Anda di halaman 1dari 4

Nama:IreneEuriliyaTempomona

NIM:19091101024

Mk: Penulisan Kreatif

Ringkasan materi 'Imajinasi - Imitasi Menulis Sastra' dalam buku Andri Wicaksono berjudul "Menulis
Kreatif Sastra dan Beberapa Model Pembelajarannya"

Sastra merupakan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan penggambaran kehidupan yang
bersifat imajinatif maupun non imajinatif dan berfungsi sebagai transformasi kehidupan faktual, baik
kehidupan pengarang maupun kehidupan sosial berdasarkan imajinasi sastrawan, dengan menggunakan
bahasa sebagai mediumnya.

Imajinasi berkembang dan sangat dekat dengan dunia siswa serta lingkungannya. Orang tua dan guru
dapat mengembangkan imajinasi siswa dengan menstimulasi tumbuh kembang potensi dan kemampuan
imajinatif siswa untuk diekspresikan dengan efektif. Berimajinasi mampu membuat siswa mengeluarkan
ide-ide kreatifnya.

Imajinasi siswa bisa saja lahir sebagai hasil imitasi, meniru dari tayangan yang ditontonnya atau
pengaruh dari dongeng yang didengarnya. Namun, juga bisa muncul secara murni dan orisinil dari dalam
benaknya. Jika guru mampu mengasah, mengembangkan, dan mengelola imajinasi siswa maka
berimajinasi akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan kecerdasan kreatifnya dan akan
menghasilkan kreasi yang menarik dan bermanfaat untuk perkembangan kepribadian juga otaknya.

Karya sastra lahir melalui perenungan imajinasi pengarang dengan realitas sosial yang ada dan
berkembang di masyarakat. Rene Wellek yang mengatakan bahwa kesusastraan dibatasi pada seni
sastra yang bersifat imajinatif. Kenyataan yang dilahirkan sastra, dalam hubungan ini adalah suatu karya
imajiner "a reflected reality" (realitas yang direfleksikan)." Terdapat tiga hal yang membedakan karya
sastra dengan karya tulis lainnya, yaitu sifat khayali, adanya nilai-nilai seni/estetika, dan penggunaan
bahasa yang khas. Karya sastra dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu (a) sastra imajinatif,
dan (b) sastra non-imajinatif. Kesamaan antara sastra imajinatif dan non-imajinatif adalah masalah
estetika seni. Unsur estetika seni meliputi keutuhan (unity), keselarasan (harmony), keseimbangan
(balance), fokus/pusat penekanan suatu unsur (right emphasis). Perbedaannya terletak pada isi dan
bahasanya. Isi sastra imajinatif sepenuhnya bersifat khayal/fiktif sedangkan isi sastra non-imajinantif
didominasi oleh fakta-fakta. Bahasa sastra imajinatif cenderung konotatif sedangkan bahasa sastra non-
imajinatif cenderung denotatif.

Bentuk karya sastra yang termasuk karya sastra imajinatif adalah:

Puisi : (1) Epik, (2) Lirik, (3) Dramatik

Prosa : (1) Fiksi (novel, cerpen, roman) dan (2) Drama (drama prosa, drama puisi)
Bentuk karya sastra yang termasuk sastra non-imajinatif adalah:

1. Esai 5. Sejarah
2. Kritik 6. Memoar
3. Biografi 7. Catatan harian
4. Otobiografi

Dalam usaha memahai karya sastra, para sastrawan menggunakan berbagai pendekatan intrinsik dan
ekstrinsik; bahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus. Semua itu dilakukan untuk
mendapat gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya tertentu, gagasan
yang hendak disampaikannya, ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyampaiannya. Semua ini
dilakukan sebagai usaha merebut makna yang terkandung di dalam karya tersebut serta menikmati
keindahannya.

Dalam pengajaran bahasa dan sastra di sekolah diberikan empat jenis keterampilan berbahasa. Keempat
jenis keterampilan tersebut adalah mendengarkan (menyimak), berbicara, membaca, dan menulis.
Dalam menguasai keterampilan berbahasa, awalnya anak mengenal bahasa melalui menyimak. Setelah
menyimak, anak berusaha untuk berbicara menirukan bahasa yang disimak. Tahap berikutnya, anak
akan berlatih membaca dan berusaha untuk mengenal bentuk tulisan (wacana). Setelah itu, Ia akan
berusaha untuk menulis. Jadi, antarkeempat keterampilan berbahasa tersebut memiliki keterkaitan yang
erat. Kegiatan tersebut dapat menjadi fokus pembelajaran. Berdasarkan aktivitas penggunaannya,
keterampilan membaca dan menyimak tergolong keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif
sedangkan keterampilan berbicara dan menulis termasuk keterampilan berbahasa yang bersifat
produktif.

Menulis adalah kegiatan menuangkan gagasan, ide, atau pendapat yang akan disampaikan kepada
orang lain (pembaca) melalui media bahasa tulis untuk dipahami tepat seperti yang dimaksud oleh
penulis. Secara aplikatif, Jabrohim dkk. (2003: 67) mengemukakan bahwa menulis kreatif sastra (naskah
drama) merupakan suatu kegiatan seseorang “intelektual” yang menuntut seorang penulis harus benar-
benar cerdas, menguasai bahasa, luas wawasannya, sekaligus peka perasaannya. Syarat-syarat tersebut
menjadikan hasil penulisan puisi berbobot intelektual, tidak sekedar bait-bait kenes, cengeng, dan
sentimental.

Langkah-langkah awal untuk menghasilkan sebuah tulisan sastra/fiksi yang baik.

Langkah 1. Menetapkan Niat: Mengapa Kita Menulis?

Segala sesuatu diawali dengan niat. Apapun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang melandasi.
Termasuk ketika kita menulis. Hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis
dan menulis. Sebuah keberanian bernyali dengan keingintahuan yang besar dan semangat mencoba
sesuatu yang baru.

Langkah 2: Beternak Ide


Kandangkan ide dalam laptop, komputer, USB, disket, mesin ketik, notes, agenda atau diary atau apapun
fasilitas penyimpan data yang kita miliki. Meskipun hanya berupa satu kalimat yang diperoleh dalam
lintasan di benak. Buku dan kontemplasi adalah makanan untuk otak dan jiwa. Jangan penuhi pikiran
dengan hal-hal kecil karena akan terlalu sedikit ruang untuk pikiran-pikiran besar. Kembangbiakkan ide,
yakni inseminasi dan kawin silang. Inseminasi adalah memasukkan elemen baru terhadap sebuah ide
atau kisah lama. Sementara kawin silang adalah memadukan dua unsur cerita yang berbeda. “Ikatlah
ilmu dengan menuliskannya,”

Langkah 3: Berbuka dengan Tiga Kata

Menulis adalah makanan jiwa. Ia merupakan bentuk ekspresi diri, merupakan bentuk keparipurnaan
psikologi seorang individu. Banyak menerawang ke langit atau menekuri bumi. ide harus dikejar, bukan
dinanti. “menuliskan apa yang terlintas, bukan memikirkan apa yang hendak ditulis”

Langkah 4: Menentukan Judul

Buatlah judul yang membuat penasaran, eye-catching, intinya tonjolkan kelebihan dan tutupi
kekurangan dalam tulisan. Ini sah-sah saja dalam dunia penulisan yang bisa dibilang sudah menjelma
menjadi sebuah industri, dengan pranata pemasaran (marketing) yang canggih. Basic needs yang
merupakan dasar piramida dalam survival hierarchy. Kebutuhan akan prestasi atau ekspresi diri adalah
bagian puncak piramida yang hanya akan dicapai bila perut sudah kenyang atau kebutuhan lain akan
keamanan terpenuhi. Lebih jauh, judul juga perlu disesuaikan untuk mengembangkannya menjadi
bentuk tulisan non-fiksi atau fiksi.

Langkah 5: Bermain Dialog dan Narasi

Pelukisan kejadian atau tindakan dalam sebuah tulisan dapat memperlancar sebuah tulisan untuk
dicerna dan diserap sari patinya. Di sinilah dialog berperan. Dialog dapat dimanfaatkan untuk
menyampaikan informasi. Dialog mengungkapkan informasi tentang perjuangan seseorang, pastikan
tidak memberi informasi yang sepele dan tidak relevan.

Hindari pendahuluan yang realistis; membuat ringkasan pendahuluan yang enak lalu langsung masuk ke
dalam dialog. Namun, terlalu banyak dialog (Mohammad Diponegoro,1991), bisa membuat tulisan
terlalu encer. Jadi, memainkan keduanya butuh nilai rasa. Keluarga atau sahabat diminta untuk
‘mencicipi’tulisan kita.

Langkah 6: Meniupkan Ruh Pada Sebuah Tulisan


Ruh, jiwa atau soul sebuah tulisan adalah hasil internalisasi visi, emosi, dedikasi, pengalaman, logika,
wawasan, semangat kontemplasi dan keterampilan teknis seorang penulis. Porsi keterampilan teknis
hanya sekian persen karena unsur-unsur lain yang lebih condong mengetuk perasaan atau kalbu justru
bisa jadi lebih dominan. Di samping memenuhi syarat-syarat ketertarikan pembaca dengan sebuah
tulisan: novelty (kebaruan, misalnya tema yang baru dan berbeda dari mainstream), similarity
(kemiripan dengan keseharian hidup mayoritas pembaca) dan visionary (memiliki pandangan jauh ke
depan). Ruh sebuah tulisan adalah virus yang menular. Ia seperti energi dari sebuah tulisan karena
pancaran energi cita-cita atau semangat sang penulis yang terejawantahkan melalui kata ke pembaca
dalam bentuk inspirasi. Punya visi ketika menulis. Alirkan emosi dan semangat sejadi-jadinya, dan
berjibaku ketika melahirkan sebuah tulisan.

Langkah 7: Menjadi Epigon: Salahkah?

Dalam kepenulisan, orang yang meniru gaya tulisan seorang penulis lazim disebut epigon. Sebagaimana
ekor yang takkan pernah mendahului kepala, seorang epigon tidak akan pernah berhasil mengungguli
penulis yang ditirunya. Prinsip belajar yang paling primitif adalah mengamati dan meniru. Prinsip copy
the master adalah kelaziman. “Kewajiban” dalam tahap awal pembelajaran menulis.

Bagi seorang penulis, menjadi epigon adalah seperti menjadi seorang bayi. Sebagai “bayi”, meniru atau
mengimitasi adalah perlu. Para penulis atau pengarang besar meraksasa karena mereka kreatif
membebaskan diri dari meniru gaya para penulis terdahulu yang dikagumi. Dan gaya pengarang
tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri. Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang
sendiri yang sesuai dengan watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri.
Hal penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam
alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya.

Anda mungkin juga menyukai