Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/333467686

Perubahan Tutupan Lahan Akibat Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit: Dampak


Sosial, Ekonomi dan Ekologi

Article  in  Jurnal Ilmu Lingkungan · May 2019


DOI: 10.14710/jil.17.1.130-139

CITATIONS READS

8 2,812

4 authors:

Rizka Amalia Arya Hadi Dharmawan


Bogor Agricultural University Bogor Agricultural University
6 PUBLICATIONS   14 CITATIONS    107 PUBLICATIONS   416 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Lilik Budi Prasetyo Pablo Pacheco


Bogor Agricultural University World Wildlife Fund
247 PUBLICATIONS   954 CITATIONS    253 PUBLICATIONS   5,808 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Socioeconomic and environmental benefits of bioenergy production on degraded lands in Indonesia View project

Non-human primates distribution dynamics: The impacts if climate and habitat changes and its implication to conservation View project

All content following this page was uploaded by Lilik Budi Prasetyo on 10 July 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


©2019 Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
JURNAL ILMU LINGKUNGAN
Volume 17 Issue 1 (2019) :130-139 ISSN 1829-8907

Perubahan Tutupan Lahan Akibat Ekspansi Perkebunan


Kelapa Sawit: Dampak Sosial, Ekonomi dan Ekologi

Rizka Amalia1, Arya Hadi Dharmawan2, Lilik B. Prasetyo3, Pablo Pacheco4

1Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB; e-mail: amalrizka@apps.ipb.ac.id


2Fakultas Ekologi Manusia IPB
3Fakultas Kehutanan IPB
4WWF

ABSTRAK
Perkebunan kelapa sawit berdampak negatif pada aspek-aspek lingkungan, sosial dan ekonomi komunitas lokal.
Melalui peningkatan system tata kelola perkebunan kelapa sawit maka dapat mengurangi dampak negatif tersebut.
System tata kelola seperti sertifikasi dan standar-standar keberlanjutan diinisiasi oleh produser, distributor,
pemerintah, akademisi, pasar internasional dan LSM. Sistem tata kelola ini dapat mencakup skala global atau nasional.
Indonesia telah mengimplementasikan system tata kelola yang berskala global dan nasional namun belum semua
perusahaan perkebunan kelapa sawit dan smallholder mengimplementasikanya. Oleh karena itu, sistem tata kelola
tersebut belum berhasil menurunkan dampak negatif ekspansi perkebunan kelapa sawit. Konflik sosial masih sering
terjadi akibat dari kebakaran hutan dan pencemaran lingkungan. Di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia,
ekspansi perkebunan kelapa sawit terjadi secara cepat dimana ekspansi tersebut ada yang tidak menerapkan sistem
tata kelola perkebunan kelapa sawit. Menggunakan metode survey dan wawancara mendalam, penelitian ini
bertujuan mengukur dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit pada kerentanan ekologi, sosial dan ekonomi. Hasil
penelitian ini mengindikasikan bahwa (1) RSPO dan ISPO belum bisa menekan deforestasi akibat ekspansi
perkebunan kelapa sawit; (2) Walaupun RSPO dan ISPO diimplementasikan, masih tetap terjadi konflik sosial,
kerentanan ekologi dan ekonomi pada komunitas lokal.

Kata kunci: Sistem tata kelola, Indonesia, smallholder, ISPO, Perkebunan Kelapa Sawit, RSPO

ABSTRACT
Oil palm plantations have negative impact on environment, social and economic of local communities. Improving oil
palm plantation governance systems can help mitigate some of these impacts. Governance systems, such as
certification and sustainability standards are initiated by producers, distributors, governments, academics,
international markets, and NGOs. They can be global or national, and both have been implemented in Indonesia in
some, but not all, estate company and smallholder grower systems. Despite some degree of implementation, these
governance system have had limited success in minimize the negative impacts of oil palm expansion. Social conflicts
are still occurring, as are forest fires and environmental pollution.In Kutai Kartanegara, East Kalimantan, Indonesia,
oil palm plantations are expanding rapidly that there are oil palm expansion without implementing oil palm
governance system. Using survey methods and in-depth interviews, we assessed the impact of oil palm expansion on
their ecological,social, and economic vulnerabilities. Our results indicated that (1) RSPO and ISPO have not reduces
the rate of deforestation; (2) RSPO and ISPO have been implemented, social conflicts, economic and ecologies
vulnerabilities to local communities remain.

Keywords: Governance system, Indonesia, smallholder, ISPO, Oil Palm Plantation, RSPO

Citation: Amalia, R, Dharmawan, A.H., Prasetyo L.B., Pacheco P.(2019). Perubahan Tutupan Lahan Akibat Ekspansi Perkebunan
Kelapa Sawit: Dampak Sosial, Ekonomi dan Ekologi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 17(1), 130-139, doi:10.14710/jil.17.1.130-139

1. Latar Belakang 2017). Oleh karena itu, banyak pengusaha sawit


Kelapa sawit merupakan komoditas penting seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit
di pasar lokal, regional dan global karena produk- milik swasta dan petani kelapa sawit di Indonesia
produk turunannya digunakan sebagai minyak melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit
goreng, bahan baku margarin, bahan baku industri untuk memenuhi permintaan pasar.
kosmetik (Kementrian Perindustrian RI 2007), Ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak
campuran es krim, saus salad, keju, coklat, hanya dilakukan oleh perusahaan perkebunan
pelumas, biodiesel dan bahan biogas (Khatun et al kelapa sawit, namun juga petani kelapa sawit.

130
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

Perusahaan perkebunan kelapa sawit selama ini pemerintah pada skala nasional dan global
mengekspansi kelapa sawitnya di area Hak Guna berinisiasi untuk menerapan sistem tata kelola
Usaha (HGU), sedangkan petani kelapa sawit perkebunan kelapa sawitseperti
mengekspansi perkebunan kelapa sawit di lahan- IndonesianSustainable Palm Oil (ISPO) dan
lahan yang mereka miliki seperti belukar, ladang Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). ISPO
atau kebun. Selain itu, ada beberapa petani kelapa diimplementasikan pada tahun 2011. ISPO
sawit mengekspansi perkebunan kelapa sawit di bersifat wajib bagi perusahaan perkebunan kelapa
area-area hutan yang ada di sekitar tempat tinggal sawit dan bersifat sukarela bagi petani kelapa
mereka. Ekspansi perkebunan kelapa sawit sawit. RSPO diimplementasikan pada tahun 2004.
seharusnya dilakukan di Area Penggunaan Lain RSPO bersifat sukarela bagi perusahaan dan
(APL) dan Kawasan Budidaya Non Kehutanan petani kelapa sawit. Namun sampai saat ini, hanya
(KBNK), namunekspansi perkebunan kelapa sawit sedikit proporsi minyak kelapa sawit yang telah
juga dilakukan di kawasan hutan dan taman mendapatkan sertifikat ISPO dan RSPO yaitu 9%
nasional secara ilegal dan informal (Hidayah (ISPO 2017) dan 19% (RSPO 2017). Sebagian
2016) serta dilakukan di lahan gambut dan lahan besar sertifikasi ISPO dan RSPO dilakukan oleh
mineral (Afriyani et al 2016). Bahkan, keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan sedikit
perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan di dilakukan oleh petani plasma serta petani
Indonesia sudah mencapai 2,7 juta ha (Info sawit mandiri. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan
2017). Pada tahun 1990-2005 terdapat 56% dari penelitian ini yaitu:
ekspansi perkebunan kelapa sawit berada di 1. mengidentifikasikecepatan ekspansi dan peran
hutan primer, hutan sekunder dan hutan produksi petani dalam perluasan perkebunan kelapa
(Koh dan Wilcove, 2008).Ekspansi perkebunan sawit,
kelapa sawit di kawasan hutan mengakibatkan 2. menganalisis dampak ekonomi, sosial, dan
banyaknya area hutan yang hilang (Yunikartika R ekologi akibat ekspansi perkebunan kelapa
2015), memicu deforestasi (setiawan et al 2016), sawit serta kaitanya dengan implementasi tata
menimbulkan erosi tanah (Lee et al 2012), serta kelola perkebunan kelapa sawit.
fragmentasi habitat, hilangnya dan biodiversitas
(Fitzherbert et al 2008). Ekspansi perkebunan 2. Metode Penelitian
kelapa sawit di kawasan hutan juga berdampak Proses pengambilan data dilaksanakan pada
pada perubahan lanskap ekologi (Bennett et al pada 5-11 Februari 2017 dan tanggal 6-12 Juli
2018) dan perubahan tata guna lahan, perubahan 2017. Survey dilaksanakan di lokasi penelitian
tutupan lahan serta beberapa masalah lingkungan tersebut pada tanggal 14-28 Februari 2018.
yang serius (Susanti dan Maryudi 2016). Penelitian ini dilakukan di Desa Gunung Sari,
Ekspansi perkebunan kelapa sawit Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara,
berdampak transformasi nafkah rumahtangga Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian ini
(Mardianingsih et al., 2018). Ekspansi kelapa menggunakan paradigma post-positivistik dimana
sawit tersebut meningkatan pendapatan pada menggunakan kombinasi pedekatan kuantitatif
level rumahtangga (Wicke et al 2011), namun dan kualitatif (Denzin dan Lincoln 2000).
peningkatan pendapatan yang hanya bertumpu Pendekatan kuantitatif melalui survey
pada dominasi usaha perkebunan kelapa menggunakan kuisioner pada 60 responden yang
sawitsehingga rumahtangga petani mengalami dipilih secara acak. Data yang digunakan dalam
dilemanafkah karena rumahtangga petani penelitian ini meliputi data primer dan data
kehilangan keberagaman sumber nafkahnya sekunder. Sementara itu, analisis tutupan lahan
(Yulian et al 2017). Oleh karena itu, ekspansi dilakukan dengan menggunakan data ground
perkebunan kelapa sawit tersebut menyebabkan check, data peta batas administrasi Desa Gunung
kerentanan nafkah pada rumahtangga petani Sari, peta fungsi kawasan hutan Provinsi
(Amalia 2016). Di sisi lain, ekspansi perkebunan Kalimantan Timur, peta rupa bumi Indonesia
kelapa sawit juga dapat meningkatkan devisa Provinsi Kalimantan Timur skala 1: 50.0000,citra
negara pada level nasional (Gapki 2017). Selain landsat 5 TM tanggal perekaman 12 Februari
itu, ekspansi perkebunan kelapa sawit berdampak 1990, citra landsat 5 TM tanggal perekaman 14
pada kondisi sosial suatu komunitas petani Maret 1995, citra landsat 5 TM tanggal perekaman
seperti timbulnya konflik (Koczberski dan Curry 24 Februari 2000, citra landsat 5 TM tanggal
2005) dan pergeseran pola hidup masyarakat perekaman 17 September 2005, citra landsat 5
yang semula subsisten menjadi berorientasi pada TM tanggal perekaman 11 Agustus 2009, dan cita
pasar (Zunariyah 2012). landsat 8 OLI tanggal perekaman 8 Mei 2016.
Berbagai dampak negatif ekspansi
perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan, 3. Hasil dan Pembahasan
ekonomi dan sosial; serta terjadinya ekspansi 3.1. Tipologi Petani di Desa Gunung Sari
perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Terdapat tiga tipologi petani kelapa sawit
membuat produk kelapa sawit mempunyai citra berdasarkancara pengusahaan perkebunan kelapa
yang jelek di pasar nasional dan internasional. sawit di Desa Gunung Sari yaitu: petani plasma,
Oleh karena itu,berbagai stakeholder dan
131
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

petani plasma yang mempunyai kebun kelapa mandiri ini juga menambah lahan-lahan
sawit mandiri; dan petani mandiri. plasma mereka dengan cara membeli
1. Petani plasma merupakan petani kelapa kebun plasma yang dimiliki oleh orang lain.
sawit yang mengusahakan kelapa sawitnya Rata-rata kepemilikan kebun plasmanya
dengan dukungan dana bank yang seluas 2,9 Ha.Adanya proses jual beli lahan
difasilitasi oleh perusahaan perkebunan plasma tersebut kemudian menjadikan
inti sebagai kewajiban menaati aturan. beberapa rumahtangga tidak
Selain memfasilitas pendanaan, perusahaan mempunyaikebun plasma. Oleh karena itu,
ini juga membantu membukakan lahan mereka berusaha mengekspansi lahan
(land clearing) untuk perkebunan kelapa perkebunan secara mandiri. Di sisi lain,
sawit plasma. Pembukaan lahan tersebut adanya pedatang dan orang lokal yang baru
dilakukan oleh perusahaan menikah juga tidak mempunyai plasma,
intimenggunakan alat berat seperti sehingga mereka juga mengekspansi
excavator. Kemudian, setelah perkebunan perkebunan kelapa sawit secara mandiri
kelapa sawit petani plasma berbuah maka yang kemudian disebut sebagai petani
Tandan Buah Segar (TBS) wajib dijual ke mandiri.
perusahaan perkebunan kelapa sawit yang 3. Petani mandiri merupakan petani kelapa
menjadi intinya. Luas perkebunan plasma sawit yang mengekspansi perkebunan
rata-rata 2 Ha per KK. Selain lahan kelapa sawit menggunakan modal pribadi
perkebunan plasma, petani plasma juga dengan cara membuka lahan dengan
memiliki lahan lain seperti ladang, kebun menggunakan censo atau membakar lahan
karet dan kebun buah. Sebagian kecil petani secara terbatas dan memanfaatkan bibit
plasma mempertahankan lahan yang pemerintah dan perusahaan perkebunan
mereka miliki untuk bertanam buah, karet kelapa sawit dengan memanfaatkan lahan
dan padi, sedangkan sebagian besar petani yang dibeli, lahan hutan, lahan HGU, HPH
plasma lainnya berfikir rasional untuk dan konsesi perusahaan yang ada di sekitar
meningkatkan ekonomi rumahtangga Desa Gunung Sari dimana rata-rata luas
mereka dengan caramembuka lahan kebun kelapa sawit mandiri mereka yaitu
perkebunan secara mandiri di lahan yang seluas 3,5 Ha. Biasanya petani ini menjual
mereka miliki dan yang mereka kuasai. TBS melalui empat cara alternatif yaitu (1)
Berdasarkan hal tersebut, maka muncul TBS dijual ke perusahaan dengan menjadi
tipe petani kedua yaitu: petani plasma yang anggota koperasi; (2) TBS dijual ke
mempunyai perkebunan kelapa sawit perusahaan dengan menitipkan TBS ke
mandiri. anggota koperasi; (3) TBS dijual ke
2. Petani plasma yang mempunyai kebun perusahaan dengan menitipkan TBS ke
mandirimerupakan petani kelapa sawit koperasi; (4)TBS dijual ke tengkulak.
yang mempunyai plasma juga Petani dengan tipe 1 (petani plasma) tidak
mengusahakan perkebunan kelapa sawit mempunyai pilihan pasar karena mereka terikat
mandiri dengan cara membuka lahan secara struktural pada perkebunan kelapa sawit
dengan menggunakan censo atau intinya. Sementara itu, petani tipe 2 dan tipe 3
membakar lahan secara terbatas dan mempunyai alternatif penjualan TBS yang sama.
memanfaatkan bantuan bibit dari Keputusan pemilihan alternatif penjualan TBS
pemerintah dan bantuan bibit dari tersebut akan berbeda pada setiap rumahtangga
perusahaan perkebunan kelapa sawit. petani, tergantung kondisi sosial dan ekonomi
Biasanya petani ini menjual TBS melalui yang dialami rumahtangga petani saat itu serta
empat cara alternatif yaitu (1) TBS dijual ke harga TBS pada saat itu. Dalam menentukan
perusahaan dengan menjadi anggota keputusan penjualan TBS petani selalu
koperasi; (2) TBS dijual ke perusahaan menimbang keuntungan (gain) dan kerungian
dengan menitipkan TBS ke anggota (loss).
koperasi; (3) TBS dijual ke perusahaan Perkebunan kelapa sawit yang diekspansi
dengan menitipkan TBS ke koperasi; secara mandiri oleh petani plasma yang
(4)TBS dijual ke tengkulak. Lahan yang mempunyai perkebunan kelapa sawit mandiri dan
digunakan untuk ekspansi perkebunan petani mandiri, ada yang tidak dimitrakan dan ada
kelapa sawit mandiri adalah lahan yang dimitrakan ke perusahaan perkebunan inti
pertanian, kebun buah, hutan, lahan HGU, melalui koperasi. Lahan perkebunan yang
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan konsesi dimitrakan ke perusahaan perkebunan inti
perusahaan yang ada di sekitar Desa tersebut masih tetap ada yang tumpang tindih
Gunung Sari dimana rata-rata luas kebun dengan Kawasan Budidaya Kehutana (KBK)seluas
kelapa sawit mandiri mereka yaitu seluas 206 Ha, HGU perusahaan perkebunan inti seluas
8,8 Ha. Selain memperluas perkebunan 130 Ha, konsesi tambang seluas 46 Ha, dan HPH
kelapa sawit secara mandiri, petani plasma seluas 39 Ha. Berdasarkan hal tipologi petani,
yang mempunyai perkebunan kelapa sawit maka petani yang paling rasional secara ekonomi
132
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

adalah petani plasma yang mempunyai kebun Tabel 1. Laju kecepatan ekspansi perkebunan kelapa
kelapa sawit mandiri. sawit di Desa Gunung Sari, Kecamatan Tabang,
Kabupaten Kutai Kartanegara, 2018
Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit
3.2. Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Dan Tahun Durasi Waktu Laju ekspansi
Peran Petani Dalam Ekspansi Perkebunan Luas (Ha) (th) (Ha/th)
1990 0,0 0 0
Kelapa Sawit 1995 0,0 5 0
RSPO telah diimplementasikan mulai dari 2000 51,9 5 10,4
tahun 2004, sedangkan ISPO telah 2005 73,1 5 14,6
2009 489,0 4 122,2
diimplementasikan mulai dari tahun 2011. 2016 3576,5 7 510,9
Namun, sejak kedua tata kelola perkebunan
kelapa sawit diimplementasikan, tidak banyak Tabel 1 menunjukkan bahwa laju kecepatan
perbaikan yang terjadi dalam pengusahaan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit paling tinggi
managemen perkebunan kelapa sawit khususnya adalah mulai tahun 2009 menuju ke tahun 2016
pada tingkat petani. Hal ini terjadi karena dimana ekspansi perkebunan kelapa sawit
implementasi RSPO dan ISPO sampai saat ini dilakukan oleh petani dan perusahaan
bersifat sukarela untuk petani. Oleh karena itu, perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Desa
baik diimplementasikan atau tidak Gunung Sari.Bahkan,dilakukan di area-area yang
diimplementasikannya RSPO dan ISPO di tutupan lahan semula adalah hutan sehingga
Indonesia, ekspansi perkebunan kelapa sawit mengakibatkan deforestasi (lihat Gambar 1).
terus berlanjut. Bahkan, laju kecepatan ekspansi
perkebunan kelapa sawit terus meningkat dari
tahun ke tahun (lihat Tabel 1).

1990 1995 2000

2005 2009 2016

Legenda

Gambar 1. Perubahan tutupanlahan (land cover) di Desa Gunung Sari, Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara, 2018

Gambar 1 menunjukkan trajektori ekspansi perkebunan kelapa sawit di Desa Gunung Sari
perkebunan kelapa sawit di Desa Gunung Sari karena di sekitar Desa Gunung Sari tidak ada
yang terjadi melalui lima tahapan yaitu: (1) fase perkebunan kelapa sawit swasta yang beroperasi;
1990-1995, pada fase ini tidak ada ekspansi (2) fase 1995-2000, pada fase ini mulai terjadi
133
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan perkebunan kelapa sawit dilakukan karena petani
oleh perkebunan kelapa sawit swasta; (3) fase merasa tidak bisa mengandalkan bagi hasil
2000-2005, pada fase ini ekspansi perkebunan plasma saja. Sementara itu, ekspansi perkebunan
kelapa sawit juga mulai dilakukan oleh petani kelapa sawit dilakukan oleh petani mandiri datang
dengan cara mereplikasi perkebunan kelapa sawit belakangan karena menunggu bestpractices dari
swasta; (4) fase 2005-2009, pada fase ini ekspansi petani lain. Artinya, masifnya ekspansi
perkebunan kelapa sawit semakin meluas dan perkebunan kelapa sawit karena adanya stimulasi
terjadi secara lambat karena ekspansi kelapa oleh keberadaan perkebunan kelapa sawit swasta
sawit dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit dan didorong oleh adanya pasar lokal yang
swasta dan petani; (5) fase 2009-2016, pada fase diciptakan oleh ekonomi kelapa sawit.
ini ekspansi perkebunan kelapa sawit semakin Ekspansi perkebunan kelapa sawit dilakukan
meluas dan terjadi secara cepat karena ekspansi melalui dua cara yaitu: “hutan-lahan terbuka-
kelapa sawit dilakukan oleh perkebunan kelapa perkebunan kelapa sawit” dan “hutan-semak
sawit swasta dan petani. Konsekuensi dari belukar-perkebunan kelapa sawit” (lihat Gambar
ekspansi perkebunan kelapa sawit yang terus 1). Pembangunan perkebunan kelapa sawit
berlanjut yaitu deforestasi yang semakin meluas. melalui cara “hutan-lahan terbuka-perkebunan
Berdasarkan Gambar 1, dapat disimpulkan kelapa sawit” diindikasikan merupakan cara yang
bahwa perusahan perkebunan kelapa sawit milik dilakukan oleh perusahaan perkebunan besar
swasta melakukan ekspansi perkebunan kelapa kelapa sawit milik swasta. Sementara itu, ekspansi
sawit terlebih dahulu kemudian diikuti oleh perkebunan kelapa sawit melalui cara “hutan-
petani plasma yang mempunyai perkebunan semak belukar-perkebunan kelapa sawit”
mandiri. Petani plasma yang mempunyai diindikasikan merupakan cara yang dilakukan
perkebunan mandiri cenderung melakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta
ekspansi terlebih dahulu dibandingkan petani dan petani kelapa sawit, dimana terdapat tiga
mandiri. Ekspansi perkebunan kelapa sawit tipologi petani kelapa sawit yaitu petani plasma,
dilakukan oleh petani plasma yang mempunyai petani plasma yang mempunyai perkebunan
perkebunan mandiri dilakukan setelah ekspansi kelapa sawit mandiri dan petani mandiri. Masing-
perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta masing tipologi petani mempunyai strategi dalam
karena menunggu ketersediaan dan terbentuknya mengekspansi kelapa sawitnya.
pasar untuk penjualan TBS. Selain itu, ekspansi

Tabel 2. Strategi ekspansi perkebunan kelapa sawit berdasarkan tipologi petani kelapa sawit di Desa Gunung
Sari, Kec. Tabang, Kab. Kutai Kartanegara, 2018
Tipologi Petani Kelapa Sawit

Strategi Ekspansi Variabel Tipe 2 (Petani plasma yang


Tipe 1 (Petani
mempunyai kebun kelapa Tipe 3 (Petani mandiri)
plasma)
sawit mandiri)

Skema PIR, PPMD, KKPA, Skema PIR, PPMD, KKPA,


dan Land ID oleh dan Land ID oleh
Skema managemen Skema PIR perusahaan inti perusahaan inti
Perusahaan inti,
Perusahaan inti, pemerintah, modal pribadi
Formal management pemerintah, modal pribadi dan didukung oleh
driven expansion Penyedia modal Perusahaan inti dan didukung oleh koperasi koperasi

Perusahaan inti, Perusahaan inti,


pemerintah, pengurus pemerintah, pengurus
Perusahaan inti dan kelompok tani dan kelompok tani dan
Dukungan aktor pengurus koperasi pengurus koperasi pengurus koperasi

Kekuatan jaringan Cukup Kuat Kuat

Social networking
Banyaknya jaringan Cukup Banyak Banyak
driven expansion

Multi market - 50% ke inti Multi market - didominasi


Variasi pasar Mono market dan 50% ke pasar lokal ke pasar lokal

Tabel 2 menunjukkan bahwa petani plasma dengan perusahaan inti, banyaknya akses modal,
yang mempunyai kebun kelapa sawit mandiri jaringan dan pasar dibandingkan dengan tipologi
merupakan tipologi petani yang mempunyai petani plasma dan petani mandiri. Oleh karena itu,
benefit yang paling tinggi dan paling strategis tipologi petani plasma yang mempunyai
karena mempunyai banyak “pintu” integrasi perkebunan kelapa sawit mandiri mempunyai
134
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

banyak peluang untuk melakukan ekspansi mempunyai kebun kelapa sawit mandiri
perkebunan kelapa sawit di berbagai area yang merupakan tipologi yang siap untuk melakukan
tutupan lahannya baik hutan atau non hutan implementasi ISPO dan RSPO karena adanya
dibandingkan dua tipologi petani lainnya (lihat integrasi yang cukup kuat dengan perusahaan inti
Gambar 2 pada bab berikutnya). serta kepemilikan legalitas lahan. Sementara itu,
petani mandiri kurang siap untuk implementasi
RSPO dan ISPO karena terkendala pada ketiadaan
3.3. Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit Dan legalitas lahan.
Kaitannya Dengan Tipologi Petani Kelapa Baik petani plasma yang mempunyai
Sawit perkebunan kelapa sawit mandiri dan petani
Tata kelola perkebunan kelapa sawit mandiri menghadapi kendala pada bibit yang
khususnya sertifikasi RSPO dan ISPO sampai saat tidak bersertifikat, ketiadaan kepemilikan Surat
ini masih bersifat suka rela bagi petani. Namun, Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya
sertifikasi ISPO sudah diwacanakan akan bersifat (STDB), dan lahan kebun kelapa sawit yang
wajib bagi petani. Terdapat empat prinsip dan tumpang tindih dengan area konsesi tambang,
kriteria sertifikasi ISPO bagi patani yaitu: legalitas HGU, HPH dan KBK. Kendala-kendala tersebut
kebun, organisasi pekebun dan pengelolaan mengakibatkan ketidakefektifan implementasi
kebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, RSPO dan ISPO pada level petani. Berdasarkan hal
dan peningkatan usaha secara berkelanjutan. tersebut dapat disimpulkan bahwa
Sampai saat ini, belum ada petani kelapa sawit ketidakefektifan tata kelola perkebunan kelapa
baik petani plasma, petani plasma yang sawit berdampak pada terus berlanjutnya
mempunyai kebun kelapa sawit mandiri dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan
petani mandiri di Gunung Sari yang mempunyai hutan dan konflik sosial.
sertifikat RSPO atau ISPO walaupun perusahan
perkebunan inti yang menjadi mitra petani sudah 3.4. Dampak Ekonomi Dari Ekspansi
mempunyai sertifikat RSPO dan ISPO. Perkebunan Kelapa Sawit
Pada masa Pemerintahan Orde Baru, terjadi
100 kegiatan booming pembalakan kayu yang dikenal
90 dengan sebutan jaman ‘banjir kap’, dimana
dalam persen (%)

80
70 pemerintah mengijinkan ekspor kayu
60 gelondongan sehingga terjadi eksploitasi hutan
50
40 besar-besaran di Kalimantan termasuk di
30 Kabupaten Kutai. Setelah masa reformasi, banyak
20
10 perusahaan HPH yang bangkrut akibat krisis
0 moneter. Kemudian pada sekitar tahun 2005-
Hutan

Merambah hutan sendiri

Dengan perusahaan inti


Non Hutan

Ada
Skema Perkebunan Inti Rakyat (PIR)

Perusahaan kelapa sawit


Tidak ada

Sendiri

2007, melalui program sawit sejuta hektar,


Pemerintah
Merambah hutan secara kelompok

Lainnya (jual beli, warisan)

Dengan pasar lokal

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur membuka


lahan perkebunan sawit di sejumlah kabupaten di
Kalimantan Timur. Adanya program sawit sejuta
hektar dan beroperasinya perusahaan
perkebunan kelapa sawit telah menstranformasi
mata pencaharian masyarakat di Desa Gunung
Sari.
Jenis fisik lahan Cara perolehan Bukti Penyedia bibit Derajat Sebelum adanya ekspansi kelapa sawit oleh
kebun sawit lahan kebun sawit legalitas sawit integrasi
lahan TBS perusahaan perkebunan kelapa sawit, masyarakat
kebun
sawit
di Desa Gunung Sari bekerja sebagai petani ladang
secara menetap, buruh tebang kayu gelondongan,
formal
pekebun karet dan nelayan di Sungai Belayan
Tipe 1. Petani plasma yang mengalir di sekitar Desa Gunung Sari.
Tipe 2. Petani plasma yang mempunyai kebun kelapa sawit mandiri
Tipe 3. Petani mandiri
Namun, setelah adanya ekspansi perkebunan
kelapa sawit oleh perusahaan perkebunan kelapa
Gambar 2. Karakteristik ekspansi perkebunan kelapa sawit sawit, masyarakat di Desa Gunung Sari mulai
berdasarkan tipologi petani kelapa sawit di Desa Gunung Sari, berangsur-angsur mengkonversi semak belukar,
Kec. Tabang, Kab. Kutai Kartanegara, 2018 ladang dan kebun mereka untuk dijadikan
perkebunan kelapa sawit. Konversi lahan tersebut
Tiga tipologi petani kelapa sawit mempunyai marak dilakukan dilakukan setelah perusahaan
dimensi ekspansi yang berbeda-beda (lihat perkebunan kelapa sawit empat tahun beroperasi
Gambar 2) sehingga masing-masing tipologi di Desa Gunung Sari. Hal tersebut dilakukan oleh
petani mempunya tingkat kesiapan implementasi sebagian besar masyarakat di Desa Gunung Sari
ISPO dan RSPO yang berbeda-beda. Berdasarkan karena mereka merasakaan dan melihat adanya
Gambar 2 tersebut dapat disimpulkan bahwa keuntungan ekonomi dari usaha perkebunan
petani plasma dan petani plasma yang kelapa sawit.
135
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

Usaha pertanian kelapa sawit mendatangkan skala likert yaitu nilai 1 adalah tidak pernah
keuntungan yang besar bagi sebagian terjadi konflik dan nilai 4 adalah sangat sering
rumahtangga di Desa Gunung Sari sehingga terjadi konflik.
mereka dapat mengakumulasi modal yang
kemudian diinvestasikan ke usaha lainnya seperti Konflik lahan
dengan
usaha kos-kosan, burung walet dan penyewaan masyarakat lokal
mobil pengangkut Tandan Buah Segar (TBS). 04

Selain itu, masyarakat di Desa Gunung Sari juga 03


02
menjadi buruh dan staf perusahaan perkebunan 01
kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Desa 00
Gunung Sari. Transformasi mata pencaharian Konflik dengan
Konflik dengan
perusahaan
tersebut mengakibatkan pendapatan masyarakat pemerintah
kelapa sawit
di Desa Gunung Sari didominasi dari pertanian
sawit dan usaha non pertanian seperti berdagang
Petani mandiri Petani plasma sekaligus mandiri
dan buruh di perkebunan kelapa sawit (lihat
Gambar 3).
Gambar 4. Persepsi derajat konflik sosial yang terjadi pada petani
plasma sekaligus mandiri dan petani mandiri di Desa Gunung Sari,
100% Bantuan dan kompensasi
Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan
perusahaan
90% Timur, 2018
Bagi hasil plasma
80% 04

70% 03 Non pertanian Gambar 4 menunjukkan bahwa petani


02 plasma sekaligus mandiri dan petani mandiri
60% Kehutanan
01 sering terlibat konflik dengan masyarakat lokal
50%
00 Mencari ikan di sungai dan perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta.
40%
Konflik yang dialami oleh petani kelapa sawit
Sarang burung walet
30% tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-
20% Ternak beda tergantung lawan konflik yang dihadapinya.
10% Karakteristik konflik ini dapat dibedakan
TBS kelapa sawit
0% berdasarkan kedalaman konflik, luasan konflik,
Desa Gunung Sari Padi dampak konflik dan keterlibatan aktor eksternal
komunitas seperti yang diuraikan pada Tabel 3.
140 Bantuan dan kompensasi
perusahaan
Tabel 3. Karakteristik konflik sosial yang berkaitan
Bagi hasil plasma
120 dengan perkebunan kelapa sawit di Desa Gunung Sari,
Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara, 2018
Non pertanian
Karakteristik Petani Vs Petani Vs Petani Vs
dalam jutaan (Rp)

100

Kehutanan
Petani Pemerintah Perusahaan
80 perkebunan
kelapa sawit
Mencari ikan di sungai
swasta
60
Kedalaman Ketegangan Desas desus Demonstrasi
Sarang burung walet
konflik
40 Luasan Antar Petani dengan Komunitas
Ternak
konflik individu ketua RT dan petani dengan
20 petani Kepala Desa perusahaan
TBS kelapa sawit perkebun
-
kelapa sawit
Padi swasta
Desa Gunung Sari
Dampak Timbulnya Keretakan Dominasi dan
konflik kecurigaan hubungan pengusiran
dan antara petani
Gambar 3. Rata-rata pendapatan rumahtangga petani per kebencian dengan ketua
tahun di Desa Gunung Sari, Kecamatan Tabang, Kabupaten RT Kepala
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, 2018 Desa
Keterlibatan Tidak ada Ada Ada
aktor
eksternal
3.5. Konflik Sosial Akibat Ekspansi
Perkebunan Kelapa Sawit: Dapatkah ISPO dan Konflik yang terjadi antar petani sawit terjadi
RSPO mengatasinya? karena tumpang tindih bukti surat penguasaan
Variabel resiko sosial berupa konflik diukur lahan yang dikeluarkan oleh RT atau Kepala Desa.
melalui persepsi kejadiaan konflik yang terjadi Sementara itu, konflik dengan perusahaan
antara petani dengan masyarakat lokal, konflik perkebunan kelapa sawit swasta, umumnya
dengan pemerintah lokal, serta konflik disebabkan oleh pencemaran lingkungan dan
perusahaan perkebunan kelapa sawit. terkait Sisa Hasil Usaha (SHU) plasma serta
Pengukuran derajat terjadinya konflik dengan kebijakan land ID. Pada tahun 2012 terdapat
memberikan pertanyaan yang diukur melalui
136
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

konflik antara petani dan RK karena meningkatkan eksposure terhadap matahari


ketidaksepakatan bagi hasil plasma dan sehingga berdampak pada suhu udara
penerapan kuota TBS bagi land ID. Konflik terkait menjadi semakin berubah panas.
bagi hasil plasma yang berlangsung sampai 2. Seringnya banjir
sekarang mengakibatkan para petani plasma Pada tahap landclearingmaka fungsi tutupan
mengelola dan memanen sendiri kelapa sawit di hutan hilang. Tutupan hutan mempunyai
area perkebunan plasma. Buah yang dipanen oleh fungsipenyimpanan air secara alami dan
petani dari kebun plasma kemudian dijual ke melindungi tanah dari erosi akibat air hujan.
perusahaan perkebunan inti menggunakan land Setelah tutupan hutan berubah menjadi calon
ID lahan kebun swadaya yang belum lahan perkebunan kelapa sawit maka erosi
menghasilkan buah atau kebun swadaya yang tanah dan banjir pun terjadi. Erosi tanah
masih belum memenuhi kuota TBSnya atau land terjadi ketika air hujan jatuh ke tanah secara
ID “abal-abal”. Perusahaan perkebunan inti telah langsung tanpa ada kanopi daun-daun pohon
berusaha menyelesaikan konflik tersebut dengan yang menjadi pelindung, sehingga air hujan
mendatangkan mediator seperti Dinas membawa material tanah secara langsung ke
perkebunan dan kehutanan, tetapi sampai saat ini daerah lebih rendah dan sungai yang
belum menemukan “titik terang”. Berdasarkan hal berdampak pada warna air sungai menjadi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa walaupun coklat dan luapan air sungai ke area
perusahaan perkebuna inti sudah mendapatkan pemukiman penduduk. Banjir yang terjadi di
sertifikasi RSPO dan ISPO, tetapi masih terjadi area pemukiman penduduk akibat dari
konflik dengan petani plasma sekaligus mandiri luapan air sungai terjadi semakin sering
dan petani mandiri. Dapat dikatakan bahwa setelah banyaknya ekspansi perkebunan
sertifikasi RSPO dan ISPO belum efektif menekan kelapa sawit. Bahkan, pada tahun 2005,
terjadinya konflik sosial. banjir besar terjadi di Desa Gunung Sari.
3. Hilangnya biodiversitas
3.6. Dampak Perubahan Ekologi Akibat Perubahan tutupan lahan menjadi
Perkebunan Kelapa Sawit perkebunan kelapa sawit yang sifatnya
Ekspansi perkebunan kelapa sawit telah monoculturemenjadikan tumbuhan obat,
mengakibatkan perubahan tutupan lahan hutan buah, dan sayur hutan menjadi hilang serta
yang berdampak pada perubahan ekologi suatu hewan-hewan hutan seperti rusa, beruang,
kawasan. Pengukuran derajat perubahan ekologi dan orang hutan menjadi semakin berkurang.
diukur melalui skala likert yaitu nilai 1 adalah 4. Penurunan jasa lingkungan
tidak pernah terjadi konflik dan nilai 5 adalah Penurunan jasa lingkungan mengakibatkan
sangat sering. masyarakat di Desa Gunung Sari susah
mencari sayur, hewan buruan, buah-buahan
dihutan serta ikan di sungai karena
Banjir ketersediaan sayur, hewan buruan, buah-
5.0
4.0 buahan di hutan serta ikan di sungai mulai
3.0 berkurang.
Hilangnya 2.0 Peningkatan
biodiversitas 1.0 suhu udara 4. Simpulan
0.0 Ekspansi perkebunan kelapa sawit pada
tahun 1990-2005 cenderung berjalan secara
lambat, sedangkan pada tahun 2005-2016
Penurunan ekspansi kelapa sawit cenderung berjalan secara
jasa Longsor cepat. Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang
lingkungan
dilakukan oleh petani kelapa sawit plasma yang
mempunyai perkebunan kelapa sawit mandiri dan
petani mandiri karena distimulasi keberadaan
perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta dan
Gambar 5. Persepsi derajat perubahan ekologi yang terjadi di didorong atas adanya pasar ekonomi lokal kelapa
Desa Gunung Sari, Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur, 2018
sawit.
Dampak ekonomi akibat ekspansi
Gambar 5 menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit yaitu terjadinya
perkebunan kelapa sawit telah berdampak pada transformasi mata pencaharian rumahtangga
perubahan suhu udara, banjir, hilangnya petani dari petani ladang, pekebun karet dan
biodiversitas dan jasa lingkungan. Namun, tidak nelayan berubah menjadi petani perkebunan
berdampak pada terjadinya longsor. kelapa sawit yang kemudian mengakibatkan
1. Perubahan suhu udara dominasi persentase nafkahnya dari usaha
Perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi pertaniankelapa sawit. Selain itu, ekspansi
perkebunan kelapa sawit telah perkebunan kelapa sawit berdampak pada
tingginya frekuensi konflik sosial khususnya
137
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

konflik antar petani dan petani dengan distribution and land use scenarios: The case of oil
perusahaan perkebunan kelapa sawit. Maraknya palm in the Peruvian Amazon. Land Use Policy 70
ekspansi kelapa sawit juga berdampak pada (2018) 84-93
ekologi khususnya pada perubahan tutupan lahan Denzin N.K., Lincoln Y.S., 2000. Handbook of qualitative
research. California: Sage pulication
hutan yang mengakibatkan perubahan suhu
Fitzherbert E.B., Struebig M.J., Morel A., Danielsen F.,
udara, hilangnya biodiversitas, banjir, erosi tahan Bruhl C.A., Donald P.F., Phalan B. 2008. How will
dan jasa lingkungan. Dampak negatif dari ekspansi oil palm expansion affect biodiversity?. CE Press:
perkebunan kelapa sawit tersebut belum bisa Trends in Ecology and Evolution Vol.23 No.10
ditekan karena ekspansi yang dilakukan oleh [Gapki] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.
beberapa rumahtangga petani khususnya petani 2017. Refleksi industru kelapa sawit 2016 dan
plasma yang mempunyai lahan perkebunan prospek 2017. [internet]. Jakarta: Gapki
kelapa sawit mandiri dan petani mandiri tumpang Gatto M., Wollni M., Qoim M. 2015. Oil palm boom and
land-use dynamics in Indonesia: the role of
tindih dengan area konsesi tambang, HGU, HPH
policies and socioeconomic factors. Land use
dan KBK. Hal tersebut terjadi karena policy 46 (2015) 292-303. Elsevier Science, Ltd.
ketidakefektifan implementasi sistem tata kelola UK
perkebunan kelapa sawit pada level petani yang Giessen L., Burns S., Sahide M.A.K., Wibowo A. 2016.
kemudian berdampak pada berlanjutnya ekspansi From governance to government: the
perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan dan strengthened role of the state bureaucracies in
non APL. forest and agricultural certification. Policy and
society 35 (2016) 71-89
5. Saran Hidayah N. 2016. Perubahan lanskap ekologi taman
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nasional Tesso Nilo dan sistem sosial ekonomi
masyarakat lokal akibat ekspansi kelapa sawit di
terdapat pasar lokal yang bisa menampung TBS Riau. [tesis].Bogor: Institut Pertanian Bogor
yang diusahakan oleh petani kelapa sawit di lahan [ISPO] Indonesian Sustainable Palm Oil. 2017.
yang tidak bersertifikat dan berada kawasan Sertifikasi ISPO. [internet]. [diunduh 2017
hutan serta lahan yang tumpang tindih dengan September 3]. Tersedia pada
konsesi tambang, HGU dan HPHsehingga http://www.ispo.org/sertifikasi
menjadikan ekspansi kelapa sawit terus berlanjut. Irawan S., Tacconi L., Ring I. 2013. Stakeholders’
Oleh karena itu, untuk ke depannya RSPO dan incentives for land-use and REDD+ : the case of
ISPO juga harus diterapkan di semua rantai nilai Indonesia. Ecological economic 87 (2013) 75-83.
produk kelapa sawit terutama tingkat tapak yaitu Elsevier Science, Ltd. UK
[Kemenperin RI] Kementrian Perindustrian Republik
petani kelapa sawit. Penerapan RSPO dan ISPO Indonesia. 2007. Gambaran sekilas industry
pada petani kelapa sawit ini membutuhkan minyak kelapa sawit. [internet] Jakarta:
dukungan finansial yang kuat dari berbagai Kementrian Perindustrian
lembaga sehingga perlu peran pemerintah dalam Khatun R., Reza M. I. H., Moniruzzaman M., Yaakob Z.
penyediaan dukungan finansial tersebut. Selain 2017. Sustainable oil palm industry: The
itu, perlunya sosialisasi dan pendampingan possibilities. Renewable and Sustainable Energy
kepada petani kelapa sawit untuk memastikan Reviews 76 (2017) 608–619
implementasi RSPO dan ISPO di tingkat petani Koczberski, G., Curry, G.N. 2005. Making a living: land
berjalan dengan lancar. pressure and changing livelihood strategies
among oil palm settlers in Papua New Guinea.
Permasalah keterlanjuran tumpang tindih Agricultural system 85 (2005) 324-339
lahan kebun kelapa sawit petani dengan area KBK, Koh L.P., Wilcove D.S. 2008. Is oil palm agriculture
konsesi tambang, HGU, dan HPH harus dicarikan really destroying tropical biodiversity?.
jalan keluar oleh pemerintah melalui skema- Conservation letters vol. 1. Issue 2 June 2008 (60-
skema yang ada misalnya Tanah Objek Reforma 64)
Agraria (TORA), perhutanan sosial atau skema Mardianingsih D.I.T. Dharmawan A.H., Kolopaking L.M.,
lainnya. Sementara itu, keterlanjuran penanaman Firdaus M., Nielsen M.R. 2018. Livelihood
bibit kelapa sawit yang tidak bersertifikat atau transformation of rural communities: A livelihood
“cabutan” oleh petani harus dicarikan solusi oleh system analysis of the Dayak Punan of Berau
District, East Kalimantan, Indonesia. Journal of
pemerintah melalui skema-skema allternatif agar Economics and Sustainable Development Vol 9,
petani dapat memproses sertifkasi ISPO. No. 18, 2018
[RSPO] Roundtable on Sustainable Palm Oil. 2017.
DAFTAR PUSTAKA About proportion of oil palm globally certified by
Afriyani D., Kroeze C., Saad A., 2016. Indonesia palm oil RSPO. [internet]. [diunduh 2017 Mei 31]. Tersedia
production without deforestation and peat pada http://www.rspo.org/about/impacts
conversion by 2050. Science of the Total Ruysschaert D., Salles D. 2014. Towards global
Environment 557–558 (2016) 562–570 voluntary standards: questioning the effectiveness
Amalia R. 2016. Perubahan lanskap ekologi, kerentanan in attaining conservation goals the case of the
dan resiliensi nafkah rumahtangga petani di rountable on sustainable palm oil (RSPO).
sekitar hutan di Kalimantan Timur.[tesis]. Bogor Ecological economic 107 (2014) 438-446
[ID]: Institut Pertaian Bogor. Schouten G., Bitzer V. 2015. The emergence of Southern
Bennett A., Ravikumar A., Cronkleton P. 2018. The standards in agricultural value chains: a new
effects of rural development policy on land rights
138
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP
Jurnal Ilmu Lingkungan (2019), 17 (1): 130-139, ISSN 1829-8907

trend in sustainability governance?. Ecological Widiono, S. 2008. Pembangunan perkebunan kelapa


economic 120 (2015) 175-184 sawit serta dampaknya terhadap pelapisan sosial
Setiawan E.N., Maryudi A., Purwanto R.H., Lele G., 2016. dan strategi nafkah: kasus dua desa Sawah
Opposing interests in the legalization of non- EtnisSerawai dan Jawa di Kabupaten Seluma,
procedural forest conversion to oil palm in Central Provinsi Bengkulu. [tesis]. Bogor[ID]: Sekolah
Kalimantan, Indonesia. Land use policy 58 (2016) pascasarjana Institut pertanian Bogor
472 - 481 Yulian B.E., Dharmawan A.H., Soetarto E., Pacheco P.
Susanti A., Maryudi A. 2016. Development narratives, 2017. Dilema nafkah rumahtangga pedesaan
notions of forest crisis, and boom of oil palm sekitar perkebunan kelapa sawit di Kalimantan
plantations in Indonesia. Forest policy and Timur. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol 5
economics 73 (2016) 130-139 No. 3 Desember 2017 hal 242-249
Wicke B., Sikkema R., Dornburg V., Faaij A. 2011. Zunariyah S. 2012. Dilema ekspansi perkebunan kelapa
Exploring land use changes and the role of palm sawit di Indonesia: Sebuah tinjauan sosiologi
oil production in Indonesia and Malaysia. Land kritis. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah
Use Policy 28 (2011) 193–206 UNS https://eprints.uns.ac.id/id/eprint/132

139
© 2019, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana UNDIP

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai