Anda di halaman 1dari 16

13 TRANSAKSI YANG TERLARANG DALAM

ISLAM
written by Budi Darmawan 4 Juni 2015 71390 views
Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah
transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor berikut :

I. Haram zatnya (objek transaksinya)

Suatu transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang


ditransaksikan merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama
Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol, narkoba, organ manusia, dll.

II. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya),

Setidaknya dari berbagai literatur yang kami jumpai


terbagi atas 13 jenis : 

1. MAYSIR


Semua bentuk perpidahan harta ataupun barang dari satu
pihak kepada pihak lain tanpa melalui jalur akad yang
telah digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi
melalui permainan, seperti taruhan uang pada permainan
kartu, pertandingan sepak bola, pacuan kuda, pacuan
greyhound dan seumpamanya. Mengapa dilarang? Karena (1)
permainan bukan cara untuk mendapatkan harta/keuntungan
(2) menghilangkan keredhaan dan menimbulkan
kebencian/dendam (3) tidak sesuai dengan fitrah insani
yang berakal dan disuruh bekerja untuk dunia dan akhirat.

 Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut


istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja
keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik
perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah.
Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.
Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan
dalam firman Allah sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.


Katakanlah, ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya’…” (QS. Al Baqarah : 219)

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar,


maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan  syetan, maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan” (QS Al-Maaidah : 90)

Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir.


Ketika melakukan perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung
maupun rugi secara abnormal. Suatu saat ketika seseorang beruntung ia
mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha yang
dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat
mengalami kerugian yang sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan
prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga diharamkan dalam sistem
keuangan Islam.

 2. GHARAR/TAGHRIR


Sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau
dipastikan kewujudannya secara matematis dan rasional
baik itu menyangkut barang (goods), harga (price) ataupun
waktu pembayaran uang/penyerahan barang (time of
delivery).

 Taghrir dalam bahasa Arab gharar, yang berarti : akibat, bencana,
bahaya, resiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir
berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang
mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang
mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis akibatnya, atau
memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
 Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa
yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Taghrir dan
tadlis terjadi karena adanya incomplete information yang terjadi pada salah
satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus taghrir terjadi bila
ada unsure ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to
both parties).
 Menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa
Umairah: Al-ghararu  manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada
baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu
adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita  dan
akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”.
Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian  tentang gharar sebagai al-
khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan
kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi
hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya
mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. Dengan
demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu
tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur
kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui
barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi
apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi,
kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan
sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian
(ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang
dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal
ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam
mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan
kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:

1.
Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis
yang ditimbang)

2.
3.
Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh
harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).

4.
5.
Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi

6.
7.
Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.

8.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis
Islam mempunyai perananan  yang begitu hebat dalam
menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling
meridhai, kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam
kategori bay’ al-gharar  yang diharamkkan.

Secara umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi 4 :

2.1. Gharar dalam Kuantitas

Misalnya seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli


dengan pabrik rokok atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus
ini, pada kedua belah pihak baik petani tembakau maupun pabrik rokok
mengalami ketidakpastian mengenai berapa pastinya jumlah tembakau yang
akan panen. Sehingga terdapat gharar atas barang yang ditransaksikan.

2.2. Gharar dalam Kualitas

Misalnya seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak


kambing yang masih berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik
penjual maupun pembeli tidak mengetahui dengan pasti apakah nantinya
anak kambing ini akan lahir dengan sehat, cacat, atau bahkan mati. Sehingga
terdapat ketidakpastian akan barang yang diperjualbelikan.

2.3. Gharar dalam Harga


Misalnya Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000
jika dibayar lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada
kasus ini, tidak ada kejelasan mengenai harga mana yang dipakai.
Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi motornya dalam waktu kurang dari 10
bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah yang menjadi suatu
ketidakpastian dalam transaksi.

2.4. Gharar menyangkut waktu penyerahan

Misalnya Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro.


Handphone tersebut bernilai Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat,
handphone tersebut hilang. Miro menawarkan Basti untuk membeli
handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan segera
diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian
mengenai kapan handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin
tidak akan ditemukan. Hal ini menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan
barang transaksi.

3. RIBA

Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba


dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt
berfirman;

َ‫الَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ الرِّبا ال يَقُو ُمونَ إِاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذلِك‬
‫بِأَنَّهُ ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل الرِّ با َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ با فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن‬
ُ
‫ار هُ ْم فِيهَا‬ِ َّ‫َربِّ ِه فَا ْنتَهَى فَلَهُ َما َسلَفَ َوأَ ْم ُرهُ إِلَى هَّللا ِ َو َم ْن عَا َد فَأولَئِكَ أَصْ َحابُ الن‬
َ‫خَ الِ ُدون‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat


berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata
(berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya”.  [TQS Al Baqarah (2):
275]

Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw

ٍّ ‫ِدرْ هَ ُم ِربَا يَأْ ُكلُهُ ال َّر ُج ُل َوهُ َو يَ ْعلَ ُم أَ َش ُّد ِم ْن ِس‬


ً‫ت َوثَاَل ثِ ْينَ ِز ْنيَة‬

“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia


mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat
daripada enam puluh kali zina”.  (HR Ahmad dari Abdullah
bin Hanzhalah).

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan).

Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan
membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat
dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip muamalat dalam Islam, yaitu: 1. Al-Qur’an “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
(QS. Ali Imran:130). “Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. (QS. Al Baqarah: 278-
279) 2. Hadits • Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda:
“Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama
dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah). • Jabir
berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang
yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian Beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama”. (HR.Muslim).

3.1 Jenis – Jenis Riba

 Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Riba hutang-piutang


dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan
riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi
riba fadhl dan riba nasi’ah. Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba,
berkata Ibnu Hajar al Haitsami: “Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu
riba fadl, riba al yaad, dan riba an nasiah. Al mutawally menambahkan jenis
keempat yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini
diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al Qur’an dan hadits Nabi. l. Riba
Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtaridh). 2. Riba Jahiliyyah Hutang dibayar
lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan. 3.Riba Fadhl Pertukaran antar barang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang
dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. 4.Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

3.2 Jenis Barang Ribawi

Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi
dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan
disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa
barang ribawi meliputi Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun
dalam bentuk lainnya. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan
jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-
buahan.

 4. BAI’ AL MUDTARR
Adalah jual beli dan pertukaran dimana salah satu pihak dalam keadaan
sangat memerlukan (in the state of emergency) sehingga sangat mungkin
terjadi eksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga terjadi transaksi yang
hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lainnya.

5. IKRAH

Segala bentuk tekanan dan pemaksaan dari salah satu pihak untuk
melakukan suatu akad tertentu sehingga menghapus komponen mutual free
consent. Jenis pemaksaan dapat berupa acaman fisik atau memanfaatkan
keadaan seseorang yang sedang butuh atau the state of emergency. Imam
Ibnu Taimiyah ra mengatakan bahwa dalam keadaan darurat (state of
emergency) seseorang yang memilik stock barang yang dibutuhkan orang
banyak harus diperintahkan untuk menjualnya dengan harga pasar, jika dia
enggan melakukannya pihak berkuasa dapat memaksanya untuk melakukan
hal tersebut demi menyelamatkan nyawa orang banyak. (Majmu al Fatawa,
vol. 29 hal.300).

6. GHABN

Adalah dimana si penjual memberikan tawaran harga diatas rata-rata harga


pasar (market price) tanpa disadari oleh pihak pembeli.

Ghabn ada dua jenis yakni: Ghabn Qalil (Negligible) dan Ghabn Fahish
(Excessive).

Ghabn Qalil: adalah jenis perbedaan harga barang yang tidak terlalu jauh
antara harga pasar dan harga penawaran dan masih dalam kategori yang
dapat dimaklumi oleh pihak pembeli.

Ghabn Fahish adalah perbedaan harga penawaran dan harga pasar yang
cukup jauh bedanya.
 

7. BAI’ NAJASH.


Dimana sekelompok orang bersepakat dan bertindak secara
berpura-pura menawar barang dipasar dengan tujuan untuk
menjebak orang lain agar ikut dalam proses tawar menawar
tersebut sehingga orang ketiga ini akhirnya membeli
barang dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga
sebenarnya. Larangan Rasul saw: “..Janganlah kamu
meminang seorang gadis yang telah dipinang saudaramu, dan
jangan menawar barang yang sedang dalam penawaran
saudaramu; dan janganlah kamu bertindak berpura-pura
menawar untuk menaikkan harga..”


 Adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan
demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap
suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara yang bisa
ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order
pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang
bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali
barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang
besar. Sebagai contoh : ini sangat rentan terjadi ketika pelelangan suatu
barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan
beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas untuk berpura-pura
melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata lain
untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.
8. IHTIKAR


Adalah menumpuk-numpuk barang ataupun jasa yang
diperlukan masyarakat dan kemudian si pelaku
mengeluarkannya sedikit-sedikit dengan harga jual yang
lebih mahal dari harga biasanya dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan lebih cepat dan banyak. Para ulama
tidak membatasi jenis barang dan jasa yang ditumpuk
tersebut asalkan itu termasuk dalam kebutuhan essential,
maka Ihtikar adalah dilarang. Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menimbun (barang & jasa kebutuhan
pokok) maka telah melakukan suatu kesalahan.”

 Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil


keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply
(penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya
dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni
menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain
tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan
barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi
kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik,
produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil
keuntungan yang berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh
pemerintah bahwa tarif bbm akan dinaikan, maka marak terjadinya
penimbunan bbm oleh para penjual nakal. Hal ini mereka lakukan agar
dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah dinaikkan, sehingga mereka
mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
9.GHISH

Menyembunyikan fakta-fakta yang seharusnya diketahui oleh


pihak yang terkait dalam akad sehingga mereka dapat
melakukan kehati-hatian (prudent) dalam melindungi
kepentingannya sebelum terjadi transaksi yang mengikat.
Dalam Common Law akad seperti ini dikenal dengan sebutan
Akad Uberrime Fidae Contract dimana semua jenis informasi
yang seharusnya diketahui oleh pelanggan sama sekali
tidak boleh disembunyikan. Jika ada salah satu informasi
berkenaan dengan subject matter akad tidak disampaikan,
maka pihak pembeli dapat memilih opsi membatalkan
transaksi tersebut.

10. TADLIS


Adalah tindakan seorang peniaga yang sengaja mencampur
barang yang berkualitas baik dengan barang yang sama
berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan
mendapat keuntungan lebih banyak Tindakan “oplos” yang
hari ini banyak dilakukan termasuk kedalam kategori
tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering melakukan
‘inspeksi mendadak’ ke pasar-pasar untuk memastikan
kejujuran para pelaku pasar dan menghindari konsumen dari
kerugian.


 Yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi
berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown
to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas
ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan.
Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality),
harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang
ditransaksikan.

Sebagai contoh : apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai


yang sudah sangat lemah, ketika kita menjual hp tersebut tanpa
memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka transaksi yang
kita lakukan menjadi haram hukumnya.

11.Talaqqil jalab atau talaqqi rukban

Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor


dari tempat lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah
pedagang dengan menaiki tunggangan.

Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi


rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan
barang dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan
di negerinya, lalu ia menawarkan harga yang lebih rendah
atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para
pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan
sebelum mereka mengetahui harga sebenarnya.

Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena
adanya pengelabuan.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

ُ‫ أَ ْن يُتَلَقَّى ْال َجلَب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬.


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari
talaqqil jalab” (HR. Muslim no. 1519).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,

– ‫ فَنَهَانَا النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم‬، ‫ُكنَّا نَتَلَقَّى الرُّ ْكبَانَ فَنَ ْشت َِرى ِم ْنهُ ُم الطَّ َعا َم‬
‫ق الطَّ َع ِام‬
ُ ‫أَ ْن نَبِي َعهُ َحتَّى يُ ْبلَ َغ بِ ِه سُو‬

“Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar,


lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas melarang kami untuk melakukan
jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di
pasar makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari no.
2166).

Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar


dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar
karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal
jika ia berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak
khiyar untuk membatalkan jual beli (Lihat Syarh ‘Umdatul
Fiqh, 2: 805). Dalam hadits Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ِ َ‫ق فَهُ َو بِ ْال ِخي‬


‫ار‬ َ ‫ فَ َم ْن تَلَقَّاهُ فَا ْشتَ َرى ِم ْنهُ فَإ ِ َذا أَتَى َسيِّ ُدهُ السُّو‬.‫ب‬
َ َ‫الَ تَلَقَّ ُوا ْال َجل‬

“Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa


yang menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas
pedagang luar tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu
dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia
punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)”
(HR. Muslim no. 1519).

Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada
tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja.
Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak adanya ‘illah (sebab
pelarangan).
 

12. Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk


orang desa (pedalaman)

Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota


yang menjadi calo untuk orang pedalaman atau bisa jadi
bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau
tidak perlu menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan saya
saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan
mendapatkan harga yang lebih tinggi”.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam  bersabda,

« َ‫س َما قَوْ لُهُ ال‬ ٍ ‫ت ِالب ِْن َعبَّا‬ ُ ‫ قَا َل فَقُ ْل‬. » ‫ض ٌر لِبَا ٍد‬
ِ ‫الَ تَلَقَّ ُوا الرُّ ْكبَانَ َوالَ يَبِي ُع َحا‬
َ ُ
‫اض ٌر لِبَا ٍد قَا َل الَ يَكونُ لهُ ِس ْم َسارًا‬ ِ ‫يَبِي ُع َح‬

“Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi


rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan
barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu
‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan jual beli hadir
li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi
calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).

Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah


(Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 84).

Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang
menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:

1. Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya


dibutuhkan oleh orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika
barang yang dijual jarang dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
2. Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika
harganya dibayar secara diangsur, maka tidaklah masalah.
3. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai
di kota. Jika ia tahu, maka tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9:
83)
4.
 

5.
13. Risywah (Suap)

6.
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang
diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk
memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan
atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan
kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-
Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan
kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu”
(lisanul Arab, dan mu’jam wasith).

Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan


membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang
salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani 148).

Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah;
Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya
sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama,
bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar.
Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah
Nabawiyah berikut ini:


Firman Allah ta’ala:

ِ َّ‫ال الن‬
‫اس‬ ِ ‫َوال تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا إِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن أَ ْم َو‬
َ‫اإلث ِم َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
ْ ِ‫” ب‬Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah
188)
 Firman Allah ta’ala:
ِ ْ‫ب أَ َّكالُونَ ِللسُّح‬
‫ت‬ ِ ‫َس َّما ُعونَ لِ ْل َك ِذ‬

”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar


berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah
42).

Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan


‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah
(suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh
Allah SWT


Rasulullah SAW bersabda:


‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الرَّا ِش َي َو ْال ُمرْ تَ ِش َي‬
َ ِ ‫لَ َعنَ َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima


suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan
oleh at-Tirmidzi).

 Nabi Muhammad SAW bersabda:


«: ‫ يا رسول هللا وما السحت؟ قال‬: ‫ك ّل لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا‬
‫»«الرشوة في الحكم‬

“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-


suht) nerakalah yang paling layak untuknya.” Mereka
bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht)
yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum” (Al-
Qurthubi 1/ 1708)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang


diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap.
Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang
disuap
Itulah 13 transaksi terlarang dalam Islam yang dapat kami himpun dari
berbagai sumber. Semoga Allah SWT melindungi kita dan anak keturunan 
kita dari seluruh jenis transaksi yang terlarang dan seluruh turunannya .
Insya Allah. Aamiin. 

Anda mungkin juga menyukai