ISLAM
written by Budi Darmawan 4 Juni 2015 71390 views
Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah
transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor berikut :
1. MAYSIR
Semua bentuk perpidahan harta ataupun barang dari satu
pihak kepada pihak lain tanpa melalui jalur akad yang
telah digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi
melalui permainan, seperti taruhan uang pada permainan
kartu, pertandingan sepak bola, pacuan kuda, pacuan
greyhound dan seumpamanya. Mengapa dilarang? Karena (1)
permainan bukan cara untuk mendapatkan harta/keuntungan
(2) menghilangkan keredhaan dan menimbulkan
kebencian/dendam (3) tidak sesuai dengan fitrah insani
yang berakal dan disuruh bekerja untuk dunia dan akhirat.
2. GHARAR/TAGHRIR
Sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau
dipastikan kewujudannya secara matematis dan rasional
baik itu menyangkut barang (goods), harga (price) ataupun
waktu pembayaran uang/penyerahan barang (time of
delivery).
Taghrir dalam bahasa Arab gharar, yang berarti : akibat, bencana,
bahaya, resiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir
berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang
mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang
mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis akibatnya, atau
memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa
yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Taghrir dan
tadlis terjadi karena adanya incomplete information yang terjadi pada salah
satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus taghrir terjadi bila
ada unsure ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to
both parties).
Menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa
Umairah: Al-ghararu manthawwats `annaa `aaqibatuhu awmaataroddada
baina amroini aghlabuhuma wa akhwafuhumaa. Artinya: “gharar itu
adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan
akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”.
Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian tentang gharar sebagai al-
khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan
kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi
hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya
mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. Dengan
demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu
tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur
kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui
barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi
apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi,
kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan
sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian
(ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang
dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal
ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam
mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan
kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis
yang ditimbang)
2.
3.
Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh
harga yang majhul (tidak diketahui ketika beli).
4.
5.
Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
6.
7.
Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.
8.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis
Islam mempunyai perananan yang begitu hebat dalam
menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling
meridhai, kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam
kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.
3. RIBA
َالَّ ِذينَ يَأْ ُكلُونَ الرِّبا ال يَقُو ُمونَ إِاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذلِك
بِأَنَّهُ ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل الرِّ با َوأَ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ با فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن
ُ
ار هُ ْم فِيهَاِ ََّربِّ ِه فَا ْنتَهَى فَلَهُ َما َسلَفَ َوأَ ْم ُرهُ إِلَى هَّللا ِ َو َم ْن عَا َد فَأولَئِكَ أَصْ َحابُ الن
َخَ الِ ُدون
Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan
membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat
dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan
prinsip muamalat dalam Islam, yaitu: 1. Al-Qur’an “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
(QS. Ali Imran:130). “Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu;
kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. (QS. Al Baqarah: 278-
279) 2. Hadits • Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda:
“Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama
dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah). • Jabir
berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang
yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian Beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama”. (HR.Muslim).
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi
dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan
disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa
barang ribawi meliputi Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun
dalam bentuk lainnya. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan
jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-
buahan.
4. BAI’ AL MUDTARR
Adalah jual beli dan pertukaran dimana salah satu pihak dalam keadaan
sangat memerlukan (in the state of emergency) sehingga sangat mungkin
terjadi eksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga terjadi transaksi yang
hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lainnya.
5. IKRAH
Segala bentuk tekanan dan pemaksaan dari salah satu pihak untuk
melakukan suatu akad tertentu sehingga menghapus komponen mutual free
consent. Jenis pemaksaan dapat berupa acaman fisik atau memanfaatkan
keadaan seseorang yang sedang butuh atau the state of emergency. Imam
Ibnu Taimiyah ra mengatakan bahwa dalam keadaan darurat (state of
emergency) seseorang yang memilik stock barang yang dibutuhkan orang
banyak harus diperintahkan untuk menjualnya dengan harga pasar, jika dia
enggan melakukannya pihak berkuasa dapat memaksanya untuk melakukan
hal tersebut demi menyelamatkan nyawa orang banyak. (Majmu al Fatawa,
vol. 29 hal.300).
6. GHABN
Ghabn ada dua jenis yakni: Ghabn Qalil (Negligible) dan Ghabn Fahish
(Excessive).
Ghabn Qalil: adalah jenis perbedaan harga barang yang tidak terlalu jauh
antara harga pasar dan harga penawaran dan masih dalam kategori yang
dapat dimaklumi oleh pihak pembeli.
Ghabn Fahish adalah perbedaan harga penawaran dan harga pasar yang
cukup jauh bedanya.
7. BAI’ NAJASH.
Dimana sekelompok orang bersepakat dan bertindak secara
berpura-pura menawar barang dipasar dengan tujuan untuk
menjebak orang lain agar ikut dalam proses tawar menawar
tersebut sehingga orang ketiga ini akhirnya membeli
barang dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga
sebenarnya. Larangan Rasul saw: “..Janganlah kamu
meminang seorang gadis yang telah dipinang saudaramu, dan
jangan menawar barang yang sedang dalam penawaran
saudaramu; dan janganlah kamu bertindak berpura-pura
menawar untuk menaikkan harga..”
Adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan
demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap
suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Cara yang bisa
ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order
pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang
bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali
barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang
besar. Sebagai contoh : ini sangat rentan terjadi ketika pelelangan suatu
barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan
beberapa peserta pelelangan dimana mereka bertugas untuk berpura-pura
melakukan penawaran terhadap barang yang dilelang, dengan kata lain
untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.
8. IHTIKAR
Adalah menumpuk-numpuk barang ataupun jasa yang
diperlukan masyarakat dan kemudian si pelaku
mengeluarkannya sedikit-sedikit dengan harga jual yang
lebih mahal dari harga biasanya dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan lebih cepat dan banyak. Para ulama
tidak membatasi jenis barang dan jasa yang ditumpuk
tersebut asalkan itu termasuk dalam kebutuhan essential,
maka Ihtikar adalah dilarang. Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menimbun (barang & jasa kebutuhan
pokok) maka telah melakukan suatu kesalahan.”
10. TADLIS
Adalah tindakan seorang peniaga yang sengaja mencampur
barang yang berkualitas baik dengan barang yang sama
berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan
mendapat keuntungan lebih banyak Tindakan “oplos” yang
hari ini banyak dilakukan termasuk kedalam kategori
tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering melakukan
‘inspeksi mendadak’ ke pasar-pasar untuk memastikan
kejujuran para pelaku pasar dan menghindari konsumen dari
kerugian.
Yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi
berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown
to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas
ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan.
Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality),
harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang
ditransaksikan.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena
adanya pengelabuan.
– فَنَهَانَا النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم، ُكنَّا نَتَلَقَّى الرُّ ْكبَانَ فَنَ ْشت َِرى ِم ْنهُ ُم الطَّ َعا َم
ق الطَّ َع ِام
ُ أَ ْن نَبِي َعهُ َحتَّى يُ ْبلَ َغ بِ ِه سُو
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada
tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja.
Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak adanya ‘illah (sebab
pelarangan).
« َس َما قَوْ لُهُ ال ٍ ت ِالب ِْن َعبَّا ُ قَا َل فَقُ ْل. » ض ٌر لِبَا ٍد
ِ الَ تَلَقَّ ُوا الرُّ ْكبَانَ َوالَ يَبِي ُع َحا
َ ُ
اض ٌر لِبَا ٍد قَا َل الَ يَكونُ لهُ ِس ْم َسارًا ِ يَبِي ُع َح
Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang
menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
5.
13. Risywah (Suap)
6.
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang
diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk
memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan
atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan
kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-
Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan
kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu”
(lisanul Arab, dan mu’jam wasith).
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah;
Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya
sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama,
bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar.
Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah
Nabawiyah berikut ini:
Firman Allah ta’ala:
ِ َّال الن
اس ِ َوال تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا إِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن أَ ْم َو
َاإلث ِم َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون
ْ ِ” بDan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah
188)
Firman Allah ta’ala:
ِ ْب أَ َّكالُونَ ِللسُّح
ت ِ َس َّما ُعونَ لِ ْل َك ِذ
Rasulullah SAW bersabda:
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم الرَّا ِش َي َو ْال ُمرْ تَ ِش َي
َ ِ لَ َعنَ َرسُو ُل هَّللا