Anda di halaman 1dari 12

Negara dan Pemikiran Islam

Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucap syukur atas nikmat tuhan semesta alam Allah SWT dengan
seperangkat akal bersama karunia yang tak terhingga yang melekat pada diri ini,
maka izinkanlah saya selaku umat rasulullah mengucapkan “ allahumma shalli ala
syaidina muhammad” dengan harapan semoga kita adalah orang beruntung yang
tetap istiqomah menjalankan sunnahnya hingga akhirnya dapat bertemu
kebahagiaan di yaumil akhir kelak. Tulisan ini adalah bagian dari ikhtiar penulis
untuk tetap meningkatkan khasanah keilmuan dan sebagai media bertukar ide dan
wacana intelektual sebagaimana telah di terpakan para pendahulu yaitu mereka
orang –orang yang berilmu.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia merupakan Zoon Politicon yaitu mahluk sosial yang memiliki


kecenderungan untuk bermasyarakat, masyarakat ialah sekelompok manusia yang
hidup dengan jalinan erat karena sistem tertentu. Adanya kecenderungan untuk
hidup bersama adalah akibat dari dorongan untuk saling melengkapi, dan saling
memenuhi kebutuhan satu dengan yang lainnya. Keberadaan manusia yang
terkumpul dalam satu teritori dengan berbagai interaksi moral diantaranya
menghasilkan apa yang di sebut sebagai kontrak sosial, yaitu sebuah pelimpahan
dari masing –masing individu terhadap hak perseorangannya kepada suatu
komunitas sebagai suatu keutuhan. Selanjutnya kesepakatan sosial menghasilkan
apa yang di sebut sebagai negara, yaitu struktur kepemimpinan yang di lahirkan oleh
adanya kontrak sosial. Seiring berjalannya waktu kemudian konsep negara semakin
berkembang, adanya kumpulan gagasan, ide –ide dasar, keyakinan, dan
kepercaaan yang bersifat dinamis melahirkan ideologi. Adanya ideologi Dalam
sistem pemerintahan negara adalah berupa sistem berfikir yang menjadi solusi atas
permasalahan dalam kesenjangan sosial di masyarakat (secara politik). Selanjutnya
lahirnya kewenangan dalam menjalankan roda pemerintahan adalah dalam
rangkaian untuk mencapai sebuah tujuan Negara. Konsep negara kesejahteraan
atau walfare state merupakan sebuah konsep pemerintahan dimana negara atau
institusi yang memegang peranan penting dalam perlindungan serta
menyejahterakan kehidupan sosial dan ekonomi negaranya. Negara indonesia yang
di dalam Pembukaan Undang –undang Dasar Negara Republik Indonesia alinea ke
–IV menyebutkan tujuan nasional yaitu “ (1) melindungi segenap bangsa indonesia
dan seluruh tumpah darah indonesia; (2) Memajukan Kesejahteraan Umum; (3)
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Konsep
masyarakat dan kesejahteraan sosial adalah sebuah pembahasan yang menarik
untuk di uraikan, mengingat bahwa indonesia sebagai negara dengan penduduk
islam terbesar di dunia, maka sudah sewajarnya mewujudkan cita keadilan dan
kesejahteraan sebagaimana konsep yang telah di ajarkan oleh islam sebagai ajaran
yang khaffah. Selanjutnya akan di uraikan lebih lanjut di dalam pembahasan dalam
makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah terbentuknya negara..?


2. Bagaimana pandangan islam dalam konteks negara modern (nation state).?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya Negara


Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing, state
(inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (perancis)1. Secara
terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara atau
kelompok masyarakat yang memiliki cita –cita untuk bersatu, hidup di dalam
suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini
mengandung nilai konstitutif yang pada galibnya di miliki oleh suatu negara
berdaulat : masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.
Ketiga unsur ini perlu di tunjang dengan unsur lainnya seperti adanya
konstitusi dan pengakuan dunia internasional yang oleh mahfud M.D. di sebut
dengan unsur deklaratif.
Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu negara adalah
sekumpulan manusia yang di persatukan oleh persamaan dan bersama –
sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak bisa dibayangkan jika ada suatu
negara tanpa rakyat. Hal ini mengingat rakyat atau warga negara adalah
substratum personel dari negara.
Adapun wilayah adlaah unsur negara yang harus terpenuhi karena
tidak mungkin ada negara tanpa batas –batas teritorial yang jelas. Secara
umum, wilayah dalam sebuah negara biasanya mencakup daratan, perairan
(samudra, laut, da sungai), dan udara. Dalam konsep negara modern masing
–masing batas wilayah tersebut di atur dalam perjanjian dan perundang –
undangan internasional.
Sedangkan pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas
memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama di dirikannya
sebuah negara. pemerintah, melalui aparat dan alat –alat negara, yang
menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan

1
Ubaedillah & Abdul Rozak, pendidikan kewarganegaraan ( Civic Education), Jakarta: Kencana) 2012), hlm.,
120
perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga
negara yang beragam.
Setelah memahami peristilahan dan unsur dari negara, maka dalam
sejarah terbentuknya negara, terdapat beberapa teori berkenanan dengan
munculnya ide tentang pembentukan negara :
1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)
Teori kontrak sosial atau perjanjian masyarkaat beranggapan
bahwa negara di bentuk berdasarkan perjanjian –perjanjian masyarakat
dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak
berpotensi menjadi negara tirani, karena keberlangsungannya bersandar
pada kontrak –kontak sosial antara warga negara dengan lembaga neara.
Penganut mazhab pemikiran ini antara lain Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan
JJ.Roussae.
Menurut Hobbes, kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni
keadaan selama belum ada negara, atau keadaan alamiah ( status naturalis,
state of nature ), dan keadaan setelah ada negara. bagi Hobbes, keadaan
alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan sejahtera, tetapi
sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial yang kacau,
tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan –ikatan sosial antar –
individu di dalamnya. Karenanya, menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak atau
perjanjian bersama individu-individu yang tadnya hidup dalam keadaan
alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak –hak kodrat yang dimilikinya
kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.

2. Teori Ketuhanan
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah dokrin teokritis. Teori ini
ditemukan di Timur maupun di belahan dunia Barat. Teori ketuhanan ini
memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana
Eropa pada Abad Pertengahan yang menggunakan teori ini untuk
membenarkan kekuasaan mutlak para raja. Doktrin ini memiliki pandangan
bahwa hak memerintah yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Mereka
mendapat mandat Tuhan untuk bertakhta sebagai penguasa. Para raja
mengklaim sebagai wakil Tuhan di dunia yang mempertanggungjawabkan
kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Praktik
kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach (penentang
raja). Menurut mereka, raja tiran dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan
dapat dibunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah
rakyat.
Dalam sejarah tata negara Islam, pandangan teokritis serupa pernah
dijalankan raja-raja Muslim sepeninggal Nabi Muhammad saw. Dengan
mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di
dunia (khalifatullah fi al-ard, dzilullah fi al-ard), raja-raja Muslim tersebut
umumnya menjalankan kekuasaannya secara tiran. Serupa dengan para raja-
raja di Eropa Abad Pertengahan, raja-raja Muslim merasa tidak harus
mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat, tetapi langsung
kepada Allah. Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin
politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah).
Pandangan ini berkembang menjadi paham dominan bahwa Islam tidak ada
pemisahan antara agama dan negara. Sama halnya dengan pengalaman
teokrasi di Barat, penguasa teokrasi Islam menghadapi perlawanan dari
kelompok-kelompok anti-kerajaan.

3. Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk
karena adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini,
kekuatan menjadi pembenaran (raison d’etre) dari terbentuknya sebuah
negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu kelompok
(etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses pembentukan suatu negara.
Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan di
mana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.
Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian di kalangan
suku-suku primitif, di mana sang pemenang pertikaian menjadi penentu
utama kehidupan suku yang dikalahkan. Bentuk penaklukan yang paling
nyata di masa modern adalah penaklukan dalam bentuk penjajahan Barat
atas bangsa-bangsa Timur. Setelah masa penjajahan berakhir di awal abad
ke-20, dijumpai banyak negara-negara baru yang kemerdekaannya banyak
ditentukan oleh penguasa kolonial. Negara Malaysia dan Brunei Darussalam
bisa dikategorikan ke dalam jenis ini.
B. Keberadaan Agama Dalam Konteks Negara Modern
Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam
sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur
semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam
sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya Islam tidak terdapat konsep
pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan
dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad
berperan ganda, sebagai seorang pemimpin negara sekaligus sebagai kepala
negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang, oleh
kebanyakan pakar, dinilai sangat modern di masanya. Posisi ganda Nabi
Muhammad di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis
besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan negara
atau sebaliknya Islam tidak meninggal konsep yang tegas tentang bentuk negara,
mengingat sepeninggal Nabi Muhammad tidak seorang pun dapat menggantikan
peran ganda beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima wahyu
Allah sekaligus. Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan
ajaran (Al-Kitab) bukan sebagai penguasa.
Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah
sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu
sendiri. Dengan ungkapan lain, politik atau negara dalam Islam hanyalah
sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam. Pandangan
Ibnu Taimiyah ini bersumber pada ayat Al-Qur’an (QS. 57: 25) yang artinya,
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan, dan Kami
ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai
manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-
Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha
Perkasa.” Bersandar pada ayat ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa
agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang” penolong. Hal
ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang
menjadi sesuatu yang mutlak bagai agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah
agama sendiri. Adapun politik, tidak lain sebatas alat untuk mencapai tujuan
luhur agama. Mengeleborasi pandangan Ibnu Taimiyah di atas, Ahmad Syafi’i
Ma’arif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai
dalam Al-Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al-Qur’an pada Al-Hasyr
(QS. 59: 7), tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara
figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.
Pandangan sejenis pernah juga dikemukakan oleh beberapa modernis Mesir,
antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut Haikal,
prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al-
Qur’an dan Al-Sunah tidak ada langsung yang berkaitan dengan
ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam Islam tidak
terdapat suatu sistem pemerintahan apa pun asalkan sistem tersebut
menjamin persamaan antara para warga negaranya, baik hak maupun
kewajiban dan perasamaan di depan hukum, dan pelaksanaan urusan negara
diselenggarakan atas dasar musyarawah (syura) dengan berpegang kepada
tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam. Hubungan Islam dan negara
modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga pandangan:
integralistik, simbiostik, dan sekularistik.

1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan
negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep
agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu
(integrated). Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
Konsep ini menegaskan bahwa Islam tidak mengenai pemisahan
antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah). Dalam pergulatan
Islam dan negara modern, pola hubungan integratif ini kemudian
melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa
kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan
prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik
identik dengan paham Islam ad-Din wa Dawlah (Islam sebagai agama
dan negara), yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam
(syariat Islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh
negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut paham Syi’ah di Iran.
Kelompok pecinta Ali R.A. ini menggunakan istilah Imamah
sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak dirujuk
kalangan Sunni.

2. Paradigma simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama berada pada
posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis
mutualita). Dalam pandangan ini, agama membutuhkan negara
sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.
Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama sebagai
sumber moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya. Paradigma
simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah
tentang negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini, Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur
kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar,48
karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak.
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut meligimitasi bahwa antara agama
dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling
membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam
paradigma ini tidak saja berasal dari adanya kontrak sosial (social
contract), tetapi diwarnai oleh hukum agama (syariat). Dengan kata
lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia
menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan
kepada kelompok paradigma ini.
3. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan
yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan
dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan
masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak
boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan
publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing
warga negara. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka
hukum positif yang laku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan
manusia melalui social contract yang tidak terkait sama sekali dengan
hukum agama (syariat). Konsep sekularstik dapat ditelusuri pada
pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah
kenabian Rasulullah saw. pun tidak ditemukan keinginan Nabi
Muhammad untuk mendirikan negara Islam. Negara Turki modern
dapat digolongkan ke dalam paradigma ini.

Dalam konsep Islam dalam negara ada 3 perspektif yaitu : Islam


dan demokrasi, Pemerintah (Islam), dan Paradigma Pemikiran Politik
Konsep Negara.
1. Islam dan Demokrasi
Sebelum masa Islam, orang-orang Arab memiliki suatu lembaga yang
disebut “dewan” (nadi), di mana orang-orang tua dari suatu suku atau suatu
kota memilih kepala pemerintah di tingkat suku maupun tingkat kota, hal
tersebut dengan tujuan untuk memusyawarahkan urusan-urusan mereka.
Lembaga inilah yang kemudian didemokratisasikan oleh Al-Qur‟an, dengan
menggunakan istilah nadi atau syura’. Perubahan yang dilakukan oleh
revolusi Islam adalah dalam rangka menghargai suku-suku tersebut, suatu
pemerintah pusat dibentuk dengan diberi kekuasaan penuh oleh para orang
tua suku-suku itu, yang benar-benar mencerminkan adanya kesepakatan di
antara seluruh anggota masyarakat.
Model-model gerakan islam modern dapat dilihat dari sikapnya yang
demokratis terhadap suatu negara. Sampai saat ini ada tiga model gerakan
islam yang berkembang. Pertama, menolak demokrasi sebagai bagian dari
islam, model ini beranggapan bahwa demokrasi merupakan sistem yang kufur
yang harus ditolak dan dijauhkan dari kehidupan masyarakat islam. Karena
demokrasi itu produk barat, sehingga harus dibuang jauh-jauh dalam
kehidupan masyarakat islam. Kelompok ini menolak proses demokrasi seperti
pemilu dan sebagainya, sekaligus menolak hasil-hasil proses demokrasi,
serta tidak menghormati segala produk dan penguasaa hasil pemilu. Kedua,
menerima demokrasi dan menerima semua hasil demokrasi. Ketiga, menolak
semua proses demokrasi namun menerima hasil demokrasi. Adanya ketiga
model pemikiran islam terkait demokrasi menunjukan bahwa umat islam
masih belum sepakat dengan demokrasi yang dipakai sebagai alat untuk
memperoleh kepemimpinan dalam masyarakat modern. namun ketiga model
pemikiran tadi masih sepakat bahwa sistem khalafaur rasyidin yang pernah
ada dan berjalan selama kurang lebih tiga puluh tahun semenjak rasulullah
saw wafat sebagai sistem yang paling baik, ideal dan patut diteladani.

2. Pemerintahan
Pemerintahan negara harus dipimpin oleh seorang yang mampu
mengelola secara efektif mengenai persoalan-persoalan negara yang
dipimpinnya. Menurut Islam, kepala negara merupakan pusat dari segala
kekuasaan eksekutif, kekuasaan sipil dan militer, serta kekuasaan yang
secara teknis dikenal dengan istilah kekuasaan “keagamaan”. Kepala negara
memegang kekuasaan tertinggi, baik dalam urusan sipil maupun keagamaan
dan sebagai panglima tertinggi dari angkatan bersenjata. Salah satu pemikir
berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses pembentukan
kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis. Pertama,
politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas
naluri politik manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan.
Kedua, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan
atas pertimbangan akal semata dengan tanpa berusaha mencari petunjuk
dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para filosof. Ketiga,
politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan
memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh syari‟ah.
Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat syari‟ah
adalah yang paling tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa
bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyebut jenis yang pertama
dengan sebutan al-Mulk al-Thabi’iy 2 yang kedua dengan sebutan al-siyâsah
al-madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah al-diniyah atau
syar’iyah. Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan
kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang
menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya
pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang
beragam mengenai bentuk pemerintahan itu.
Kewajiban ini didasarkan pada :
a) ijma shahabat,
b) menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau balau
akibat tidak adanya pemerintahan,
c) melaksanakan tugas-tugas keagamaan, d) mewujudkan keadilan
yang sempurna.3

3. Paradigma Pemikiran Politik Konsep Negara


Dalam pemikiran politik Islam konsep negara islam di klasifikasikan
menjadi 3 (tiga) kelompok paradigma Pertama, paradigma integral yakni
agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Paradigma ini didasarkan atas pandangan bahwa Islam merupakan agama
yang serba lengkap bagi seluruh aspek tatanan kehidupan, sehingga
legitimasi politik negara harus didasarkan atas syari’ah.37 Tuhan melalui nabi
Muhammad telah menurunkan peraturan untuk mengatur kehidupan manusia.
Tuhan Maha benar dan Maha adil, maka aturan-aturanNya pasti benar dan
adil. Karena manusia merupakan khalifah Tuhan di muka bumi, maka
manusia berkewajiban untuk mengelola kehidupan ini sesuai dengan aturan-
aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan .

2
Ibn Khaldun, Muqaddimah, teksnya berbunyi al-mulk manshibun hab‟iyyun li alinsân li annâ qad bayyannâ
anna al-basyar la yumkinu hayâtuhum wa wujûduhum illa bi ijtimâ‟ihim wa ta‟âwunihim wa ihtâjû min ajli
dzâlika ila al-wâzi‟ wa huwa al-hâkim „alaihim. hlm. 187. Dalam teks lain dikatakan: al-Mulk althabi‟iy huwa
hamlu al-kâffah „ala muqtadla al-ghardli wa al syahwah wa alsiyâsi wa huwa hamlu al-kâffah „ala muqtadla al-
nazhri al-aqliyyi fi jalbi al-mashâlih aldunyâwiyyah wa daf‟u al-madlâr hlm. 191
3
Hasby Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, 2002, Yogyakarta, Ar-Ruzz hlm. 50-57
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah berdirinya negara merupakan

B.

Anda mungkin juga menyukai