Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Menstruasi merupakan perubahan fisiologis yang dialami wanita sebagai

tanda kematangan organ reproduksi yang mempunyai implikasi penting pada

kesejahteraan fisik dan emosional dalam kesehatan reproduksi. Menstruasi

pertama dimulai sejak usia remaja, yaitu 12-13 tahun (Manuaba, 2009).

Menstruasi merupakan proses fisiologis, namun sering menimbulkan masalah

terkait gejala fisik dan emosional yang ditimbulkan. Gejala menstruasi dialami

75% remaja serta berdampak pada aktivitas dan kualitas hidupnya. Gejala ini

muncul bahkan sebelum terjadinya menstruasi yang disebut dengan premenstrual

syndrome (PMS) (Wong, 2011).

Premenstrual syndrome merupakan gangguan berulang yang terjadi pada

fase luteal dari siklus menstruasi yang ditandai dengan perubahan fisik, psikologis

dan perilaku yang dapat mempengaruhi hubungan interspersonal. PMS dapat

terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum menstruasi dan mereda

setelah periode menstruasi muncul. Lebih dari 85% wanita usia subur mengalami

ketidaknyamanan fisik maupun psikologis beberapa hari sebelum menstruasi yang

dapat mempengaruhi kualitas hidup dan produktifitasnya sehari-hari.

Prevalensi PMS sebanyak 30 terjadi pada wanita usia subur, sebanyak

99,5% remaja minimal mengalami satu gejala premenstrual. Penelitian Delara

(2013) menunjukkan bahwa 66,3% remaja dengan PMS ringan, 31,4% dengan

PMS sedang dan 2,3% dengan PMS berat. Gejala premenstrual dapat

1
2

mempengaruhi aktivitas sehari-hari sebanyak 90% wanita menstruasi.

Premenstruasi syndrome sedang hingga berat lebih banyak dialami oleh wanita

usia remaja dibandingkan wanita usia dewasa yang berada di daerah pasca

bencana gempa (Takeda et al., 2010). Penyebab PMS belum diketahui secara

pasti, diperkirakan dipengaruhi oleh faktor biologi, psikologi, lingkungan dan

sosial. Faktor biologi meliputi ketidakseimbangan hormon, ketidaknormalan

respon neurotransmitter. Aspek multidimensional yang diduga sebagai penyebab

PMS yaitu faktor biopsikososial (Pilliteri, 2010).

Gejala yang sering dikeluhkan remaja adalah gejala emosional seperti

mudah tersinggung, depresi, mudah marah, cemas atau tegang, perubahan suasana

hati, sedangkan gejala fisik adalah payudara tegang, perut kembung, sakit kepala

dan mudah lelah (Qiao et al., 2012; Attieh et al., 2012; Takeda et al., 2010; Wong

et al., 2011). Dampak dari PMS juga mengganggu hubungan keluarga, kerja,

aktivitas sosial. Wanita yang mengalami PMS melaporkan bahwa gejala PMS

mempengaruhi kehidupan rumah tangga (30%) termasuk hubungan dengan suami

dan anaknya, mempengaruhi kehidupan sosial (24,5%), dan mempengaruhi

hubungan teman kerja atau keluarga (23,1%) (Kitamura, 2012).

Hasil penelitian Atieh (2012), menunjukkan bahwa remaja dengan PMS

mempengaruhi penampilan akademiknya (60,1%), remaja meninggalkan sekolah

minimal satu hari (43,5%) dan 22% mengalami kegagalan dalam ujian. PMS juga

mempengaruhi efisiensi dan produktifitas, pekerjaan rumah (48,9%), aktivitas

sosial (19,45%), hubungan teman atau keluarga (19,1%), dan kesulitan

konsentrasi (60,4%) (Takeda et al., 2010; Kitamura et al., 2012). Remaja dengan
3

PMS memiliki prestasi belajar lebih rendah dibandingkan yang tidak mengalami

PMS. Hal ini disebabkan karena faktor nyeri saat menjelang haid, guru yang

menyebalkan dan suasana yang ramai (Zaitun, 2008).

Prevalensi PMS pada remaja meningkat di daerah pasca gempa meskipun

berada pada area yang tidak mengalami kerusakan, ada hubungan signifikan

antara daerah bencana dengan prevalensi PMS (Takeda et al., 2013). Bencana

alam yang pernah terjadi di Indonesia adalah erupsi Merapi tahun 2010, yang

termasuk salah satu gunung api paling aktif di dunia. Hasil penelitian Cahyanti

(2012) menunjukkan bahwa kejadian PMS dan PMDD secara signifikan

berhubungan dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pasca erupsi

Merapi. Prevalensi PMS dan PMDD meningkat 2 kali lipat dibandingkan daerah

Indonesia yang tidak mengalami bencana, yaitu 47,35% dan 41,8%.

Remaja yang mengalami PMS hanya 10,3% yang konsultasi ke dokter

terkait gejala yang dialaminya sehingga diperlukan deteksi dini sehingga dapat

dilakukan pengobatan. Pengobatan farmakologis yang teridentifikasi efektif dalam

mengurangi gejala PMS adalah penggunaan selective serotonin reuptake inhibitor

(SSRI) ataupun pengobatan hormonal, sedangkan pengobatan nonfarmakologis

yang efektif adalah konsumsi calcium, vitamin E, latihan aerobik, cognitive

behavior therapy dan terapi relaksasi (Douglas, 2002; Bendich, 2000; Canning,

et al., 2006). Strategi pengobatan PMS banyak dilakukan seperti pendekatan

farmakologis maupun non farmakologis.

Assosciation of Women’s Health, Obstetric and Neonatal Nurses

(AWHONN) (2009) memberikan panduan untuk mengatasi ketidaknyamanan dan


4

nyeri premenstrual syndrome menggunakan pendekatan nonfarmakologis sebagai

manajemen awal terhadap stres sebelum ke pengobatan farmakologis. Terapi

relaksasi merupakan salah satu self-monitoring therapy yang sederhana dan efektif

dalam mengurangi stres yang berdampak pada kondisi fisik seperti nyeri, maupun

mental, depresi, perubahan suasana hati, dan kecemasan. Terapi relaksasi

progresif adalah terapi perilaku yang menghubungkan antara tubuh dan pikiran

untuk melakukan penyembuhan sendiri dengan cara yang tepat. Terapi ini mudah

dilakukan dan membutuhkan langkah-langkah yang tepat (Stuart, 2006).

Terapi lain untuk menurunkan kondisi fisik dan mental adalah meditasi,

kompres hangat, teknik stimulasi kulit (massage), yoga dan akupuntur, terapi

suplemen (Wong et al., 2010; Morse et al., 1991). Dari beberapa terapi tersebut,

terapi relaksasi terbukti lebih efektif dalam menurunkan baik gejala fisik seperti

nyeri, dan mental seperti kecemasan. Penelitian yang dilakukan oleh Song (2013)

menunjukkan bahwa terapi relaksasi dapat menurunkan kecemasan dan gejala

fisik seperti nyeri punggung, mual, kehilangan nafsu makan dan kekurangan

energi pada pasien kanker payudara selama kemoterapi. Pengaruh terapi relaksasi

juga dapat mengatasi gejala insomnia pada lansia, lansia yang diberikan terapi

relaksasi mengalami penurunan skor (Napitupulu, 2010). Penelitian oleh Dvivedi

(2008) menunjukkan adanya penurunan nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik,

suhu perifer, dan pernapasan serta penurunan kecemasan setelah diberikan

relaksasi progresif pada pasien yang mengalami premenstrual syndrome.


5

Penelitian terapi relaksasi pada premenstrual syndrome sudah dilakukan

sebelumnya di luar negeri untuk menurunkan gejala seperti kecemasan, namun

belum pernah dilakukan di Indonesia khususnya pada remaja di daerah pasca

bencana. Bencana menjadi salah satu faktor yang dapat memperngaruhi kesehatan

mental dan reproduksi wanita, khususnya pada remaja. Masalah yang muncul saat

atau pasca bencana terjadi pada remaja seperti gangguan menstruasi (PMS,

PMDD, dan dysmenorrhea), sedangkan masalah kesehatan mental seperti

kecemasan, depresi, dan PTSD. Erupsi Merapi memberikan dampak terhadap

remaja, yaitu masalah kesehatan reproduksi dan masalah psikologis. Dampak ini

memberikan masalah depresi dan kecemasan yang berkepanjangan pada remaja.

Daerah rawan bencana Merapi, dan munculnya gempa yang berulang,

memberikan dampak psikologis yang berkepanjangan. Yogyakarta merupakan

wilayah yang beresiko terjadinya bencana alam dan seperti gempa dan erupsi, dan

merupakan wilayah yang berada di sekitar Gunung Merapi.

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung yang aktif dan telah

mengalami erupsi dalam 4 tahun terakhir. Peristiwa erupsi Merapi telah

menimbulkan masalah kesehatan khususnya pada remaja, yang mengalami gejala

premenstrual syndrome (47,3%) pasca erupsi (Cahyanti, 2012). Penelitian selama

ini, belum pernah dilakukan suatu pengobatan untuk mengatasi gejala tersebut,

sehingga diperlukan pengobatan yang efektif dan efisien untuk mengatasi PMS.

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian

tentang suatu pengobatan nonfarmakologis, untuk membantu mengatasi gejala

tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengetahui


6

“Bagaimana pengaruh teknik relaksasi dalam mengatasi premenstrual syndrome

pada remaja pasca erupsi Merapi di Yogyakarta”.

B. Rumusan Masalah

Masalah gangguan reproduksi pada remaja, seperti gangguan menstruasi

yaitu premenstrual syndrome merupakan masalah yang mengganggu produktifitas

remaja dan mempengaruhi kualitas hidup serta penampilan akademiknya.

Prevalensi PMS pada daerah pasca bencana menunjukkan bahwa remaja dengan

PMS meningkat dua kali lipat dibandingkan daerah normal (Cahyanti, 2012)

Takeda et al., 2013). Hal ini memerlukan perhatian untuk mengatasi gejala

tersebut dengan memberikan pengobatan yang efektif namun efisien dan

sederhana sebagai self-monitoring dengan menggunakan pendekatan

nonfarmakologis. Terapi untuk mengurangi gejala PMS juga belum pernah

dilakukan sebelumnya, sehingga berdasarkan uraian di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah ”Adakah pengaruh terapi relaksasi dalam

menurunkan premenstrual syndrome pada remaja pasca bencana erupsi Merapi di

Yogyakarta?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum:

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi

relaksasi dalam menurunkan gejala premenstrual syndrome pada remaja di

daerah pasca bencana erupsi Merapi di Yogyakarta.


7

2. Tujuan khusus:

a. Mengidentifikasi prevalensi premenstrual syndrome pada remaja pasca

bencana erupsi Merapi di Yogyakarta.

b. Mengetahui karakteristik responden dengan premenstrual syndrome

pada remaja pasca bencana erupsi Merapi di Yogyakarta.

c. Mengetahui gejala premenstrual syndrome sebelum diberikan terapi

relaksasi progresif pada remaja pasca bencana erupsi Merapi di

Yogyakarta.

d. Mengetahui gejala premenstrual syndrome setelah diberikan terapi

relaksasi progresif pada remaja pasca bencana erupsi Merapi di

Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi referensi tentang

ilmu keperawatan khususnya tentang pengobatan nonfarmakologis terapi

relaksasi progresif dalam penanganan gejala premenstrual syndrome.

2. Manfaat Klinis

a. Bagi Institusi Sekolah

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu data mengenai

kesehatan reproduksi remaja khususnya tentang gangguan premenstrual,

sehingga dapat lebih memperhatikan siswi yang mengalami

premenstrual syndrome. Dan sebagai acuan dalam menentukan serta


8

mengembangkan kebijakan dalam mengatasi masalah reproduksi remaja

agar tidak berdampak pada kualitas dan produktifitasnya di bidang

akademik.

b. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan

pengabdian masyarakat dengan memberikan pendidikan kesehatan

terkait PMS atau jenis pengabdian lain yang dapat membantu

meningkatkan kualitas hidup dan produktifitas remaja serta dapat

digunakan sebagai data untuk menciptakan inovasi-inovasi yang dapat

meningkatkan kesehatan reproduksi khususnya pada remaja.

c. Bagi Remaja Perempuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

kesehatan reproduksi dan dapat diaplikasikan sebagai salah satu metode

pengobatan nonfarmakologis dalam menurunkan gejala premenstrual

syndrome.

d. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian

selanjutnya dalam bidang kesehatan reproduksi maupun kesehatan jiwa

terutama tentang metode pengobatan nonfarmakologis lainnya yang

efektif dalam menurunkan premenstrual syndrome. Misalnya penelitian

dengan kualitas metodologi yang baik atau membandingkan dengan

terapi lain.
9

E. Keaslian Penelitian

Penelusuran kepustakaan penelitian tentang keefektifan terapi relaksasi dalam

menangani premenstrual syndrome pada remaja di daerah pasca bencana belum

pernah dilakukan. Beberapa artikel yang mirip dengan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Goodale et al (1990) melakukan penelitian dengan judul “Alleviation of

Premenstrual Syndrome Symptoms with the relaxation response”. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah relaksasi dapat mengurangi

gejala fisik dan emosional premenstrual syndrome. Responden penelitian ini

dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok charting, reading dan relaksasi

setelah dilakukan screening selama dua bulan menggunakan Premenstrual

assessment form dan Daily rating form. Hasil menunjukkan ketiga kelompok

mengalami perubahan gejala baik fisik maupun emosional. Hasil

perbandingan charting dengan relaksasi dan reading dengan relaksasi

tehadap respon gejala (p<0,01) untuk semua perbandingan). Kelompok

relaksasi mengalami peningkatan sebesar 58% dibandingkan reading (27,2%)

dan charting (17%). Perbedaan dengan penelitian ini adalah rancangan

penelitian, populasi dan lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan control

group pretest posttest design sedangkan peneliti menggunakan non

equivalent control group design dan dilakukan pada remaja dengan PMS di

daerah pasca bencana.

2. Morse et al (1991) meneliti tentang “A comparison of hormone therapy,

coping skill training and relaxation for the relief of premenstrual syndrome”.
10

Penelitian ini membandingkan tiga pengobatan dalam mengobati PMS pada

84 wanita yang mencari pengobatan di klinik gangguan menstruasi

Melbourne. Terapi hormon yang diberikan adalah dydrogesterone selama tiga

siklus menstruasi pada hari ke 17 sampai 27 siklus dengan dosis 10 mg dua

kali sehari. Coping skill training dilakukan oleh terapis dalam 10 minggu

selama 90 menit tiap sesi secara kelompok. Terapi relaksasi dilakukan

menggunakan audiotape menurut prosedur Benson (1976). Semua

pengobatan di follow up selama 3 bulan. Hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa “coping skill training” dapat menurunkan gejala PMS khususnya

gejala afektif kognitif, sedangkan terapi hormon tidak banyak berdampak

pada gejala fisik dan pada kelompok relaksasi selama dua bulan pertama

tidak memberikan dampak yang spesifik. Perbedaan dengan penelitian ini

adalah rancangan penelitian, populasi dan lokasi penelitian. Penelitian ini

menggunakan control group pretest posttest design dan dilakukan pada

wanita dengan PMS sedangkan peneliti menggunakan non equivalent control

group design pada remaja di daerah pasca bencana.

3. Dvivedi et al (2008) melakukan penelitian tentang “Effect of 61-Points

Relaxation Technique on Stress Parameters in Premenstrual Syndrome”.

Penelitian ini ingin mengevaluasi keefektifan 61 poin relaksasi terhadap stres

yang dievaluasi dengan mengukur nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik,

suhu perifer, penafasan, elektromyogram pada pasien dengan premenstrual

syndrome. Hasil menunjukkan bahwa responden mengatakan kondisinya

lebih baik setelah relaksasi. Pada kelompok PMS, setelah 10 menit relaksasi
11

menunjukkan nadi (p<0,0001), tekanan darah sistolik (p<0,0001), tekanan

darah diastolik (p<0,0001), pernapasan (p<0,0001) dan suhu (p<0,0001)

mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol (Non

PMS). Persamaan dengan penelitian ini adalah teknik relaksasi untuk

menurunkan gejala PMS, dan perbedaannya adalah rancangan penelitian,

sampel, dan lokasi penelitian.

4. Mahdavi et al (2013) meneliti tentang “Implementing Benson’s relaxation

training in Hemodialysis patients: Change in perceived stres, anxiety, and

depression”. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh relaksasi

“Benson” terhadap pengurangan stres pada pasien hemodialisa di Iran.

Metodenya randomized trial dengan kelompok kontrol. Hasil menunjukkan

perbedaan dua mean sebelum dan sesudah intervensi pada stres dan

kecemasan sangat signifikan (p<0,000) sedangkan pada kelompok kontrol

tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,11: p>0,18). Perbedaan dengan

penelitian ini adalah rancangan penelitian, populasi, variabel dan lokasi

penelitian. Penelitian ini menggunakan control group pretest posttest design

dan dilakukan pada pasien hemodialisa sedangkan peneliti pada remaja

dengan PMS di daerah pasca bencana menggunakan terapi relaksasi

progresif.

5. Isa et al (2013) meneliti tentang “Impact of Applied Progressive Deep

Muscle Relaxation Training on the Level of Depression, Anxiety and Stres

among Prostate Cancer Patients: A Quasi-Experimental Study. Hasil

penelitian ini menunjukkan ada perubahan signifikan pada skor kecemasan


12

(p<0,0001) dan skor stres (p<0,0001) pada kelompok intervensi dan kontrol.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel terikat dan bebas, populasi

dan lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan control group pretest

posttest design dan dilakukan pada pasien dengan cancer prostat sedangkan

peneliti menggunakan variabel terikatnya gejala PMS dan variabel bebasnya

relaksasi progresif pada remaja di daerah pasca bencana.


13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Premenstrual Syndrome (PMS)

a. Definisi

Premenstrual syndrome (PMS) merupakan perubahan suasana hati dan

fisik yang dirasakan oleh wanita beberapa hari sebelum menstruasi,

gejala muncul berbulan-bulan dan mempengaruhi kehidupan

normalnya (ACOG, 2011). Menurut Ellen et al (2003) gejala fisik,

emosional dan perilaku yang terjadi muncul beberapa hari sebelum

menstruasi dan hilang beberapa hari setelah datangnya menstruasi.

PMS terjadi secara siklis selama fase luteal dari siklus haid.

PMS menjadi masalah pada wanita dan gejala yang sering

muncul adalah gejala fisik seperti payudara tegang, perut kembung,

sakit kepala, mudah lelah dan kram. Gejala afektif yang muncul adalah

mudah tersinggung, perubahan suasana hati, tegang, cemas, mudah

marah, dan depresi (Attieh et al., 2012; Takeda et al., 2010).

b. Prevalensi

Prevalensi dari gejala PMS ringan banyak diderita oleh wanita dewasa

sedangkan PMS sedang-berat banyak diderita oleh remaja pada daerah

pasca bencana di Jepang (Tekeda et al., 2010). Gejala premenstrual

dialami oleh remaja, sebanyak 99,5% remaja minimal mengalami satu

13

Anda mungkin juga menyukai