Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KMB 1

DIBUAT OLEH :
WULAN ANTARIK RAGI
(NIM : 202001133)

DOSEN MK :

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES WIDYA NUSANTAR
PALU 2021
1. GAGAL NAPAS
adalah kondisi kegawatan medis yang terjadi akibat gangguan serius pada sistem
pernapasan, sehingga menyebabkan tubuh kekurangan oksigen. Kondisi ini perlu segera
mendapat penanganan medis. Jika tidak segera ditangani, gagal napas dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh dan bahkan kematian.

a) PATOFISOLOGI GAGAL NAPAS


Patofisiologi gagal napas adalah ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi paru yang
menyebabkan hipoksemia atau peningkatan produksi karbon dioksida dan gangguan
pembuangan karbon dioksida yang menyebabkan hiperkapnia.

 Ketidakseimbangan Ventilasi Dan Perfusi.

Paru normal memiliki rasio ventilasi dan perfusi (V/Q ratio) pada nilai tertentu. Kelainan
pada jalan napas, parenkim paru, dan sirkulasi paru akan mempengaruhi rasio ventilasi
dan perfusi sehingga dapat menyebabkan sesak napas hingga gagal napas pada keadaan
berat. Secara garis besar, terdapat empat gambaran klinis paru berdasarkan rasio ventilasi
dan perfusi.

 Keadaan normal dengan rasio ventilasi dan perfusi seimbang


 Keadaan dead space, yaitu ventilasi normal, namun perfusi berkurang sehingga
rasio V/Q meningkat. Dampaknya, tidak terjadi pertukaran gas pada area ini dan
udara yang diventilasi menjadi sia sia

 Keadaan shunt, yaitu terjadi penurunan ventilasi namun perfusi normal atau tidak
menurun separah ventilasi sehingga rasio V/Q menurun. Dampaknya adalah
sirkulasi yang melalui area ini tidak mendapatkan oksigenasi yang adekuat dan
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Pada kerusakan paru luas seperti pada
tuberkulosis paru, area shunt dapat menjadi banyak dan menyebabkan hipoksemia
yang bermakna pada pasien

 Silent unit, merupakan segmen paru yang tidak mendapatkan ventilasi dan perfusi
Penyebab utama dari gagal napas hipoksemik adalah ketidakseimbangan V/Q. Beberapa
penyebab ketidakseimbangan ini misalnya emboli paru, obstruksi jalan napas,
pneumonia, atelektasis. Hipoksemia pada keadaan-keadaan ini umumnya dapat dikoreksi
sementara dengan bantuan terapi oksigen dan ventilasi mekanik.

 Right-To-Left Shunt

Pirau dari kanan ke kiri atau right-to-left shunt terjadi akibat sirkulasi paru (sirkulasi
kanan) yang langsung masuk ke sirkulasi sistemik (sirkulasi kiri) tanpa melewati alveolus
sehingga darah tidak mengalami oksigenasi. Semakin besar aliran pada pirau ini, maka
akan semakin berat hipoksemia yang terjadi. Keadaan hipoksemia pada kasus ini tidak
dapat dikoreksi dengan suplementasi oksigen. Terapi harus dengan koreksi langsung
penyebab adanya pirau.

 Fraksi Oksigen Rendah

Rendahnya oksigen yang diinspirasi lebih sering ditemukan pada orang-orang pada
dataran tinggi. Tekanan parsial oksigen pada lingkungan dataran tinggi lebih rendah
dibandingkan permukaan laut. Keadaan ini juga dapat ditemukan pada orang yang
menghirup kembali udara ekspirasi. Rendahnya fraksi oksigen juga dapat menjadi
penyebab hipoksemia pada pasien yang sudah terpasang ventilator. Hal ini mungkin
terjadi bila ventilator mengalami malfungsi.

 Gangguan Difusi

Pada keadaan seperti edema paru akut, terjadi gangguan pertukaran gas alveolus dengan
sirkulasi paru. Gangguan seperti ini terutama mempengaruhi pertukaran oksigen. Karbon
dioksida memiliki kelarutan di air yang besar sehingga tidak menerima dampak sebesar
oksigen.
 Hiperkapnia

Penyebab hiperkapnia pada gagal napas hiperkapnik secara garis besar ada dua, yaitu
peningkatan produksi karbon dioksida dan gangguan pembuangan karbon dioksida.
Faktor yang paling berperan adalah pembuangan karbon dioksida.

Parameter ventilasi alveolar (VA) dipakai untuk menjelaskan pembuangan karbon


dioksida. Retensi karbon dioksida terjadi akibat hipoventilasi alveolar. Sebab-sebab
hipoventilasi alveolar adalah:

 Penurunan Frekuensi Pernapasan

Penurunan frekuensi pernapasan terjadi akibat penurunan dorongan napas (respiratory


drive). Secara garis besar, depresi napas ini disebabkan:
 Obat dengan efek sedasi
 Cedera kepala
 Infeksi intrakranial
 Tumor intrakranial
Depresi napas ini umumnya juga disertai dengan penurunan kesadaran sehingga
meningkatkan risiko aspirasi pada saluran napas.
Selain depresi napas, gangguan neuromuskular pada n. frenikus dan otot diafragma juga
dapat menyebabkan gagal napas dengan hipoventilasi berat, misalnya pada kasus:

 Cedera medulla spinalis servikal di atas C3, karena n. frenikus berasal dari C3-C5
 Sindrom Guillain-Barre
 Amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
 Myasthenic crisis
 Intoksikasi organofosfat
 Penurunan Volume Tidal

Penurunan volume tidal menyebabkan penurunan oksigenasi dan penurunan pembuangan


karbon dioksida. Penurunan ini dapat disebabkan oleh kelainan neuromuskular pada otot-
otot pernapasan. Selain itu, juga dapat disebabkan karena masalah pada dinding dada
yang menganggu mekanika pernapasan, misalnya:

 Kyphoscoliosis
 Flail chest
 Distensi abdomen hebat (misalnya akibat asites masif)
 Masalah pada pleura (misalnya pneumothoraks dan efusi pleura masif)

 Peningkatan Volume Dead Space

Pada penyakit seperti emfisema, terjadi penurunan komplians paru dan peningkatan
volume dead space. Emboli paru juga dapat meningkatkan volume dead space karena
menyebabkan tidak adanya perfusi pada area yang disumbat embolus. Pada mulanya
tubuh akan berusaha melakukan kompensasi dengan hiperventilasi, namun lama-
kelamaan akan mengalami kelelahan sehingga mulai terjadi.

b) PEMERIKSAAN PENUNJANG

Selain menentukan penyebab, diagnosis gagal napas juga perlu menentukan jenis gagal
napas, apakah hipoksemia, hiperkapnia, atau campuran keduanya.

 Triase
Gagal napas umumnya dapat dikenali saat melakukan pemeriksaan tanda vital di triase.
Tanda kegawatan berupa peningkatan usaha napas yang bermakna, gangguan
hemodinamik, dan penurunan kesadaran.

Bila pasien memiliki tanda kegawatan, segera lakukan tata laksana awal. Keterlambatan
terapi awal dapat menyebabkan pasien kelelahan, napas semakin dangkal, kesadaran
berkurang, dan sianosis memberat.  Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada keadaan hipoksemia dan hiperkapnia agak berbeda dan keduanya
dapat terjadi bersamaan dalam satu individu yang sama. Tanda dan gejala utama pada
gagal napas adalah peningkatan work of breathing, ditandai dengan:

• Rasa sesak napas


• Takipnea
• Napas cuping hidung
• Penggunaan otot bantu napas
• Retraksi
• Merintih (pada anak) hiperkapnia.

Tabel 1. Manifestasi Klinis Hipoksemia Dan Hiperkapnia

Hipoksemia Hiperkapnia
Ringan Ringan
 Umunya tidak ada  Kulit kemerahan
 Nyeri kepala

Sedang Sedang
 Dyspnea  Takipnea
 Pusing  Takikardia
 Nyeri kepala  Dyspnea
 Kelelahan  Penurunan refleks fisiologis
 Pucat  Cenderung mengantuk
 Takikardia  Linglung
 Gangguan irama jantung  Peningkatan tekanan darah
 Disorientasi
 Sianosis
Berat Berat
 Hipotensi  Papiledema
 Bradikardi  Koma

 Gangguan visual
 Penurunan kesadaran
 Kejang

 Anamnesis

Setelah melakukan tata laksana gawat darurat, lakukan anamnesis untuk mencari tahu seberapa
berat masalah dan penyebabnya. Penyebab gagal napas ada banyak, sehingga perlu ditanyakan
faktor-faktor risiko yang sering agar dapat mengarahkan diagnosis dengan baik.

 Riwayat trauma kepala


 Riwayat nyeri kepala
 Adanya penurunan kesadaran
 Konsumsi obat maupun zat lainnya
 Riwayat trauma thoraks (flail chest, pneumotoraks, dan hematotoraks)
 Demam
 Gejala infeksi saluran napas (batuk, pilek, nyeri tenggorok)
 Riwayat kelainan neuromuskular (misal ada tidaknya kelumpuhan otot)
 Riwayat sakit paru sebelumnya
 Riwayat sakit jantung dan nyeri dada
 Riwayat prematuritas dan cara persalinan (pada neonatus)

 Pemeriksaan Fisik

Beberapa komponen pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah :

TandaVital
Bisa didapatkan takikardia, peningkatan tekanan darah, hipotensi (pada keadaan dekompensasi
hemodinamik), ataupun sianosis dan desaturasi (saturasi oksigen 90% setara dengan PaO2
sebesar kira-kira 60 mmHg).

 Penilaian Usaha Napas

 Takipnea
 Bradipnea (pada gagal napas akibat gangguan pusat napas di otak)
 Hipoventilasi (pada gangguan neuromuskular)
 Napas cuping hidung
 Retraksi dada
 Merintih (pada anak)
 Ekspansi dinding dada (bila asimetris, curiga pneumothoraks)
 Auskultasi

Pada auskultasi paru bisa didapatkan :

 Wheezing pada asma dan PPOK


 Ronki pada edema paru, pneumonia, dan kelainan parenkim lainnya
 Stridor pada obstruksi jalan napas, laringomalasia, croup, stenosis subglottis, dan trakeitis

Auskultasi jantung untuk menilai kemungkinan gagal jantung maupun kelainan jantung bawaan.

 Pemeriksaan Neurologis
 Tingkat kesadaran
 Kekuatan motorik pada kecurigaan kelainan neuromuskular

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang Tgl 12/11-2001 Foto IVP kesimpulan : contusio ren sinistra Foto BOF
kesimpulan : tampak fraktur costa 10 kiri belakang Tgl 19– 11 – 2001 AGD : pH : 7,403 PCO2 :
41,7 mmHg PaO2 : 83,4,1 mmHg HCO3 : 25,4 BE : 0,7 O2 sat : 96,3 % GDA : 153 gr/dl
Albumin : 3,47 u/l WBC : 22,1 RBC : 11,8 Hgb : 36,6 gr%

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

Analisis Gas Darah


Kemungkinan hasil analisis gas darah pada gagal napas berdasarkan penyebabnya adalah:

Kelainan Ph PaCO2 PaO2

Sistem saraf pusat Menurun Meningkat Menurun


Neuromuskular Menurun Meningkat Menuruin
Dinding dada Menurun Meningkat Menurun

Asma (fase awal) Meningkat Menurun Normal


Asma berat dengan kelelahan Menurun Meningkat Menuru
otot napas n

PPOK (tanpa retensi CO2) Normal Normal Menuru


n
PPOK (dengan retensi CO2) Normal / Menurun Meningkat Menuru
n
PPOK eksaserbasi akut Menurun Sangat Sangat
meningkat menurun
Alveolus dan parenkim Meningkat Menurun Sangat
menurun

Darah Perifer Lengkap Disertai Hitung Jenis

Dilakukan untuk mencari tanda infeksi. Pada hipoksemia kronis, dapat ditemukan polisitemia.

 Pemeriksaan Laboratorium Lain


 Pemeriksaan sputum pada kecurigaan infeksi paru
 Pemeriksaan kultur darah pada kecurigaan sepsis
 Pemeriksaan fungsi ginjal dan liver untuk mengetahui kemungkinan komplikasi
 Pemeriksaan Penunjang Lain
 Foto thoraks AP atau PA
 Elektrokardiografi bila ada kecurigaan sebab jantung
 Tes fungsi paru seperti spirometri umumnya ditunda karena tidak memungkinkan
untukdikerjakan pada pasien sakit kritis

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DI RUANG OBSERVASI INTENSIF


IRD LT.III RSUD DR SOETOMO SURABAYA

I. Identitas
Nama : Tn. S
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Gresik Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Pekerjaan : karyawan PT. Intisari Boga
Agama : Islam MRS : 12 – 11 – 2001
Diagnosa : CF costa 5-9 (S)+CF costa 6-7 (D)+Contusio Pulmonum, Trauma Tumpul
Abdomen Alasan dirawat : perdarahan hebat dan resiko gagal napas Keluhan utama
sebelumnya : sakit dada Upaya yang telah dilakukan : Operasi eksplorasi laparotomi
tgl 12 – 11 – 2001 dan pemasangan ventilator. II.

Riwayat Keperawatan (Nursing History) Riwayat penyakit sebelumnya Kliem


mengalami kecelakaan lalu lintas tgl 12-11-2001 dengan fraktur costa CF costa 5-9
(S)+CF costa 6-7 (D)+Contusio Pulmonumdan Trauma Tumpul Abdomen, dilakukan
laparotomi di IRD (Splenectomy) dan pemasangan bullow drainage. Riwayat
Penyakit Sekarang Klien dirawat di ROI post op hari ke-7, keadaan umum lemah,
GCS :4X6, menggunakan ventilator SiMV dengan ETT di mulut, Bullow drainage di
dada kanan, terdapat vulnus ekskoriasi luas di daerah punggung dan lengan kanan-
kiri. Alat bantu yang dipakai : tidak ada

Observasi dan Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum : Lemah, berbaring dengan


posisi head up 30 derajat, terpasang ventilator SiMV dengan ETT di mulut, bullow
drainage di dada kanan, menggunakan NGT, infus di lengan kiri dan menggunakan
kateter. 2. Vital sign S : 37 C N : 100 x/mnt P : 21 x/mnt T : 150/90 mmHg

3. Body Systems Breathing Hidung: terpasang NGT, tidak ada kelainan. Trakhea :
tidak ada kelaina, trakeostomi (),Bentuk dada simetris, pergerakan dada kana-kiri
sama, retraksi dada(-), suara nafas : vesikuler menurun di kiri, suara tambahan:
ronchi di parukanan-kiri. Klien menggunakan ventilator SiMV ART-10, FiO2 40%
dan bullow drainage pada ICS 7 kanan. Bleeding

Nyeri dada (-), palpitasi (-), capillary refill 3 detik, suara jantung S1 S2 tunggal,
murmur (-), edema ekstremitas(-), JVD (-), konjungtiva pucat Brain Kesadaran :
apatis, GCS; 4 X 6, kepala dan wajah simetris, tanda perlukaan (-), sklera putih, pupil
isokor, leher tidak ada gangguan( terpasang ETT). Persepsi sensori :Penglihatan,
perabaan,penciuman, penglihatan tidak ada gangguan Pengecapan terganggu karena
pemasangan ETT Bladder Produksi urin : 1780cc/24 jam, warna kuning pekat,
menggunakan dauwer kateter, blast kosong, nyeri berkemih (-). Bowel Bibir dan
mukosa kering, terpasang ETT hari ke &, nutrisi dibantu lewat NGT. Abdomen : flat,
terdapat insisi midline 10 cm, luka kering, tanda peradangan (-), distensi abdomen
(-), bising usus 3-5 x.mnt, pembesaran hepar tidak teraba, limfa tidak teraba.
Perkusi : resonan. Rectum : luka (-), hemoroid (-), BAB selama di ROI belum
pernah. Penggunaan pencahar (-). Bone Kemampuan pergerakan sendi bebas,
parese/paralise (-). Ekstremitas : Atas: terdapat vulnus ekskoriasi luas dari bahu,
lengan atas dan lengan bawah kirikanan terpasang three way iv line pada lengan kiri.
Tonos otot 5 Bawah : tidak ada kelainan, tanda peradangan (-), edema (-) Tulang
belakang ; tidak ada kelainan Kulit : warna pucat, turgor kulit baik. Terdapat
gambaran jejas pada hemithorax kanan & kiri. Akral hangat. Sistem Endokrin Tidak
ada gangguan, goiter (-) Sistem hematopietik Tidak terdapat tanda gangguan
perdarahan dan limfadenopathy

DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas


berhubungan dengan peningkatan produksi sekret 2. Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan sekresi tertahan, proses penyakit 3. Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator yang tidak tepat, peningkatan
sekresi, obstruksi ETT RENCANA KEPERAWATAN 1. Ketidak efektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret Tujuan : Klien akan
memperlihatkan mempertahankan keefektifan jalan nafas kemampuan
meningkatkandan Kriteria hasil : - Bunyi nafas bersih - Ronchi (-) - Tracheal tube
bebas sumbatan Intervensi 1.Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam atau bila diperlukan
2.Lakukan penghisapan bila terdengar ronchi dengan cara : a.Jelaskan pada klien
tentang tujuan dari tindakan penghisapan b.Berikan oksigenasi dengan O2 100 %
sebelum dilakukan penghisapan, minimal 4 – 5 x pernafasan c.Perhatikan teknik
aseptik, gunakan sarung tangan steril, kateter penghisap steril d.Masukkan kateter ke
dalam selang ETT dalam keadaan tidak menghisap, lama penghisapan tidak lebih 10
detik e.Atur tekana penghisap tidak lebih 100120 mmHg f.Lakukan oksigenasi lagi
dengan O2 100% sebelum melakukan penghisapan berikutnya g.Lakukan
penghisapan berulang-ulang sampai suara nafas bersih 3.Pertahankan suhu
humidifier tetap hangat ( 35 – 37,8 C).

C. PENGOBATAN GAGAL NAPAS

Pada prinsipnya, pengobatan utama gagal napas adalah pemberian oksigen dengan metode
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.

Pada pasien dengan gagal napas akut, penanganannya membutuhkan perawatan intensif di
rumah sakit dan membutuhkan alat bantu napas atau ventilator. Sedangkan pada gagal napas
kronik, umumnya perawatan dapat dilakukan di rumah. Selebihnya, pengobatan diberikan sesuai
dengan penyakit yang mendasari gagal napas

 Komplikasi

Pada tahap awal, gagal napas dapat menyebabkan penderitanya kehilangan kesadaran dan
mengalami gangguan irama jantung atau aritmia. Bila tidak juga tertangani dengan tepat, kondisi
ini dapat menyebabkan kegagalan kerja berbagai organ tubuh (multi organ failure) dan berujung
pada kematian.as tersebut.
2. TENSION PNEUMOTHORAX
Patofisiologi pneumothorax berupa gangguan recoil paru yang terjadi melalui mekanisme
peningkatan tekanan pleura akibat terbentuknya komunikasi abnormal. Komunikasi
abnormal ini dapat terjadi antara alveolus dan rongga pleura, atau antara udara ruang dan
rongga pleura.

 Kondisi Normal

Pada kondisi normal, tekanan dalam rongga paru lebih besar dibanding tekanan di dalam
rongga pleura. Tekanan rongga pleura negatif jika dibandingkan dengan tekanan atmosfer
selama seluruh siklus respirasi. Tekanan pleura selalu lebih rendah dari tekanan alveolar
dan tekanan atmosfer sehingga memungkinkan paru mengalami elastic recoil.

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan computed Tomography (CT-Scan)
Diperlukan apabila pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakan.
Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas udara dengan cairan intra dan ekstrapulmonal serta
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan dengan pneumotoraks sekunder.
 Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi)
Merupakan pemeriksaan invasive, tetapi memiliki sensivitas yang lebih besar
dibandingkan pemeriksaan CT-Scan Ada 4 derajat.

B. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian AVPU (Kesadaran)
Untuk menentukan tingkat kesadaran klien dapat digunakan perhitungan Glassglow
Coma Scale (GCS). Untuk klien dengan gangguan tension pneumothoraks, biasanya
kesadaranya menurun. Dapat juga dinilai melalui cara berikut : 1. A = Alert
Penderita sadar dan mengenali keberadaan dan lingkungannya. 2. V = Verbal
Penderita hanya menjawab/bereaksi bila dipanggil atau mendengar suara. 3. P = Pain
Penderita hanya bereaksi terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh penolong,
misalnya dicubit, tekanan pada tulang dada. 4. U = Unrespon Penderita tidak
bereaksi terhadap rangsang apapun yang diberikan oleh penolong. Tidak membuka
mata, tidak bereaksi terhadap suara atau sama sekali tidak bereaksi pada rangsang
nyeri.

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA KLIEN DENGAN


DIAGNOSA MEDIS TENSION PNEUMOTHORAKS
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pneumotoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh akumulasi udara
dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau cedera. Pneumotoraks
didefinisikan sebagai adanya udara di dalam kavum/ rongga pleura. Tekanan di
rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk dapat mempertahankan paru
dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada rongga pleura pada akhir
inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4 cm H2O.
Pneumotoraks dibagi menjadi Tension Pneumotoraks dan non-tension
pneumotoraks. Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana
akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas.
Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum
secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan. Non-tension
pneumothorax tidak seberat Tension pnemothorax karena akumulasi udara tidak
makin bertambah sehingga tekanan terhadap organ di dalam rongga dada juga tidak
meningkat.

2. Tujuan
3. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengidentifikasi, melaksanakan, dan merumuskan masalah
keperawatan tension pneumothoraks serta dapat melaksanakan asuhan keperawatan
secara baik dan benar.
4. Tujuan Khusus
5. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan tension
pnemuthoraks.
6. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan tension
pneumothoraks.
7. Mahasiswa mampu merencanakan tindakan keperawatan pada klien dengan
tension
pneumothoraks.
8. Mahasiswa mampu mengimplementasikan tindakan keperawatan pada klien
dengan tension pneumothoraks.
9. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang diberikan pada
klien tension
pneumothoraks.
10. Mahasiswa mampu mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan pada
klien dengan tension pneumothoraks.
11. Manfaat
12. Mahasiswa dapat melaksanakan tindakan asuhan keperawatan dengan baik dan
benar.
13. Mahasiswa dapat memahami konsep dasar asuhan keperawatan gawat darurat.
 Triage
Mengancam jiwa, akan mati tanpa tindakan dan evaluasi segera. Harus didahulukan
langsung ditangani. Area resusitasi. Waktu tunggu 0 menit. Maka dapat digolongkan
P1 (Emergency).
 Primary Survey
1. Airway a. Assessment : 1) Perhatikan patensi airway. 2) Dengar suara napas. 3)
Perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada b. Management
1) Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust,
hilangkan benda yang menghalangi jalan napas 2) Re-posisi kepala, pasang collar-
neck 3) Lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal) 2.
Breathing a. Assesment 1) Periksa frekwensi napas 2) Perhatikan gerakan respirasi 3)
Palpasi toraks 4) Auskultasi dan dengarkan bunyi napas b. Management: 1) Lakukan
bantuan ventilasi bila perlu 2) Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi
tension pneumotoraks 3. Circulation a. Assesment 1) Periksa frekwensi denyut
jantung dan denyut nadi 2) Periksa tekanan darah 3) Pemeriksaan pulse oxymetri 4)
Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)

b. Management 1) Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines 2) Torakotomi


emergency bila diperlukan 3) Operasi Eksplorasi vaskular emergency 4) Pemasangan
WSD Pada pneumothoraks ventil/ tension pneumothoraks, penderita sering sesak
napas berat dan keadaan ini dapat mengancam jiwa apabila tidak cepat dilakukan
tindakan perbaikan. Tekanan intrapleura tinggi, bisa terjadi kolaps paru dan ada
penekanan pada mediastinum dan jantung. Himpitan pada jantung menyebabkan
kontraksi terganggu dan “venous return” juga terganggu. Jadi selain menimbulkan
gangguan pada pernapasan, juga menimbulkan gangguan pada sirkulasi darah
(hemodinamik). Penanganan segera terhadap kondisi yang mengancam kehidupan
meliputi dekompresi pada hemitoraks yang sakit dengan menggunakan needle
thoracostomy (ukuran 14 – 16 G) ditusukkan pada ruang interkostal kedua sejajar
dengan midclavicular line. Selanjutnya dapat dipasang tube thoracostomy diiringi
dengan control nyeri dan pulmonary toilet (pemasangan selang dada) diantara
anterior dan mid-axillaris. Penanganan Diit dengan tinggi kalori tinggi protein 2300
kkal + ekstra putih telur 3 x 2 butir / hari.

C. PENGOBATAN PNEUMOTORAX
Penanganan pneumotoraks bergantung pada jenis pneumotoraks yang dialami. Pada
simple pneumothorax, penanganan awalnya adalah memberikan oksigen melalui
kanul atau sungkup hidung.

Pada tension pneumothorax, penanganan awalnya adalah dengan menusukkan jarum


ke rongga dada yang mengalami pneumothorax. Tindakan ini disebut dekompresi
jarum. Langkah ini harus dilakukan secepat mungkin oleh dokter. Dekompresi jarum
bertujuan untuk menghentikan udara terus menerus masuk ke dalam rongga pleura.

Setelah melakukan pertolongan awal, pengobatan utama untuk pneumotoraks adalah


dengan melakukan pemasangan WSD (water sealed drainage). Tindakan ini
dilakukan dengan memasukkan selang ke dalam rongga pleura. Selang tersebut
disambungkan ke wadah tertutup yang berisi air.
2. STATUS ASMATIKUS
KONSEP ASUHAN KEGAWATDARURATAN PADA STATUS ASMATIKUS A.
Pengkajian 1. Pengkajian primer a. Airway Pada pasien dengan status asmatikus
ditemukan adanya penumpukan

Sputum pada jalan nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga
status asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan
oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh. b. Breathing Adanya sumbatan pada
jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha napas pasien untuk memperoleh
oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status asmatikus pasien mengalami
nafas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha
ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan sesak napas berat
sehingga pasien tidak mampu menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau
kesulitan dalam bergerak. Pada pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari
25 x / menit. Pantau adanya mengi. c. Circulation Pada kasus status asmatikus ini
adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien maka jantung berkontraksi kuat
untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya peningkatan denyut
nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik pada waktu
inspirasi. Pulsus paradoksus, lebih dari 10 mmHg.
Arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai tertinggi yang
pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini dapat
menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini. d. Disability Pada tahap
pengkajian ini diperoleh hasil bahwa pasien dengan status asmatikus mengalami
penurunan kesadaran. Disamping itu pasien yang masih dapat berespon hanya dapat
mengeluarkan kalimat yang terbata – bata dan tidak mampu menyelesaikan satu kalimat
akibat usaha napas yang dilakukannya sehingga dapat menimbulkan kelelahan .Namun
pada penurunan kesadaran semua motorik sensorik pasien unrespon. 2. Pengkajian
sekunder a. Pemeriksaan fisik head to toe. b. Pemeriksaan keadaan umum dan kesadaran
c. Eliminasi Kaji haluaran urin, diare/konstipasi. d. Makanan/cairan Penambahan BB
yang signifikan, pembengkakan ekstrimitas oedema pada bagian tubuh. e.
Nyeri/kenyamanan Nyeri pada satu sisi, ekspres imeringis. f. Neurosensori Kelemahan
:perubahankesadaran B. Diagnosa 1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d
penumpukan sputum 2. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
3. Ketidakefektian perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigenC. Intervensi 1.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum Intervensi : NOC : a.
Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif. b. Mengeluarkan sekresi secara efektif
c. Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal. d. Mempunyai
fungsi paru dalam batas normal NIC : Airway suction a. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal
suctioning b. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning c. Informasikan
kepada klien dan keluarga tentang suctioning d. Berikan O2 dengan menggunakan nasal
untuk memfasilitasi suction nasotrakeal e. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan
tindakan f. Monitor status oksigen pasien. Airway management a. Buka jalan nafas b.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi c. Indentifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan nafas buatan d. Lakukan fisioterapi dada jika perlu e. Berikan
bronchodilator bila perlu f. Monitor respirasi dan status O2
3. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas NOC : a. Pertukaran
gas dan ventilasi pasien tidak bermasalah b. Tidak menggunakan pernafasan mulut NIC :
Airway management a. Buka jalan nafas b. Posiskan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi c. Pasang mayo bila perlu d. Lakukan suction pada mayo e. Auskultasi suara
nafas, catat adanya suara tambahan f. Monitor konsentrasidan status O2 g. Terapioksigen
h. Bersihkan mulut, hidung dan secret pada trakea i. Pertahankan jalannafas yang paten j.
Atur peralatan oksigenasi k. Monitor aliran oksigenasi l. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi. Vital sign management a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR b.
Catat adanya fluktasi tekanan darah c. Ukur tekanan darah pada kedua lengan dan
bandingkan d. Monitor frekuensi dan irama pernafasan e. Monitor suhu,warna dan
kelembaban kulit f. Monitor adanya tekanana nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan
sistolik.
4. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi NOC : a. Dapat
memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan normal b. Tidak
terdapat cyanosis pada pasien c. Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea NIC
Airway management a. Buka jalan nafas b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi c. Pasang mayo bilaperlu d. Lakukan suction pada mayo e. Auskultasi suara
nafas, catat adanya suara tambahan f. Monitor konsentrasi dan status O2 Respiratory
monitoring : a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi b. Catat
pengerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot c. tambahan , retraksi otot
supraclavikular dan intercostatis d. Monitor suara nafas, seperti dengkur e. Monitor
kelelahan otot diafragma ( gerakan paradoksis ) f. Tentukan kebutuhan suction dengan
mengaukultasi pada jalan nafas utama g. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk
mengetahui hasilnya
3. Patofisiologi Asma

Patofisiologi dari asma yaitu adanya faktor pencetus seperti debu, asap rokok, bulu
binatang, hawa dingin terpapar pada penderita. Bendabenda tersebut setelah terpapar
ternyata tidak dikenali oleh sistem di tubuh

Anda mungkin juga menyukai