANGAN DAN BERDUKA

A. Definisi
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan
adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang
berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau
mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali.

Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami suatu


kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau seluruhnya

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang


sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari
(Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan
kesempatan. Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional
normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah. Seorang individu
harus diberikan kesempatan untuk menemukan koping yang efektif dalam melalui
proses berduka, sehingga mampu menerima kenyataan kehilangan yang menyebabkan
berduka dan merupakan bagian dari proses kehidupan.Kehilangan dapat terjadi
terhadap objek yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau sesuatu yang diantisipasi.
Jika diperhatikan dari objek yang hilang, dapat merupakan objek eksternal, orang
yang berarti, lingkungan, aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal yang
mungkin dirasakan hilang ketika seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis..

Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka dikarakteristikkan sebagai


berikut :

1. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.

2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian
kehilangan.
3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan
menangis, keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.

4. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.

5. Mengalami perasaan berduka.

6. Mudah tersinggung dan marah.

Rentang Respon Kehilangan

Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance

1. Fase denial
a. Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b. Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c. Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak
jantung cepat, menangis, gelisah.

2. Fase anger / marah

a. Mulai sadar akan kenyataan


b. Marah diproyeksikan pada orang lain
c. Reaksi fisik; muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
d. Perilaku agresif.

3. Fase bergaining / tawar- menawar.


a. Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit bukan
saya “ seandainya saya hati-hati “.

4. Fase depresi
a. Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b. Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.

B. Tipe Kehilangan

Kehilangan dibagi dalam 2 tipe yaitu:

1Aktual atau nyata


Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian
orang yang sangat berarti / di cintai.
2Persepsi
Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya;
seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan
kebebasannya menjadi menurun.
C.  Jenis-jenis Kehilangan

Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:

1 Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai

Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti
adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe
kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.

Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena
keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada,
kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional
yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi.

2 Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)

Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri,
kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan
dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa
aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran,
ingatan, usia muda, fungsi tubuh.

3 Kehilangan objek eksternal

Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama,


perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang
terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.

4 Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal


Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal
termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau
bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki
tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.

5 Kehilangan kehidupan/ meninggal

Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada
kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya.
Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.

Proses Teerjadinya Masalah

Rentang Respons Emosi

Respon Adaptif Respon Maladaptif

• Menangis, menjerit, menyangkal, • Diam/tidak menangis

menyalahkan diri sendiri, menawar, • Menyalahkan diri berkepanjangan.


bertanyatanya.
• Rendah diri.
• Membuat rencana untuk yang akan
• Mengasingkan diri.
datang.
• Tak berminat hidup.
• Berani terbuka tentang kehilangan.

Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada dalam rentang
yang fluktuatif, dari tingkatan yang adaptif sampai dengan maladaptif.

D. Fase Kehilangan

Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.

1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga proses, yaitu
syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.

a. Syok dan tidak percaya

Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima pedihnya
kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang dibutuhkan untuk menoleransi
ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan
kematian.

b. Perkembangan kesadaran

Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain, perasaan bersalah
dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan menangis untuk menurunkan
tekanan dalam perasaan yang dalam.

c. Restitusi

Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga membantu
menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.

2. Fase jangka panjang

a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.

b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi dan
termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang menjadi
keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan
menggunakan alkohol.Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan,
yaitu fase awal,

pertengahan, dan pemulihan.

1. Fase awal

Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan
dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama beberapa hari,
kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu
merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan

Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.

3. Fase pemulihan

Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk tidak
mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini individu
sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

E. Definisi berduka

Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang


dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-
lain.

Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA


merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.

Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu


dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan.
Tipe ini masih dalam batas normal.

Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu


yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial,
hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke
tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

F. Tahapan Proses Kehilangan

Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger),
penawaran (bargaining),depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering
disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat
atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial
yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
Tahap Penyangkalan (Denial)

Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam,
terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta
berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin
muncul antara lain sebagai berikut.

1. “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”

2. “Diagnosis dokter itu salah.”

3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam, panas/dingin dan
kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak nyaman.

4. Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan (defense


mechanism) terhadap rasa cemas.

5. Pasien perlu waktu beradaptasi.

6. Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan


pertahanan yang tidak radikal.

7. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan kematian, tapi
tidak demikian dengan emosional.

Tahap Marah (Anger)

Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan. Perasaan
marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda di
sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan
tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.

1. Emosional tak terkontrol.

“Mengapa aku?”

“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”

2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.

3. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.


“Peraturan RS terlalu keras/kaku.”

“Perawat tidak becus!”

4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.

5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang akan
mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.

Tahap Penawaran (Bargaining)

Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-menawar.
Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak melakukan hal tersebut..
mungkin semua tidak akan terjadi ......”atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat
itu ... pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien dapat berupahal
sebagai berikut.

1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.

2. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu hidup,


terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.

3. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-menawar dibuat
dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan
di ruang kerja pribadi pendeta.

“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak menanggapi
permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih berkenan bila aku ajukan
permintaan itu dengan cara yang lebih baik.” “Bila saya sembuh, saya akan…….”

4. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali perbuatannya, dan
menangis mencari pendapat orang lain.

Tahap Depresi

Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan penyakitnya
yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan
orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih,
dan penurunan libido. Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya
“Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya
mengatasi permasalahannya

tanpa kehadiran saya?” Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap
yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan
damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan
dan kegelisahannya.

Tahap Penerimaan (Acceptance)

Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran terhadap
sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai
dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan
dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat
mencintai anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya
pun harus berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.........”Seorang individu yang telah
mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika
individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap
penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan
kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan kemungkinan
akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.

G. Data Yang Perlu Dikaji

Faktor Predisposisi

1. Genetik

Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap optimis dan
menghadapi kehilangan.

2. Kesehatan fisik

Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai
kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik.

3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan yang tinggi
terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.

4. Pengalaman kehilangan sebelumnya

Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak akan


memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.

Faktor Presipitasi

Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu dan
kehilangan yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi seksual,
kehilangan harga diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posisi di
masyarakat.

Perilaku

1. Menangis atau tidak mampu menangis.

2. Marah.

3. Putus asa.

4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.

H. Diagnosa Keperawatan

1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual.

2. Berduka disfungsional.

3. Berduka fungsional

I. Perencanaan

Prinsip intervensi

1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah memberi


kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara berikut.

a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.

b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan kehilangan pasien secara
emosional.
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan menghakimi.

d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu yang mengalami
kehilangan.

e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk bahu, dan
merangkul.

f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan singkat.

g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.

2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan memberikan
dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan marahnya secara verbal
tanpa melawan kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah adalah
ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.

a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis).

b. Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.

c. Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung.

3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining) adalah


membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan takutnya.

a. Amati perilaku pasien.

b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.

c. Tingkatkan harga diri pasien.

d. Cegah tindakan merusak diri.

4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi tingkat depresi,
risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa bersalah.

a. Observasi perilaku pasien.

b. Diskusikan perasaan pasien.

c. Cegah tindakan merusak diri.

d. Hargai perasaan pasien.


e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.

f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.

g. Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.

5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah membantu


pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan cara berikut.

a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.

b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.

Tindakan Keperawatan

Tindakan Keperawatan pada Pasien

1. Tujuan

a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.

b. Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami pasien.

c. Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan
dirinya.

d. Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.

e. Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung.

2. Tindakan

a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien.

b. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan
spiritual sebelum/sesudah mengalami peristiwa kehilangan serta hubungan antara kondisi saat
ini dengan peristiwa kehilangan yang terjadi).

c. Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami.

1) Cara verbal (mengungkapkan perasaan).

2) Cara fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik).

3) Cara sosial (sharing melalui self help group).


4) Cara spiritual (berdoa, berserah diri).

d. Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas yang tersedia untuk saling


memberikan pengalaman dengan saksama.

e. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian.

f. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga

1. Tujuan

a. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.

b. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.

c. Keluarga dapat mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.

d. Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.

2. Tindakan

a. Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan dampaknya pada
pasien.

b. Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami oleh pasien.

c. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan berdukadisfungsional.

d. Berdiskusi dengan keluarga sumber-sumber bantuan yang dapat dimanfaatkan oleh


keluarga untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh pasien

Daftar Pustaka

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC.

Keliat, BA., Helena, N.C.D., dan Farida P. 2007. Manajemen Keperawatan Psikosisial dan
Kader Kesehatan Jiwa: CMHN (Intermediate Courese). Jakarta: EGC.
Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Pratice of Psychiatric Nursing, 8thEdition. St.Loius:
Mosby.
Stuart, G. W, dan Sundeen, S. J. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.
Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Varcarolis. 2006. Fundamental of Psychiatric Nursing. Edisi 5. St.Louis: Elsevier.
WHO. 2001. The World Health Reports 2001, Mental Health: New Understanding, New
Hope.
Geneva: WHO

Anda mungkin juga menyukai