Anda di halaman 1dari 24

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/257355825

Menjual Laut, Mengail Kekuasaan: Studi Mengenai Konflik Hak Ulayat Laut di
Kepulauan Kei, Maluku Tenggara

Article · January 2005

CITATION READS

1 1,845

1 author:

Dedi Supriadi Adhuri


Indonesian Institute of Sciences
76 PUBLICATIONS   862 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Small-scale fisheries in Indonesia: benefits to households, the roles of women, and opportunities for improving livelihoods View project

Socio-cultural resilience of Adat Communities in Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Dedi Supriadi Adhuri on 26 May 2014.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Menjual Laut, Mengail Kekuasaan:
Studi Mengenai Konflik Hak Ulayat Laut di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara1

Dedi Supriadi Adhuri


Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB)-LIPI
dediadhuri@hotmail.com

A. Titik Tolak Kajian

Kajian yang ditulis dalam bentuk disertasi ini dikembangkan untuk mengkritik
dan sekaligus melengkapi dua wacana tentang pengelolaan sumberdaya laut.
Wacana pertama adalah berbagai teori yang bermuara pada penjelasan
tentang fungsi sistem kepemilikan (tenurial system) pada pengelolaan
sumberdaya laut. Wacana kedua adalah argumen-argumen yang
menjabarkan berbagai aspek dari praktek pengelolaan sumberdaya laut
tradisional yang berkembang di Maluku. Secara singkat isi dari kedua
wacana tersebut adalah sebagai berikut:

Wacana 1. Sistem kepemilikan sumberdaya laut (marine tenure) merupakan


salah satu issu sentral dalam wacana pengelolaan sumberdaya laut. Jika kita
lihat sejarah wacana ini, maka akan ditemukan bahwa popularitas issu ini
berawal dari artikel Hardin (1968) yang berjudul ‘The Tragedy of the
Commons.’ Dalam tulisannya yang diterbitkan dalam journal Science itu,
Hardin mengatakan bahwa sumberdaya alam yang bukan merupakan objek
kepemilikan atau dia sebut common property (milik umum) yang juga berarti
bukan milik siapa-siapa (free for all), cenderung akan mengalami over-
eksploitasi. Hal ini terjadi karena, terhadap sumberdaya alam tanpa
kepemilikan, secara individual orang akan terdorong untuk memaksimalkan
keuntungan pribadi tanpa memikirkan akibat buruknya yang akan diderita
oleh lingkungan dan manusia-manusia itu secara kelompok. Mengambil
contoh padang rumput, Hardin menjelaskan:

‘Adding together the component partial utilities, the rational herdsman


concludes that the only sensible course for him to pursue is to add
another animal to his herd. And another and another… But that is the
conclusion reached by each and every rational herdsman sharing a

1
Artikel ini merupakan ringkasan dari disertasi penulis pada Dept. Anthropology, Research
School of Pacific and Asian Studies, ANU, Canberra, 2002.

1
commons. Therein is the tragedy. Each man is locked into a system that
compels him to increase his herd without limit—in a world that is limited.
Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own
best interest in a society that believes in the freedom of the commons.
Freedom in a commons brings ruin to all.’ (hal. 20)

Teori Hardin ini sangat controversial pada jamannya. Teori ini diadopsi
banyak pihak untuk dijadikan landasan bagi kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam, laut termasuk di dalamnya. Tetapi, teori ini telah pula jadi
bahan polemik dan dikritik banyak pihak.

Salah satu kritik terhadap teori Hardin datang dari berbagai studi yang
menunjukkan bahwa, pada tidak sedikit komunitas tradisional, laut adalah
objek dari pemilikan komunal (communal marine tenure). Studi mengenai
communal marine tenure (selanjutnya disingkat CMT) yang popular dalam
antropologi sejak tahun 1970an ini (Ruddle dan Akimichi 1984, 1),
menunjukkan keyakinan Hardin mengenai prinsip bahwa laut adalah free for
all tidak selamanya benar (lihat juga McCay and Acheson 1987). Beberapa
komunitas terbukti mengembangkan pranata kepemilikan terhadap wilayah
laut. Ini berarti, pada komunitas-komunitas tersebut,

‘use rights for the resource are controlled by an identifiable group and …
there exist rules concerning who may use the resource, who is excluded
from using the resource, and how the resource should be used’ (Berkes
1989, 10).

Selain itu, keberadaan praktek kepemilikan komunal juga menunjukkan


bahwa kecenderungan pola fikir individualisme seperti diasumsikan Hardin
tidak selamanya benar. Malahan sebaliknya, berkembangnya pranata
kepemilikan komunal menunjukkan kemampuan komunitas mengembangkan
kerjasama untuk menghindari tragedy of the commons.

Lebih jauh, Berkes (1989, 11-12) mengatakan bahwa CMT memiliki lima
peran penting. Pertama, CMT menjamin keamanan penghidupan (livelihood
security) dengan memberi kesempatan kepada setiap anggota komunitas
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya melalui jaminan akses
terhadap sumberdaya alam penting. Peran kedua adalah sebagai alat
resolusi konflik. Berkes percaya bahwa CMT menyediakan mekanisma untuk
memberi akses pemanfaatan yang sama kepada semua anggota komunitas.
Dengan itu, kemungkinan konflik antar anggota komunitas sebagai akibat dari
perebutan akses terhadap sumberdaya tersebut dapat dicegah. Ketiga, CMT
berfungsi mengikat anggota-anggota komunitas menjadi suatu kesatuan
sosial yang kompak. Hal ini terjadi karena CMT secara eksplisit
menghubungkan keanggotaan komunitas dengan penguasaan terhadap

2
sumberdaya. Hal ini memfasilitasi terbentuknya kelompok kerja dan
kerjasama. Keempat, CMT bersifat konservasi karena ia biasanya terkait
dengan prinsip ‘taking what is needed.’ Terakhir, CMT berfungsi untuk
menjaga kelestarian ekologi. Hal ini dikaitkan dengan asumsi bahwa praktek
CMT didasari prinsip penyesuaian antara perilaku eksploitasi dengan siklus
alam.

Namun demikian, ini yang disayangkan oleh mereka yang sependapat


dengan Berkes, praktek pengelolaan sumberdaya laut tradisional, termasuk
CMT, semakin menghilang. Johannes (1978, 356) berpendapat bahwa
ekonomi pasar, hancurnya struktur otoritas tradisional, aplikasi aturan-aturan
dan praktek baru oleh negara, merupakan faktor-faktor yang telah
menyebabkan degradasi praktek CMT di Oceania. Johannes mengatakan
bahwa saat komunitas terkespose dengan ekonomi pasar, uang menjadi issu
sentral dalam kehidupan ekonomi mereka. Dalam usahanya memperoleh
sebanyak mungkin uang, orang terdorong untuk meningkatkan eksploitasi
terhadap sumberdaya laut dengan mengalokasikan lebih banyak waktu dan
mengadopsi teknologi yang lebih efektif. Ditambah dengan kebijakan
pembangunan pemerintah yang juga menekankan pada prinsip-prinsip
maksimalisasi keuntungan, pemimpin-pemimpin tradisional dipaksa oleh
masyarakat dan pemerintah untuk menghentikan ‘perlindungannya’ terhadap
praktek CMT. Kondisi demikian semakin parah pada saat pemerintah kolonial
atau modern mengaplikasikan undang-undang dan aturan-aturan baru atas
dasar tradisi Eropa, ‘freedom of the seas’ (Johannes 1978, 358).

Bagi Johannes, erosi CMT tidak hanya menyangkut masalah hilangnya


traditional wisdom tetapi juga lenyapnya sebuah potensi untuk menghindari
kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu mereka
menganggap erosi CMT lebih jauh haruslah dihindari. Untuk itu diusulkan
kepada pemerintah untuk secara formal mengakui keberadaan CMT.
Johannes (1978, 360) percaya bahwa pengakuan legal formal pemerintah
terhadap CMT ‘akan menguatkan kemampuan komunitas untuk mengawasi
sumberdaya laut—sesuatu yang seringkali dilakukan secara sukarela jika
hak-hak mereka terlindungi. [Sebaliknya] legislasi yang melemahkan atau
menihilkan CMT meningkatkan tanggung jawab pemerintah dan menambah
beban departemen perikanan yang seringkali telah kekurangan staf.’ Dengan
demikian, diyakini legislasi yang sesuai dan melindungi CMT tidak hanya
akan melanggengkan kapabiltias masyarakat tradisional tetapi juga menjamin
praktek pengelolaan sumberdaya laut yang effektif dan berkelanjutan. Selain
itu, legislasi ini akan mengurangi tanggung jawab pemerintah dalam
hubungannya dengan perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan serta
pendanaan praktek pengelolaan sumberdaya laut.

3
Wacana 2. Wacana pengelolaan tradisonal sumberdaya alam di Maluku
perpusat pada apa yang disebut sebagai sasi. Istilah ini mengacu pada suatu
sistem dari kepercayaan, aturan dan ritual berkenaan dengan larangan
temporal untuk mengakses dan atau mengeksploitasi suatu wilayah atau
sumberdaya tertentu. Saat aturan sasi diterapkan (tutup sasi) terhadap
wilayah atau sumberdaya tertentu, maka tidak seorangpun --termasuk pemilik
wilayah atau sumberdaya—diperbolehkan mengambil atau memanfaatkan
wilayah atau sumberdaya yang bersangkutan sampai dengan larangan itu
dicabut (buka sasi). Saat sasi diaplikasikan terhadap pohon kelapa, misalnya,
itu berarti tidak seorangpun diperbolehkan untuk mengambil, bahkan
membawa kelapa yang telah jatuh. Hanya bila sasi dibuka, maka pemilik
pohon diperbolehkan memetik dan membawa buah kelapa ke rumah mereka.
Hal serupa akan berlaku jika sasi diperlakukan terhadap suatu wilayah, laut
misalnya. Maka selama sasi ditutup, kegiatan manusia di atas wilayah
tersebut sangat dibatasi.

Sasi dibeda-bedakan berdasarkan sumberdaya atau wilayah yang


dikenainya, sistem kepercayaan, pemimpin dan lokasi ritual.2 Berkenaan
dengan sumberdaya, dikenal apa yang disebut sasi kelapa, sasi lola (Top
shell atau Trochus niloticus) dan lain-lain. Dikenal juga apa yang disebut sasi
darat dan sasi laut yang masing-masing mengacu pada sasi yang
diaplikasikan pada wilayah darat dan laut tertentu. Mengacu pada sistem
kepercayaan yang mendasari sasi dan pemimpin ritualnya, dikenal sasi
negeri, sasi gereja dan sasi mesjid. Masing-masing nama ini secara berturut-
turut mengacu kepada sistem kepercayaan dan pemimpin tradisional, sistem
kepercayaan Kristen, pastor atau pendeta sebagai pemimpin dan gereja
sebagai tempat ritualnya serta Islam, imam dan mesjid.

Hanya saat membicarakan tentang sasi laut lah –juga disebut sasi meti atau
sasi labuhan—secara khusus kita membicarakan pengelolaan tradisional
sumberdaya laut. Sebab, sasi laut memang menjadikan wilayah laut sebagai
objek dari larangan yang terdapat dalam tradisi itu. Dalam ritual penutupan
sasi, pemimpin ritual – atau orang lain yang memang bertugas khusus—akan
mengumumkan batas-batas laut yang menjadi wilayah sasi. Dia juga akan
mengumumkan sumberdaya apa saja yang dikenai aturan sasi di wilayah
tersebut. Jika memang di wilayah tersebut masih diperbolehkan adanya
kegiatan eksploitasi sumberdaya yang tidak dikenai sasi, maka pada ritual itu
akan juga diberitahukan alat apa dan bagaimana caranya eksploitasi bisa
dilakukan di tempat itu. Lebih jauh, jika sasi yang dipakai adalah sasi negeri,
maka sangsi atas pelanggaran juga akan diumumkan pada acara tersebut.

2
Lihat Monk, De Fretes and Reksodihardjo-Lilley (1997) untuk penjelasan lebih rinci.

4
Saat sasi dibuka, orang yang sama akan memimpin ritual buka sasi. Selain
berkomunikasi dengan dunia ghaib, ritual ini juga berfungsi untuk
memberitahukan kepada seluruh anggota masyarakat tentang bagaimana
kegiatan pemanenan harus dilakukan, alat apa yang boleh dipakai, berapa
banyak sumberdaya yang boleh diambil, siapa saja yang boleh terlibat dan
berapa lama sasi dibuka.

Jika kita bandingkan praktek sasi dengan pengelolaan sumberdaya laut


‘modern,’ maka sasi merupakan kombinasi dari seasonal prohibition, limiting
entry (pembatasan jumlah nelayan atau unit teknologi penangkapan), gear
restriction (larangan terhadap jenis teknologi penangkapan tertentu) dan
quota (batasan terhadap jumlah hasil tangkapan). Keseluruhan aturan-aturan
tersebut biasanya diadakan untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya
laut sedemikian rupa sehingga sustainability dari sumberdaya bisa
dipertahankan. Namun demikian, dalam praktek-praktek pengelolaan modern,
seringkali aturan-aturan tersebut diciptakan, diaplikasikan dan dievaluasi oleh
pemerintah saja tanpa melibatkan stakeholder lain. Aplikasi aturan-aturan ini
seringkali mengalami berbagai macam masalah baik karena keterbatasan
pemerintah untuk membuat dan mengawasi implementasinya, maupun
karena resistensi dari stakeholder lain.

Beranjak kepada wacananya, kita bisa mengatakan bahwa sasi mulai


dibicarakan dalam berbagai tulisan dan seminar pada tahun 1980an. Pada
awalnya praktek sasi dibicarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
pusat penelitian dan akademisi yang berbasis di Ambon. Terinspirasi oleh
maraknya gerakan pelestarian alam dan pembelaan terhadap masyarakat
adat atau lokal, LSM di Ambon melakukan penelitian dan pemberdayaan.
Salah satu kegiatan pemberdayaan dilakukan dengan mendorong tokoh-
tokoh adat untuk merevitaliasi dan sekaligus menuliskan tradisi mereka.
Sementara itu, penelitian diarahkan untuk mengidentifikasi unsur-unsur
pengelolaan sumberdaya alam tradisional dan distribusinya. Di Maluku, hasil-
hasil ini telah membuahkan dua hal, pertama adalah penghargaan berupa
kalpataru, dan, kedua, tersedianya cukup bahan kajian untuk
mengembangkan wacana tentang mengelolaan tradisional sumberdaya alam,
khususnya laut.

Pada tahap awal ini, sasi dilihat sebagai:

‘[S]angat menunjang konservasi sumber hayati laut . . . selain sangat


bermanfaat karena mengatur pemanfaatan, pengelolaan dan
perlindungan sumberdaya hayati tersebut, juga menjamin distribusi hasil
panen yang merata.’ (Anonim 1991, x; lihat juga Pusdi-PSL Unpatti
1995).

5
Pemahaman di atas bersesuaian dengan definisi sasi dari seorang pemimpin
lembaga penyelenggara sasi (kewang), di Haruku, Maluku Tengah. Dalam
buku yang ditulisnya, dikatakan bahwa sasi adalah larangan untuk memanen
sumberdaya alam tertentu dengan tujuan untuk melindungi kualitas dan
populasi dari sumberdaya alam (binatang atau tanaman) tersebut ’ (Kissya
1995, 4). Pandangan seperti iti juga didukung Prof. Lokollo, seorang ahli
hukum di Ambon. Bahkan Lokollo (1988) berargumen lebih jauh dengan
mengatakan bahwa sasi mestinya dijadikan sebagai modal dasar untuk
kebijakan nasional dalam mengembangan ‘tata bina mulia lingkungan
pedesaan.’

Sampai saat ini, argumen seperti di atas masih diyakini kebenarannya oleh
sebagian orang, namun pada saat akademisi dan ahli dari berbagai lembaga
dari tempat yang beraneka, dalam dan luar negeri, terlibat pada awal tahun
1990an, perpspektif yang lebih kritis mulai berkembang. Perspektif ini
mempertanyakan kebenaran argumen-argumen yang berkembang
sebelumnya dan menganggap bahwa konstruksi terhadap sasi dikembangkan
tanpa mengacu pada konteks sejarah dan sosial politiknya (Pannell 1997).
Benar saja, dengan menganalisa dinamikanya dalam dimensi waktu dan
tempat berbeda, tampak bahwa sasi memang berwajah lain dari pada wujud
yang telah digambarkan sebelumnya. Dalam konteks seperti ini sasi bukanlah
suatu wujud yang solid dan tunggal tetapi:

‘sasi has undergone considerable change over the past 400 years… it
has developed from a ritual protection of communal resources to a
governmentally regulated regime of agro-ecological control of private and
common resources, and from there to a largely commercialized and
privatized means of theft prevention.’ (Benda-Beckmann, Von Benda-
Beckmann and Brower 1992, 5)

Menariknya, analisis historis menunjukkan bahwa tradisi sasi lebih sering


terwujud sebagai hasil modifikasi, jika bukan ciptaan, dari elit-elit politik baik
lokal maupun dari luar komunitas yang mempraktekkannya. Misalnya, pada
penghujung jaman kolonial, kodifikasi aturan-aturan sasi dilakukan oleh elit
tradisional di Maluku berkolaborasi dengan elit politik pemerintah kolonial.
Tujuan kodifikasi ini adalah untuk memenuhi interes politik dan ekonomi dari
dua golongan elit tersebut (Zerner 1994, 1087). Dalam kurun waktu
belakangan, tepatnya tahun 1960an, inisiatif elit juga jelas tampak pada
revitalisasi sasi di desa Nolloth, Saparua (Zerner 1991). Inisiatif ini dirangsang
oleh perkembangan pasar terhadap bia lola (topshell, Trochus niloticus).
Dengan berkembangnya pasar untuk sumberdaya laut ini, bapak raja (kepala
desa) Nolloth mulai membicarakan tradisi sasi lola dan kemudian
mengaplikasikannya pada tahun 1968. Namun demikian, kepala desa telah

6
memodifikasi aturan sasi. Sebelum sasi diberlakukan, wilayah laut (petuanan
laut atau labuhan) milik desa adalah hak semua warga desa. Artinya, semua
warga desa mempunyai hak untuk mengakses wilayah tersebut dan
mengambil sumberdaya yang ada di dalamnya, termasuk bia lola. Pada saat
sasi diberlakukan, kepala desa mendeklarasikan bahwa wilayah laut desa
menjadi di bawah penguasaan pemerintah desa dan hak pengelolaan juga
sepenuhnnya berada di tangan aparat desa. Ini berarti, semua penghasilan
yang didapat dari panen lola adalah untuk desa dan biasanya digunakan
untuk membangun fasilitas umum di desa tersebut. Terhadap perubahan ini,
sebagian penduduk mempertanyakan mengapa kepala desa meniadakan hak
mereka dan kemanakah larinya uang hasil penjualan kulit lola. Mereka juga
mempertanyakan mengapa justru penduduk dari luar desa yang disewa oleh
aparat desa untuk memanen lola saat sasi di buka. Tindakan ini tidak hanya
meniadakan hak penduduk desa, tetapi juga mengalihkan keuntungan yang
mungkin di dapat kepada penduduk luar yang sebenarnya menurut aturan
adat yang mereka yakini, tidak mempunyai hak untuk itu.

Kajian-kajian yang melihat pelaksanaan sasi yang sudah direvitalisasi pada


tahun 1990an memberikan pemahaman lebih jauh tentang sosok pengelolaan
sumberdaya laut tradisional ini. Pannell (1997, 297), misalnya, mencatat
bahwa:

‘the practices referred to and associated with sasi in the marine


environment of Luang [south-eastern Maluku] minimally involve the
interest and actions of residents of this island, the commercial
machinations of regional traders and internationals exporters, the
fashions and fads of distance consumers, the compliance and blessing of
the Church and its agents, as well as the endorsement of village
representatives of local government institutions and the support of
government personnel from other jurisdictions. In addition, let us not
forget those fishermen who, though their non-sanctioned exploitation of
local marine resources, contribute to the social delimination of the
efficacy of invoking sasi.’

Setelah mencatat keterlibatan berbagai macam agensi serta kepentingan


dalam pelaksanaan sasi, Pannell menyimpulkan bahwa sasi sepertinya
mempunyai arti yang berbeda-beda bagi agensi yang berlainan dengan
kepentingan yang berlainan pula. Contohnya:

… for the traders the opening of sasi ensures that they enjoy exclusive
rights of purchase [on the harvest]… for people on Luang, the payments
made by traders [for his monopolistic rights to buy the harvest] also
amount to de facto recognition of their rights and interests as customary

7
and communal title holders of these marine areas. (Pannell 1997, 296)

Studi yang mengevaluasi pelaksanaan sasi di Desa Watlar, Kei Besar, juga
menemukan realitas bahwa penguasaan yang bersifat monopoli oleh
pemimpin tradisional telah mendorong penduduk untuk melakukan
pemanenan lola secara berlebih (over-exploitation) pada saat buka sasi
(Antunès 2000; Antunès and Dwiono 1998). Studi ini juga mempertanyakan
issu pemerataan distribusi hasil panen karena pada kenyataannya tidak
semua orang mendapat jatah yang sama.

Selanjutnya, wacana yang lahir atas kajian terhadap pelaksanaan sasi


kontemporer juga mempertanyakan aspek konservasi yang dalam wacana
sebelumnya telah dianggap sebagai aspek inheren dalam sasi. Setelah
dianalisis dalam konteks sosial politiknya, tampak bahwa pemimpin
tradisional, LSM dan akademisi telah secara aktif terlibat dalam proses
‘menghijaukan’ sasi. Dalam hal ini, Zerner (1994) menulis bahwa konteks
politik dari revitalisasi tradisi sasi yang telah menjadi lebih ‘hijau’ adalah
berkembangnya kesadaran tentang lingkungan dan resistensi elit lokal serta
LSM atas penguasaan sumberdaya oleh pemerintah pusat dan pihak industri.
Oleh karena itu, tumbuhnya kembali tradisi sasi yang hijau bisa dianggap
sebagai bagian dari pemberdayaan komunitas local (adat) yang telah
termarjinalisasi dan bukan atas kesadaran masyarakat local secara
keseluruhan akan perlunya konservasi lingukungan.

Menyimak kedua wacana di atas dan melihat apa yang terjadi di Kepulauan
Kei, tampak ada gap antara kedua wacana dengan apa yang terjadi di sana.
Misalnya, dalam konteks pengelolaan sumberdaya laut, orang Kei lebih
banyak bicara tentang penguasaan petuanan laut (hak ulayat laut) dari pada
sasi. Pada prakteknya memang tradisi sasi hanya dijalankan di beberapa
desa saja, terutama di pantai timur pulau Kei Besar. Sementara itu issu
petuanan laut tampak semakin ramai dibicarakan karena memang banyak
konflik terjadi berkenaan dengan hal ini. Di Kei Tanimbar, tempat di mana
Barraud (1979) tidak melihat issu hak ulayat penting, telah terjadi konflik
berkenaan dengan kontrak antara kepala desa dan perusahaan ikan dari luar.
Konflik berkenaan batas petuanan laut antara desa Sather dan Tutrean di Kei
Besar juga sangat serius, karena tidak hanya telah mengganggu pelaksanaan
sasi laut tetapi juga telah mengorbankan nyawa manusia, dibakarnya
mayoritas rumah di Sather pada tahun 1988 dan konflik belum berkesudahan
sampai saat penelitian dilakukan (1996-1997). Konflik yang terjadi di
beberapa desa lain juga tidak kalah mengkhawatirkan baik dalam pengertian
kerusakan akibat konflik tersebut maupun relevansinya terhadap pengelolaan
sumberdaya laut.

8
Hal-hal yang terjadi di Kei tidak terjelaskan dalam kedua wacana di atas. Jika
wacana tentang CMT mengatakan fungsinya untuk mengikat komunitas
menjadi suatu kesatuan yang utuh dan mengembangkan kerja sama, yang
terjadi di Kei justru sebaliknya, banyak konflik terjadi berkenaan dengan
praktek CMT. Sementara itu, wacana tentang pengelolaan sumberdaya laut
tradisional di Maluku juga hampir tidak menyentuh isu CMT. Padahal, seperti
telah dijelaskan pada wacana 1, dalam wacana pengelolaan sumberdaya laut
masalah resource property merupakan salah satu isu sentral. Selain itu,
fondasi pelaksanaan sasi itu sendiri sebenarnya adalah praktek CMT.
Bagaimana mungkin sasi bisa dilakukan jika tidak ada klaim kepemilikan atau
penguasaan terhadap wilayah lautnya? Tidak terlaksananya sasi di Sather
dan Tutrean akibat konflik batas petuanan laut juga menunjukkan hal ini.
Artinya, dua wacana di atas memang memiliki kelemahan dan lubang pada
kajian tentang hak ulayat laut. Kajian dalam disertasi ini dimaksudkan untuk
mengeoreksi kelemahan dan menutupi lubang dari dua wacana ini.

B. Argumen-argumen Utama

Dengan titik tolak pada pemahaman dan kritik penulis terhadap dua wacana
di atas, disertasi difokuskan untuk membahas empat issu pokok. Issu-issu
tersebut adalah: (1) karakteristik prakek hak ulayat laut (communal marine
tenure, CMT), (2) konteks politik CMT, (3). status hukum CMT dan
relevansinya terhadap praktek pengelolaan sumberdaya laut dan (4).
pengaruh ekonomi pasar terhadap praktek CMT. Melalui analisis terhadap
data yang dikumpulkan selama setahun penelitian lapangan di Kep. Kei3
penulis membangun argumen-argumen pokok dalam masing-masing fokus
kajian sebagai berikut:

1. Karakteristik Hak Ulayat Laut (CMT)4. Konsep kunci praktek CMT di


Kepulauan Kei adalah petuanan laut. Konsep ini mengacu pada wilayah laut
yang diklaim di bawah pemilikan atau penguasaan suatu kelompok sosial
tertentu. Kelompok sosial yang mengklaim memiliki atau penguasai petuanan
tertentu beragam mulai dari satuan kekerabatan (fam), sebuah kelompok
pemukiman (kampung), sebuah desa (negeri), gabungan dari beberapa desa
di bawah penguasaan ‘raja’ (ratschap), paruh masyarakat (ur siw dan lor lim)
sampai keseluruhan orang Kei. Penentuan batas fisik petuanan maupun
kelompok sosial yang menguasainya ditentukan oleh sejarah lisan (toom)
tentang wilayah tersebut dan peranan orang-orang tertentu dalam proses

3
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan meliputi:
observasi—termasuk obrservasi partisipasi, wawancara dan pengumpulan naskah.
4
Dalam disertasi hal ini dijelaskan dalam bab 5.

9
pembentukan pemerintahan tradisional komunitas yang bersangkutan.

Selain batas fisik wilayah laut dan kelompok sosial yang menguasainya,
sejarah lisan juga menentukan distribusi hak-hak atas wilayah laut di dalam
kelompok sosial itu sendiri. Dalam konteks ini, praktek CMT yang dijalankan
masyarakat Kei, mengenal dua macam hak atas wilayah dan sumberdaya
laut, yakni hak makan (use right) dan hak milik (property right). Hak makan
adalah hak untuk mengakses wilayah laut dan mengeksploitasi sumberdaya
yang ada di dalamnya. Hak ini didistribusikan tidak hanya kepada semua
anggota tetapi juga mereka yang terkait hubungan perkawinan dengan
anggota komunitas. Distribusi seperti ini memungkikan orang yang bukan
anggota komunitas untuk mengakses dan mengeksploitasi sumberdaya laut.
Hak milik (property right) mengacu pada kombinasi antara hak makan dan
hak untuk mentransfer hak makan kepada pihak lain. Namun, berbeda
dengan hak makan, hak milik hanya didistribusikan kepada anggota utama
(core members) dari komunitas tersebut. Mereka yang termasuk ke dalam
core member adalah anggota dari kelompok kekerabatan (fam) yang nenek
moyangnya terlibat langsung dalam pembentukan komunitas itu pada masa
lampau.5 Distribusi hak milik inilah yang menunjukkan bahwa prinsip equal
distribution tidak berlaku pada praktek CMT di Kei.

Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa sejarah lisan yang mendasari klaim
terhadap petuanan seringkali terbuka terhadap interpretasi yang berbeda dan
seringkali pula ada lebih dari satu versi sejarah lisan yang menjelaskan
tentang satu wilayah petuanan yang sama. Kenyataan ini seringkali
menyebabkan terjadinya konflik mengenai batas fisik petuanan laut dan
kelompok mana yang menguasai wilayah tersebut. Contoh-contoh kasus
yang digunakan untuk menjelaskan fokus lain dari kajian disertasi ini akan
memperjelas hal ini.

Jika kita hubungkan karakteristik CMT di atas dengan wacana yang telah
dijelaskan terdahulu, maka seperti halnya kritik terhadap teori Hardin, praktek
CMT juga nampaknya bervariasi dari satu komunitas ke komunitas lain.
Paling tidak, praktek CMT di Kep. Kei tidaklah seperti yang dibahas dalam
wacana CMT sebelumnya. Ada dua perbedaan karakteristik CMT di Kei
dengan karakteristik CMT yang dikembangkan dalam wacana sebelumnya.
Perbedaan pertama terletak pada kenyataan bahwa definisi-definisi wilayah
dan satuan sosial pemegang hak atasnya pada praktek CMT di Kei bersifat
contested. Pada satu pihak ini bisa dianggap menunjukkan fleksibilitas dari

5
Kelompok kerabat seperti ini dalam antropologi dikenal dengan nama origin kin-group (lihat
misalnya Fox 1996). Karena peran penting dari nenek moyang kelompok kerabat ini,
biasanya wakil dari mereka menempati posisi tertentu pada struktur pemerintahan tradisional
di komunitas yang bersangkutan

10
praktek CMT itu, tetapi pada pihak lain realitas ini bisa juga menjadi sumber
konflik. Perbedaan kedua adalah bahwa hak atas wilayah dan sumberdaya
laut pada praktek CMT di Kei tidak didistribusikan secara merata kepada
semua anggota kelompok sosial pemegang hak itu. Perbedaan ini
mempertanyakan kebenaran anggapan bahwa CMT dapat menjamin
distribusi sumberdaya yang merata dan berfungsi untuk menghindari konflik
antar pemakai sumberdaya tersebut (lihat Berkes 1989).

2. Konteks politik CMT. Bab enam dan sembilan dalam disertasi khusus
membicarakan keterkaitan antara praktek CMT dengan dinamika politik lokal.
Bab enam menjelaskan konflik mengenai hak ulayat laut yang terjadi di desa
Dullah Laut, Kei Kecil. Konflik ini dipicu oleh pemberiaan ijin dari seorang
keturunan pemimpin tradisional desa (orang kaya, selanjutnya disebut A)
dengan pihak perusahaan penangkap ikan kerapu (garopa) yang dimiliki oleh
seorang warga Negara Taiwan (selanjutnya disebut B). Dengan
mengatasnamakan pemilik petuanan, A memberi ijin kepada B untuk
membangun base-camp dan nenangkap ikan di sebagian petuanan Dullah
Laut. Kontrak kedua belah pihak ini, mendatangkan kemarahan dari sebagian
penduduk desa yang menganggap bahwa kehadiran B dan anak buahnya di
petuanan Dullah Laut adalah ‘illegal’ dengan tiga alasan. Pertama, kehadiran
mereka di petuanan desa tanpa ijin dari kepala desa yang menjadi pimpinan
formal desa tersebut. Kedua, A dianggap tidak mempunyai hak untuk
memperbolehkan pihak lain melakukan eksploitasi di petuanan desa karena
dia bukanlah pemilik petuanan atau mempunyai hak untuk mewakilinya.
Menurut mereka, pemilik petuanan adalah keseluruhan anggota dari
kelompok kerabat (fam) inti yang ada di desa yang disebut sebagai Ohoiroa
fauur. Ketiga, dilihat dari peralatan yang telah disiapkan, diduga A akan
menggunakan bahan beracun (potassium cyanida) pada kegiatan
penangkapan ikannya. Dengan keyakinan ini, mereka kemudian mendatangi
dan mengusir pihak perusahaan yang sedang membangun base-camp di
salah satu pulau yang termasuk wilayah desa.

Analisis terhadap kasus ini menunjukkan bahwa sebenarnya konflik ini terkait
kontestasi antara tiga orang elit --dan kelompok mereka-- yang terlibat dalam
kontestasi untuk menjadi kepala desa di Dullah Laut. Ketiga orang tersebut
adalah (1) A yang merasa mempunyai hak untuk menjadi kepala desa karena
beliau adalah keturunan dari pemimpin tradisional (orang kaya), (2) kepala
desa, yang, tentu saja karena telah memenangkan proses pemilihan kepala
desa dan diangkat oleh pemerintah merasa sebagai pemimpin desa itu dan
(3) kepala dusun Ohosaran6. Ketiga elit ini, dengan dukungan dari sebagian

6
Desa Dullah Laut terdiri dari dua kampung (dusun): Kampung Islam (Ohoislam) dan
Kampung Kristen (Ohoisaran). Meskipun secara tradisional kedua kampung ini merupakan
wilayah satu desa (negeri), tetapi pada awal kemerdekaan (1950an) sampai dengan 1989,

11
penduduk desa itu, sudah lama terlibat persaingan untuk memeperebutkan
posisi kepala desa. Jika A dan kepala desa memperebutkan posisi kepala
desa Dullah Laut, kepala dusun Ohoisaran lebih menginginkan pemekaran
desa itu menjadi dua. Pemecahan ini akan membuka kesempatannya untuk
menjadi kepala desa di Desa Ohoisaran.

Dalam konteks perebutan posisi kepala desa inilah, praktek CMT menjadi
sangat strategis bagi semua pihak yang terlibat kontestasi. Bagi A,
tindakannya memberi ijin B untuk membangun base-camp dan melakukan
usaha perikanan di petuanan Dullah Laut merupakan strategi untuk
mendapatkan dua jenis sokongan. Sokongan pertama adalah sokongan
ekonomi yang didapat dari B sebagai uang sewa (bukmam) petuanan. Selain
memakainya untuk kepentingan pribadi, A menggungakan bantuan ekonomi
dari B untuk pengembangan program-programnya yang bertujuan untuk
menyaingi program pembangunan yang dilakukan oleh kepala desa. Dengan
program-program ini, A tidak hanya menunjukkan sikap oposisinya tetapi juga
kemampuannya untuk memimpin kelompok politiknya. Tentu saja tujuan akhir
dari tindakannya ini adalah menunjukkan kemampuannya untuk menjadi
kepala desa. Sokongan kedua adalah berupa sokongan politik. Sudah
menjadi rahasia umum di Kei bahwa praktek perusahaan ikan ini adalah
‘illegal’ karena menggunakan pottasium cyanida. Untuk melindungi usahanya
itu, para pengusaha meminta sokongan dari aparat militer dan birokrasi lokal.
Hubungan yang dekat antara B dengan aparat militer dan birokrasi lokal lah
yang diharapkan A dapat menjadi jembatan untuk mendekatakannya ke para
penguasa lokal itu, yang pada akhirnya, tentu saja, diharapkan dapat
meningkatkan kekuaatan politiknya untuk menyaingi kepala desa. Bagi kepala
desa dan kelompok politiknya, perilaku A merupakan rongrongan terharap
kekuasaannya sebagai penguasa desa. Oleh karenanya, mereka harus
menunjukkan kekuatan politik mereka dengan mengusir B dari petuanan
desa. Aksi tandingan dari kelompok kepala desa ini dilakukan tidak hanya
untuk menunjukkan kekuasaan mereka sebagai penguasa desa yang syah,
tetapi juga mematahkan kemungkinan kolusi antara A dengan pemegang
kekuasaan di birokrasi. Bagi kepala dusun Ohoisaran7, konflik berkenaan
dengan CMT ini membuka kesempatan kepadanya untuk membuka koneksi
dengan pemegang birokrasi yang mungkin bisa diharapkan untuk dapat

kedua kampung itu dianggap sebagai dua desa yang terpisah sehingga masing-masing
dipimpin oleh seorang kepala desa. Pada tahun 1989, kedua desa gabung menjadi satu, dan
masing-masing desa menjadi dusun. Namun, karena posisi kepala desa ada di Ohoislam,
maka induk desa ada di kampung ini. Dengan demikian, kepala desa di Ohoisaran
terdegradasi, posisinya turun menjadi kepala dusun.
7
Posisi kepala dusun Ohoisaran dalam konflik ini agak ambivalen. Beliau turut memimpin
kelompok pro kepala desa pada saat mereka mendatangi dan mengusir A dari wilayah
petuanan desa, tetapi pada acara pertemuan sehari sesudah itu, beliau tampak mendukung
A.

12
membantu pemekaran kembali desa itu menjadi dua. Kesempatan ini tentu
saja membuka kemungkinan kepadanya untuk menjadi orang nomor satu di
desa baru.

Konflik yang dibahas dalam pada bab sembilan berkenaan dengan penetapan
batas petuanan laut antar desa Sather dan Tutrean di Kei Besar. Kedua desa
yang terletak di pantai timur pulau Kei Besar ini memang bersebelahan
sehingga berbagi perbatasan di wilayah pesisir. Namun demikian, penduduk
kedua desa tidak sepakat mengenai titik mana yang menjadi batas antar
kedua desa mereka. Masalah ini telah memicu konflik kekerasan yang
berkepanjangan. Konflik prebatasan ini sudah terjadi sejak tahun 1930an dan
terus berlanjut sampai dengan saat penulis mengadakan penelitian (1996-
1997). Puncak dari konflik terjadi pada tahun 1988 saat hampir semua rumah
di Desa Sather dibakar oleh penduduk Desa Tutrean. Meskipun tidak ada lagi
konflik separah itu setelahnya, hampir setiap tahun selalu saja terjadi bentrok
kekerasan di antara penduduk kedua desa. Biasanya awal dari bentrok
adalah kegiatan penangkapan ikan atau penyelaman lola oleh penduduk
salah satu desa di wilayah petuanan laut yang menjadi objek sengketa.

Analisis terhadap kasus ini menunjukkan bahwa konflik ini merupakan bagian
dari konflik yang lebih besar terkait hubungan antara dua strata sosial yang
berbeda yakni antara kaum bangsawan (mel-meI) yang tinggal di desa
Tutrean dengan ‘orang merdeka’ (ren-ren) di desa Sather.8 Tercatat dalam
dokumen pemerintah kolonial Belanda, kedua strata sosial yang tinggal pada
dua desa berlainan ini telah terlibat konflik sejak awal abad 20. Konflik antar
mereka berhubungan dengan sistem pemerintahan dan petuanan desa
Sather. Orang-orang Tutrean, dengan dasar sejarah lisan versinya, meyakini
bahwa sebagai Mel-mel, mereka mempunyai kewenangan untuk menguasai
pemerintahan di desa Sather dan oleh karenanya mengatur petuanan
mereka. Dengan anggapan ini, orang-orang Tutrean selalu berusaha
menunjukkan penguasaan mereka terhadap pengorganisasian desa dalam
sistem pemerintahannya maupun wilayah petuanannya. Misalnya, pada tahun
1917, mereka mengutus salah satu orang untuk menjadi kepala desa (orang
kaya) Sather. Setelah jaman kemerdekaan pun orang Tutrean selalu
menghalang-halangi orang Sather dalam usaha mereka untuk memiliki

8
Secara tradisional, masyarakat Kei terbagi ke dalam tiga strata sosial, yaitu Mel-mel
(bangsawan). Ren-ren (‘orang merdeka’) dan Iri-iri (‘budak’). Dalam perspektif Mel-mel,
mekeka merupakan kelas penguasa yang secara tradisional mempunyai otoritas untuk
memerintah kedua kelas yang berada di bawahnya. Dalam perspektif Ren-ren, hubungan
mereka dengan Mel-mel bukanlah hubungan hirarkis tetapi horizontal yang ditandai dengan
distribusi otoritas antara domain pemerintahan yang dipengang oleh Mel-mel dan domain
kewilayahan (petuanan) yang berada di tangan Ren-ren. Dalam perspektif ini, hanya Iri-iri lah
yang berada di bawah penguasaan strata lain. Strata sosial ini bersifat ekslusif dengan
larangan kawin antara anggota strata yang berbeda –terutama wanita dari Mel-mel dengan
pria dari Ren-ren atau Iri-iri -- sebagai mekanisma mempertahankan kemurnian strata sosial.

13
kepada desa sendiri. Dan usaha orang Tutrean ini tampaknya berhasil.
Sampai dengan tahun 1997, tercatat hanya sekali saja desa Sather dipimpin
oleh orang Sather sendiri, itupun karena kepala desa tersebut diangkat oleh
tentara Jepang pada awal tahun 1940an. Kebanyakan pemerintahan desa
Sather dipimpin oleh pejabat kepada desa yang bukan orang Sather.

Sebaliknya orang Sather menanggap, sebagai ‘orang merdeka,’ mereka


mempunyai hak untuk mengatur diri mereka sendiri, baik dalam segi
pemerintahan desa maupun dalam penguasaan wilayah desa (petuanan).
Kerena keyakinan ini, mereka selalu menolak bentuk penguasaan dari orang-
orang Mel-mel di Tutrean. Salah satu ekspressi dari penolakan mereka,
misalnya, adalah pembunuhan terhadap utusan orang Tutrean yang pada
saat itu diutus oleh untuk menjadi kepala desa (orang kaya) Sather pada
tahun 1927. Sejak tahun 1930an mereka juga menuntut untuk menguasai
petuanan desa sendiri yang batas-batasnya ditentukan oleh mereka
berdasarkan sejarah lisan versi orang Sather.

Pemerintah telah berusaha menyelesaikan konflik antar antar Mel-mel


Tutrean dengan Ren-ren Sather ini, tetapi tidak pernah berhasil
mengehentikannya. Misalnya, pada tahun 1936 dan 1939, pemerintah
kolonial Belanda mengeluarkan dua surat keputusan (resume) yang
mutuskan batas antar kedua desa, tetapi selalu ditolak oleh salah satu atau
kedua belah pihak. Pada tahun 1993, pemerintah kabupaten Maluku
Tenggara juga menggagas sidang adat yang keputuskannya dikuatkan oleh
kepusan bupati, tetapi juga gagal. Seperti telah disebutkan diatas, konflik
antar kedua desa itu terus berlanjut sampai 1997, kemungkinan sampai
sekarang.

Jika kita kembali ke wacana CMT dan pengelolaan tradisional sumberdaya


laut di Maluku, jelas sekali bahwa apa yang dibahas pada bab enam dan
sembilan seperti telah dijelaskan di atas, sama sekali tidak pernah dikaji.
Dalam wacana CMT, praktek kepemilikan hanya dianggap sebagai alat untuk
pengelolaan sumberdaya laut. Sama sekali tidak dikaji pemaknaan lain dari
CMT. Sementara itu pada wacana pengelolaan tradisional sumberdaya laut di
Maluku memang hampir tidak menyentuh masalah CMT. Nampaknya CMT
sudah dianggap sesuatu yang taken for granted dan tidak bermasalah.

Padahal, analisis pada bab enam dan sembilan secara jelas menunjukkan
bahwa praktek CMT pada masyarakat Kei dimaknai secara berbeda. Di
Kepulauan Kei, nampaknya, praktek CMT berupakan bagian yang integral
dari keseluruhan bagun sosial masyakarat itu. Karena itu CMT tidak hanya
berfungsi sebagai alat pengelolaan sumberdaya alam tetapi juga memiliki
fungsi-fungsi sosial. Kajian bab enam, memperlihatkan bagaimana elit

14
menggunakan CMT sebagai ‘modal politik.’ Jika sebagai alat pengelolaan
sumberdaya laut CMT menentukan siapa saja dan bagaimana kegiatan
eksploitasi dilakukan, sebagai modal politik, CMT dipakai sebagai alat untuk
mengumpulkan sokongan politik untuk dapat memenangkan kontestasi
menjadi pemimpin desa. Bab sembilan juga secara jelas menunjukkan
keterkaitan CMT dengan status sosial. Penguasaan petuanan laut bagi Mel-
mel di Tutrean merupakan refleksi dari status mereka sebagai bangsawan.
Sementara pengusaan petuanan laut bagi Ren-ren di Sather merupakan ikon
kebebasan sebagai ‘orang merdeka.’

Menariknya, jika kita perhatikan konflik-konflik yang terjadi di Dullah Laut dan
Sather vs Tutrean, nampak bahwa fungsi CMT sebagai alat pengelolaan
sumberdaya tampak kalah oleh fungsi sosialnya. Di Dullah Laut, elit desa
menukar hak eksploitasi petuanan laut kepada pengusaha yang akan
melakukan penangkapan secara destruktif (menggunakan potassium
cyanida) dengan sokongan ekonomi dan politik untuk memenangkan
kontestasi menjadi pemimpin desa. Konflik berkepanjangan antara Sather
dan Tutrean mengenai batas petuanan laut juga telah mengganggu kegiatan
sasi dan kegiatan kenelayanan lainnya.

3. Status hukum CMT dan relevansinya terhadap praktek pengelolaan


sumberdaya laut. Pada bahasan wacana CMT telah disebutkan adanya
usulan kepada pemerintah untuk memberikan pengakuan legal formal (lihat
Johanness 1978). Usulan ini juga terdapat dalam wacana pengelolaan
tradisional sumberdaya laut di Maluku. Lokollo (1994), misalnya, mengatakan:

‘[O]leh karena asas-asas hukum adat kelautan tersebut masih hidup dan
dikenal oleh masyarakat nelayan, diharapkan asas-asas tersebut dapat
ditingkatkan menjadi peraturan daerah, sehingga adanya kepastian
hukum dan kepastian berusaha bagi masyarakat nelayan agar mereka
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup.’ (hal. 20-21).

Hal senada juga dikatakan Bailey dan Zerner (1992, 12). Dalam tulisan
mereka dengan judul ‘Community-Based Fisheries Management Institutions
in Indonesia,’ dikatakan bahwa pengakuan dan dukungan pemerintah
terhadap pengelolaan sumberdaya alam lokal seharusnya diformalkan.
Secara khusus, pengakuaan legal yang eksplisit seharusnya diberikan
terhadap hukum adat dan hak ulayat.

Bab tujuh dari disertasi dikembangkan khusus untuk mengevaluasi usulan ini.
Dalam konteks ini, pada bab ini ditunjukkan bahwa, meskipun seringkali
dikatakan bahwa hak ulayat laut tidak diakui secara formal oleh pemerintah
Indonesia (lihat misalnya Panell 1997, Bailey dan Zerner 1992 serta Warren
dan Elston 1994), kajian penulis tentang hal ini menunjukkan bahwa

15
anggapan ini salah. Pada level undang-undang hak ulayat diakui
legalitasnnya pada UU Pokok Agraria 1960 ( pasal 2 dan 5). Jika kita turun ke
level provinsi, kita bisa pula menemukan dua indikasi bahwa Dinas
Perikanan Provinsi Maluku di Ambon, sebagai lembaga Negara- mengakui
praktek hak ulayat laut. Indikasi pertama tampak pada syarat bagi
perusahaan perikanan, terutama yang akan melakukan usaha budidaya dan
penangkapan di perairan pantai—diharuskan memperlihatkan surat kontrak
petuanan dengan penduduk lokal pada saat mereka mengajukan usulan
permohon ijin usahanya. Indikator kedua tampak pada penandatanganan
surat perjanjian oleh pihak perusahaan pada saat mereka menerima ijin
usaha dari Dinas Perikanan. Salah satu pasal dalam surat perjanjian itu
menyebutkan bahwa dalam kegiatan usahanya, pihak perusahaan harus
menghormati tradisi lokal dalam hubungannya dengan petuanan.

Bukti-bukti tambahan akan realitas bahwa praktek CMT di Maluku diakui


secara legal oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan pengadilan yang
secara eksplisit menyebutkan bahwa petuanan laut tertentu adalah hak dari
kelompok sosial tertentu. Contoh nyata dari keputusan pengadilan adalah
sebagai berikut:

‘[m]enetapkan Pulau Terbang Utara dan Pulau Terbang Selatan bersama


metinya [petuanan laut] yang terletak dipulau Damer bagian Selatan,
Kecamatan p.p. Kisar, Kabupaten Maluku Tenggara adalah hak milik
seluruh rakyat negeri Wulur yang merupakan petuanan dari petuanan
negeri Wulur.’ (keputusan Pengadilan Tinggi Maluku, 16 Juli, 1974 No.
113/1973/PT/Perdt)

Dalam bahasa lain, kutipan yang merupakan putusan Pengadilan Tinggi


Maluku terhadap perkara perdata antara desa Wulur melawan Desa Keli di
Kecamatan Pulau-pulau Kisar, Maluku Tenggara itu, secara jelas menyatakan
bahwa perairan atau petuanan laut sekitar Pulau Damer bagian Selatan
adalah hak milik orang Wulur. Putusan ini merupakan tambahan bukti hukum
pengakuan pemerintah atas hak ulayat laut.

Menariknya, saat mencari tahu apakah status hukum ini memang


mempengaruhi efektifitas dari praktek hak ulayat laut, jawabannya, ternyata,
‘tidak.’ Untuk sampai kepada kesimpulan itu penulis menganalisa sebuah
konflik yang terkait dengan operasi penggunaan potassium cyanide oleh
nelayan yang bekerja pada sebuah perusahaan ikan kerapu.9 Konflik diawali

9
Selain dijelaskan dalam bab tujuh, konflik ini juga ditulis dalam Live Reef Fish: The Live
Reef Fish Export and Aquarium Trade, Information Bulletin 4:12-17 (Adhuri 1998).

16
dengan penangkapan empat orang nelayan yang sedang beroperasi dengan
menggunakan potassium cyanida di petuanan Dullah Laut. Penangkapan
yang dipimpin oleh kepala desa ini didasari atas pertimbangan bahwa
keempat nelayan telah melakukan dua kesalahan. Kesalahan pertama adalah
pelanggaran terhadap pranata hak ulayat laut karena keempat nelayan telah
beroperasi di petuanan desa tanpa ijin. Kesalahan kedua berkenaan dengan
dugaan penggunaan potassium cyanida yang merusak biologi dan ekologi
sumberdaya laut.

Setelah diinterogasi di rumah kepala desa, keempat orang ini dibawa dan
laporkan ke polisi bahkan bupati dengan harapan pelanggaran, terutama
terkait penggunaan potassium cyanida yang dilarang dalam Undang-undang
Perikanan maupun Lingkungan Hidup diadili. Namun demikian, petugas
kepolisian malah menyarankan kepala desa Dullah laut untuk menyelesaikan
masalah ini secara adat. Bupati sendiri menyarankan kepala desa untuk
menemui dandim yang pada saat didatangi tidak bersedia ditemui.

Akhirnya, dengan berbagai tekanan dari oknum militer dan birokrasi lokal,
kepala desa terpaksa menyelesaikan kasus ini melalui ‘sidang adat.’ ‘Sidang’
itu yang dipimpin oleh kepala desa sendiri, dihadiri wakil dari seluruh pemilik
petuanan laut, wakil dari pihak perusahaan yang mempekerjaan keempat
nelayan dan, menariknya, juga utusan dari koramil Kei Kecil. Persidangan
hanya menangani masalah pelanggaran pranata hak ulayat laut, sementara
pengadilan terhadap penggunaan potassium cyanida dianggap wewenang
pihak kepolisian. Dalam sidang itu diputuskan pihak perusahaan didenda
sebanyak enam juta rupiah.

Menganalisa kasus di atas, nampak bahwa penggunaan ‘sidang adat’ yang


berarti juga penggunaan prinsip-prinsip terkait hak ulayat laut (CMT) sebagai
mekanisma penyelesaian tidaklah ditentukan oleh status hukum CMT.
Meskipun, seperti telah dijelaskan di muka, kita bisa menemukan dasar
hukum untuk berargumentasi bahwa ada pengakuan legal formal terhadap
CMT, tetapi tidak ada seorang pun dari pihak terkait yang menggunakan
status hukum CMT sebagai dasar untuk memilih penyelesaiaan adat terhadap
kasus ini. Penulis melihat bahwa hubungan kekuasaan (power relation) antar
pihak-pihak terkait dan ‘kepentingan’ (interest) merupakan alasan mengapa
mekanisme ‘sidang adat’ digunakan. Meskipun kepala desa berkeinginan
kuat untuk membawa kasus itu ke pengadilan, tetapi dalam struktur hubungan
kekuasaan posisinya sangat lemah, kalah oleh kekuasaan yang dimiliki oleh
aparat militer dan birokrasi lokal. Karena itu, tidak ada cara lain baginya untuk
menyelesaikan kasus ini kecuali mengikuti keinginan mereka yang memunyai
kekuasaan lebih tersebut. Sementara itu, meskipun para aparat militer dan
birokrat lokal tahu pasti bahwa ada aturan formal yang mengharuskan mereka

17
untuk meproses perkara itu, tetapi kepentingan mereka bertentangan dengan
itu. Mengapa? Karena jika pelanggaran penggunaan potassium cyanida yang
diatur oleh UU Perikanan dan Lingkungan Hidup itu diperkarakan secara
formal, maka ini akan mengancam posisi mereka sebagai penyokong, atau
bahkan terlibat langsung, bisnis penangkapan ikan kerapu yang illegal itu.
Oleh karenanya untuk melindungi kepentingan bisnis proteksi inilah mereka
memaksa kepala desa untuk menyelesaikan perkara ini melalui ‘sidang adat.’
Dengan diselesaikannya kasus ini secara adat, tidak akan ada catatan resmi
tentang keberadaan praktek penangkapan ikan illegal dengan pottasyum,
oleh karenanya bisnis mereka tidak akan terekpose keluar.

4. Pengaruh ekonomi pasar terhadap praktek CMT. Issu pengaruh


ekonomi pasar terhadap praktek CMT dibahas secara khusus pada bab
delapan. Tujuan dari penulisan bab ini adalah mengecek apakah anggapan
bahwa penetrasi ekonomi pasar dalam kehidupan masyarakat tradisional
benar menyebabkan hancurnya tradisi CMT seperti dikatakan Johanness
(1978) untuk kasus Oceania atau Conner and Zerner (1992) dan Nikijuluw
(1994) untuk kasus Maluku. Atau, sebaliknya bab ini bisa juga dikatakan
untuk mengecek kebenaran anggapan bahwa:

‘[e]ven where a fairly open access to fishery resources seems to be the


rule, the commercialisation and intensification of marine exploitation may
lead to a sudden upsurge of a multitude of ideas about customary
boundaries and fishing rights—seemingly from nowhere.’ (Hviding 1989,
5-6).

Dengan menganalisa konflik yang terjadi sebagai akibat beroperasinya bagan


yang dioperasikan oleh orang luar di petuanan Dullah Laut, bab ini
menjelaskan bahwa realitas di Kei menunjukkan kedua anggapan di atas
tidak benar.10 Pengopreasian bagan11 di perairan Dullah Laut adalah respon
dari beberapa nelayan terhadap terbukanya pasar internasional, terutama di
Taiwan, terhadap ikan teri (anchovy). Ini secara jelas terlihat dari realitas
bahwa sebagian pengoperasi bagan memperoleh modal dari perusahaan
yang menampung hasil tangkapan mereka dan langsung mengekspornya ke
luar negeri. Pada saat konflik terjadi, koneksi antara pasar internasional
dengan nelayan juga tampak dari pengangkutan hasil tangkapan bagan
langsung ke kapal-kapal pengekspor. Respon yang keras dari orang Dullah

10
Dari bab sembilan yang mendiskusikan konflik antara penduduk desa Sather dan Tutrean,
kita tahu bahwa CMT merupakan tradisi yang sudah lama dipraktekkan oleh orang Kei.
11
Sebenarnya bisnis ikan kerapu yang kebanyakan menggunakan potassium cyanida yang
muncul di Kei sejak awal tahun 1990an juga menunjukkan semakin gencarnya ekonomi pasar
ke dalam dunia kenelayanan di sana. Bisnis ikan kerapu adalah bisnis yang dikembangkan
sebagai respon terhadap pasar internasional dari ikan kerapu hidup. Ikan kerapu hasil
tangkapan di perairan Kei kebanyakan dieksplor ke Hongkong dan Singapur.

18
Laut menghalau nelayan bagan itu keluar dari petuanannya merupakan
ekspresi dari semakin menguatnya praktek CMT di sana. Pada proses
pengusiran nelayan luar itu, orang Dullah Laut menjelaskan kepada mereka
tentang tradisi CMT, sejarah lisan dan batas-batas wilayah petuanan mereka.
Dengan itu, mereka mengatakan kepada nelayan bagan bahwa kegiatan
nelayan tersebut adalah melanggar praktek hak ulayat laut.

Konflik ini jelas sekali menunjukkan bahwa orang Kei justru terangsang untuk
menguatkan tradisi CMT pada saat nilai ekonomi sumberdaya laut meningkat
akibat terbukanya pasar internasional untuk sumberdaya itu. Hal itu dilakukan
dengan mengencangkan pranata CMT melalui pendefinisian kembali batas-
batas petuanan mereka dan mengkomunikasikannya kepada pihak yang
dianggapnya ‘orang luar.’ Namun demikian, harus dicatat bahwa
pengencangan kembali praktek CMT itu bukanlah karena alasan sustainability
dari sumberdaya tetapi justru alasan ekonomi. Dengan peningkatkan praktek
CMT, maka hak ekslusif mereka terhadap petuanan laut semakin terjamin
dan dengan itu pula orang luar bisa didiskualifikasi untuk mengkases apalagi
mengeksploitasi sumberdayanya. Artinya, peningkatan CMT bukanlah untuk
alasan pengelolaan yang berkesinambungan tetapi merupakan apa yang
dapat disebut sebagai politics of exclusion (Adhuri 2003).

C. Penutup

Melihat wacana tentang pengelolaan sumberdaya laut, kita bisa


mengidentifikasi tiga praktek pengelolaan yang telah menjadi issu pokok
wacana ini. Pertama adalah praktek pengelolaan sumberdaya laut yang
tersentralistis, yaitu praktek pengelolaan yang dirancang, diimplementasikan
dan dievaluasi hanya oleh pemerintah pusat saja. Pada saat banyak studi
menunjukkan kelemahan praktek ini ditambah dengan gerakan masyarakat
adat yang didukung LSM mulai menyuarakan kepentingan mereka, wacana
tentang praktek pengelolaan sumberdaya laut yang disebut communiny-
based marine resource management muncul pada tahun 1980. Praktek
community-based management adalah praktek pengelolaan yang dilakukan
oleh masyarakat setempat berdasarkan pranata-pranata yang berasal dari
masyarakat itu sendiri. Sama seperti praktek pengelolaan sumberdaya laut
pendahulunya, community-based management juga kemudian dikritik karena
berbagai kelemahannya. Sebagai alternative, kemudian disodorkan praktek
pengelolaan yang disebut collaborative management (Co-management)
masuk ke dalam perbendaharaan wacana pengelolaan sumberdaya laut.
Pada prinsipnya, co-management adalah praktek pengelolaan sumberdaya
alam di mana pemerintah mendelegasikan sebagian otoritasnya kepada

19
masyarakat (McCay and Jentoft 1996). Atau, dalam yang lain, co-
management adalah praktek pengelolaan yang dibuat dan dilaksanakan
melalui kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat.

Bagaimanakah posisi praktek CMT dalam ketiga praktek pengelolaan


sumberdaya laut seperti dijelaskan di atas? Pada praktek pengelolaan
sumberdaya laut tersentralisasi, CMT diangap tidak ada, karenanya bugan
merupakan issu yang dibicarakan. Pembicaraan CMT mulai masuk dalam
wacana pengelolaan sumberdaya laut sebagai pembuka jalan yang
mengarahkan masuknya konsep community-based management.
Argumentasi community-based management memang dibangun dari temuan-
temuan terhadap CMT. Seringkali dikatakan bahwa CMT merupakan alasan
mengapa pengelolaan sumberdaya laut harus dikembalikan kepada
komunitas lokal setelah dalam praktek pengelolaan tersentralisasi hak-hak
dan kemampuan mereka untuk mengembangkan pengelolaan yang
berkelanjutan dikebiri. Meskipun berbagai kritik telah bermunculan sehingga
orang mulai membicarakan co-management, CMT masih dianggap sebagai
modal yang baik untuk pengembangan co-management. Anggapan ini
didasari keyakinan bahwa bagaimanapun CMT masih menunjukkan potensi
positif masyarakat lokal terhadap sustainability dari sumberdaya laut. Juga,
sering dikatakan bahwa pengakuan CMT dalam co-management akan
meningkatkan posisi tawar masyarakat lokal dalam berhubungan dengan
stakeholder lain. Dengan ini kemungkinan terjadinya marjinalisasi komunitas
lokal oleh stakeholder lain semakin mengecil.

Kajian yang dikembangkan dalam disertasi ini menunjukkan bahwa wacana


itu masih mempunyai kelemahan dan oleh karenanya harus dikoreksi dan
dilengkapi. Kelemahan dalam wacana itu adalah perspektif yang hanya
melihat CMT sebagai alat untuk pengelolaan sumberdaya laut. Bahasan
disertasi menunjukkan bahwa masyakarat Kei, paling tidak, menganggap
CMT tidak hanya sebagai alat pengelolaan sumberdaya laut, tetapi juga
mempunyai fungsi lain, misalnya sebagai ‘modal politik’ dan representasi dari
status sosial. Kajian ini juga menunjukkan bahwa, pada konteks-konteks
tertentu, fungsi sosial dari CMT lebih dominan dan penggunaannya
mengabaikan fungsi pengelolaannya.

Realitas bahwa fungsi sosial kadang-kadang lebih dominan dari pada fungsi
pengelolaan serta kenyataan yang menunjukkan bahwa status legal tidak
berpengaruh signifikan pada efektifitas CMT, mengharuskan kita berfikir ulang
terhadap usulan kepada pemerintah untuk mengakui secara eksplisit praktek
hak ulayat laut pada sistem hukum Negara. Temuan disertasi malah
menunjukkan kemungkinan buruk jika praktek CMT dilegalkan secara
eksplisit. Jika praktek hak ulayat laut di Kei dilegalkan, maka bisnis sokong

20
menyokong aparat militer dan dan birokrasi lokal terhadap usaha perikanan
illegal akan terlindungi secara hukum. Kembali ke bab tujuh, tekanan aparat
militer dan birokrat lokal kepada kepala desa pada kasus itu adalah ‘illegal’
karena berarti mereka melanggar UU Perikanan dan UU Lingkungan hidup,
jika CMT diakui secara formal tekanan itu menjadi legal dengan alasan
menjalankan aturan hukum tentang CMT. Dalam konteks demikian, legalitas
CMT malah justru memberi kekuasaan (power) tambahan kepada pihak-pihak
penguasa untuk memaksakan pemenuhan kepentingan mereka dengan
mengorbankan sustainability dari sumberdaya alam dan kepentingan
masyarakat.

Terakhir, kekhawatiran akan hilangnya CMT karena penetrasi ekonomi pasar


juga nampaknya perlu dipikirkan kembali. Disertasi ini menunjukkan bahwa
penetrasi pasar internasional justru merangsang masyarakat untuk
mengencangkan praktek CMT. Namun demikian, yang harus juga diingat
adalah bahwa pengencangan ini tidak selalu dilandasi oleh kesadaran akan
sustainability atau keadilan distribusi sumberdaya alam. Apa yang terjadi di
Kei lebih menunjukkan bahwa pengencangan praktek CMT ini adalah bagian
dari politic of exclusion yaitu strategi untuk mendiskualifikasi orang luar untuk
mengakses dan mengeksploitasi sumberdaya laut. Meskipun ini ada baiknya
untuk mengurangi jumlah orang yang mengeksploitasi sumberdaya –dengan
demikian mengurangi tekanan terhadap sumberdaya itu-- tetapi bisa saja
komunitas lokal sendiri mengembangkan praktek eksploitasi yang destruktif
dan berlebihan.

D. Daftar Pustaka

Adhuri, D.S. 1998. Who Can Challenge Them? Lessons Learned from
Attempting to Curb Cyanide Fishing in Maluku Indonesia. Live Reef
Fish: The Live Reef Fish Export and Aquarium Trade, Information
Bulletin 4:12-17.

———. 2003. Does the Sea Divide or Unite Indonesians? Ethnicity and
Regionalism from a Maritime Perspective. Working Paper No. 49,
Resource Management in Asia and Pacific Program, Australian
National University. Canberra

Anonim. 1991. Laporan Penelitian Hak Adat Kelautan Di Maluku. Ambon:


Yayasan Hualopo, Fak. Hukum dan Pusat Studi Maluku Unpatti.

21
Antunès, I. 2000. Le développement local de la pêche en Indonésie, entre
unité politique et diversité culturelle. Une approche à partir de deux cas
d’étude contrastés, Bendar à Java et Watlar aux Moluques, PhD
Thesis, Université de Paris-IV Sorbonne et Sydney University, Sorbone
and Sydney.

——— and S. A. P. Dwiono. 1998. Watlar, an Eastern-Indonesian Village


Caught Between Tradition and Modernity. Monpellier: Centre Orstom.

Barraud, C. 1979. Tanebar-Evav : une societe de maisons tournee vers le


large. Cambridge England: Cambridge University Press.

Bailey and C. Zerner. 1992. Community-Based Fisheries Management


Institutions in Indonesia. Maritime Anthropological Studies 5 (1): 1-17.

Berkes, F. (ed.) 1989. Common Property Resources: Ecology and


Community-based Sustainable Development. London: Belhaven Press.

Benda-Beckmann, F. von, K. von Benda-Beckmann and A. Brouwer. 1992.


Changing 'Indigenous Environmental Law' in the Central Moluccas:
Communal Regulation and Privatization of Sasi. Paper read at
Congress of the Commission on Folk Law and Legal Pluralism, August,
at Victoria University, Wellington.

Hardin, G. 1968. The Tragedy of the Commons. Science 162:1243-1248.

Hviding, E. 1989. "All Things in Our Sea," the Dynamics of Customary Marine
Tenure, Morovo Lagoon, Solomon Islands. Papua New Guinea: The
National Research Institute.

Johannes, R.E. 1978. Traditional Marine Conservation Methods in Oceania


and Their Demise. Annual Review of Ecology and Systematics 9:249-
364.

Kissya, E. 1995. Sasi Aman Haru-ukui: Traditional Management of


Sustainable Natural Resources in Haruku. Jakarta: Sejati Foundation.

Lokollo. 1988. Hukum Sasi di Maluku: Suatu Potret Binamulia Lingkungan


Pedesaan yang Dicari Pemerintah. Ambon.

McCay, B.J and S. Jentoft. 1996. From Bottom Up: Participatory Issues in
fisheries Management. Society and Natural Resources 9:237-250.

——— and J.M. Acheson (eds). 1987. The Question of the Commons: The
Culture and Ecology of Communal Resources. Tucson: The University

22
of Arizona Press.

Monk, K.A., Y. De Fretes and G. Reksodiharjo-Lilley. 1997. The Ecology of


Nusa Tenggara and Maluku. Vol. V, The Ecology of Indonesia.
Singapore: Eric Oey.

Nikijuluw, V. P.H. 1994. Indigenous Fisheries Resource Management in the


Maluku Islands. Indigenous Knowledge & Development Monitor 2 (2):6-
8.

Pannell, S. 1997. Managing the Discourse of Resource Management: the


Case of Sasi from 'Southeast' Maluku, Indonesia. Oceania 67:289-307.

Pusdi-PSL Unpatti. 1995. Kajian Hukum Tentang Norma Adat dalam


Perlindungan Lingkungan. Ambon: Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup RI dengan Pusdi-PSL Universitas Pattimura.

Ruddle, K and T. Akimichi. 1984. Introduction. In K. Ruddle and T. Akimichi


(eds) Maritime Institutions in the Western Pacific, pp. 1-9. Osaka:
National Museum of Ethnology.

——— (eds) 1984. Maritime Institutions in the Western Pacific. Osaka:


National Museum of Ethnology.

Warren, C. and K. Elston. 1994. Environmental Regulation in Indonesia, Asia


Paper 3. Nedlands: University of Western Australia Press.

Zerner, C. 1991. Imagining the Common Law in Maluku: Of Men, Molluscs,


and the Marine Environment. Paper read at The Second Annual
Meeting of the International Association for the Study of Common
Property, 26-29 September, at Manitoba.

———. 1994. Through a Green Lens: The Construction of Customary


Environmental Law and Community in Indonesia's Maluku Islands. Law
& Society Review 28 (5): 1079-1122.

23

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai