Tugas KMB 1 Wulan
Tugas KMB 1 Wulan
DIBUAT OLEH :
WULAN ANTARIK RAGI
(NIM : 202001133)
DOSEN MK :
Paru normal memiliki rasio ventilasi dan perfusi (V/Q ratio) pada nilai tertentu. Kelainan
pada jalan napas, parenkim paru, dan sirkulasi paru akan mempengaruhi rasio ventilasi
dan perfusi sehingga dapat menyebabkan sesak napas hingga gagal napas pada keadaan
berat. Secara garis besar, terdapat empat gambaran klinis paru berdasarkan rasio ventilasi
dan perfusi.
Keadaan shunt, yaitu terjadi penurunan ventilasi namun perfusi normal atau tidak
menurun separah ventilasi sehingga rasio V/Q menurun. Dampaknya adalah
sirkulasi yang melalui area ini tidak mendapatkan oksigenasi yang adekuat dan
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Pada kerusakan paru luas seperti pada
tuberkulosis paru, area shunt dapat menjadi banyak dan menyebabkan hipoksemia
yang bermakna pada pasien
Silent unit, merupakan segmen paru yang tidak mendapatkan ventilasi dan perfusi
Penyebab utama dari gagal napas hipoksemik adalah ketidakseimbangan V/Q. Beberapa
penyebab ketidakseimbangan ini misalnya emboli paru, obstruksi jalan napas,
pneumonia, atelektasis. Hipoksemia pada keadaan-keadaan ini umumnya dapat dikoreksi
sementara dengan bantuan terapi oksigen dan ventilasi mekanik.
Right-To-Left Shunt
Pirau dari kanan ke kiri atau right-to-left shunt terjadi akibat sirkulasi paru (sirkulasi
kanan) yang langsung masuk ke sirkulasi sistemik (sirkulasi kiri) tanpa melewati alveolus
sehingga darah tidak mengalami oksigenasi. Semakin besar aliran pada pirau ini, maka
akan semakin berat hipoksemia yang terjadi. Keadaan hipoksemia pada kasus ini tidak
dapat dikoreksi dengan suplementasi oksigen. Terapi harus dengan koreksi langsung
penyebab adanya pirau.
Rendahnya oksigen yang diinspirasi lebih sering ditemukan pada orang-orang pada
dataran tinggi. Tekanan parsial oksigen pada lingkungan dataran tinggi lebih rendah
dibandingkan permukaan laut. Keadaan ini juga dapat ditemukan pada orang yang
menghirup kembali udara ekspirasi. Rendahnya fraksi oksigen juga dapat menjadi
penyebab hipoksemia pada pasien yang sudah terpasang ventilator. Hal ini mungkin
terjadi bila ventilator mengalami malfungsi.
Gangguan Difusi
Pada keadaan seperti edema paru akut, terjadi gangguan pertukaran gas alveolus dengan
sirkulasi paru. Gangguan seperti ini terutama mempengaruhi pertukaran oksigen. Karbon
dioksida memiliki kelarutan di air yang besar sehingga tidak menerima dampak sebesar
oksigen.
Hiperkapnia
Penyebab hiperkapnia pada gagal napas hiperkapnik secara garis besar ada dua, yaitu
peningkatan produksi karbon dioksida dan gangguan pembuangan karbon dioksida.
Faktor yang paling berperan adalah pembuangan karbon dioksida.
Cedera medulla spinalis servikal di atas C3, karena n. frenikus berasal dari C3-C5
Sindrom Guillain-Barre
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
Myasthenic crisis
Intoksikasi organofosfat
Penurunan Volume Tidal
Kyphoscoliosis
Flail chest
Distensi abdomen hebat (misalnya akibat asites masif)
Masalah pada pleura (misalnya pneumothoraks dan efusi pleura masif)
Pada penyakit seperti emfisema, terjadi penurunan komplians paru dan peningkatan
volume dead space. Emboli paru juga dapat meningkatkan volume dead space karena
menyebabkan tidak adanya perfusi pada area yang disumbat embolus. Pada mulanya
tubuh akan berusaha melakukan kompensasi dengan hiperventilasi, namun lama-
kelamaan akan mengalami kelelahan sehingga mulai terjadi.
b) PEMERIKSAAN PENUNJANG
Selain menentukan penyebab, diagnosis gagal napas juga perlu menentukan jenis gagal
napas, apakah hipoksemia, hiperkapnia, atau campuran keduanya.
Triase
Gagal napas umumnya dapat dikenali saat melakukan pemeriksaan tanda vital di triase.
Tanda kegawatan berupa peningkatan usaha napas yang bermakna, gangguan
hemodinamik, dan penurunan kesadaran.
Bila pasien memiliki tanda kegawatan, segera lakukan tata laksana awal. Keterlambatan
terapi awal dapat menyebabkan pasien kelelahan, napas semakin dangkal, kesadaran
berkurang, dan sianosis memberat. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada keadaan hipoksemia dan hiperkapnia agak berbeda dan keduanya
dapat terjadi bersamaan dalam satu individu yang sama. Tanda dan gejala utama pada
gagal napas adalah peningkatan work of breathing, ditandai dengan:
Hipoksemia Hiperkapnia
Ringan Ringan
Umunya tidak ada Kulit kemerahan
Nyeri kepala
Sedang Sedang
Dyspnea Takipnea
Pusing Takikardia
Nyeri kepala Dyspnea
Kelelahan Penurunan refleks fisiologis
Pucat Cenderung mengantuk
Takikardia Linglung
Gangguan irama jantung Peningkatan tekanan darah
Disorientasi
Sianosis
Berat Berat
Hipotensi Papiledema
Bradikardi Koma
Gangguan visual
Penurunan kesadaran
Kejang
Anamnesis
Setelah melakukan tata laksana gawat darurat, lakukan anamnesis untuk mencari tahu seberapa
berat masalah dan penyebabnya. Penyebab gagal napas ada banyak, sehingga perlu ditanyakan
faktor-faktor risiko yang sering agar dapat mengarahkan diagnosis dengan baik.
Pemeriksaan Fisik
TandaVital
Bisa didapatkan takikardia, peningkatan tekanan darah, hipotensi (pada keadaan dekompensasi
hemodinamik), ataupun sianosis dan desaturasi (saturasi oksigen 90% setara dengan PaO2
sebesar kira-kira 60 mmHg).
Takipnea
Bradipnea (pada gagal napas akibat gangguan pusat napas di otak)
Hipoventilasi (pada gangguan neuromuskular)
Napas cuping hidung
Retraksi dada
Merintih (pada anak)
Ekspansi dinding dada (bila asimetris, curiga pneumothoraks)
Auskultasi
Auskultasi jantung untuk menilai kemungkinan gagal jantung maupun kelainan jantung bawaan.
Pemeriksaan Neurologis
Tingkat kesadaran
Kekuatan motorik pada kecurigaan kelainan neuromuskular
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang Tgl 12/11-2001 Foto IVP kesimpulan : contusio ren sinistra Foto BOF
kesimpulan : tampak fraktur costa 10 kiri belakang Tgl 19– 11 – 2001 AGD : pH : 7,403 PCO2 :
41,7 mmHg PaO2 : 83,4,1 mmHg HCO3 : 25,4 BE : 0,7 O2 sat : 96,3 % GDA : 153 gr/dl
Albumin : 3,47 u/l WBC : 22,1 RBC : 11,8 Hgb : 36,6 gr%
Dilakukan untuk mencari tanda infeksi. Pada hipoksemia kronis, dapat ditemukan polisitemia.
I. Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Gresik Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pekerjaan : karyawan PT. Intisari Boga
Agama : Islam MRS : 12 – 11 – 2001
Diagnosa : CF costa 5-9 (S)+CF costa 6-7 (D)+Contusio Pulmonum, Trauma Tumpul
Abdomen Alasan dirawat : perdarahan hebat dan resiko gagal napas Keluhan utama
sebelumnya : sakit dada Upaya yang telah dilakukan : Operasi eksplorasi laparotomi
tgl 12 – 11 – 2001 dan pemasangan ventilator. II.
3. Body Systems Breathing Hidung: terpasang NGT, tidak ada kelainan. Trakhea :
tidak ada kelaina, trakeostomi (),Bentuk dada simetris, pergerakan dada kana-kiri
sama, retraksi dada(-), suara nafas : vesikuler menurun di kiri, suara tambahan:
ronchi di parukanan-kiri. Klien menggunakan ventilator SiMV ART-10, FiO2 40%
dan bullow drainage pada ICS 7 kanan. Bleeding
Nyeri dada (-), palpitasi (-), capillary refill 3 detik, suara jantung S1 S2 tunggal,
murmur (-), edema ekstremitas(-), JVD (-), konjungtiva pucat Brain Kesadaran :
apatis, GCS; 4 X 6, kepala dan wajah simetris, tanda perlukaan (-), sklera putih, pupil
isokor, leher tidak ada gangguan( terpasang ETT). Persepsi sensori :Penglihatan,
perabaan,penciuman, penglihatan tidak ada gangguan Pengecapan terganggu karena
pemasangan ETT Bladder Produksi urin : 1780cc/24 jam, warna kuning pekat,
menggunakan dauwer kateter, blast kosong, nyeri berkemih (-). Bowel Bibir dan
mukosa kering, terpasang ETT hari ke &, nutrisi dibantu lewat NGT. Abdomen : flat,
terdapat insisi midline 10 cm, luka kering, tanda peradangan (-), distensi abdomen
(-), bising usus 3-5 x.mnt, pembesaran hepar tidak teraba, limfa tidak teraba.
Perkusi : resonan. Rectum : luka (-), hemoroid (-), BAB selama di ROI belum
pernah. Penggunaan pencahar (-). Bone Kemampuan pergerakan sendi bebas,
parese/paralise (-). Ekstremitas : Atas: terdapat vulnus ekskoriasi luas dari bahu,
lengan atas dan lengan bawah kirikanan terpasang three way iv line pada lengan kiri.
Tonos otot 5 Bawah : tidak ada kelainan, tanda peradangan (-), edema (-) Tulang
belakang ; tidak ada kelainan Kulit : warna pucat, turgor kulit baik. Terdapat
gambaran jejas pada hemithorax kanan & kiri. Akral hangat. Sistem Endokrin Tidak
ada gangguan, goiter (-) Sistem hematopietik Tidak terdapat tanda gangguan
perdarahan dan limfadenopathy
Pada prinsipnya, pengobatan utama gagal napas adalah pemberian oksigen dengan metode
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Pada pasien dengan gagal napas akut, penanganannya membutuhkan perawatan intensif di
rumah sakit dan membutuhkan alat bantu napas atau ventilator. Sedangkan pada gagal napas
kronik, umumnya perawatan dapat dilakukan di rumah. Selebihnya, pengobatan diberikan sesuai
dengan penyakit yang mendasari gagal napas
Komplikasi
Pada tahap awal, gagal napas dapat menyebabkan penderitanya kehilangan kesadaran dan
mengalami gangguan irama jantung atau aritmia. Bila tidak juga tertangani dengan tepat, kondisi
ini dapat menyebabkan kegagalan kerja berbagai organ tubuh (multi organ failure) dan berujung
pada kematian.as tersebut.
2. TENSION PNEUMOTHORAX
Patofisiologi pneumothorax berupa gangguan recoil paru yang terjadi melalui mekanisme
peningkatan tekanan pleura akibat terbentuknya komunikasi abnormal. Komunikasi
abnormal ini dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura, atau antara udara ruang dan
rongga pleura.
Kondisi Normal
Pada kondisi normal, tekanan dalam rongga paru lebih besar dibanding tekanan di dalam
rongga pleura. Tekanan rongga pleura negatif jika dibandingkan dengan tekanan atmosfer
selama seluruh siklus respirasi. Tekanan pleura selalu lebih rendah dari tekanan alveolar
dan tekanan atmosfer sehingga memungkinkan paru mengalami elastic recoil.
A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan computed Tomography (CT-Scan)
Diperlukan apabila pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakan.
Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas udara dengan cairan intra dan ekstrapulmonal serta
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan dengan pneumotoraks sekunder.
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi)
Merupakan pemeriksaan invasive, tetapi memiliki sensivitas yang lebih besar
dibandingkan pemeriksaan CT-Scan Ada 4 derajat.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian AVPU (Kesadaran)
Untuk menentukan tingkat kesadaran klien dapat digunakan perhitungan Glassglow
Coma Scale (GCS). Untuk klien dengan gangguan tension pneumothoraks, biasanya
kesadaranya menurun. Dapat juga dinilai melalui cara berikut : 1. A = Alert
Penderita sadar dan mengenali keberadaan dan lingkungannya. 2. V = Verbal
Penderita hanya menjawab/bereaksi bila dipanggil atau mendengar suara. 3. P = Pain
Penderita hanya bereaksi terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh penolong,
misalnya dicubit, tekanan pada tulang dada. 4. U = Unrespon Penderita tidak
bereaksi terhadap rangsang apapun yang diberikan oleh penolong. Tidak membuka
mata, tidak bereaksi terhadap suara atau sama sekali tidak bereaksi pada rangsang
nyeri.
2. Tujuan
3. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengidentifikasi, melaksanakan, dan merumuskan masalah
keperawatan tension pneumothoraks serta dapat melaksanakan asuhan keperawatan
secara baik dan benar.
4. Tujuan Khusus
5. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan tension
pnemuthoraks.
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan tension
pneumothoraks.
7. Mahasiswa mampu merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan
tension
pneumothoraks.
8. Mahasiswa mampu mengimplementasikan tindakan keperawatan pada klien
dengan tension pneumothoraks.
9. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang diberikan pada
klien tension
pneumothoraks.
10. Mahasiswa mampu mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan pada
klien dengan tension pneumothoraks.
11. Manfaat
12. Mahasiswa dapat melaksanakan tindakan asuhan keperawatan dengan baik dan
benar.
13. Mahasiswa dapat memahami konsep dasar asuhan keperawatan gawat darurat.
Triage
Mengancam jiwa, akan mati tanpa tindakan dan evaluasi segera. Harus didahulukan
langsung ditangani. Area resusitasi. Waktu tunggu 0 menit. Maka dapat digolongkan
P1 (Emergency).
Primary Survey
1. Airway a. Assessment : 1) Perhatikan patensi airway. 2) Dengar suara napas. 3)
Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada b. Management
1) Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust,
hilangkan benda yang menghalangi jalan napas 2) Re-posisi kepala, pasang collar-
neck 3) Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal) 2.
Breathing a. Assesment 1) Periksa frekwensi napas 2) Perhatikan gerakan respirasi 3)
Palpasi toraks 4) Auskultasi dan dengarkan bunyi napas b. Management: 1) Lakukan
bantuan ventilasi bila perlu 2) Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi
tension pneumotoraks 3. Circulation a. Assesment 1) Periksa frekwensi denyut
jantung dan denyut nadi 2) Periksa tekanan darah 3) Pemeriksaan pulse oxymetri 4)
Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
C. PENGOBATAN PNEUMOTORAX
Penanganan pneumotoraks bergantung pada jenis pneumotoraks yang dialami. Pada
simple pneumothorax, penanganan awalnya adalah memberikan oksigen melalui
kanul atau sungkup hidung.
Sputum pada jalan nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga
status asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan
oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh. b. Breathing Adanya sumbatan pada
jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha napas pasien untuk memperoleh
oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status asmatikus pasien mengalami
nafas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha
ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan sesak napas berat
sehingga pasien tidak mampu menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau
kesulitan dalam bergerak. Pada pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari
25 x / menit. Pantau adanya mengi. c. Circulation Pada kasus status asmatikus ini
adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien maka jantung berkontraksi kuat
untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya peningkatan denyut
nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik pada waktu
inspirasi. Pulsus paradoksus, lebih dari 10 mmHg.
Arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai tertinggi yang
pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini dapat
menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini. d. Disability Pada tahap
pengkajian ini diperoleh hasil bahwa pasien dengan status asmatikus mengalami
penurunan kesadaran. Disamping itu pasien yang masih dapat berespon hanya dapat
mengeluarkan kalimat yang terbata – bata dan tidak mampu menyelesaikan satu kalimat
akibat usaha napas yang dilakukannya sehingga dapat menimbulkan kelelahan .Namun
pada penurunan kesadaran semua motorik sensorik pasien unrespon. 2. Pengkajian
sekunder a. Pemeriksaan fisik head to toe. b. Pemeriksaan keadaan umum dan kesadaran
c. Eliminasi Kaji haluaran urin, diare/konstipasi. d. Makanan/cairan Penambahan BB
yang signifikan, pembengkakan ekstrimitas oedema pada bagian tubuh. e.
Nyeri/kenyamanan Nyeri pada satu sisi, ekspres imeringis. f. Neurosensori Kelemahan
:perubahankesadaran B. Diagnosa 1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d
penumpukan sputum 2. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
3. Ketidakefektian perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigenC. Intervensi 1.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum Intervensi : NOC : a.
Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif. b. Mengeluarkan sekresi secara efektif
c. Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal. d. Mempunyai
fungsi paru dalam batas normal NIC : Airway suction a. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal
suctioning b. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning c. Informasikan
kepada klien dan keluarga tentang suctioning d. Berikan O2 dengan menggunakan nasal
untuk memfasilitasi suction nasotrakeal e. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan
tindakan f. Monitor status oksigen pasien. Airway management a. Buka jalan nafas b.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi c. Indentifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas buatan d. Lakukan fisioterapi dada jika perlu e. Berikan
bronchodilator bila perlu f. Monitor respirasi dan status O2
3. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas NOC : a. Pertukaran
gas dan ventilasi pasien tidak bermasalah b. Tidak menggunakan pernafasan mulut NIC :
Airway management a. Buka jalan nafas b. Posiskan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi c. Pasang mayo bila perlu d. Lakukan suction pada mayo e. Auskultasi suara
nafas, catat adanya suara tambahan f. Monitor konsentrasidan status O2 g. Terapioksigen
h. Bersihkan mulut, hidung dan secret pada trakea i. Pertahankan jalannafas yang paten j.
Atur peralatan oksigenasi k. Monitor aliran oksigenasi l. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi. Vital sign management a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR b.
Catat adanya fluktasi tekanan darah c. Ukur tekanan darah pada kedua lengan dan
bandingkan d. Monitor frekuensi dan irama pernafasan e. Monitor suhu,warna dan
kelembaban kulit f. Monitor adanya tekanana nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan
sistolik.
4. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi NOC : a. Dapat
memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan normal b. Tidak
terdapat cyanosis pada pasien c. Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea NIC
Airway management a. Buka jalan nafas b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi c. Pasang mayo bilaperlu d. Lakukan suction pada mayo e. Auskultasi suara
nafas, catat adanya suara tambahan f. Monitor konsentrasi dan status O2 Respiratory
monitoring : a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi b. Catat
pengerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot c. tambahan , retraksi otot
supraclavikular dan intercostatis d. Monitor suara nafas, seperti dengkur e. Monitor
kelelahan otot diafragma ( gerakan paradoksis ) f. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengaukultasi pada jalan nafas utama g. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
3. Patofisiologi Asma
Patofisiologi dari asma yaitu adanya faktor pencetus seperti debu, asap rokok, bulu
binatang, hawa dingin terpapar pada penderita. Bendabenda tersebut setelah terpapar
ternyata tidak dikenali oleh sistem di tubuh