Anda di halaman 1dari 153

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 1

2 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


TUTUR
PEREMPUAN
Tentang Sebuah Perlawanan
Me”nyata”kan Yang Tak Terlihat

SOLIDARITAS PEREMPUAN
2023

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 3


JUDUL:
TUTUR PEREMPUAN
Tentang Sebuah Perlawanan
Me”nyata”kan Yang Tak Terlihat

PENULIS:
Juni Warlif – Kadiv Penguatan Organisasi Seknas Solidaritas Perempuan
Isna Ragi – Komunitas SP Palu
Dona Kanseria – Komunitas SP Bungeong Jeumpa Aceh
Emilia – Komunita SP Palembang
Ramlah – Komunitas SP Anging Mammiri
Wadiatul Hasanah – Komunitas SP Mataram
Kardiana – Komunitas SP Sumbawa

KONTRIBUTOR CERITA:
Komunitas SP Sebay Lampung
Komunitas SP Palu
Komunitas SP Kendari
Komunitas SP Mataram
Komunitas SP Mamut Menteng

PENYUNTING:
Dinda Nuur Annisaa Yura

PEMBACA KRITIS:
Ati Nurbaiti

PEWAJAH SAMPUL DAN ISI:


Annisa N. Fadhilah
Qurrota Aina Kamilah

SOLIDARITAS PEREMPUAN

4 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Pengantar
Tutur perempuan adalah pengetahuan penting dari pengalaman
luar biasa perempuan yang diceritakan untuk memberikan inspirasi
sekaligus mengungkapkan kepada banyak orang perihal berbagai
perjuangan para perempuan pemimpin yang selama ini berproses
dan bertumbuh bersama Solidaritas Perempuan. Sebagian dari
mereka menuangkan langsung ceritanya ke dalam tulisan. Sebagian
lainnya menuturkan cerita dan pengalamannya kepada Solidaritas
Perempuan, yang kemudian dituliskan oleh SP. Proses editing
dilakukan tanpa mengubah substansi maupun gaya tulisan dan
cerita yang dituturkan para perempuan di dalam buku ini. Ada pun
tambahan tulisan di dalam setiap bab, memberikan pengantar
dan gambaran konteks persoalan yang dihadapi perempuan
berdasarkan tema setiap babnya.

Bagi Solidaritas Perempuan, tutur perempuan juga menjadi


sebuah metode penting yang memberikan ruang bagi
perempuan untuk bercerita langsung berdasarkan sudut
pandang mereka, mengenai pengalaman dan hal-hal yang dekat
dengan kehidupan mereka sehari-hari. Di tengah narasi dan
literasi yang didominasi oleh laki-laki, Solidaritas Perempuan
ingin mendobrak maskulinitas yang selama ini meminggirkan
pegalaman perempuan sebagai pengetahuan yang berharga.
Buku tutur perempuan dengan berbagai cerita perempuan
di dalamnya membuktikan bahwa perempuan tidak hanya
menyimpan pengetahuan mengenai berbagai ketidakadilan
yang mereka alami, tetapi juga memiliki berbagai pengetahuan,
inisiatif, dan kekuatan untuk keluar dari situasi ketidakadilan,
bukan hanya yang dia alami, tetapi juga yang dialami oleh
perempuan lainnya.

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan i


Buku ini diharapkan dapat menunjukkan perjuangan perempuan
yang interseksional, melampaui sekat-sekat ruang dan isu, sebagai
buah dari kesadaran kritis dan keberdayaan untuk memperjuangkan
hak-hak dan kedaulatan mereka. Solidaritas Perempuan juga
berharap buku ini bisa menjadi kontribusi bagi gerakan feminis dan
para aktivis feminis, untuk memberikan inspirasi yang menggerakkan
serta menguatkan perjuangan kita.

Selamat membaca, selamat terinspirasi, dan terus merawat


perjuangan perempuan!

Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan

ii Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Salam Penulis
Rasa terima kasih dan syukur yang mendalam saya panjatkan
pada tuhan dan semesta atas segala kekuatan, kesehatan dan
keberkahan yang telah diberikan sehingga buku Tutur Perempuan
Tentang Sebuah Perlawanan, Me”nyata”kan Yang Tak Terlihat bisa
tersaji di hadapan pembaca. “Sedikit pengetahuan disertai tindakan
adalah lebih berharga daripada banyak pengetahuan namun tak
ada tindakan apapun.” (Khalil Gibran). Begitu banyak pengetahuan
dan pengalaman perempuan, khususnya perempuan akar rumput
yang sangat berharga jarang terdokumentasi dan menjadi sebuah
pengetahuan, seakan lenyap bersama sapuan angin. Saat ini sudah
saatnya perempuan menuliskan sejarah “her story” nya sendiri yang
akan memperkaya khazanah pengetahuan perempuan.

Ucapan terima kasih dan hormat saya sampaikan pada perempuan


hebat dari komunitas dimana Solidaritas Perempuan bekerja
semenjak 28 tahun silam. Pengalaman dan perjuangan serta
perlawanan yang telah dilakukan sangat menginspirasi dan menjadi
sebuah refleksi untuk perubahan dalam mewujudkan tatan sosial
yang demokratis dalam semua level kehidupan. Kalian adalah bara
api yang senantiasa memberikan kehangatan dalam setiap detik
kehidupan. Kalian adalah pahlawan sejati yang berjuang tanpa
pamrih untuk kemanusian. Semoga semesta raya memberkahi
setiap langkah dan perjuangan serta perlawanan yang dilakukan,
meniupkan semangat yang tak pernah berhenti untuk berlawan
hingga penindasan dan ketidakadilan tidak dirasakan lagi.

Terima kasih juga untuk kawan-kawan di Sekretariat Nasional


Solidaritas Perempuan yang setiap saat “direcoki” dan “ditagih”
untuk berbagi cerita atau untuk memberi kritikan terhadap tulisan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan iii


saya. Kita adalah mata rantai perjuangan melawan ketidakadilan dan
penindasan ini. Bahagia dan bangga menjadi bagian dari tim kerja
dalam rumah besar kita ini “SOLIDARITAS PEREMPUAN” tercinta.

Semoga buku sederhana ini bisa diterima dan memberikan


sumbangan pengetahuan bagi para pembaca khususnya Solidaritas
Perempuan, sebagai sebuah refleksi panjang atas kerja-kerja
kemanusian yang telah dilakukan sejak berdirinya, 10 Desember
1990. Panjang umur Perjuangan. Selamat Membaca.

Penulis

iv Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Daftar Isi
i PENGANTAR

iii SALAM PENULIS

v DAFTAR ISI

BAGIAN I
1 MENEBAR BENIH PERUBAHAN ORGANIK

BAGIAN II
TEBARAN PERUBAHAN DI ANTARA
7 PENINDASAN

Pejuang Pangan Melawan Arus Modernisasi


8 Pertanian
12 Daryuti: Pejuang Pangan Desa Sidodadi
20 Sri Rohmadani: Merawat dan Menjaga Mata Air
Kehidupan

26 Perempuan Pejuang Melawan Masifnya


Perampasan Lahan
31 Herlina: Hutan adalah Nafas Kehidupan, Jangan
Rampas Hutan Kami

39 Serlin Sampali: Mempertahankan Kehidupan di


Taman Nasional Lore Lindu
45 Emilia: Yang Pantang Menyerah
51 Nurmidah: Yang Muda Yang Peduli

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan v


56 Deice: Hutan Dan Perempuan Yang Tak
Terpisahkan

62 Perjuangan Buruh Migran Perempuan


Dalam Ketidakpastian “Sebuah
Perlindungan”
71 Wadiatul Hasanah: Perjuanganku Berbuah
“Poligami”
80 Nizma: Mencari Keadilan di Jazirah Arab
86 Hj Nuriani: Perjuangan Mantan Perempuan
Buruh Migran

93 Pejuang Perempuan Melawan


Penindasan Seksualitas dan
Ketidakadilan
98 Kardiana: Srikandi Desa Maronge
104 Samsiah: Perempuan Pejuang Teluk Bone
108 Kustiyah: Tak Ada Kata Menyerah untuk Sebuah
Perubahan
113 Isna Ragi: Tubuhku Adalah Pilihanku
121 Ramlah: Pejuang Perempuan Tanah Karaeng
130 Dona Kanseria : Hidup dalam Bayang-bayang
Patriarki

138 Bagian III : Merawat Pohon-Pohon


Perubahan

vi Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


BAGIAN I
Menebar Benih Perubahan Organik

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 1


“ K
ehidupan adalah proses
yang dinamis bukan
Orang bilang ada statis, demikianlah
kekuatan-kekuatan sejatinya kehidupan ini berjalan.
dahsyat yang tak ter-
duga yang bisa timbul
Sebagai makhluk tuhan yang
pada samudera, pada dianugerahi akal dan pikiran,
gunung berapi dan manusia semestinya juga bisa
pada pribadi yang mengikuti dinamika itu untuk
tahu benar akan tu-
juan hidupnya.
melepaskan diri dari segala
keterkekangan dan ketertindasan.
(Bumi Manusia, Akal dan pikiran adalah modal dasar
Pramoedya Ananta bagi manusia untuk memaknai
Toer, 1980)
putaran kehidupan. Akal dan
pikiran juga akan menuntun dan
membuka mata terhadap situasi
yang mempengaruhi kehidupannya,
akal dan pikiran jugalah yang
kemudian yang membawa
manusia menuju perubahan.

Perubahan tidak lahir dengan


sendirinya tanpa sebuah proses
perenungan dan pencarian.
Perubahan harus diciptakan
melalui sebuah kesadaran sebagai
sebuah kontinum, yang dimulai
dari sesuatu yang kecil bahkan
tak terlihat menjadi sesuatu yang
nyata dengan rupa dan bentuk,
laksana sebuah benih yang terlihat
kecil bahkan tak berbentuk

2 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


yang kemudian tumbuh subur dan kuat. Batang dan cabang
memperindah rupanya, bunga dan daun-daun melengkapinya
kesempurnaanya, akar yang kuat menghujam tanah menyerap
hara dan memberi makan bekerja sama dengan dedaunan
hijau yang berfotosintesis menghasil energi untuk tanaman itu.
Cinta tuhan dan semesta akan merawat dan menjaga kehidupan
itu untuk terus tumbuh dan berkembang. Sebagai salah satu
makhluk yang diberi ruang dan kesempatan untuk tumbuh
dan berkembang selayaknyalah kita membangun harmonisasi
dan berkonfigurasi dengan semesta menjaga keseimbangan
dan keberlanjutan kehidupan tanpa jiwa-jiwa yang serakah.

Seperempat abad tepat sejak 10 Desember 1990 Solidaritas


Perempuan (SP) telah hadir sebagai ‘produsen’ benih-benih
organik perubahan di belantara penindasan yang terjadi, baik
yang dilakukan baik oleh negara, swasta maupun budaya
patriarki bagi kaum marjinal terutama perempuan. Dengan
cinta dan ketulusan SP bekerja untuk melawan segala bentuk
penindasan itu, tentu saja bersama perempuan luar biasa dari
seluruh pelosok negeri. bersama-sama menebar dan menanam
benih cinta yang universal, bukan hanya untuk diri sendiri tapi
untuk manusia lain dan semesta. Khalil Gibran (1883-1931)
penyair dan penulis asal Lebanon mengatakan bahwa “cinta akan
diri sendiri menghasilkan kecongkakan buta, dan kecongkakan
menciptakan kesukuan, dan kesukuan membangun kekuasaan,
dan kekuasan penyebab penaklukan dan penindasan.”
Sebab itulah perjuangan melawan penindasan itu harus terus
disuarakan bersama untuk mencapai perubahan sebagai
tujuan akhir nan mulia yakni merebut kembali kedaulatan dari
tirani tangan-tangan penguasa angkara yang berupa manusia.

Perubahan yang diinginkan SP terjadi di masyarakat

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 3


marjinal khususnya perempuan adalah transformasi dari
keadaan yang sekarang menuju keadaan yang lebih baik
di masa yang akan datang, kehidupan yang adil dan setara
antara laki-laki dan perempuan tanpa diwarnai diskriminasi
dan penindasan.Transformasi akan terjadi bila setiap orang
memahami tujuan perubahan itu dari awal sampai akhir dan
melakukannya prosesnya dengan sepenuh hati. Kesadaran,
keberanian dan perlawanan adalah modal sebuah perubahan.

Untuk mewujudkan manifestasi perubahan itu, SP


tak pernah bosan menyebar benih-benih perubahan, yang
organik tentu saja. Dalam arti, perubahan tidak terjadi
secara instan melainkan secara alami berangkat dari
situasi dan persoalan perempuan, dan dengan kesadaran
penuh perempuan yang mendorong dirinya untuk keluar
dari kungkungan ketidakadilan. SP mencoba membangun
kesadaran kritis perempuan untuk bisa melihat dengan jelas
dan tajam situasi yang dialami, termasuk situasi penindasan
yang selama ini abai atau luput dari pandangan perempuan
karena dianggap sebagai sebuah kelaziman dalam konteks
budaya patriarki yang telah mengakar kuat dari zaman ke
zaman dan dari generasi ke generasi dalam kehidupan mereka

Ruang-ruang aman bagi perempuan dibangun oleh SP


sebagai ruang pembelajaran dan berbagi pengetahuan antar
perempuan. Dalam ruang amannya ini diskusi-diskusi terus
dihidupkan untuk melahirkan daya kritis perempuan di berbagai
konteks. Melalui ruang-ruang ini persaudaraan dan solidaritas
semakin menguat di antara mereka, kesadaran individu
dan kolektif semakin mulai tumbuh dan menggurita sebagai
modal bagi mereka untuk melakukan sebuah perjuangan dan
perlawanan atas situasi ketidakadilan yang mereka alami.

4 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Dalam situasi itu tak semestinya mereka berdiam diri dan
menonton fragmen kehidupan yang semakin menyengsarakan
kehidupan mereka. Berteriak dengan lantang, itulah yang
seharusnya mereka lakukan. Untuk bisa bersuara lantang
mereka harus punya modal, yaitu pengetahuan dan kapasitas
diri yang mumpuni. “Selama penderitaan datang dari manusia,
dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh
manusia” begitulah Pramoedya Ananta Toer berkata dalam
bukunya ‘Anak Semua Bangsa.’ Penderitaan dan ketertindasan
yang dialami perempuan saat ini akibat sistem dan mekanisme
negara yang tidak berpihak pada kehidupan perempuan tapi
hanya pada kaum kapitalis yang mengeruk kekayaan alam
Indonesia dengan rakus, oleh sebab itu sepatutnyalah dilawan.

Penindasan dan ketidakadilan ini sangatlah sistematis,


baik dilakukan oleh negara maupun swasta yang menggunakan
kebijakan negara, agama dan budaya sebagai alat untuk
memangkas dan membungkam ruang gerak dan suara
perempuan. Atas nama pembangunan peluang investasi
skala nasional dan internasional dibuka luas oleh pemerintah.
Lahan-lahan kehidupan mereka dirampas secara paksa, hutan
mereka dialihfungsikan menjadi perkebunan skala besar
untuk kepentingan kapitalis. Kekuasaan kapitalis dilindungi
oleh negara dengan melahirkan berbagai payung hukum
untuk melindungi mereka baik di level nasional maupun
daerah. Perempuanlah yang harus menanggung dampaknya,
dan semakin terpinggirkan dari ruang-ruang kehidupannya.
Budaya patriarki yang berkelindan dengan mekanisme Negara
tidak memberi ruang pada perempuan untuk mendapatkan
akses dan kontrol yang sama dengan laki-laki terhadap
sumber-sumber kehidupannya. Hingga akhirnya “memaksa”

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 5


perempuan memilih cara lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, salah satunya menjadi buruh migran keluar
negeri, bertarung di negara orang dengan segala kerentanan
mengalami kekerasan, bahkan tak jarang berujung kematian.

Tak hanya itu, fundamentalisme agama yang semakin


menguat juga menjadi ancaman dalam kehidupan demokrasi.
Intoleransi semakin menguat dan menjamurnya kebijakan
diskriminatif yang menyasar seksualitas perempuan, telah
mempersempit ruang hidup perempuan. Data Komnas
Perempuan tahun 2018 menyebutkan bahwa ada 460
kebijakan diskriminatif yang menyasar kehidupan perempuan,
yang mengakibatkan perempuan semakin kehilangan
kedaulatan atas tubuhnya, karena tubuh perempuan dikontrol
oleh orang lain atas nama “perlindungan “dan atas nama
“tanggung jawab” keluarga untuk kehidupan perempuan.

Untuk melawan tirani itulah SP bersama perempuan terus


bergerak dan melakukan perlawanan. Semaian bibit perlawanan
itu sudah mulai memperlihatkan bentuknya. Dari 12 komunitas
SP telah lahir sosok perempuan pejuang yang tangguh dan
berani untuk berjuang dan meneriakan lantang perlawanan
mereka atas ketertindasan yang mereka alami dalam berbagai
aspek kehidupan. Bibit ini semakin tumbuh dan berkembang
bersama SP untuk melakukan perubahan bagi perempuan di
komunitas. Kedaulatan harus mereka rebut kembali sehingga
tak ada lagi penindasan bagi perempuan dan masyarakat
marjinal. Negara harus hadir untuk mereka, sesuai dengan
amanat konstitusi yang tercantum dalam UUD 1945 yang salah
satunya adalah mewujudakan bangsa yang Merdeka, Bersatu,
Berdaulat, Adil dan Makmur bagi seluruh rakyat Indonesia.

6 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


BAGIAN II
Tebaran Perubahan di antara Penindasan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 7


Pejuang
Pangan
Melawan Arus
Modernisasi
Pertanian

“ Kalau kita tidak bisa “Hutan belantara, banyak


menyelenggarakan tersebar nusantara, semua harta
sandang, pangan di tanah
yang terhingga milik, disana
air yang kaya ini, maka
sebenarnya kita sendiri tempatnya tanah idaman kita semua,
yang tolol, kita sendiri tanah yang kaya bagai permata
yang maha tolol. nusantara…” demikianlah sepenggal
(Soekarno)
syair lagu yang ditulis oleh Tony
Koeswoyo Koes plus tahun 1971 yang

“ Kalian tak bisa menjual


masih melegenda sampai sekarang.
Digambarkan bahwa Indonesia
yang membentang dari Sabang
kepada kami bahan-bahan
yang juga kalian curi dari Sampai Merauke, dengan beribu
sisi kami, dan kalian tak pulau-pulau adalah tanah yang kaya
dapat memberi kepada sebagai anugerah sang pencipta.
kami sejumlah royalti
Semestinya anugerah dan kekayaan
untuk produk-produk
kearifan alam kami.” ini menjadi anugerah juga bagi
(Vandana Shiva) masyarakatnya. Tak seharusnya
ada masyarakat yang tak tercukupi
kebutuhan pangannya. Indonesia
juga merupakan negara kedua

8 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


didunia yang memiliki keanekaragaman hayati. Dalam Buletin
Mongabay, 24 Oktober 2014, Jay Fajar menuliskan bahwa ada 800
jenis tumbuhan pangan yang berupa 77 jenis tanaman sumber
karbohidrat, 75 jenis tanaman sumber lemak/minyak, 26 jenis
kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40
jenis bahan minuman dan 110 jenis tumbuhan rempah dan bumbu-
bumbuan. Selain itu kekayaan laut juga tak terkira banyaknya
yang mengisi perairan laut Indonesia. Tapi apakah kekayaan ini
sudah menjawab mandat yang diberikan oleh UUD 1945 pasal
33? Telisik lah lebih dalam kehidupan rakyat untuk menjawabnya.
Jangan-jangan yang kita saksikan hanya tangisan ibu pertiwi atas
nestapa yang dialami masyarakatnya diatas bumi yang kaya.

Kekayaan alam itu hampir tak lagi membawa berkah


bagi penghuninya, terutama sejak lahirnya revolusi hijau di
Indonesia yang awalnya dibawa kolonial Belanda dengan
mengembangkan berbagai tanaman. Dan pada masa Orde
Baru, saat dicanangkan Pelita (Pembangunan Lima Tahun)
I tahun 1969, Revolusi Hijau digunakan sebagai salah satu
cara untuk meningkatkan produksi pangan di Indonesia,
terutama produksi beras yang dilaksanakan secara sistematis,
terprogram, dan terus-menerus melalui intensifikasi pertanian,
ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, dan rehabilitasi.

Di sinilah petaka berawal, karena dalam revolusi Hijau


dikembangkan teknologi pertanian yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi pangan. Revolusi hijau telah mengubah
wajah pertanian di Indonesia, dari pertanian tradisional yang
bertumpu pada kearifan lokal menjadi pertanian dengan
teknologi modern. Pengetahuan petani tradisional yang
mengelola alam dengan arif dan bijaksana telah dihilangkan, juga
pengetahuan perempuan. Padahal sejak berabad perempuan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 9


adalah penyedia kehidupan, yang memastikan keamanan
pangan dalam keluarga dan masyarakatnya. Pertanian modern
telah menggusur peran signifikan perempuan dalam pengelolaan
dan pemeliharaan pangan. Peran perempuan sebagai penyedia
benih yang handal dalam komunitasnya telah di“renggut” dan
diambil oleh perusahaan benih seperti Monsanto. Keterampilan
panen perempuan menggunakan “ani-ani” telah digantikan
oleh mesin-mesin panen dan perontok padi. Merontok padi
dengan gebotan (dalam Bahasa Jawa) atau lambuik (dalam
Bahasa Minang) yaitu berupa rak perontok yang terbuat dari
bambu atau kayu dengan 4 kaki berdiri di atas tanah, kemudian
padi dipukulkan ke papan gebotan atau lambuk, dan hasil
rontokannya akan jatuh di terpal yang berada dibawah meja
rak perontok, hanya menjadi romantisme masa lalu dan cerita
warung kopi pemanis obrolan. Thresher (mesin perontok padi)
telah menghapus romantisme itu. Tak ada lagi anak-anak main
layangan disaat musim panen tiba, semuanya telah berganti

Revolusi hijau telah memporak-porandakan wajah


pertanian tradisional yang menjaga harmonisasi dengan alam.
Revolusi hijau merubah kesetiaan petani menjadi sebuah
ketergantungan pada bibit hibrida dan rekayasa genetik
dan pupuk serta pestisida kimia yang merusak bumi bahkan
kesehatan manusia, yang memberi makan kapitalis untuk
mengeruk keuntungan dengan pongah dan rakus, tak peduli
meninggalkan beban nestapa bagi petani, khususnya perempuan
sebagai penjaga kedaulatan pangan keluarganya. Vandana
Shiva dalam kunjungan di Kediri Agustus 2014 yang dituliskan
Geo Times edisi 25 edisi 25 Agustus 2014 menyebutkan “Jika
dulu penjajahan dilakukan dengan mencari rempah-rempah,
sekarang mereka mencari benih. Dengan menguasai benih, akan

10 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


menguasai pangan. Dengan menguasai pangan, akan menguasai
masyarakat.” Itulah realita yang dihadapi masyarakat petani
saat ini. Bagaimana mereka bisa berdaulat secara pangan kalau
mereka tak bisa berdaulat atas benihnya? Kedaulatan pangan
pangan sejatinya hanya akan bisa diwujudkan jika kedaulatan
petani atas benih terjadi. Namun saat ini benih tak lagi menjadi
alat produksi yang dikuasai petani terutama petani perempuan.

Ironisnya, kemampuan perempuan dalam mengelola


sumber kehidupan telah dimentalkan dan mengalami patahan
yang sangat tajam karena lahirnya kapitalisme modern yang
menguasai sumber-sumber kehidupan mereka. Perempuan
telah kehilangan peran produktifnya yang digantikan oleh
mekanisasi pertanian yang dinilai menyumbang produktivitas
tinggi bagi produksi pertanian mereka. Perempuan dan petani
yang menggantungkan kehidupannya pada aras subsistensi1
mengalami pemiskinan dan akhirnya menjadi miskin senyatanya
akibat sistem dan mekanisme kebijakan negara yang semakin
memberi ruang dan ‘pengamanan’ bagi kapitalis untuk
terus mencengkeram kehidupan petani dan perempuan.

Sistem pertanian monokultur seakan menjadi primadona


dan akan mendatangkan kesejahteraan bagi petani, hingga
itulah yang menjadi program pemerintah untuk memberdayakan
petani. Pemerintah cenderung melihat bahwa pangan
primadona itu hanyalah beras, jagung, singkong dan kedelai,
sehingga bermunculan program-program pemerintah untuk
meningkatkan produksi komoditas ini sebagai sumber
1 Pertanian swasembada, dimana para petani lebih berfokus pada usaha dalam mem-
budidayakan bahan pangan dalam jumlah cukup untuk diri dan keluarganya. Memiliki
berbagai varian tanaman dan hewan ternak untuk dikonsumsi. Dalam pertanian subsisten
keputusan tentang tanaman apa yang bakal ditanam biasanya bergantung pada apa yang
diinginkan keluarga tersebut untuk dimakan tahun mendatang dan harga produk pertani-
an mereka

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 11


pangan utama masyarakat, dan memaksa mereka untuk
melupakan komoditas pangan lokal seperti ubi-ubian, kacang-
kacangan, buah-buahan dan obat-obatan dan sebagainya
yang selama ini sangat lekat dengan pangan perempuan,
hal ini diungkapkan oleh Eko B Waluyo dalam Kongres Ilmu
Pengetahuan Nasional X pada tanggal 8-10 November 2011.

Di tengah kecamuk penindasan, ketidakadilan serta


cengkraman kapitalis itu, Solidaritas Perempuan bersama
perempuan akar rumput di berbagai wilayah mencoba bangkit
dan membangun kekuatan untuk merebut kembali kedaulatan
perempuan, di antaranya kedaulatan perempuan atas pangan.
Berbagi dan bertukar pengetahuan antar perempuan dalam
beranda-beranda kehidupan mereka dipupuk dan dikembangkan
sehingga menjadi pengetahuan bersama bagi perempuan dalam
mengelola pertanian secara berkelanjutan. Hingga lahirlah
perempuan-perempuan pejuang yang tangguh dan berideologi
di desa-desa sebagai pelaku perubahan yang bertujuan
mewujudkan kehidupan yang sejahtera dan adil bagi perempuan.

Daryuti, Pejuang
Pangan Desa
Sidodadi

12 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Potret Daryuti

“ Saya memang tidak berpendidikan, SD saja tidak lulus,


tapi saya ingin bermanfaat bagi sekitar terutama
perempuan yang masih banyak menerima pelanggaran
hak.”

(Daryuti, Perempuan petani Sidodadi)

Begitu kata-kata itu diucapkan Daryuti dengan tegas dan


tanpa keraguan. Sosok perempuan bersahaja ini saya kenal 3
tahun yang lalu di kota Lampung saat pertama kali mengikuti
acara tahunan Solidaritas Perempuan. Wajahnya yang
ramah dan tutur kata yang lembut namun tegas menjadi ciri
khas Daryuti. Perempuan kelahiran Jawa Tengah 24 April
1986 silam telah menetap di Desa Sidodadi, Teluk Pandan,
Pesawaran, Lampung sejak tahun 1992 hingga Sekarang.

Dengan mata berkaca-kaca, Daryuti menceritakan masa


kecilnya. “Sebelum pindah ke Lampung saat masih di Jawa Tengah
aku kasihan sama bapakku yang hampir setiap hari dikejar-kejar
oleh polisi kehutanan (polhut) karena pekerjaan bapak sebagai
pencari kayu bakar di hutan kawasan di Jawa,” ungkapnya.

Saat duduk di kelas 3 (tiga) Sekolah Dasar, Daryuti dan


keluarga pindah ke Lampung dengan harapan dapat mengubah
kehidupan menjadi lebih baik. Orang tuanya, Ibu Wikoyah dan
Bapak Senin memulai kehidupan baru di Lampung sebagai
buruh tani, dengan mengurus kebun orang lain dengan
pembagian hasil 7:3 (7 bagian untuk pemilik kebun dan 3

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 13


bagian untuk keluarga Daryuti). Daryuti tak kuasa menahan
kesedihan saat menceritakan masa lalunya. Air mata mengalir
di pipi legam Daryuti saat perempuan lembut ini meneruskan
cerita. “Dulu saat kecil jarang sekali ketemu nasi, kami hanya
makan pisang dengan sayur gori (sayur kuah santan dengan
buah nangka) jika ada beras aku dan kakakku tidak makan, nasi
hanya untuk adik-adik kata mamak. Makanan sehari-hari kami
jengkol yang dibolongi tengahnya dan dikasih ampas kelapa.
Jangankan beli beras dan makanan enak, untuk bayar daftar
ulang sekolah pun orang tua ku ndak sanggup. Padahal waktu
itu hanya 27.000 (dua puluh tujuh ribu rupiah) sampai akhirnya
aku dan saudara-saudara ku tidak berpendidikan,” lanjut
Daryuti sembari mengusap air mata dengan lengan bajunya.
Bersama 5 orang saudara dan orang tuanya, dia menjalani hidup
penuh keprihatinan di masa awal mereka pindah ke Lampung.

Di usia 16 tahun Daryuti menjadi gadis desa yang putus


sekolah. Tak lama setelah berhenti sekolah, dia menemukan
tambatan hati, seorang laki-laki yang 7 tahun lebih tua darinya,
Muslimin, lelaki yang beruntung mempersunting Daryuti sejak
2002 hingga saat ini. Bersama suami dan tiga orang anaknya,
Daryuti menjalani kehidupan sebagai petani di Sidodadi. Mereka
menanam berbagai jenis tanaman di sawah dan ladang seperti
padi, pisang, kakao dan kelapa. Daryuti selalu menanam jenis
bibit lokal dan tidak terpengaruh dengan bibit-bibit unggul yang
banyak dipromosikan di media-media. Memang sejak tiga tahun
terakhir Daryuti bersama kelompok perempuan Desa Sidodadi
mulai serius mengembangkan jenis bibit lokal, terutama padi
varietas asli desanya. Hingga saat ini sudah ada 30 petani yang
mendukung gerakan yang diinisiasi Daryuti. Disamping itu, suami
dan anak-anaknya juga selalu mendukung kerja-kerja yang

14 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


dilakukan oleh Daryuti, bahkan tak jarang suaminya menggantikan
tugas-tugas kerumahtanggaan seperti memasak, mencuci, dan
menjaga anak di saat Daryuti harus meninggalkan rumah untuk
bekerja di tempat lain. “Mereka semua (keluarga) mendukung
semua kegiatan positif saya meskipun kadang-kadang harus
meninggalkan mereka dalam beberapa waktu,” ungkap Daryuti.

Memakai bibit lokal dalam pertanian adalah inisiatif kolektif


perlawanan yang dilakukan oleh Daryuti bersama perempuan
lain di desanya terhadap menguatnya sistem pertanian kapitalis
yang sangat berpihak pada pemodal atau perusahaan tapi
menyengsarakan petani, terutama petani kecil yang tak punya
modal. Melalui promosi di media cetak dan elektronik, serta
program-program dinas pertanian, perusahaan menawarkan
produknya, baik berupa bibit maupun sarana pertanian lainnya
dengan janji bibit unggul dan produksi yang tinggi, serta pupuk dan
pengendalian hama yang manjur dan mujarab untuk menunjang
produksi. Sesaat bujukan itu melenakan petani sehingga
berbondong-bondong memakainya, tapi akhirnya mereka
kelelahan dan terpekur karena bukan untung yang mereka
dapatkan, melainkan rugi karena biaya produksi tak setimpal
dengan hasil yang didapatkan. Tidak jarang lahan pertanian
mereka digadaikan ke tuan tanah hanya untuk membayar
biaya produksi pertanian. Hal ini semakin meminggirkan
dan memiskinkan perempuan petani di Desa Sidodadi.

Berangkat dari situasi itu, Daryuti bersama kelompok


perempuan mulai mengambangkan sistem pertanian yang
tidak menjadi ijon21 dalam kehidupan petani. Mereka mulai
mengembangkan bibit lokal dan membuat pupuk organik.
2 Ijon merupakan kredit yang diberikan kepada petani, nelayan, atau pengusaha kecil,
yang pembayarannya dilakukan dengan hasil panen atau produksi berdasarkan harga jual
yang rendah. (Diakses melalui https://kbbi.web.id/ijon pada 12 Juni 2023).

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 15


Bersama SP Sebay Lampung, mereka terus mengembangkan
pengetahuan dan menyebarkannya pada petani lainnya di
Desa Sidodadi melalui kebun kolektif. Kerja keras mereka
kemudian mendapatkan apresiasi dari pemerintah desa yang
mendukung gerakan pengembangan bibit lokal dan pupuk
organik tersebut. Mereka sudah mulai tidak bergantung lagi
pada bibit hibrida dan pupuk, juga pengendali hama kimia, input
pertanian pun sudah mulai mereka produksi sendiri. “Ini sebagai
bentuk perlawanan kami terhadap pertanian kapitalis yang
menguntungkan perusahaan produsen bibit dan pupuk kimia,”
Mbak Yuti, begitu biasa kami panggil, mengungkapkan pikirannya.

“ Untuk bisa berdaulat atas kehidupan kita


harus mandiri dan melepaskan diri dari
ketergantungan, kita berhak untuk menentukan
pilihan melakukan usaha tani sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan kita.”
Menurutnya kecukupan pangan keluarga bisa terpenuhi
kalau petaninya berdaulat mengelola pertaniannya dan
memanfaatkan hasilnya. “Hasil pertanian kami cukup
untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, kami tidak
berkekurangan, hasil tani kami cukup baik tanpa menggunakan
bibit hibrida dan pupuk kimia,” begitu Mbak Yuti mengatakan.

Perempuan Desa dalam Budaya Patriarki


Daryuti bertemu SP di tahun 2002 melalui Umi Laila dan
Sony, anggota SP Sebay Lampung yang berkunjung ke desanya,
ketika mereka akan berdiskusi dengan perempuan tentang
feminis dan globalisasi. Saat itu, Daryuti adalah perempuan desa
biasa yang menghabiskan waktu sebagai petani dan ibu rumah

16 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


tangga. Sehari-hari, dia menjalani rutinitas kehidupan yang
monoton dari pagi ke siang, siang ke malam, dan malam ke pagi.
Jangankan hadir dalam rapat-rapat pertemuan desa sebagai
ruang politik untuk menyuarakan kepentingan dan situasi
perempuan, dalam keluarga pun Daryuti tidak punya keberanian
untuk mengemukakan pendapat dan berbantahan dengan suami
atau anggota keluarga lainnya. Selama ini yang dia pahami,
perempuan harus patuh dan menaati kata orang tua atau suami
ketika sudah menikah. Hingga kemudian dia memahami bahwa
itulah patriarki yang mengungkung kehidupan perempuan.

Setelah pertemuan itu, Daryuti mulai menyadari


bahwa ternyata banyak sekali persoalan yang dihadapi oleh
perempuan, terutama yang disebabkan budaya patriarki yang
melemahkan perempuan. Pengalamannya membuktikan bahwa
patriarki telah membatasi ruang dan kesempatannya untuk
mendapatkan pendidikan. “Bapak saya tidak mengizinkan
saya sekolah lagi dengan alasan tidak ada biaya dan karena
seorang perempuan, padahal saya ingin sekali sekolah. Sedih
jika saya mengingat itu,“ cerita Mbak Yuti dengan raut wajah
sedih. Oleh sebab itu, dia bertekad untuk keluar dari jeratan
budaya patriarki yang mengkerangkeng kehidupannya.

Dia semakin tertarik dengan kerja-kerja yang dilakukan


SP, hingga memutuskan untuk menjadi anggota SP pada tahun
2005, bahkan saat ini dia menjadi salah satu anggota Dewan
Pengawas Komunitas SP Sebay Lampung untuk periode
2015-2019. Setelah menjadi anggota, banyak peluang dan
kesempatan yang diperoleh Daryuti untuk mengembangkan
diri dan meningkatkan kapasitas, hingga dia dipercaya sebagai
ketua Forum Perempuan Sidodadi pada tahun 2006 yang masih
dia lakoni sampai sekarang. Daryuti semakin sadar dan paham

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 17


bahwa ketidakadilan yang dialami perempuan bukan hanya
disebabkan oleh budaya patriarki, tapi juga kebijakan negara
yang melahirkan ketimpangan bagi perempuan yang akhirnya
menyebabkan potensi perempuan tidak diakui keberadaannya.

Setelah mengenal SP Sebay Lampung, Daryuti merasa


lebih percaya diri, walaupun dia tidak berpendidikan dan tidak
sekolah. Sekolahnya hanya sampai kelas 4 SD. SP membuka
matanya bahwa orang yang tidak berpendidikan formal sekalipun
memiliki hak untuk bicara, mendapatkan informasi, terlibat
dalam rapat-rapat pengambilan keputusan di desa, berhak
atas pengakuan dan penghormatan, tidak didiskriminasi. “Saya
bisa merasa bisa percaya diri untuk melangkah dalam merebut
kedaulatan sebagai perempuan,” tegasnya penuh keyakinan.

Solidaritas Perempuan Sebay Lampung sebagai


Rumah bagi Perempuan

Daryuti mengatakan, setelah hampir 15 tahun mengenal dan


menjadi anggota SP Sebay Lampung, banyak pengetahuan dan
pengalaman berharga yang dia dapatkan. Banyak perubahan
dalam hidup yang dia rasakan, yang dulu bukan siapa-siapa
bisa menjadi orang yang diperhitungkan di desanya. Dia
bangga karena bisa menularkan bibit perubahan itu pada
perempuan yang lain. Ada gerakan kolektif yang lahir dan
terbangun di antara perempuan khususnya perempuan desa
Sidodadi untuk terus berjuang memperoleh kedaulatannya,
mendapatkan hak dan pengakuan yang sama dari negara
serta mendapatkan ruang setara dengan laki-laki dalam segala
aspek kehidupan terutama dalam ruang-ruang pengambilan
keputusan di keluarga dan negara dalam segala level.

18 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Atas kerja dan perjuangannya memberikan penguatan dan
penyadaran pada perempuan, telah membuka mata masyarakat
Desa Sidodadi, bahwa ini adalah kerja perjuangan untuk
kebaikan dan kesejahteraan. Apresiasi masyarakat dibuktikan
dengan mendorong Daryuti sebagai ketua RT, tapi dia menolak
tawaran itu karena menurutnya untuk sebuah perubahan
tidak harus menjadi ketua RT. “Berkontribusi untuk sebuah
perubahan tidak harus menjadi ketua RT, yang utama adalah
yang lain sadar dan memberikan ruang bagi perempuan,” begitu
pemikiran Daryuti. Baginya, yang penting adalah dia masih
bisa mengajak perempuan lain untuk sama-sama belajar dalam
kelompok yang sudah mereka bangun, bergerak bersama-
sama untuk memperjuangkan hak perempuan di Desa Sidodadi.

Bagi Daryuti dan perempuan lain desa Sidodadi, SP Sebay


Lampung adalah rumah untuk berbagi dan memecahkan
persoalan rumit yang dihadapi perempuan Walaupun dalam
bergerak dan bekerja banyak tantangan yang dihadapinya,
terutama bagaimana mengalahkan rasa tidak percaya diri dan
merasa sangat bodoh, orang kampung yang tidak sekolah,
bahkan dulu dia juga harus berjuang keras bagaimana
memberi pemahaman pada suami untuk mendapat dukungan
atas kerja-kerja yang dia lakukan. Dulu Daryuti juga sering
mendapat penolakan penolakan dari masyarakat saat mengajak
perempuan di desanya untuk diskusi dan belajar bersama.
Pernah ada suami yang melarang istrinya untuk ikut dalam
kegiatan yang mereka lakukan “Jangan ikut-ikut Daryuti dan
SP nanti ngelawan suami,” begitu kata-kata yang sering dia
dengar. Namun tantangan itu tak pernah melemahkan semangat
Daryuti untuk melakukan perubahan hingga banyak masyarakat
yang memberikan kepercayaan padanya untuk membantu

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 19


penyelesaian persoalan yang mereka hadapi. “Berjuang itu
tidak mudah selalu ada kendala-kendala yang dihadapi, bagi
saya ini keberhasilan SP Sebay Lampung yang bisa membuat
saya seperti Daryuti hari ini,” ujar Daryuti dengan banggga.

Menurut Daryuti, SP Sebay Lampung juga berhasil mengubah


cara pikir perempuan Desa Sidodadi, bahwa perempuan harus
terlibat dalam ruang pengambilan keputusan baik dirumah tangga
maupun didesa untuk menyuarakan situasi yang mereka hadapi
dan untuk bisa merebut hak-hak sebagai perempuan yang setara
dengan laki-laki. Daryuti berharap agar perempuan desa Sidodadi
tetap membangun dan menghidupkan semangat kolektif dan
sama-sama belajar untuk maju, mengubah cara berpikir agar
perempuan bisa diakui keberadaannya sebagai warga negara yang
punya hak yang sama dengan laki-laki di mata undang-undang.
Perempuan harus bersatu, bergerak dan berjuang bersama untuk
melawan ketertindasan dan ketidakadilan yang mereka alami.

Sri Rohmadani:
Merawat dan
Menjaga
Mata Air
Kehidupan
Sri Rohmadani adalah perempuan berumur 53 tahun
yang tinggal di desa Kekeri, sehari-hari dia bekerja sebagai
petani. Namun masifnya alih fungsi lahan telah mengurangi

20 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


lahan-lahan produktif di desa Kekeri, sehingga hamparan
sawah tak lagi menjadi primadona. Sumber air yang selama
ini mengairi persawahan masyarakat sudah semakin
kecil bahkan tak lagi mengalir karena sudah disedot
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di
perumahan. Hamparan padi telah menjadi tanaman beton.

Desa Kekeri merupakan salah satu desa yang ada


di kecamatan Gunung Sari, kabupaten Lombok Barat,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa ini dulunya memiliki
12 sumber mata air yang bisa digunakan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk berbagai keperluan.
Masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak setiap hari
berbondong–bondong mendatangi sumber mata air tersebut
untuk mengambil air, terkadang sambil bercengkrama dan
bertukar cerita tentang persoalan hidup sehari-hari. Mata Air
ini sangat dirawat dan dijaga oleh masyarakat, karena bagi
mereka itu adalah sumber kehidupan. Namun, saat ini hanya
ada 3 sumber mata air yang masih mengalir. Alih fungsi lahan
adalah salah satu penyebab keringnya mata air kehidupan itu.

Sebelum maraknya pembangunan perumahan (BTN),


Kekeri memiliki areal persawahan produktif seluas 145 hektar
dan mayoritas masyarakat bekerja di sektor pertanian,
baik sebagai petani pemilik maupun petani penggarap,
di samping juga bekerja sebagai buruh tambang galian C
yang ada disana. Namun sawah produktif yang ada di desa
Kekeri mulai berkurang sejak tahun 1990 karena mulai
dibangunnya perumahan-perumahan oleh BTN dan mulai
menjadi ancaman terhadap keberlanjutan pertanian yang
merugikan kehidupan mereka. Sebab itulah ketika ada
pembangunan lagi dikemudian hari beberapa di antara

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 21


masyarakat mencoba melarang dan menghentikannya.

Bu Sri menceritakan bahwa pembangunan perumahan


BTN ini juga tidak melalui izin pemerintah desa. Investor atau
pengembang berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan
warga masyarakat pemilik tanah. Salah seorang petani desa Kekeri
pernah mendatangi pemerintah desa untuk mempertanyakan
hal itu, namun tak ada tanggapan yang menggembirakan bagi
mereka. Desa Kekeri memang kaya akan sumber daya alam
dengan letak yang strategis sehingga banyak menarik minat
para investor untuk berinvestasi. Bahkan, rencananya wilayah
utara desa Kekeri akan dikembangkan sebagai kota metropolis
yang sudah digagas dan direncanakan oleh pemerintah desa
bersama Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lombok Barat.
Desa ini juga masuk dalam wilayah Masyarakat Ekonomi
Asia (MEA) yang tentu saja semakin mengancam sumber-
sumber kehidupan masyarakat khususnya perempuan.

Menurut Bu Sri, saat ini sudah banyak buruh tani yang sudah
kehilangan pekerjaan karena lahan pertanian yang semakin
berkurang. Mereka terpaksa mencari cara lain untuk memenuhi
kebutuhan hidup, salah satunya menjadi buruh migran keluar
negeri, seperti ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai Pekerja
Rumah Tangga maupun menjadi buruh bangunan di Malaysia. Tak
ada bekal memadai yang mereka miliki untuk bertarung di negara
orang sehingga mereka rentan mengalami penipuan, pelecehan
seksual, tidak dibayarkan gaji dan menjadi korban trafficking.

Sri Rohmadani sebagai salah seorang petani perempuan


desa Kekeri merasa prihatin dengan situasi yang ada di
desanya. Dengan dukungan suami dan anak-anaknya bersama
perempuan lainnya berjuang untuk mempertahankan lahan

22 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


produktif yang ada di Desa Kekeri. Karena sebagai perempuan
buruh tani, masyarakat merasakan dampak langsung alih fungsi
lahan di desa mereka, yaitu kehilangan mata pencaharian.

Bersama SP Mataram, Bu Sri memberikan pemahaman


kepada petani perempuan akan pentingnya mempertahankan
lahan produktif mereka untuk menjaga keberlanjutan dan
kedaulatan pangan. Ketika lahan produktif sudah tidak ada lagi,
maka rawan pangan akan mengintai, dan yang akan merasakan
dampak utamanya adalah perempuan yang selama ini bertanggung
jawab dalam pemenuhan pangan keluarga. Tak kenal lelah Bu Sri
terus melakukan penyadaran terhadap masyarakat, juga pada
generasi muda untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam
desa Kekeri, baik lahan persawahannya maupun mata air desa.

Kerja-kerja kemanusian ini mulai dilakukan Sri Rohmadani


semenjak dia mengenal SP di tahun 2005. SP Mataram banyak
melakukan diskusi dengan kelompok perempuan desa Kekeri
mengenai hak-hak perempuan, salah satunya hak atas pangan.
Saat itu desa Kekeri yang kaya dengan hasil pertanian tapi
masih ada ada anak yang mengalami gizi buruk dan busung
lapar. Menghadapi situasi itu mereka rajin mendiskusikan
tentang pengolahan pangan sehat, pola asuh dan bagaimana
perempuan sebagai penjaga kedaulatan pangan keluarga.
Sri Rohmadani sering menjadi tempat “curhat“ atau tempat
bercerita perempuan desa Kekeri terkait persoalan yang mereka
hadapi, Diantaranya soal pendidikan, kesehatan, kesulitan
ekonomi dan lain sebagainya. Berangkat dari situ dia mengajak
mereka berkumpul dan berdiskusi untuk membicarakan
situasi dan persoalan yang mereka alami tersebut.

Melalui diskusi Kampung yang dilakukan oleh SP Mataram

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 23


Sri bersama perempuan lainnya mendapatkan pengetahuan
dan penyadaran terkait hak-hak sebagai perempuan terutama
hak atas pangan sehat. Tahun 2006 SP Mataram mengadakan
Workshop Inisiasi Pembentukan Community Center (CC) atau
Pusat Pengaduan Masyarakat atau warga di Mataram. Ada 5
CC terbentuk setelah workshop itu salah satunnya CC Desa
Kekeri. CC yang diberi nama “Community Center Mandiri”
menjadi pusat pengaduan warga masyarakat desa Kekeri.
Oleh masyarakat Sri dipercaya sebagai ketua. CC semakin
berkembang dan melayani banyak pengaduan masyarakat,
dan mulai menangani kasus buruh migran. Menjadi pusat
informasi bagi calon buruh migran dan purna, terkait hak-
hak mereka serta prosedur pemberangkatan buruh migran.
Melalui CC Mandiri ini Sri bisa membangun MoU dengan Dinas
Kesehatan Lombok Barat, melalui Puskesmas Penimbung yang
berkomitmen memberi layanan kesehatan bagi Warga Kekeri.

Sri menjadi penggerak bagi perempuan desa Kekeri


untuk memperjuangkan kehidupan mereka. Sri tak pernah
patah semangat untuk terus berjuang. Bersama masyarakat
desa Kekeri dan SP Mataram, dia juga menginisiasi Awik-awik
perlindungan lahan pertanian dan sumber mata air. Awiq-awiq ini
akan didorong untuk jadi peraturan desa, sehingga bisa menjadi
payung hukum bagi masyarakat untuk mempertahankan
lahan produktifnya. Awiq-awiq ini mengatur agar pemilik lahan
pertanian tidak menjual tanah produktif kepada pihak lain
yang peruntukannya bukan untuk lahan pertanian, sehingga
desa Kekeri mempunyai lahan pertanian abadi untuk menjamin
keberlanjutan pangan masyarakat di masa yang akan datang.

Dan bersama kawan-kawan petani perempuan dan laki-


laki juga membentuk kelompok Tani BMM (Beriuk Mele Maju).

24 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Ada satu petak lahan percontohan yang mereka Tanami antap
jongkong (tanaman Lokal) dan pohon nangka. Antap jongkong
dan pohon nangka menjadi penanda lahan abadi yang tidak
bisa diperjualbelikan. Di samping itu, mereka juga menanam
tanaman lain seperti seledri, cabe, terong dan kebutuhan
pangan lainnya. Pohon Nangka dipilih karena fungsinya
yang bisa menyimpan air, serta buah nangka muda banyak
dibutuhkan masyarakat saat Begawe (pesta). Sementara
antap jongkong dipilih karena nilai jualnya lebih tinggi.

Sri bersama perempuan lain di desa Kekeri mampu


mengembangkan usaha rumahan untuk meningkatkan ekonomi
dengan menjual berbagai olahan pangan keluarga. Melalui kerja
kerasnya desa Kekeri menjadi pusat perhatian masyarakat luas,
sering menjadi percontohan desa lain di kabupaten bahkan
provinsi Nusa Tenggara Barat. Sri berharap, pemerintah desa
segera menyusun dan mengesahkan peraturan desa yang
akan melindungi lahan produktif dan sumber air mereka.

Banyak pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan


Sri dan perempuan lain di Desa Kekeri setelah bertemu SP.
SP telah membawa perubahan dalam kehidupan mereka.
Jadi memahami hak-hak mereka sebagai perempuan, baik
dalam keluarga maupun di masyarakat. Mereka menyadari
bahwa penting keterlibatan perempuan dalam setiap
pengambilan keputusan baik dalam rumah tangga maupun
di masyarakat yang lebih luas, karena perempuan dan laki-
laki mempunyai hak yang sama dan setara, untuk itu mereka
harus selalu meningkatkan kapasitas diri dalam hal apapun

Namun demikian, tentu saja ada tantangan yang dihadapi


Sri dalam mengorganisir perempuan di kampungnya, terutama

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 25


dalam mempertahankan lahan produktif desa mereka karena
kebanyakan lahan pertanian di desa Kekeri bukan milik orang
Kekeri, tapi orang yang berasal dari luar desa Kekeri. DI
samping itu, pemerintah provinsi, kabupaten dan desa akan
menjadikan desa Kekeri sebagai kawasan metropolis yang tentu
saja akan mengundang banyak investor. Rencana ini sudah
tertuang dalam peraturan kabupaten Lombok Barat tentang
tata ruang kabupaten Lombok Barat, sehingga sulit untuk
mempertahan lahan yang sudah menjadi target akan dibangun.
Saat ini, Sri bersama perempuan lain terus mendorong
peraturan desa tentang perlindungan lahan produktif dan
sumber mata air desa Kekeri. Dengan adanya peraturan
itu Sri bersama masyarakat Kekeri bisa mempertahankan
lahan produktifnya sebagai upaya untuk mewujudkan
kedaulatan pangan masyarakat secara berkelanjutan.

Perempuan Pejuang
Melawan Masifnya
Perampasan Lahan

H
ampir di semua wilayah di muka bumi, tanah
mempunyai arti penting bagi kehidupan masyarakat,
khususnya perempuan. Tanah bukan hanya sebagai
sumber kehidupan, namun tanah juga sebagai harga diri bagi
masyarakat khususnya perempuan, juga laksana roh dalam
tubuh serta punya nilai spiritual bagi masyarakat. Derasnya
modernisasi ekonomi kapitalis telah menghilangkan kehidupan
bermasyarakat yang tenang, damai dan rukun dalam kekerabatan.

26 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Perampasan dan penguasaan lahan oleh pemerintah dan pemodal
telah meminggirkan perempuan dari ruang-ruang hidupnya.

Masyarakat yang hidupnya bertani, berhuma, berburu


semakin terdesak dan tak memiliki kuasa apapun. Pembukaan
lahan untuk industri kehutanan, perkebunan, pertambangan
dan pertanian komersial telah meminggirkan mereka menjadi
masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem. Perempuan dan
masyarakat lokal yang punya kemelekatan dengan alam
penindasan dan kesakitan karena tanah mereka diambil paksa
melalui kebijakan investasi. Perampasan lahan (land grabbing)
telah menyebabkan pembukaan lahan (land clearing) dengan
intensif dan tentu saja tak mengindahkan hutan sebagai
penyangga kehidupan, sebagai penyedia berbagai kebutuhan
hidup bagi masyarakat. Tak ada lagi tajuk rindang hutan yang
menutupi permukaan tanah sehingga aliran permukaan mengalir
dengan kencangnya menghilangkan humus tanah karena hijaunya
pelepah sawit tak bisa menggantikan fungsi hutan yang melindungi
permukaan tanah. Tak ada lagi catchment area (daerah tangkapan
air) untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber air.
Sumber kehidupan masyarakat telah dimusnahkan dengan paksa.

Sementara UUD 1945 mengamanatkan bahwa “bumi, air


dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” Namun, sampai saat ini cita-cita mulia
konstitusi tersebut masih sebatas anga. Amanat konstitusi tak
sepenuhnya dijalankan oleh Negara. Atas nama pembangunan
dan percepatan pertumbuhan ekonomi hak-hak masyarakat
diabaikan dan lahan mereka dirampas. Masyarakat hidup dari
remah-remah kekayaan alam mereka. Pemerintah menjadi
garda terdepan untuk meng“aman”kan posisi para kapitalis

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 27


melalui berbagai kebijakan, sebut saja UU BUMN, UU PMA,
UU Minerba dan sebagainya. Kebijakan ini juga menyebabkan
lahirnya ketimpangan penguasaan lahan antara penguasa dan
pemodal dengan rakyat. Bagi perempuan, hal ini menambah
panjang rantai penderitaan mereka, bukan hanya oleh
kebijakan negara tapi juga budaya patriarki, karena penentu
dari semua itu dalam konteks patriarki adalah laki-laki.

Penderitaan masyarakat akibat konflik tanah atau agraria


tak pernah berkurang dari tahun ke tahun sebagai catatan
hitam dalam perjalanan berbangsa dan bernegara. Derita
rakyat seringkali dilihat hanya sebagai deretan angka, juga
hanya bacaan dan diskusi oleh pemerintah namun tak terlihat
langkah nyata untuk menyudahinya. Bahkan tak segan-segan,
negara membungkam mereka yang berani melawan dan
memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan berbagai dalih rakyat
mudah dikriminalisasi karena dianggap telah mengganggu dan
menciptakan ketidakamanan bagi negara dalam menjalankan
fungsinya. Demi para kapitalis, hukum Indonesia menjadi
impunitas menyikapi banyaknya pelanggaran hak dan
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemodal maupun negara.
Teriakan-teriakan kepedihan yang disampaikan hanya menjadi
tontonan penguasa negeri ini di balik dinding istana nan megah

Pada April 2017, aksi yang luar biasa dilakukan oleh 10 orang
Kartini Kendeng Rembang Jawa Tengah. Dengan heroik mereka
nekat menyemen kaki di depan istana untuk mempertahankan
‘rahim’ mereka pegunungan Kendeng dari amuk kapital yang
semakin brutal. Bagi mereka Cekungan Air Tanah (CAT) Watu
Putih yang ada di pegunungan Kendeng adalah situs yang
memberikan mereka kehidupan yang lestari, karena semakin
banyak aktifitas tambag mereka mulai merasa kelangkaan

28 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


air sejak tahun 2000-an. Keberanian srikandi Kendeng ini
sebagai sebuah simbol keterpasungan akibat ulah membabi-
buta eksploitasi sumberdaya alam oleh kapitalis di alam lestari
mereka. Aksi semen kaki ini kemudian diikuti di berbagai daerah
sebagai bentuk solidaritas pada masyarakat yang tinggal di
kawasan pegunungan Kendeng. Laman media massa, baik cetak
dan elektronim memberitakan aksi ini hingga menjadi sorotan
dunia. Perjuangan mereka bahkan bertebus nyawa, salah seorang
dari Srikandi tersebut meninggal dan meninggalkan semangat
perlawanan yang tak pernah mati. Damailah di sisiNya Yu Patmi,
semesta mencatat semangat juangmu untuk gunung Kendeng
yang Lestari, yang akan menghidupi anak cucu di masa datang.

Tak terbilang banyak perjuangan dan perlawanan


rakyat dalam konflik agraria ini karena sumber kehidupan
mereka yang dirampas baik untuk perkebunan skala besar,
tambang, reklamasi pantai juga pembangunan Geothermal
yang digadang-gadang sebagai sumber energi listrik ramah
lingkungan. Namun oleh rencana gemilang ini pemerintah telah
menyingkirkan masyarakat yang selama ini menggantungkan
kehidupan pada alam dan menjadikan mereka masyarakat tak
berdaya dan miskin. Masyarakat yang selama ini menjaga dan
melindungi keseimbangan alam terpaksa menelan pil pahit dan
dikriminalisasi karena dianggap melawan dan menghalangi
negara. Perempuan dan anak harus menanggung beban hidup
karena suami atau ayah mereka ditahan dan dipenjara karena
mempertahankan hak mereka dari rampasan pengusaha.

Daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti


Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Sumatera semakin besar
lahanya telah menjadi milik penguasa baik pemerintah maupun
swasta. Satu contoh kecil saja Kalimantan tengah dengan 15,3

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 29


juta hektar dengan luas kawasan hutan mencapai 10,7 hektar
dengan berbagai keanekaragaman hayati, hasil hutan dan
tentunya juga kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang
tinggal di kawasan hutan dan sepanjang aliran sungai. Saat
ini 12,8 juta hektar atau 78% dari total luas Kalimantan Tengan
telah dikuasai oleh korporasi. Alam yang sejatinya memberikan
jaminan kesejahteraan hidup masyarakat masyarakat Dayak
tak lagi mendatangkan rasa damai bagi mereka, akses mereka
dibatasi untuk memasuki hutan. Hutan adat mereka mereka
dijadikan berbagai proyek eksploitasi sumber daya alam,
seperti Pembukaan Lahan Gambut (PLG) tahun 1997, proyek
Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) tahun 2012 dan
berbagai proyek lainnya oleh pemerintah dan swasta. Sejarah
mengatakan bahwa masyarakat Dayak merupakan komunitas
yang sangat arif dan bijaksana memperlakukan alam juga dalam
membangun kehidupan sosial sesuai dengan amanat Leluhur
tertuang dalam ungkapan “Haga Lewun Keton, petak Danom,
ela sampai tempun petak nana sare” yang artinya “Pelihara
kampung halamanmu (jangan sampai terjadi pemilik tanah
berladang di pinggiran)” (Tjilik Riwut, 1979), namun realitanya
karena sistem dan kebijakan negara yang lebih berpihak pada
pengusaha telah melahirkan penderitaan bagi masyarakat
Dayak, mereka tak lagi bisa menjadi penentu dilahan, tanah dan
hutan mereka, hanya bisa berladang di pinggiran atau bahkan
di lahan sempit yang mereka reklaim dari tangan kapitalis.

Dalam sejarah hitam konflik agraria di Indonesia, Solidaritas


Perempuan (SP) di 11 komunitas bersama perempuan akar rumput
mencoba membangun kekuatan untuk melawan ketidakadilan
yang mereka alami akibat perampasan lahan, tanah dan hutan
mereka. SP mencoba memfasilitasi kebutuhan masyarakat

30 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


yang berjuang merebut kedaulatan mereka atas tanah. Dalam
perjalanannya kerja-kerja yang dilakukan SP telah melahirkan
pejuang-pejuang agraria yang tangguh dan berani melawan tirani
dan cengkeraman penguasa. Walaupun secara signifikan belum
menampakan hasil nyata dari perjuangan dan perlawanan yang
mereka lakukan, karena negara yang berpihak pada pengusaha,
namun suara-suara perlawanan mereka telah tersampaikan
pada pengambill kebijakan, baik di nasional maupun daerah. Di
samping itu, gerakan kolektif dan semangat perlawanan semakin
menguat antar sesama perempuan. Mereka menyadari kekuatan
kolektif adalah modal untuk melawan dan merebut kembali
kedaulatan itu, salah satunya kedaulatan perempuan atas tanah.

Herlina: Hutan
adalah Nafas
Kehidupan,
Jangan
Rampas
Hutan Kami

Herlina Sukmawati adalah perempuan Dayak dari Desa Sei


Ahas, Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan
Tengah, sebuah desa kecil yang dihuni 896 jiwa. Untuk sampai
ke desa ini membutuhkan waktu lebih kurang 8 jam melalui jalan
darat dan sungai dengan jenis alat transportasi yang berganti-
ganti seperti travel, long boat (perahu panjang bermesin) dan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 31


dilanjutkan dengan menggunakan ces (perahu kecil dengan
mesin tempel) menyusuri sungai Kapuas. Sepanjang perjalanan
ke sana, mata akan dipuaskan dengan pemandangan alam
dan hutan serta perkampungan masyarakat di sepanjang
bantaran sungai. “Wilayah desa kami berada di sekitar kawasan
hutan,“ demikian Herlina mengungkapkan, di mana mayoritas
penduduknya menggantungkan hidupan pada alam dan hutan
sebagai petani dan pekebun. “100% penduduk adalah petani
dan pekebun, yang merupakan mata pencaharian utama kami.
Ada juga yang punya pekerjaan tambahan, seperti saya bekerja
sebagai guru selain Bertani,” ungkap Herlina. Umumnya lokasi
ladang dan kebun berada di dalam hutan, karena itulah hutan
menjadi sangat penting bagi masyarakat Sei Ahas. Setiap
hari mereka ke ladang menggunakan ces, satu-satunya alat
transportasi yang bisa digunakan menyusuri sungai Kapuas dan
sungai-sungai kecil menuju ladang atau kebun mereka.

Dari hutan, Herlina dan masyarakat desa Sei Ahas


mendapatkan segala kebutuhan hidup sehari-hari seperti
ikan, berburu, bertani dengan cara berpindah namun tetap
menanami kembali lahan yang ditinggalkan dengan pohon
karet, rotan dan buah-buahan. Hutan juga menjadi tempat
menemukan obat-obatan tradisional dan mengumpulkan
kayu bakar. Di samping itu, di hutan mereka juga mendapatkan
kayu untuk membangun rumah, mencari rotan dan menyadap
karet. Sei Ahas yang sebagian besar tanahnya adalah gambut
atau disebut “petak sehat“ dalam bahasa Dayak, di mana jenis
tanah ini hanya toleran terhadap tanaman tertentu. Untuk
itu Herlina dan petani lainnya hanya menanam jenis padi
lokal seperti Garagai, Kalanis, dan Sentang yang merupakan
varietas asal yang ditanami sejak zaman moyang mereka.

32 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Mereka hidup sejahtera dan makmur karena hutan
menyediakan segala kebutuhan mereka. Tatanan sosial di
masyarakat berjalan dan terpelihara dengan baik. Perempuan
dan laki-laki bekerja sama dan bergotong royong mengelola
hutan dan lahan. Hingga kemudian kehidupan Herlina dan
masyarakat lainya mulai terusik dengan masuknya perusahaan
kelapa sawit PT. Rezeki Alam Semesta Raya (PT RASR) pada
tahun 2004. Lahan pertanian Helina dan masyarakat lainnya
diserobot PT RASR. Militer adalah alat kuasa yang digunakan
oleh Perusahaan untuk mengadu domba masyarakat, antara
yang berpihak pada perusahaan dengan masyarakat yang
menuntut hak atas tanah yang dirampas perusahaan. Namun
Herlina dan beberapa masyarakat lainnya tak gentar dan tetap
berjuang untuk merebut kembali tanah dan hutan mereka

Permasalahan dengan PT RASR belum selesai, muncul


lagi persoalan baru pada tahun 2011 dengan masuknya proyek
perubahan iklim Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP)
dengan program percontohan Reduction Emission Deforestation
and Degradation (REDD). “Belakangan saya baru mengetahui
bahwa proyek percontohan ini didanai oleh Pemerintah Australia
dengan wilayah 120.000 ha. Berarti seluruh desa kami masuk ke
dalam wilayah KFCP. KFCP tidak hanya melaksanakan proyek
REDD di desa Sei Ahas, tapi juga di 6 desa dan 7 dusun lainnya, antara
lain Desa Kalumpang dan Mantangai Hulu. Setelah KFCP datang,
permasalahan kami pun semakin bertambah,” ungkap Herlina.

Seperti PT RASR, KFCP juga datang begitu saja, tanpa


sosialisasi dan informasi yang jelas kepada masyarakat, melainkan
hanya berembuk dengan pemerintah desa dan beberapa tokoh
adat di desa. KFCP melakukan rapat di Balai Desa Sei Ahas untuk
melakukan pemilihan Tim Pelaksanaan Kegiatan (TPK), dan Tim

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 33


Pemantau (TP). Herlina pun hadir pada saat itu. Dalam pemilihan
TPK peserta rapat diminta untuk menuliskan nama orang yang
dicalon sebagai TPK sementara TP dipilih langsung dan hanya
bisa dijabat oleh pemerintah desa. Dalam rapat tersebut juga
sedikit disampaikan terkait kegiatan yang akan dilaksanakan
oleh KFCP, yaitu penanaman kembali hutan yang terkena
dampak pembukaan sejuta hektar lahan gambut (PLG) yang
mengalami kebakaran, di mana sebenarnya wilayah tersebut saat
itu sudah ditumbuhi pohon dan semak belukar yang lebat. Pihak
KFCP menentukan Jenis tanaman yang harus ditanam, tanpa
persetujuan dari masyarakat. Pun tidak ada informasi yang jelas
soal REDD dan apa yang menjadi tujuannya pada masyarakat.
Di samping itu istilah-istilah yang digunakan pun sulit dipahami
seperti misalnya karbon, atau menggunakan bahasa inggris.

Tak beda dengan kehadiran PT RASR, proyek KFCP pun


menimbulkan masalah bagi masyarakat, termasuk perempuan.
Masyarakat baik perempuan maupun laki-laki tidak bisa lagi
dengan mudah keluar masuk hutan karena hutan jadi kawasan
wilayah proyek KFCP. Hutan menjadi tertutup bagi masyarakat
karena hutan difungsikan sebagai hutan lindung dan tidak boleh
diganggu dengan memasang plang tanda larangan memasuki
kawasan hutan. Pelaksanaan proyek KFCP juga didukung Balai
Rawa dengan membangun tabat (bendungan) permanen, hal ini
semakin mempersulit masyarakat masuk kehutan dan ladang
mereka, karena sungai adalah satu-satunya jalan masuk ke
ladang atau kebun masyarakat yang umumnya berada dalam
hutan. Proyek KFCP telah menghilangkan akses ekonomi
masyarakat terhadap hutan, juga mengubah tatanan sosial
dan budaya masyarakat Sei Ahas terkait pengelolaan hutan.
Dampak terbesar dialami oleh perempuan karena semakin

34 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


kesulitan mencari rotan sebagai bahan baku untuk membuat
kerajinan tangan, yang bisa mereka jual dan menghasilkan
uang, juga kesulitan mencari bahan baku tanaman obat.

Kehadiran KFCP juga memunculkan konflik sosial.


Masyarakat menjadi saling curiga satu sama lain, karena hanya
orang-orang tertentu saja yang diberi kesempatan hadir dan
berpartisipasi dalam rapat bersama KFCP dan mereka akan
menerima ‘uang duduk’ sebesar Rp 50.000,- yang katanya untuk
menggantikan penghasilan dari pekerjaan masyarakat yang
hilang dalam satu hari karena ikut rapat. Sementara masyarakat
yang tidak diundang, tapi hadir di rapat tersebut, tidak mendapat
uang duduk, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial, siapa
yang mendapat keuntungan dan siapa yang tidak, sehingga terjadi
konflik antar warga. Buntut dari saling curiga itu masih terjadi
sampai sekarang walaupun KFCP sudah sudah berakhir tahun 2014

Masyarakat desa Sei Ahas tidak mengerti dengan


sepenuhnya mengenai proyek KFCP dengan program REDD
yang dilaksanakannya. “Saya tidak mendapatkan informasi jelas
tentang program REDD atau proyek KFCP. Proses pemberian
informasi, hanya dilakukan sekedar formalitas saja, dan seringkali
menggunakan bahasa Inggris. Padahal untuk memahami bahasa
Indonesia saja kami sulit, karena terbiasa menggunakan bahasa
Dayak,“ keluh Herlina. KFCP sama sekali tidak membuka ruang
diskusi, khususnya untuk perempuan. Dalam setiap rapat
umumnya hanya mengundang laki-laki sebagai kepala keluarga.
Adapun perempuan yang hadir karena posisinya di pemerintahan
desa, ataupun perempuan yang mewakili suaminya yang
berhalangan hadir. Kehadiran perempuan dalam rapat pun
hanya sekedar mendengarkan saja karena kurang mengerti apa
yang sedang dibicarakan, sehingga pengambilan keputusan pun

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 35


didominasi oleh laki-laki. Di samping ketidakmengertiannya,
perempuan tidak berani bicara dan mengutarakan
pendapatnya karena sering tidak didengar dan dianggap.

Dalam proyek KFCP keterlibatan perempuan dalam


pembibitan dan penanaman bibit, mereka dijanjikan akan dibayar
Rp 1.800 per bibit yang mereka tanam, namun kenyataannya
mereka hanya menerima bayaran Rp 500 dari setiap bibit yang
mereka tanam dan pembayaran pun sering terlambat mereka
terima. “Ini hanya salah satu bagian dari pelanggaran perjanjian
atau kesepakatan desa dengan KFCP,” ungkap Herlina.
Perempuan umumnya tak pernah tahu apa tujuan penanaman
karena mereka hanya menjalankan apa yang disuruh. Hal yang
sama juga dirasakan oleh perempuan di desa lain dimana proyek
KFCP ini ada seperti desa Kalumpang dan Mantangai Hulu.

Walaupun mengalami ketidakadilan, masyarakat


terutama perempuan takut menyampaikan keluhan
kepada KFCP karena mereka sungkan dan takut bila Tim
Pelaksana Kegiatan (TPK) mengetahuinya, walaupun KFCP
menyediakan kotak keluhan tapi kotak tersebut diletakan
di depan rumah TPK, itulah yang menyebabkan mereka
enggan menyampaikannya. “Sepanjang proyek berjalan saya
dan warga lainnya juga tidak pernah mendengar kalau surat
itu dibaca dan dibahas oleh pihak KFCP,” cerita Herlina.

Kehadiran Solidaritas Perempuan di desa Sei Ahas pada


tahun 2012 telah membawa perubahan besar, bukan hanya bagi
Herlina sebagai tapi juga bagi perempuan-perempuan di desa
Mantangai Hulu dan Kalumpang. “Kami menjadi berani berbicara
dalam rapat-rapat desa, dan kami semakin sadar, bahwa KFCP
telah melanggar hak kami sebagai perempuan. KFCP sudah

36 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


melanggar hak kami untuk mengelola dan memanfaatkan hasil
hutan untuk kehidupan kami. Kami sangat membutuhkan hutan
untuk hidup dan kehidupan kami, hutan bagi kami adalah nafas, kami
tidak bisa hidup tanpanya,” kata Herlina dengan penuh semangat.

Karena itulah Herlina bersama perempuan lainnya bergerak


bersama untuk memperjuangkan hak mereka untuk mengelola
hutan. “Kami perempuan merasa tidak adil dengan keputusan
pemerintah yang menetapkan lahan dan hutan wilayah kami
sebagai hutan lindung, tanpa berkonsultasi. Kami, perempuan
Sei Ahas tidak berjuang sendiri, tapi kami juga berjuang bersama
perempuan-perempuan dari desa Kalumpang dan Mantangai
Hulu yang mengalami permasalahan serupa setelah masuknya
KFCP,” tegas Herlina. Perempuan lintas desa mengadakan
diskusi membahas pengalaman, permasalahan, perubahan
yang mereka rasakan di desa masing-masing, juga membahas
kepentingan dan kebutuhan mereka sebagai perempuan.
Kegiatan seperti ini tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.
“Solidaritas Perempuan memberikan penguatan pada kami,
hingga sekarang perempuan berani mempertanyakan hak
mereka, termasuk berinisiatif untuk memaksa ikut terlibat
dalam rapat-rapat desa, walaupun tidak diundang,” Herlina
menceritakan pengalamannya bersama Solidaritas Perempuan.


Kami tidak hanya bersuara di desa kami saja, kami juga
menginformasikan mengenai KFCP yang memberikan
kami janji harapan palsu untuk masyarakat. Kami
dijanjikan kesejahteraan, namun yang terjadi
hak-hak kami malah terlanggar. Kami menemui
pemerintah lokal, yaitu Sekber REDD Kalimantan
Tengah, ke pemerintah Nasional, yaitu Kementeriaan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 37


Kementerian Lingkungan Hidup, dan Bank Dunia,
yang sempat berencana memberikan pendanaan
untuk perpanjangan proyek. Selain bertemu dengan
pemerintah, kami juga menyuarakan suara kami melalui
radio, lokal dan nasional. Kami menceritakan arti hutan
bagi perempuan, dampak proyek KFCP dan harapan
perempuan berdaulat atas hutan. Kami merasa perlu
melakukan itu, agar orang-orang tahu bahwa kami
para perempuan yang ada di desa dari zaman nenek
moyang kami, sudah sangat memperdulikan hutan dan
lingkungan kami.”

Kehadiran KFCP adalah pengalaman buruk untuk


Herlina dan perempuan di Sei Ahas. Mereka tidak ingin
lagi kejadian itu terulang lagi. “Tidak ada peningkatan
kesejahteraan bagi warga desa kami. Hanya permasalahan
dan konflik yang tersisa. Kami perempuan ingin dilibatkan
dalam pengambilan keputusan menyangkut desa kami,
karena kami mempunyai hak untuk memutuskan yang terbaik
untuk desa untuk kepentingan kami bersama,” ungkapnya.

Herlina percaya, masyarakat, baik perempuan dan laki-


laki dapat berdaulat atas tanah air sendiri, berdaulat atas
hutan, walaupun melalui perjuangan panjang dan berliku. “Kami
yakin bila kami berdaulat, kami akan kembali sejahtera, karena
bebas mengakses, mengelola hutan, bebas menentukan apa
yang kami mau tanam, dan tidak ada pembatasan-pembatasan
untuk pemanfaatan hutan. Karena kami dari dulu pun sudah
menjaga dan memelihara hutan untuk masa depan anak
dan cucu kami. Maka dukung kami, perempuan Sei Ahas,
untuk dapat berdaulat atas tanah, atas hutan kami, karena

38 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


bagi kami hutan adalah nafas dan hidup kami,” lanjutnya.

Serlin Sampali:
“Mempertahankan
Kehidupan di
Taman Nasional
Lore Lindu”

Serlin, begitulah saya sehari-hari dipanggil, lahir pada


29 September 1967 di desa Wanga. Saya anak kedua
dari 6 bersaudara. Masa kecil saya lalui dengan bahagia
bersama saudara di Wanga. Secara ekonomi keluarga kami
berkecukupan, saat itu papa saya menjabat sebagai kepala
desa Wanga. Setelah tamat SD, saya ke Kolonodale kabupaten
Morowali untuk melanjutkan sekolah. SMP dan SMA saya
nikmati di sana dan sudah jarang berada di desa kelahiranku.
Setelah tamat SMA saya baru pulang ke kampung, dan mulai
banyak bergabung dengan organisasi yang ada di kampung.

Pada usia 26 tahun, tepatnya tahun 1986 saya menikah


dengan seorang laki-laki dari tanah Batak. Setelah menikah kami
menetap di desa Kolonodale beberapa waktu. Tapi sekarang
saya dan keluarga sudah tinggal di Napu dan menjalani kehidupan
sehari-hari sebagai petani dengan menanam padi sawah dan
sayur-sayuran. Selain itu saya dan suami saya punya usaha kecil-

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 39


kecil dengan membuka kios bensin dan bahan pokok lainya.
Hasil tani kami mampu mencukupi kebutuhan keluarga kami dan
membiayai sekolah 3 anak laki-laki saya, anak pertama dan kedua
sudah di perguruan tinggi dan si bungsu masih duduk di bangku SD.

Saya dan keluarga menetap di Napu Lore sejak tahun 2000.


Sebagai warga masyarakat yang masih baru di Napu, saya sangat
bersyukur karena saya bisa kembali melihat sejarah desa Wanga
dan penempatan tapal batas dengan Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL). Sebagai anak Lore, saya ingin memperjuangkan
tanah-tanah yang sudah sejak dulu menjadi perkampungan
dan lahan pertanian warisan nenek moyang yang dengan
bukti-bukti yang masih ada seperti tiang rumah dan kuburan
masyarakat Lore yang dinamakan Taroka. Juga ada bukti
lain yaitu tanaman kopi dan kemiri yang menandakan bahwa
tanah-tanah yang diklaim oleh TNLL itu adalah tanah kami,
bekas perkampungan dan lahan pertanian nenek moyang kami.

Menurut informasi dari masyarakat dan pemerintah,


penempatan tapal batas tahun 1982 tidak dilakukan sosialisasi
dari TNLL. Petugas yang datang langsung memasang pal-
pal tanpa ada dialog dan diskusi dengan masyarakat tentang
maksud dan tujuan pemasangan pal-pal tersebut, apalagi pal-
pal itu dipasang depan jalan raya yang melingkupi lahan dan
kebun masyarakat. Ada satu kejadian yang pernah terjadi di
Desa Wanga saat itu tahun 1983, salah seorang warga Desa
Wanga melakukan aktivitas mengambil kayu ramuan bangunan
rumah menggunakan sensor (alat tebang kayu), kedapatan
oleh PPA (penjaga hutan) kemudian sensornya ditahan, dan
tidak dikembalikan sampai sekarang. Hal itu terjadi saat papa
saya masih menjabat sebagai Kepala Desa. Bagi masyarakat
adat Lore, hutan bukan hanya sebagai sumber ekonomi dan

40 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


sumber kehidupan tapi juga mengandung nilai spiritualitas,
demikian lekat hutan dengan kehidupan mereka dengan
penetapan pal batas ini telah membatasi akses masyarakat
khususnya perempuan Lore untuk mengambil bahan baku
seperti rotan, bambu dan daun pandan, di samping hasil
hutan lainnya untuk pemenuhan kebutuhan pangan mereka.

Di tahun 1983, kepala desa Watutau, Wanga dan Kaduwaa


bersama tokoh masyarakat Lore, bapak Kunio Tabo (alm) yang
punya pengaruh di Sulawesi Tengah, mencoba mendatangi
gubernur untuk mendiskusikan ulang pemasangan pal batas TNLL.
Dari diskusi tersebut, gubernur Sulawesi Tengah menjanjikan
akan meninjau ulang pemasangan batas, namun janji tersebut
tak pernah ditepati, sehingga membiarkan masyarakat Lore
hidup di bayang-bayang ketakutan petugas penjaga tapal batas.

Saya mulai aktif mengikuti kerja-kerja sosial di masyarakat


ini sejak saya menikah. Menjadi kader PKK, dipercaya sebagai
ketua Persekutuan Perempuan di Gereja dan membawahi 60
orang perempuan di desa, juga ketua sektor 3 yang memonitoring
4 desa dan membawahi 250 orang perempuan. Saya tidak punya
pengalaman lain selain dari kerja-kerja sosial di desa itu, hingga
kemudian saya bertemu dan berkenalan dengan SP Palu tahun
2011. Saat itu ada diskusi di rumah Kepala Desa, bapak Viktor
Palanti. Sungguh saya tak tau apa-apa saat itu tentang SP. Saya
bersyukur bisa ikut dalam kegiatan itu. Saya mulai mengajak
perempuan di desa Kaduwaa, Desa Wanga, Desa Siliwanga, dan
Desa Watutau untuk ikut berdiskusi dan berbagi pengalaman
bersama SP. Kami mendapatkan banyak pengetahuan dan
pengalaman. Saya dan perempuan lainnya banyak belajar dari SP
Palu, sehingga ada perubahan cara berpikir kami kemudian hari.

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 41


Tahun 2012, SP Palu mengadakan Temu Perempuan Lore
di desa Watutau. Saya hadir saat itu, juga ada perempuan
Desa Wanga, Siliwanga dan Kaduwaa. Saya semakin
memahami kerja-kerja yang dilakukan SP Palu. Saya juga
diberi kesempatan untuk hadir dalam acara Temu Nasional
Perempuan di Bali pada 7 November 2013 membicarakan
tentang Akses dan Kontrol Perempuan dalam Pengelolaan
Sumber Daya Hutan, dan saya sebagai salah satu narasumber
dalam acara tersebut. Saya menceritakan bagaimana situasi
perempuan yang hidup berdampingan dengan Taman Nasional
Lore Lindu, dan penetapan tapal batas oleh pemerintah

Banyak kesempatan yang diberikan SP buat saya.


Pada 28 Oktober 2014 saya mengikuti Dialog Publik tentang
pemberdayaan dan perlindungan perempuan dalam kebijakan
proyek iklim di Sulawesi Tengah. Saya juga pernah terlibat pada
pemetaan partisipatif dan pengetahuan perempuan komunitas
pada 1-7 Desember 2014, dan banyak lagi yang yang lainnya.
SP telah membantu masyarakat khususnya perempuan untuk
memahami hak-haknya sebagai perempuan dan memberikan
pengetahuan bagaimana mengelola dan menjaga kelestarian
hutan sebagai sumber kehidupan bagi kami. Satu hal yang sangat
membanggakan adalah ketika kami di Lore bisa mengadakan
festival perempuan dan memamerkan segala macam kerajinan
tangan dari olahan hasil hutan, obat-obatan tradisional yang
bahan bakunya dari hutan juga adat istiadat dan budaya Lore.

Pada kongres VII SP di Jogja tahun 2015 saya juga diberi


kesempatan untuk hadir. Begitu banyak pengetahuan yang
saya dapatkan, mendengarkan banyak cerita perempuan dari
daerah lain yang menginspirasi untuk melakukan perubahan
di tempat kami. Saat ini, perubahan itu sudah mulai terlihat,

42 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


baik individu maupun di kelompok. Kami berhasil mendorong
keterwakilan perempuan di lembaga adat. Kelompok kami
juga sudah mulai membuat kerajinan tangan dari hasil hutan
seperti tikar, bakul, membuat makanan yang biasa disebut
Pia Napu, juga membuat bunga-bunga untuk hiasan meja
tamu. Walaupun usaha ini belum maksimal, namun kami tetap
bersemangat mengembangkannya. Hal itu kami inisiasi untuk
membangun kemandirian ekonomi anggota dan kelompok.
Saya berharap kegiatan ini bisa menginspirasi perempuan
untuk bergerak dan berjuang demi kemajuan perempuan.

Kami juga mendirikan kelompok tani perempuan yang sudah


di SK kan oleh pemerintah desa pada tanggal 1 Desember 2015.
Kelompok tani perempuan itu kami beri nama Mpolenda. Melalui
kelompok ini kami bisa mendapat bantuan dari dana desa. Bantuan
kami gunakan untuk meningkatkan ekonomi kreatif perempuan.
Setelah saya berhasil membentuk kelompok tani perempuan
saya pun terpilih menjadi ketua persekutuan perempuan Jemaat
Immanuel Wanga pada 30 oktober 2016 untuk periode 2017-
2021 yang membawahi sekitar 60 orang perempuan juga terpilih
jadi Majelis (penatua) di Organisasi Gereja .Kemudian dalam
musyawarah kerja pengurus perempuan klasis Napu pada 22
februari 2017 di Jemaat Eklesia Wuasa, saya terpilih sebagai ketua
sector 3 persekutuan perempuan yang memonitoring 4 Desa
persekutuan perempuan dalam periode yang sama. Semuanya
ini saya percaya anugrah Tuhan dan juga tak lepas dari peran SP
Palu yang sudah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada
saya, juga membuka peluang bagi saya untuk memperjuangkan
hak-hak sebagai perempuan termasuk hak atas tanah.

Kehadiran SP juga memberikan banyak manfaat bagi kami.


Kami jadi memahami bagaimana pengelolaan sumber daya

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 43


hutan yang tidak kami pahami sebelumnya. Bagaimana kebijakan
yang dibuat oleh Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL)
tidak berpihak kepada masyarakat justru menyengsarakan
masyarakat Lore yang berbatasan langsung dengan Hutan.
Setelah beberapa tahun saya belajar bersama SP, saya telah
bisa memimpin perempuan lain untuk memperjuangkan
tanah yang diklaim BTNLL. Karena bagi kami, hutan adalah
bagian dari sejarah desa sebagai warisan leluhur dan sebagai
sumber penghidupan masyarakat. Kami sebagai penduduk
Lore yang telah mendiami tanah-tanah sejak lama, hanya
dibuat sebagai penjaga hutan tanpa bisa memanfaatkannya.

Perkenalan dengan SP, juga memberikan pengetahuan


pada saya tentang penguatan ekonomi di kelompok. Saat
ini kelompok telah mengembangkan usaha kemandirian
ekonomi dengan membuat usaha rumahan seperti pia
dan kerajinan tangan berbahan pandan dan bambu,
yang kami pasarkan di desa Wanga dan desa sekitarnya.


Saya bertekad, bersama perempuan dan masyarakat
Lore, kami akan terus berjuang untuk merebut kembali
hak-hak kami sebagai masyarakat Lore agar kami
bisa mengakses dan memanfaatkan hasil hutan untuk
memenuhi kebutuhan hidup kami. Berbagai upaya telah
kami lakukan, namun belum membuahkan hasil yang
menggembirakan. Namun kami akan tetap melawan,
karena hutan bagi kami adalah sumber kehidupan.”

Saya bersama perempuan di Lore terus membangun


dan menguatkan kelompok membangun komunikasi dengan
pemerintah desa untuk menyuarakan kepentingan perempuan.
Bahwa penting menghidupkan dan menjaga Budaya Lore yang

44 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


hampir punah seperti penggunaan alat-alat makan saat pesta adat
seperti Bingka yang terbuat dari Rotan dan Bambu, tikar pandan
dan Obat-Obat tradisional yang semua bersumber dari hutan.

Emilia:
Yang
Pantang
Menyerah
Jauh dari kebisingan kota, tepatnya di Seribandung
kecamatan Tanjung Batu Sumatera Selatan, Emilia dilahirkan
pada tanggal 4 Juni 1986 dalam keluarga yang amat
sangat sederhana, bahkan boleh dikata tak berkecukupan.
Emilia anak adalah anak ke-8 dari 9 bersaudara yang
besar dalam kesulitan dan serba kekurangan, bahkan
3 saudaranya meninggal karena sakit dan tidak ada
biaya untuk mendapatkan pengobatan yang layak.

Emi begitu dia biasa dipanggil tak hanya kekurangan dari


sisi ekonomi maupun kasih sayang orang tua, bagaimana tidak
karena kemiskinan kedua orang tua bekerja dan menghabiskan
waktunya di luar rumah sebagai buruh harian lepas di kebun
orang. Tak ada waktu untuk bercengkrama bersama orang tua,
karena di rumah yang tersisa hanya sisa-sisa lelah dan letih.
Kebiasaan buruk ayahnya yang suka berjudi dan minum-minuman
keras melengkapi daftar panjang penderitaan Emi. Hampir tak

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 45


pernah ayahnya memberikan nafkah kepada anak dan istrinya,
uangnya yang didapat dihabiskan untuk kesenangan sendiri.

Emi kecil sampai umur 10 tahun tak pernah merasakan


indahnya masa kecil dan punya mainan seperti teman
sebayanya. Mainannya hanya anugerah alam liar yang saat
itu amatlah tidak menarik dalam pandangannya. Dia hanya
memendam rasa sedih melihat temannya bisa punya mainan
yang banyak juga pakaian yang bagus. Pikiran polos anak-
anaknya menyeret untuk bertanya pada ibunya mengapa
anak-anak lain bisa punya mainan dan baju yang bagus,
ibunya hanya berkata “Nak, mereka punya uang yang banyak.
Tapi kita tidak punya uang untuk membeli semua itu.“ Emi
hanya bisa menangis mendengar kata-kata ibunya, dan
sejak saat itu Emi tak pernah bertanya lagi pada ibunya.

Emi Kecil, sehari-hari ikut bersama ibunya ke kebun


orang dimana ibunya bekerja. Dia bermain dengan daun-
daun, ranting dan pohon hingga memasuki Sekolah Dasar.
Saat usianya 5 tahun ibunya mendaftarkan Emi ke SDN 2
Seri Bandung berbekal seragam murah yang dibeli ibunya.

Di sekolah, Emi punya teman anak orang kaya, bagaikan


langit dan bumi dengannya. Pada suatu hari, Emi mengerjakan
tugas sekolah di rumah temannya itu, sungguh dia terkagum
dengan apa yang dia lihat, banyak barang mewah dan bagus.
Ketika mereka sedang belajar, ayah temannya pulang dan
membawa buah apel untuk temannya yang baru kali pertama
Emi melihatnya. Baginya apel itu sangat cantik dengan warna
merahnya. Emi hanya bisa menelan ludah membayangkan
nikmatnya. Temannya tahu apa yang ada dipikiran Emi,
temannya memberi Emi sepotong kecil apel itu, tapi bagi Emi

46 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


itu sudah lebih dari cukup karena dia sudah bisa merasakannya.

Selepas SD Emi ingin melanjutkan ke SLTPN tapi ibunya


menyuruh emilia masuk madrasah tsanawiyah, Emi tetap
berkeras ingin sekolah di SLTPN, itulah kali pertama Emi
melakukan penolakan atas keinginan ibunya, dia memperlihatkan
perlawanannya dengan cara tidak mengerjakan apa yang disuruh
ibunya. Ibunya mengungkapkan kekhawatiran tidak bisa membiayai
sekolah Emi sampai selesai. Akhirnya, atas bantuan saudara laki-
lakinya yang sudah bekerja dan punya uang Emi bisa masuk SLTPN.

Di Sekolah, Emi sering dirundung (bully) dan direndahkan


bahkan pernah dipukul oleh adik kelasnya tapi dia tidak bisa
melawan karena kemiskinan dan status sosialnya. Dia merasa
minder dan tertekan dengan situasi itu. Ia berpura-pura
tidak mendengar apa yang mereka katakan hingga akhirnya
dia menjadikan perilaku teman-temannya sebagai motivasi.
Emi berpikir, kalau hidupnya tidak berubah maka dia akan
terus direndahkan baik itu di masyarakat ataupun di sekolah.
Menurut Emi, untuk bisa keluar dari ketidakberdayaan dia
harus berpendidikan atau punya uang yang banyak. Agar
bisa punya uang, saat libur sekolah Emi jadi buruh harian
di perkebunan tebu milik PTPN VII cinta manis di desanya.
Uang yang dia dapat digunakan untuk membeli keperluan
sekolah. Saat bekerja, dia pernah mengalami pelecehan yang
dilakukan oleh mandor. Dia diiming-imingi uang dan tidak
harus bekerja jadi buruh jika mau jadi istri simpanannya. Dia
tidak berani melawan dan menolak secara tegas karena takut
diberhentikan, dia hanya berusaha menjauhi mandor tersebut
dengan membawa perasaan kesal dan marah yang tertahankan.

Setelah selesai SMP, Emi bertekad untuk bisa melanjutkan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 47


ke SMA, walaupun dia mendapatkan jawaban yang sama dari
ibunya, ketidaksanggupan membiayai sekolah Emi. Kali ini
Emi tidak mau menyerah, dia sudah bertekad untuk sekolah
setinggi mungkin untuk bisa mengubah status sosialnya yang
selalu dilecehkan. Dia memutuskan melanjutkan di SMA swasta
yang dekat dari rumahnya karena SMA negeri berada jauh dan
butuh biaya besar. Dia berusaha menempa dirinya menjadi yang
terbaik, hingga dia dipercaya menjadi ketua kelas saat dia kelas
3. Dia merasa bangga karena dia punya kuasa untuk menentukan
aturan yang akan mereka jalankan di kelas. Saat SMA Emi juga
mendapatkan pelecehan dari guru bahasa inggrisnya. Emi masih
belum punya keberanian untuk melawan karena dan tidak berani
bicara keras karena takut akan berpengaruh pada nilainya,
dia hanya membiarkan walaupun dia merasa tidak nyaman.

Keinginan Emi untuk meraih pendidikan tinggi terhenti


selepas SMA, keinginannya yang besar untuk kuliah tak bisa
digapainya karena ketiadaan biaya. Akhirnya dia memutuskan
menikah muda, dalam pikirnya dengan menikah masalah
dan kesulitan hidup akan terselesaikan dan hidupnya akan
menjadi lebih baik. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Dia
menikah dengan seorang laki-laki yang menjadi pilihannya
dengan status sosialnya lebih tinggi darinya pada tahun 2004.

Setelah menikah, ruang gerak emi sangat dibatasi oleh


suaminya juga keluarga suaminya. Dia tidak bisa keluar rumah dan
harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Keluarga suaminya
memandang rendah kehadirannya karena dia miskin. Emi hanya
bisa menangisi nasib dan ketidakberdayaannya. Kehidupan
berumah tangga hanya dilaluinya 2 tahun, karena suaminya
meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil pada 24 Agustus 2006.
Emi kembali terhempas, dia mengambil alih beban kepala keluarga

48 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


untuk menafkahi anak satu-satunya hasil pernikahan mereka.

Emi masih tinggal di rumah mertuanya setelah suaminya


meninggal. Perlakuan mertua dan saudara suaminya
tetap tidak berubah, tekanan psikis terus menerus dia
rasakan. Bagi mertuanya orang miskin bisa dibeli dengan
uang dan dikuasai oleh orang yang memiliki uang. Rasa
marah dan kesal berkecamuk dalam pikirannya, rantai
penindasan belum berakhir dalam kehidupannya. Karena
tidak tahan lagi dengan perlakukan keluarga suaminya, Emi
memutuskan pulang kerumah orang tuanya bersama anaknya.

Ibunya juga mempunyai aturan yang ketat yang harus dipatuhi


Emi bahkan sampai pakaian yang harus kenakannya. Ibunya selalu
memahamkan pada Emi bahwa perempuan harus bisa memasak,
membersihkan rumah, melayani suami dengan baik dan tidak
melawan, tidak boleh keluar malam, apalagi dengan predikat
“janda” yang dia sandang. Ruang geraknya sangat dibatasi. Adat
dan budaya di masyarakat seorang janda muda tidak boleh keluar
rumah dengan alasan apapun karena dianggap akan merusak
rumah tangga orang, dianggap kupu-kupu malam yang akan
menggoda laki-laki. Walau tak setuju dengan pandangan itu, Emi
tak kuasa melawannya dan hanya bisa mematuhinya. Emi merasa
ini tidak adil kenapa harus dibebankan pada perempuan saja, tapi
itu hanya kecamuk dalam pikirannya, karena dia tidak tahu harus
melakukan apa untuk melawan itu, dia tidak punya keberanian.

Hingga munculah keberanian untuk memberontak dan


melepaskan diri dari segala keterkungkungannya. Dengan
pilihannya, Emi sempat merasa terasing dan dianggap
anak durhaka dalam keluarganya. Emi mulai bergabung
dengan gerakan masyarakat untuk melawan perusahaan,

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 49


berharap akan ada perubahan hidup yang lebih baik dimasa
depan. Namun karena ke”perempuanan”nya dia hanya
dilibatkan sebagai pendukung saja, menyiapkan konsumsi
dan tidak diberi ruang dan kesempatan untuk menyuarakan
pendapatnya. Laki-laki yang mengambil peran penting dan
strategis. Selama dua tahun dalam gerakan itu, dia hanya
bertugas mengumpulkan dana dan menyiapkan konsumsi

Cahaya terang akhirnya menghampiri Emi, awal 2014 dia


dipertemukan dengan SP Palembang dalam sebuah diskusi di
kampung. Pikirannya semakin terbuka setelah mengikuti diskusi
itu. Bahwa perempuan berhak bicara, menyampaikan persoalan
yang dihadapi dan memperjuangkan hak-haknya, termasuk
hak atas tanah. Berbekal pengetahuan yang dia dapatkan
dari SP Palembang, Emi semakin meneguhkan keberaniannya
untuk berjuang. Dia juga mengajak perempuan lain di desanya
untuk mendukung gerakan perlawanan terhadap PTPN VII
Cinta Manis yang telah merampas sumber kehidupan mereka.

Emi mulai berani mendobrak budaya patriarki yang


mengakar kuat di desanya, yang hanya menjadikan perempuan
sebagai pelengkap dalam setiap ranah kehidupan. Dia semakin
berani bersuara dan melawan tabu-tabu bahwa perempuan tidak
boleh berjuang. Baginya perjuangan bukan hanya milik laki-laki.

Akhirnya Emi mendapatkan dukungan dari masyarakat


untuk melakukan perlawanan. Dia semakin gencar menyuarakan
perjuangan dan perlawanan mereka di forum-forum. SP Palembang
memberikan ruang dan kesempatan bagi Emi untuk terus
meningkatkan kapasitas dirinya. Pada tahun 2017 Emi menjadi
peserta Sekolah Kepemimpinan Feminis (SKF) yang dilaksanakan
Seknas SP di Jakarta. Selama 4 bulan dia ditempa untuk menjadi

50 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


aktivis yang berani memperjuangkan hak-hak masyarakat
tertindas khususnya perempuan. Dalam Rapat Konsultasi Anggota
SP Palembang tahun 2018 Emi disahkan menjadi anggota. Ruang
dan kesempatan Emi semakin terbuka untuk terus bergerak
dan berjuang. Emi dipercaya sebagai koordinator lapangan
pada Feminist Action Participatory Research (FAPR) tentang
Hak perempuan atas tanah yang dilakukan sejak April 2017.

Untuk menguatkan semangat perjuangan, Emi bersama


perempuan lainnya membentuk kelompok yang mereka beri nama
Kelompok Perempuan Pejuang Seri Bandung sebagai ruang aman
bagi mereka untuk mendiskusikan persoalan yang mereka hadapi.
Secara rutin mereka mengadakan pertemuan di kelompok, di
mana Emi menjadi motor penggerak dalam kelompok tersebut.

Buah dari ketekunan dan keuletannya, saat ini Emi


sudah mulai bisa menuai hasilnya. Suara dan pandanganya
didengar dan diperhitungkan. Dia sering diundang sebagai
narasumber dalam forum-forum publik seperti dialog publik,
talkshow radio di RRI Palembang, Temu Perempuan dan
kegiatan lainnya, tidak hanya di Palembang bahkan di Jakarta.
Emi dikenal sebagai pejuang agraria untuk masyarakat. Ia
dan kelompoknya ingin terus berjuang dan melawan untuk
merebut kedaulatan mereka, terutama kedaulatan atas tanah.

Nurmidah:
Yang Muda Yang Peduli
Nama saya Nurmidah, lahir di Seri Bandung pada tanggal
6 Februari 1994. Saat ini menetap di jalan Fitria dusun II Desa
Seri Bandung. Saya terakhir mengenyam pendidikan di SMKN 1

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 51


Indralaya Selatan. Keluarga saya adalah masyarakat asli desa
Seri Bandung yang bersuku Panesak dan beragama Islam.
Saya memiliki 9 saudara, dan hubungan kami sangat dekat baik
dengan orang tua begitu juga dengan saudara yang lain, kami
saling menguatkan dan berbagi dalam suka maupun duka.
Meskipun kebiasaan di desa kami memberikan kesempatan dan
keistimewaan pada anak laki-laki terutama dalam pendidikan,
namun orang tua saya selalu memberikan perlakukan yang
sama pada kami, tanpa membedakan anak laki-laki atau anak
perempuan, baik untuk mendapatkan pendidikan, mengeluarkan
pendapat dan lainnya. Orang tua juga memberikan dukungan
pada saya untuk berjuang bersama perempuan Seri Bandung
dalam merebut kembali tanah kami dari PTPN VII Cinta
Manis, juga aktivitas saya lainnya seperti di Karang Taruna.

Orang tua juga menanamkan rasa tanggung jawab, saya dan


saudara punya peran dan tanggung jawabnya masing-masing.
Dalam keluarga kami sering bekerja sama, saling melengkapi,
saling membantu, menyayangi dan saling menghormati. Saat
saya tidak beraktifitas di luar, saya membantu menjaga anak
kakak perempuan saya yang berkebutuhan khusus. Tantangan
tentu saja ada bagi kami, karena ada perbedaan pandangan,

52 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


pemikiran dan beda pemahaman terhadap sesuatu hal, namun
kami bisa melaluinya, karena prinsip kami, dalam keluarga
harus saling melengkapi kekurangan dan memberi pengertian
satu sama lain agar terciptanya kenyamanan dalam keluarga.

Sebelum mengenal SP dan menjadi anggota Kelompok


Perempuan Pejuang Seri Bandung, banyak hal yang tidak
saya ketahui tentang desa Seri Bandung seperti sejarah
desa, tapi setelah sering berdiskusi bersama ibu-ibu
lainnya saya jadi tahu. Saya juga mengetahui persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya perempuan
akibat konflik yang terjadi dengan PTPN VII Cinta Manis

Saya semakin banyak tahu persoalan yang dihadapi


perempuan di kampung saya setelah mengenal SP pada bulan
Desember tahun 2015. Ayuk Emilia salah seorang aktivis
perempuan dan anggota SP Palembang yang memperkenalkan
SP pada saya. Saya sering diajak dalam diskusi-diskusi
yang diadakan SP, hingga kemudian saya terlibat sebagai
tim peneliti lapangan pada Feminist Participatory Action
Research (FPAR), sebuah penelitian aksi yang partisipatif
untuk melihat peran dan posisi perempuan dalam kepemilikan,
pengelolaan dan pemanfaatan tanah di kampung kami.

Melalui FPAR yang kami lakukan, saya bisa memahami


situasi yang dialami perempuan desa Seri Bandung pasca
konflik besar-besaran pada tahun 2012 dengan PTPN VII
Cinta Manis. Masih banyak perempuan yang merasa trauma,
cemas, takut dan putus asa. Saya jadi mengetahui juga bahwa
ada kelompok lain yang tidak peduli dengan perjuangan
yang dilakukan oleh KPPS karena mereka atau anggota
keluarganya bekerja di perusahaan PTPN VII Cinta Manis.

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 53


Banyak kesempatan lain yang saya dapatkan setelah
mengenal SP. Bisa ikut dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan
SP yang banyak memberikan saya pengetahuan baru seperti
training Feminis, training globalisasi dan pengorganisasian di
Lampung pada tahun 2018, workshop penelitian aksi, pelatihan
membangun mekanisme keamanan bagi pembela HAM
bersama SP Palembang, Yayasan Perlindungan Insani dan
HUMA, hingga mengikuti dialog dengan BPN/ATR kabupaten.

Melalui penelitian FPAR, saya mengetahui sejarah desa


dan kepemilikan tanah. Saya semakin tertarik dengan kerja-
kerja yang dilakukan SP yang mendorong saya untuk terlibat
aktif dalam diskusi-diskusi kelompok dalam KPPS (Kelompok
Perempuan Seri Bandung) bersama perempuan lainnya, untuk
terus memperjuangkan hak-hak mereka termasuk hak atas tanah
yang kami suarakan melalui aksi-aksi dan dialog pada berbagai
pihak pemangku kepentingan juga dalam kegiatan lainnya. Saya
semakin percaya diri dan bersemangat untuk berjuang bersama
kawan-kawan di KPPS dan SP Palembang untuk melawan
ketidakadilan dan penindasan yang dialami oleh perempuan.

Saya memantapkan pilihan saya untuk berjuang bersama


SP dan pada tanggal 5 januari 2019 saya disahkan menjadi
anggota SP Palembang dalam Rapat Konsultasi Anggota.
Setelah menjadi anggota SP perasaan saya campur aduk,
merasa senang, bahagia, sedih dan was-was, apakah saya
bisa mengimplementasikan nilai-nilai SP dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun di
masyarakat. Tapi SP telah memberikan banyak manfaat dalam
kehidupan saya. Melalui kegiatan-kegiatan yang saya ikuti
wawasan saya jadi bertambah, bisa mengenal banyak orang
hebat dan bertambah teman dan menemukan keluarga baru.

54 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Dalam berjuang, tentu saja kami menghadapi tantangan,
seperti anggapan remeh masyarakat terhadap perjuangan
kami karena kentalnya budaya patriarki yang mempengaruhi
cara pandang mereka, dengan pandangan bahwa perempuan
seyogyanya berada di rumah dan tidak melakukan kegiatan-
kegiatan di luar rumah. Bagi perempuan yang aktif di luar
rumah sering mendapatkan stigma negatif, bukan perempuan
yang baik, bahkan ada juga yang beranggapan bahwa gerakan
kelompok perempuan pejuang Seri Bandung ini membuat
kehidupan mereka menjadi sulit karena kinerja perusahaan
menjadi menurun sehingga perekonomian masyarakat yang
keluarganya bekerja di perusahaan menjadi lemah. Namun
situasi dan kondisi tersebut tidak membuat kami untuk
mundur, tapi malah semakin menambah semangat kami
untuk berjuang demi tercapainya cita-cita kami yaitu merebut
kembali tanah kami yang dikuasai oleh PTPN VII Cinta Manis.

Tantangan lainnya yang saya alami adalah berkaitan dengan


diri sendiri yaitu keterbatasan untuk memahami situasi dan
kondisi konflik masyarakat dengan PTPN VII Cinta Manis. Saya
butuh waktu untuk membaca dan menganalisis sesuatu itu lebih
dari satu kali sampai saya yakin benar-benar memahaminya
dikarenakan keterbatasan informasi yang saya miliki. Selain itu
tantangannya juga soal keamanan karena ada mata-mata yang
mengamati gerakan kami, oleh sebab itu saya harus lebih berhati-
hati setiap saya ingin bepergian atau mengikuti suatu kegiatan
baik yang dilakukan KPPS maupun yang dilakukan SP Palembang,
bahkan saya sering tidak menyebutkan tujuan saya kalau ada yang
bertanya, hanya menginformasikan pada keluarga saja. Sebagai
upaya untuk melindungi diri, saya menyimpan nomor kontak
di buku kecil yang saya bawa bukan di Handphone dan tidak

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 55


memposting kegiatan-kegiatan yang saya ikuti di media sosial.

Saya berharap, KPPS bersama SP Palembang bisa


mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik
antara masyarakat di Ogan Ilir khususnya Desa Seri Bandung
dengan PTPN VII Cinta Manis, dan masyarakat bisa mendapatkan
hak-haknya kembali yaitu kembalinya tanah masyarakat yang
dirampas sehingga masyarakat banyak mengalami penderitaan
dan trauma akibat konflik yang berkepanjangan dan tidak selesai.

Deice: Hutan
dan Perempuan
yang Tak
Terpisahkan
Nama saya Deice
Nathalia Poba atau biasa
dipanggil Coli. Tinggal di
Desa Watutau kecamatan
Lore Peore kabupaten Poso
Provinsi Sulawesi Tengah.
Watutau adalah desa di dataran tinggi dengan jumlah penduduk
1,563 yang mayoritas bekerja sebagai petani. Selain bertani
kebiasaan perempuan di desa kami adalah pergi ke hutan
untuk mengambil rotan, daun pandan dan bambu untuk
dianyam menjadi alat rumah tangga yang biasa dipakai
dalam pesta adat, pesta perkawinan, kematian, untuk alat
pertanian, alat peternakan dan juga bisa digunakan sebagai
alat penyimpanan sesajen yang merupakan tradisi dari
nenek moyang di Lore. Di hutan, kami juga bisa mendapatkan

56 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


ramuan atau rempah untuk obat-obatan tradisional.

Masyarakat Lore adalah petani berpindah-pindah dengan


tradisi gotong royong (mokoe) mulai dari pemarasan rumput/
ilalang (motatehi), penembangan pohon (motiwingi) dengan
menggunakan parang dan kapak, pembakaran (mehuwe)
dan pengumpulan kayu-kayu yang tidak habis terbakar untuk
mempersiapkan lahan. Pengolahan lahan (mokawo) dan
penyiangan (mobahi) kami lakukan dengan menggunakan pacul
dan sengko, alat pertanian tradisional warisan nenek moyang
kami. Setelah tahapan ini selesai orang tua akan berdiskusi
(mogombo) membicarakan persiapan menanam padi dan
menentukan hari baik untuk menanam sambil mempersiapkan
benih yang akan ditanam di ladang yang merupakan benih lokal
yang baik. Kami punya banyak jenis pare (padi dalam Bahasa
Lore) lokal yang rasanya enak dan harum seperti bandera, undua,
bongka, anantowawine (pulut merah) dan tobanasu (pulut putih).

Menanam padi pun kami lakukan secara bergotong


royong, bahkan bisa sampai 100 orang yang hadir dalam
masa tanam serentak ini. Bingka-bingka (bakul) buatan
perempuan yang terbuat dari bambu dan rotan digunakan
untuk menyimpan benih yang akan ditanam sedangkan laki-
laki membuat lobang-lobang tanam yang dalam bahasa Lore
disebut masaku dengan menggunakan kayu diruncingkan. Saat
membuat masaku laki-laki akan meneriakan hoe-hoe dengan
riang gembira sampai saat penanaman selesai dilakukan.

Sembari menunggu padi tumbuh dan besar, petani


akan membuat rumah hunian di ladang yang terbuat dari
kayu dan bambu. Selama menunggu musim panen tiba
hampir semua keluarga akan tinggal di kebun bahkan
juga anak-anak sekolah. Mereka berangkat ke sekolah

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 57


dari kebun masing-masing, melewati sungai dengan rakit
bagi anak-anak yang kebunnya di seberang sungai. Hanya
hari Sabtu dan Minggu kami pulang ke kampung untuk
beribadah, setelahnya kami akan berangkat lagi ke kebun.

Menunggu panen 6 bulan berikutnya, laki-laki dan


perempuan mengambil rotan, daun pandan dan bambu untuk
dibuat anyaman seperti tikar dan alat-alat rumah tangga lainnya,
selain itu biasanya perempuan mencari udang (mohangku) di
anak sungai dalam hutan. Saat panen (mepare) padi dipanen
menggunakan ani-ani (hindo) yang terbuat dari pisau dan
bambu. Panen ada yang dilakukan dengan bergotong royong
tapi juga ada yang dibayar dengan padi (mampedurei). Padi
yang sudah dipanen diikat pakai rotan dan disimpan di dandara
yaitu tempat pengeringan padi yang terbuat dari kayu. Sebulan
kemudian, setelah padi kering padi disimpan di lumbung
(tambaru) tapi sebelum masuk tambaru diberi kesempatan pada
siapa saja untuk mengambil seikat padi yang dia suka (mohini)
dan sekaligus memilih padi yang ditumbuk dan dikonsumsi
pertama kali dari hasil panen (mangore). Padi ditumbuk
menggunakan lesung (riso). Mangore ini sebagai bentuk
syukur pada Tuhan atas berkah panen yang sudah diberikan.

Kenyamanan hidup kamu mulai terusik dengan kedatangan


petugas Perlindungan dan Pengawasan Alam (PPA) pada tahun
1980 yang melakukan pengukuran di lahan pertanian masyarakat
tanpa memberitahukan maksud kedatangan mereka. Sekitar
20 kepala keluarga dengan masing-masing luas lahan 50 are
sampai 1,5 Ha lahannya telah di klaim oleh Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL). Tahun 1982 petugas PPA datang lagi dan mengusir
masyarakat yang berladang disitu. Mereka terpaksa pergi,
namun ada 6 KK yang tetap bertahan hingga mereka panen padi.

58 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Pengusiran yang dilakukan oleh petugas PPA amatlah
sangat kejam kami rasakan, hingga membuat terkejut seorang
perempuan yang sedang hamil, yang akhirnya melahirkan
bayinya dengan tiba-tiba karena mengalami kontraksi. Sedihnya,
bayi yang lahir sebelum waktunya itu meninggal karena tidak
ada pertolongan medis juga pada saat itu karena kami di ladang.

Penetapan tapal batas oleh TNLL juga tak pernah


didiskusikan dengan masyarakat maupun pemerintah desa.
Salah satu masyarakat, Bapak Sido yang diminta membuat
gundukan tanah dipinggir hutan juga tidak mengetahui kalau
itu adalah tapal batas. Setelah itu aktivitas masyarakat
khususnya perempuan tidak lagi bebas mengelola dan masuk
ke hutan untuk mengambil daun pandan dan lain-lain karena
sudah diawasi, padahal kebutuhan pangan perempuan
dan sumber ekonomi banyak bersumber dari hutan. Untuk
menyambung hidup masyarakat mengolah lahan-lahan di tepi
sungai yang sering terkena banjir dan longsor saat musim
hujan tapi masyarakat tetap bertahan karena hanya disitulah
yang aman dan tidak ada yang dikejar-kejar oleh petugas.
Padahal dulunya, hutan itu adalah perkampungan leluhur
kami, yang dibuktikan dengan kuburan dan megalit. Dengan
adanya tapal batas ini mungkin anak-anak kami tidak tahu lagi
sejarah kampungnya dan alat-alat tradisional dan anyaman
kami juga obat-obat tradisional akan hilang karena bahan
dasarnya sudah tidak bisa kami dapatkan dari hutan. Kearifan
lokal kami akan hilang, pola hidup masyarakat menjadi
konsumtif dan bergantung pada produk-produk pabrik.

Karena situasi makin sulit kami rasakan, bahkan untuk


mengambil kayu untuk membuat rumah pun tak bisa kami
lakukan, maka ditahun 1983 kepala desa Watutau, kepala desa

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 59


Kaduwaa dan kepala desa Wanga berinisiatif menghadap
Gubernur Sulawesi Tengah untuk meninjau kembali
penetapan tapal batas TNLL, namun hingga saat ini tidak ada
penyelesaiannya. Kehidupan masyarakat Lore makin sengsara
karena kami tidak punya lahan pertanian lagi untuk anak cucu
kami. Hanya petugas yang lalu lalang dalam hutan, sementara
kami seperti seorang pencuri saat mengambil kebutuhan kami
di hutan tersebut, padahal itu adalah tanah kami. Petugas tidak
segan-segan menangkap siapapun yang berani masuk hutan.

Masyarakat Lore khususnya perempuan merasa sangat


cemburu pada masyarakat Dusun Dong-dongi yang diizinkan
masuk hutan, padahal kami adalah masyarakat asli Lore
tapi kami dilarang masuk, sementara mereka adalah warga
pendatang. Saya berharap ada orang yang bisa membantu
kami untuk memperjuangkan hak-hak kami terhadap akses,
pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kami, juga untuk
mengembalikan kearifan lokal kami di tanah Lore Lindu.

Sebelum Solidaritas Perempuan hadir di Lore, kami


perempuan tak bisa memperlihatkan kepedulian kami akan
situasi yang terjadi di desa kami karena kami tidak pernah
dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan keputusan di desa.
Kalaupun kami hadir hanya untuk menyiapkan konsumsi
dan mendengar saja, tak berani mengeluarkan pendapat
segalanya diputuskan oleh laki-laki, sebagai perempuan
kami tak diberi ruang dan kesempatan untuk bicara. Segala
sesuatu yang akan kami lakukan harus seizin ayah atau suami.

Setelah SP hadir, barulah terjadi perubahan besar terhadap


cara pandang dan pola berpikir kami. Kami mulai menyadari
ketidakadilan yang dialami perempuan, pelanggaran hak bahkan

60 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


kekerasan dan penindasan yang dialami oleh perempuan
yang selama ini tidak pernah kami sadari. Bahwa semua ini
terjadi karena adanya kontrol dan praktik budaya patriarki
yang mengakar kuat di masyarakat. Budaya patriarki telah
membatasi perempuan dalam banyak ranah kehidupan sehingga
perempuan tidak memiliki ruang untuk mengembangkan
potensi yang dimiliki. Sejak mengikuti pertemuan, diskusi
dan training yang dilakukan SP Palu banyak perubahan yang
saya alami, pengetahuan jadi bertambah. Saya bisa terlibat di
pemerintahan Desa sebagai anggota Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) dan anggota lembaga adat. Perempuan di Lore
terus bergerak memperjuangkan hak-haknya terhadap akses
dan kontrol, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan
sebagai sumber kehidupan kami. Kami perempuan sudah
berani bersuara di rapat-rapat desa. Saya sering mengajak
perempuan untuk hadir dalam rapat di desa apalagi kalau
rapat yang berkaitan dengan pengambilan keputusan di desa

Kami perempuan di Lore akan terus berjuang untuk


mendapatkan hak kami, termasuk hak atas pengelolaan hutan.
Penetapan tapal batas TNLL jelas tidak adil bagi kami karena
telah merampas sumber-sumber kehidupan kami dan juga nilai-
nilai sosial masyarakat Lore. Kami sering melakukan diskusi
kampung untuk berbagi informasi dan pengetahuan. Kami juga
membangun komunikasi dan dialog dengan pemerintah desa untuk
mendapatkan pengakuan atas kelompok yang telah kami bentuk.

Tidak hanya di desa, kami juga menyuarakan kepentingan


kami di ruang-ruang publik lainnya. Pada ulang tahun SP
yang ke-25 yang dirayakan di desa kami melalui pameran
inisiatif perempuan Lore, kami melakukan dialog dengan dinas
kehutanan di TVRI Sulteng dan menceritakan pentingnya hutan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 61


bagi kehidupan perempuan dan bagaimana dampak penetapan
Tapal batas TNLL terhadap kehidupan kami. Kami ingin bisa
berdaulat atas hutan dan sumber daya alam kami. Kami ingin
hutan kembali ke pangkuan masyarakat Lore, karena sejak nenek
moyang kami hidup, mereka telah mendiami hutan itu. Mereka
sangat memperdulikan hutan bahkan meng”keramat”kannya
sebagai tanda penghormatan terhadap Alam.

Penetapan tapal batas ini telah membatasi akses


masyarakat khususnya perempuan pada hutan yang merupakan
sumber kehidupan kami. Kami tidak ingin anak cucu kami
tidak bisa merasakan manfaat dan nilai sejarah yang banyak
ditorehkan leluhur kami di hutan itu. Saya percaya baik laki-laki
maupun perempuan harus berdaulat atas tanah dan hutan dan
sama-sama punya hak yang setara untuk memanfaatkan apa-
apa yang terkandung didalamnya dengan arif dan bijaksana,
demi keberlanjutan hutan untuk kehidupan anak dan cucu
kami. Kami tau perjuangan masih panjang, dan kami akan
terus berjuang karena hutan bagi kami adalah segalanya.

Perjuangan Buruh
Migran Perempuan
dalam Ketidakpastian
“Sebuah Perlindungan”

Saya tidak bebas ketika perempuan lainnya juga
terbelenggu, meskipun penindasan yang ia hada-
pi berbeda dengan saya.

Audre Lorde

62 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


K
emiskinan berwajah perempuan di Indonesia
melahirkan migrasi buruh yang berwajah perempuan.
Keterbatasan akses dan kontrol perempuan terhadap
sumber-sumber kehidupan akibat kebijakan pembangunan yang
cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi global
serta menempatkan perempuan dalam situasi pemiskinan
serta masifnya eksploitasi dan penghancuran sumber daya
alam, perampasan Iahan dan penggusuran tempat tinggal,
telah mengakibatkan perempuan semakin tersubordinat dan
termarginal dari sumber-sumber kehidupannya. Sumber daya
alam telah dikomodifikasi menjadi menjadi subjek investasi skala
skala besar, yang dikendaIikan oleh Perusahaan Multinasional/
Transnasional dan Lembaga Keuangan Internasional (LKI) menjadi
potret buram kehidupan perempuan buruh migran (PBM) Indonesia

Di desa, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol atas


kepemilikan tanah dan lahan, karena tanah dan lahan pertanian
umumnya dikuasai segelintir tuan tanah dan pemilik modal.
Sumber kehidupan sudah tak ada lagi, bermigrasi ke luar negeri
sebagai sebuah strategi bertahan hidup yang mereka lakukan.
Tingginya angka PBM yang menempati sektor pekerjaan rumah
tangga (PRT) karena diciptakannya faktor “push” dan “pull” oleh
pasar global, seperti hilangnya sumber produksi perempuan dan
sempitnya lapangan pekerjaan yang dapat diakses perempuan di
desa dengan tingkat pendidikan rendah, dan juga meningkatnya
jumlah permintaan negara-negara ekonomi maju terhadap kerja
domestik (informal/PRT) untuk menangani urusan domestik
mereka (Solidaritas Perempuan, 2016). Konstruksi budaya
patriarki dan gender menempatkan dan melekatkan peran
kerja domestik sebagai tanggung jawab perempuan, termasuk
tanggung jawab atas kebutuhan keluarga, hal ini juga turut

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 63


mendorong terjadinya migrasi perempuan. Paradigma pasar
global juga menempatkan mereka sebagai komoditas kemudian
menambah lagi lapisan relasi kuasa yang membuat mereka
mengalami kerentanan dan ketidakadilan yang berlapis pula.

Memang dalam situasi pemiskinan, perempuan dan laki-


laki mengalami dampak, namun perempuan akan merasakan
dampak yang lebih berat dan berlipat ganda. Karena konstruksi
gender yang dilekatkan perempuan mengambil tanggung jawab
penuh terhadap pemenuhan kebutuhan domestik (rumah
tangga) mereka. Dalam situasi sulit mengatasi persoalan
ekonomi keluarga perempuan kerap tidak diminta pandangan
dan keputusannya atas hidup dan sumber kehidupannya.
Kelindan sosial dimulai dari siapa menentukan keputusan
perempuan untuk bermigrasi, karena adakalanya keinginan
bermigrasi bukanlah atas kemauan diri sendiri, melainkan
rasa tanggung jawab untuk menempatkan diri sebagai
penyelamat untuk membebaskan keluarga dari kerentanan
dan kemiskinan. Kerap kali yang membuat keputusan atas
mereka adalah suami, ayah atau saudara laki-laki sebagai
orang yang mengontrol seksualitas (tubuh, pikiran, ruang gerak
dan hasil kerja) mereka. Oleh sebab itu adakalanya bermigrasi
yang dilakukan oleh perempuan “terpaksa “ dilakukan
demi sebuah kepatuhan dan tanggung jawab membantu
ekonomi keluarga yang “dipaksa” dipikul oleh perempuan.

Kisah pilu para buruh migran di luar negeri tak menghalangi


niat mereka untuk berangkat, hanya sebagai cerita pengantar
tidur mereka di penampungan menunggu pemberangkatan. Rasa
takut dan khawatir mereka balut dengan cita-cita mulia untuk
membahagiakan keluarga. Mereka berangkat menjadi pahlawan
keluarga dan pahlawan devisa bagi negara tanpa jaminan

64 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


perlindungan yang komprehensif. Kementerian Luar Negeri
mencatat ada 5.481 kasus dialami buruh migran perempuan
selama 2018, hanya 1.628 diantaranya yang kasusnya masih
berjalan, meskipun berbagai kebijakan tentang buruh migran
telah dilahirkan sebagai upaya pemerintah dalam mewujudkan
perbaikan tata kelola migrasi, termasuk Ratifikasi Konvensi
Migran 90, maupun Undang-Undang Pelindungan Pekerja
Migran Indonesia (UUPPMI) no 18 tahun 2017, menggantikan UU
No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) yang selama ini
turut menjadi akar persoalan dari buruknya sistem migrasi
yang membuat pekerja migran, terutama perempuan rentan
terhadap kekerasan dan pelanggaran hak. UUPPMI memberikan
wajah baru dalam penyelenggaraan migrasi ketenagakerjaan,
namun sampai sekarang belum bisa diimplementasikan karena
aturan pelaksana untuk melaksanakan mandat dari UU tersebut
belum diselesaikan. Hingga tulisan ini dibuat baru aturan
turunan pelaksana terkait Jaminan Sosial yang selesai. Namun
sayangnya kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami buruh
migran diperlakukan sama dengan kasus kecelakaan kerja.

Kunjungan pertama kali saya ke ke Kupang, Nusa Tenggara


Timur pada bulan April tahun 2016 menjadi bukti kasus-kasus
miris derita buruh migran tak jua kunjung berhenti. Dalam
kesempatan berkunjung ke sekretariat Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI) Kupang dan bertemu dengan Meriance Kabu,
salah seorang perempuan mantan buruh migran dari Malaysia.
Tubuh Perempuan berusia 34 tahun itu menjadi potret buram
kekerasan dan siksaan dari majikan, bibir melepuh, gigi rontok
karena ditanggalkan paksa dengan tang (penjepit besi), telinga
sobek dan siksaan lainnya. Mendengarkan tuturnya, saya

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 65


merasakan pedih dan nyeri sampai ulu hati. Penderitaan itu dia
rasakan selama 8 bulan yang berawal April 2014, hingga kemudian
dia bisa menyelamatkan diri dengan menulis di secarik kertas
“tolong, majikan siksa saya” dan melemparkannya ke tetangga di
bawah rumah majikannya, hingga kemudian polisi menemukannya
dalam keadaan lemah dan membawanya kerumah sakit. Hingga
dia dipulangkan ke Kupang, kasus hukumnya masih berjalan,
SBMI Kupang mendampingi Meri, demikian dia dipanggil
untuk mendapatkan keadilan dan memperoleh hak-haknya.

Tragedi kemanusiaan terus berlanjut, awal tahun 2018, publik


dikejutkan dengan berita hilangnya nyawa dua orang perempuan
buruh migran asal Kupang, Adelina Saud dan Milka Boimau harus
meninggal secara tragis di Malaysia karena dugaan pembunuhan
secara sengaja yang dilakukan oleh majikan. Sumartini Bt Galisung
asal Sumbawa dan Warnah Bt. Warta Niing asal karawang, dua
orang perempuan buruh migran pernah diancam hukuman
mati oleh oleh pemerintah Arab Saudi pada tahun 2011 karena
tuduhan melakukan sihir pada anak majikan. Mereka dipaksa
mengaku atas perbuatan yang tidak mereka lakukan dengan
disetrika, tubuh ditanam di gurun pasir, dan kedua kaki dirantai
dalam ruangan yang teramat sempit. Atas desakan Solidaritas
Perempuan (SP) dan Keluarga melalui Kementerian Luar Negeri
dan Satgas Hukuman Mati TKI, pada 20 Desember 2011, akhirnya
mereka terlepas dari hukuman mati karena tidak terbukti
melakukan tuduhan yang didakwakan, namun mereka tetap
harus menjalani 10 tahun hukuman penjara 1000 kali cambukan.

Namun, ada perempuan buruh migran yang tak seberuntung


Sumartini dan Warnah, dialah Tuti Tursilawati, perempuan buruh
migran asal Majalengka, Jawa Barat yang dieksekusi mati oleh
pemerintah Arab Saudi pada tanggal 29 Oktober 2018 tanpa

66 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


notifikasi resmi ke pemerintah Indonesia. Tuti Didakwa membunuh
ayah majikannya di Thaif. Padahal, sebagaimana dilansir oleh
sejumlah media, Tuti melakukannya untuk mempertahankan
kehormatan karena orang tua majikannya sering memaksa untuk
berhubungan seksual. Tuti melarikan diri dengan membawa uang
dan perhiasan majikan sebagai bekal perjalanan ke Mekkah,
dan dalam perjalanannya Tuti diperkosa oleh 9 orang pemuda,
uang dan perhiasan yang dia bawa juga dicuri. Sebelum di
eksekusi, Tuti telah menjalani kurungan penjara sejak Mei 2010.

Perempuan Indonesia yang bekerja sebagai buruh migran


bukan identitas yang tunggal dan seragam. Tapi umumnya
perempuan yang memilih menjadi buruh migran adalah perempuan
yang berada pada lapisan paling bawah dalam struktur sosial
masyarakat, yaitu paling miskin, paling tidak memiliki akses kepada
pendidikan, layanan hukum, yang berimplikasi pada ketiadaan
akses kesehatan dan layanan publik lain yang diselenggarakan
oleh Negara dan masyarakat. Dalam konteks migrasi global
orang-orang seperti inilah yang banyak dibutuhkan. Sulistyo
Irianto dalam orasi kebudayaan pada tanggal 18 Desember
2014 merayakan 10 tahun Migrant Care mengatakan “Mereka
diinginkan, karena beragama sama, rajin bekerja, patuh, dan
mau dibayar murah. Akan tetapi dalam waktu yang sama mereka
ditempatkan sebagai orang yang berbeda, di-liyan-kan, diberi
stereotip dan stigma sebagai perempuan murahan, terbelakang,
dan bodoh. Hanya karena mereka berasal dari ras, etnik, bangsa,
kelas yang berbeda, dan perempuan.” Identitas diri yang seperti
inilah yang kemudian menempatkan perempuan buruh migran
Indonesia berada pada posisi rentan menghadapi segala bentuk
kekerasan dan ketidakadilan di negara asing juga jauh dari akses
keadilan. UU ini juga menyebutkan bahwa yang berwenang

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 67


mengirim dan menempatkan tenaga kerja ke luar negeri adalah
pemerintah dan dan Tugas Pelaksana Penempatan Tenaga
Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS/P3MI). Tapi masih mereka yang
berangkat melalui jasa perseorangan melalui jalur yang ilegal.

Kenapa keadilan sulit mereka dapatkan? Karena sebagian


besar dari perempuan buruh migran tidak memiliki pengetahuan
dan pemahaman yang memadai tentang sejumlah perisai hukum
yang dapat melindungi dirinya, baik hukum di negara sendiri
juga negara asing. Ditambah lagi dengan minimnya pengetahuan
tentang budaya masyarakat di negara yang menjadi tujuan,
sehingga ini akan menjadi pembatas bagi mereka untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Cara pandang bahwa
buruh migran sebagai komoditi juga berimplikasi pada pemenuhan
hak-hak mereka. Pihak-pihak terkait dengan penempatan buruh
migran seperti PPTKIS, sponsor, calo, pelaksana tes kesehatan,
BLK dan petugas PAP belum melihat buruh migran sebagai
manusia yang harus dipenuhi haknya. Kecenderungan buruh
migran menjadi korban kekerasan dan pelanggaran hak bahkan
eksploitasi berbagai pihak di setiap tahapan migrasi, mulai dari
pra penempatan/sebelum bekerja, seperti pemalsuan dokumen,
tidak diberikan hak berkomunikasi di penampungan, eksploitasi
di penampungan, tidak mendapatkan pelatihan/pembekalan
kerja, ataupun diberangkatkan dalam keadaan unfit (tidak
bekerja). Selama bekerja, kekerasan dan pelanggaran hak yang
dialami seperti kerja tidak sesuai dengan perjanjian, beban ganda
dan pekerjaan berlebihan, tidak ada akses komunikasi, tidak
ada libur, tidak ada cuti, tidak ada akses kesehatan, gaji tidak
sesuai perjanjian, gaji tidak dibayar, kekerasan psikis, kekerasan
fisik, kriminalisasi bahkan penghilangan nyawa. Begitu pun
pada tahapan setelah bekerja, perempuan buruh migran masih

68 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


harus menghadapi eksploitasi, stigma, dan lain sebagainya.

Selain itu, PBM – PRT berada dalam posisi yang sangat


rentan karena tidak ada perlindungan hukum yang pasti layaknya
bekerja di perusahaan atau pengguna berbadan hukum.
Mestinya negara tidak bisa diam melihat situasi migrasi yang
terjadi, tidak membiarkan buruh migran atau calon buruh migran
menjadi tambang uang bagi mafia migrasi. UUPMI menegaskan
bahwa “bahwa pekerja migran Indonesia harus dilindungi dari
perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban
kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan
martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi
manusia.” Hal ini mengamanatkan bahwa negara harus proaktif
dalam memberikan perlindungan yang komprehensif bagi PBM
dan anggota keluarganya bukan mengingkari tanggung jawab,
salah satunya dengan mengeluarkan Kepmenaker No. 260
tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan
TKI pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan
Timur Tengah, dengan alasan banyaknya tindak kekerasan yang
dialami oleh buruh migran yang bekerja di wilayah tersebut.
Sebelumnya, pada Januari 2012, Menakertrans Muhaimin
Iskandar mengumumkan bahwa pemerintah telah membangun
sebuah road map (peta jalan) mengenai Zero Domestic Workers.
Roadmap tersebut menargetkan penghentian penempatan
Pekerja Migran Indonesia (PMI) sektor informal ke luar
negeri secara bertahap sampai ke titik nol (zero) pada 2017.
Penghentian bertahap sudah dimulai sejak awal 2012 hingga
2017. Sejalan dengan kebijakan tersebut, BNP2TKI juga telah
mencanangkan peningkatan penempatan PMI formal pada 2012.

Namun, sejak Kepmen 260/2015 diberlakukan, Solidaritas


Perempuan justru mencatat praktik penempatan PBM ke Negara-

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 69


negara timur tengah terutama Arab Saudi masih terus terjadi
dengan persentase sebesar 36% dari 15 negara tujuan lainnya.
Penempatan yang diatur oleh agen perekrut baik perorangan
maupun melalui perusahaan dilakukan dengan berbagai macam
modus, salah satunya adalah menggunakan visa umroh dan
cleaning service. Pelanggaran kontrak kerja memiliki persentase
tertinggi seperti penahanan dokumen, penahanan oleh majikan,
penyekapan, pemerasan, pemalsuan dokumen, over contract,
gaji tidak dibayar, ataupun dibayarkan tetapi tidak sesuai
kontrak, tidak mendapat hari libur, dilarang beribadah, dipindah-
pindah kerja/majikan, serta kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

Bentuk pelanggaran yang mengeksploitasi perempuan ini


merupakan pola atau modus dari tindak pidana perdagangan
orang atau trafficking yang dilakukan oleh pelaku baik PPTKIS/
P3MI, oknum pemerintah, majikan, maupun keluarga. Penghentian
penempatan PRT merupakan pembatasan terhadap hak atas
kerja PRT Migran dan melanggar Konvensi Migran 90, di antaranya
Prinsip Non Diskriminasi, dan pasal 8 ayat (1) yang menjamin hak
Buruh Migran dan keluarganya untuk meninggalkan suatu Negara
termasuk negaranya sendiri maupun untuk kembali. Kebijakan
ini juga mengingkari tanggung jawab Indonesia sebagai Negara
asal buruh migran atas pelaksanaan Rekomendasi CEDAW
No.26 mengenai Pekerja Migran Perempuan, yaitu: “Negara
asal harus menghormati dan melindungi hak asasi perempuan
warga negaranya yang bermigrasi dengan tujuan untuk bekerja.”
Sementara kebijakan ini merupakan bentuk pembatasan hak
perempuan untuk bermigrasi dan bekerja sehingga mengancam
sumber ekonomi perempuan buruh migran dan keluarganya.

Solidaritas Perempuan sejak tahun 1992 menunjukkan


komitmen dan terus menerus memperkuat akses dan kontrol

70 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


perempuan buruh migran dan anggota keluarganya dengan
melakukan pendidikan, penyadaran kritis, dan pendampingan
terhadap calon buruh migran dan mantan buruh migran beserta
anggota keluarganya untuk meningkatkan pengetahuan dan
pemahamannya tentang bermigrasi aman dan memahami
hak-hak sebagai buruh migran yang dilindungi oleh undang-
undang. Berbagai peningkatan telah dilakukan Seknas
SP bersama komunitas untuk meningkatkan kapasitas
mereka, hingga kemudian lahir perempuan pemimpin dari
mantan buruh migran yang membawa terobosan baru untuk
memperjuangkan nasib buruh migran ke arah yang lebih baik.

Wadiatul
Hasanah:
Perjuanganku
Berbuah
“Poligami”

Siti Wadiatul Hasanah itulah nama pemberian orang tua,


orang biasa memanggil Wadiah. Saya anak bungsu dari empat
bersaudara dari pasangan suami istri Siti Aisah dan Ibrahim
Mustafa. Ibu saya asli suku Sasak dan Bapak berasal dari Bali
tapi beragama muslim. Bersama saudara kami menghabiskan
masa kecil kami di dusun Lemerek Desa Puyung, Kecamatan
Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Kami sangat bahagia
melalui masa kecil itu dengan kasih sayang dari orang tua.
Secara ekonomi pun keluarga kami juga cukup lumayan berada

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 71


karena bapak adalah seorang guru di sebuah MTs Negeri dan
ibuku seorang wirausaha hingga dia meninggal pada April 2004.

Setamat Sekolah Dasar saya, saya melanjutkan pendidikan


di MTs yang cukup jauh dari rumah dan saya harus tinggal terpisah
dengan keluarga. Saat di kelas tiga saya tidak mau kost lagi dan
tinggal bersama keluarga, namun orang tua tak mengabulkannya.
Karena kost-an saya direnovasi, saya ngekos di rumah salah
satu keluarga. Saya sering merasa tidak nyaman karena dengan
perlakukan dari pemilik rumah. Saya pernah dituding perempuan
tidak baik karena pulang malam, padahal ada kegiatan di
sekolah dan telah menyampaikan bahwa saya akan pulang
malam. Ketidaknyamanan itu saya ceritakan ke orang tua, tapi
mereka tidak menanggapi justru semakin intens mengawasiku.

Selesai MTs saya mondok di sebuah pesantren di Jawa


Timur untuk membahagiakan orang tua karena mereka ingin
saya di pesantren. Pendidikan di pesantren saya lalui tanpa
hambatan. Namun keinginan saya untuk kuliah tidak mendapat
izin orang tua karena saya perempuan, hanya akan menghabiskan
biaya saja. Perasaan sedih dan kecewa melingkupi saya,
tak punya harapan meraih masa depan. Saya ingin bekerja.
Peluangnya hanya sebagai PRT (Pekerja Rumah Tangga), 2
tahun saya jalani sebagai PRT. Selama bekerja sebagai PRT saya
masih bisa mengikuti kursus menjahit di Balai Latihan Kerja.

Namun keinginan untuk kuliah tak pernah hilang dari


pikiran saya. Pada 2005 terbukalah kesempatan bagi
saya, karena Universitas yang baru dibuka dan menerima
pendaftaran. Saya kuliah di sana untuk program D1 Tata
Boga. Semester dua saya harus praktek magang, karena
butuh biaya yang besar, saya memutuskan untuk bekerja.

72 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Sembari magang saya bekerja di lembaga AUTIS sebagai
terapis. Di situlah awal mulanya saya berkenalan dengan
seorang laki-laki yang bekerja sebagai sopir salah satu
universitas di Mataram yang kemudian menjadi suami saya.

Pada bulan September 2007 kami menikah, walaupun saya


tahu dia sudah 3 kali menduda dan punya 2 orang anak. Kami
tinggal di sebuah Desa di Kecamatan Gunungsari Kabupaten
Lombok Barat. Tak lama setelah menikah saya pun hamil.
Saya masih bekerja sebagai terapis hingga kehamilan saya
berusia 8 bulan, kemudian saya memutuskan berhenti karena
suami sudah tidak mau lagi mengantar jemput karena jauh.

Ekonomi keluarga kami sangat sulit setelah saya berhenti


bekerja. Akhirnya saya menerima jasa menjahit pakaian
sembari menanti kelahiran. Dalam kesulitan ekonom buah hati
kami dilahirkan. Saat itu saya tidak pengetahuan merawat bayi
yang baik. Di saat anak tidak mau minum ASI, saya memberinya
susu formula dan itu jelas menambah biaya lagi bagi kami.

Saat anakku berusia 4 bulan, secara tidak sengaja


saya membaca SMS di HP suami dari seorang perempuan,
“Ka, saya bingung dengan masalah ini, ko belum ada jalan
keluarnya.” Saya mencoba bertanya pada suami apa yang
terjadi. Dan ternyata itulah awal penderitaan saya setelah
mendengarkan cerita suami, bahwa dia punya perempuan lain,
dan mereka telah melangkah jauh, dan perempuan itu minta
pertanggungjawabannya. Langit terasa runtuh menghantam
saya. Spontan saya bilang ke suami untuk menikahi perempuan
itu, saya tidak tahu apa yang mendorong saya untuk melakukan
itu, yang ada dalam pikiran saya adalah andaikan saya berada
dalam posisi itu, tentu saya juga akan melakukan hal yang

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 73


sama. Suami saya berjanji bahwa dia tidak akan mengulanginya
lagi setelah dia menyelesaikan persoalannya dengan perempuan
itu. Namun janji hanyalah tinggal janji, hubungan mereka semakin
intens dan tak pernah berakhir. Saya mencoba bertahan
dan mempertahankan rumah tangga demi anak, saya tidak
punya keberanian untuk membantah, takut dosa melawan
kata suami. Pemahaman agama saya yang dangkal meyakini
bahwa istri harus patuh pada suami. Akhirnya Suami saya dan
perempuan itu menjalankan hidup bersama tanpa pernikahan.

Semakin hari kondisi ekonomi kami tidak berubah malah


semakin memburuk. Suatu hari ada teman suami saya datang
kerumah bersama seorang temannya yang menjadi calo buruh
migran. Mereka mengajak suami saya bekerja sama mencari
calon buruh migran yang akan dikirim ke luar negeri (Saudi Arabia)
karena di desa kami masih jarang orang yang ke Saudi. Tercetuslah
ide dari suami agar saya menjadi Buruh Migran karena dia tidak
bisa pergi karena memiliki penyakit kuning (HBSAG). Dengan
berat hati saya menyetujui usulan dengan syarat bahwa ada yang
akan merawat anak saya. Suami dan mertua pun menyanggupi
untuk merawat anak saya yang saat itu masih berusia 2 tahun.
Biaya keberangkatan akan ditanggung oleh perusahaan.

Tanpa mendiskusikan dengan orangtua dan keluarga


saya yang lain saya berangkat, dan dalam pikiran saya
bahwa ketika perempuan menikah maka tanggung jawab
sepenuhnya berada pada suami dan terlepas tanggung
jawab orang tua, sebab itulah saya tidak mendiskusikannya
dengan orang tua. Saat itu yang terpikir hanya ah keinginan
untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Saya masih
sempat pamit pada orang tua dan mereka tidak pernah
mempertanyakan keputusan saya, walaupun mereka kecewa.

74 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Setelah melalui medical check up di Mataram saya berangkat
menuju Jakarta dengan Bis, walaupun sebelumnya calo
menjanjikan ke Jakarta menggunakan pesawat. Di Jakarta saya
tinggal di penampungan. Calo menawarkan saya ke beberapa
PPTKIS untuk diberangkatkan, dua diantaranya menolak, hingga
ada satu PPTKIS yang bersedia memberangkatkan dengan
tujuan negara Syria, tapi pada kenyataan saya diberangkatkan
ke Yordania. Perpindahan itu tak pernah dikomunikasikan
dengan saya, saya mengetahui ketika sudah berada di pintu
keberangkatan bandara. Proses keberangkatan ke negara
tujuan pun banyak kejanggalannya. Saya juga mengalami
perlakukan yang tidak menyenangkan dari calon yang merekrut.

Di Bandara Amman saya dijemput oleh agen dan ditempatkan


di sebuah penampungan. Saya bertemu dengan buruh migran lain
yang masih menunggu mendapatkan majikan, juga ada yang sudah
berganti-ganti majikan. Akhirnya saya mendapatkan majikan,
dengan masa kontrak 2 tahun. Majikan saya cukup baik, dan saya
selalu mendapatkan hak sesuai dengan apa yang semestinya saya
terima. Hasil kerja yang saya dapatkan saya kirimkan pada suami
tanpa pernah berfikir untuk memberi orang tua, karena saya
ingin membantu suami untuk memperbaiki ekonomi keluarga.

Tahun 2011, mendapatkan kabar dari suami kalau kampung


kami dimekarkan menjadi sebuah desa dan suami saya yang terpilih
sebagai pejabat kepala desa. Bahagia rasa hati mendengarnya,
membuat saya ingin segera pulang dan mendampinginya. Saya
mencari cara untuk bisa pulang, tapi tak bisa. Saya hanya bisa
pulang setelah kontrak berakhir. Bulan September 2012 kontrak
saya berakhir, saat itu pulalah dilaksanakan pemilihan kepala
desa dan kembali suami saya yang terpilih. Dipenuhi rasa bahagia
dan harapan baru saya pulang ke tanah air. Kebahagiaan sudah

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 75


terbayang jelas didepan mata, membina rumah tangga yang
bahagia bersama suami dan anak dan ekonomi yang sudah mapan.

Ternyata bahagia hanyalah sebatas khayalan bagi saya.


Setiba di Jakarta ketika menelpon suami dia mengatakan
bahwa dia pasti akan menikah lagi, bagaikan mendengar
petir di siang bolong ketika saya mendengar kata-kata
itu, apalagi perempuan yang akan dinikahinya adalah
perempuan yang dulu pernah membuat rumah tangga kami
retak. Sirna sudah semua harapan yang saya bangun. Saya
hanya bisa berdoa agar pernikahan itu tidak pernah terjadi.

Di kampung, saya menjalankan aktivitas sebagai istri


kepala desa dan ibu rumah tangga. Rasa khawatir tetap
menghantui saya dengan rencana suami untuk menikah lagi.
Kekhawatiran itu menjadi nyata, bulan September 2013 suami
mengatakan dia akan menikah lagi. Saya terpaksa menyetujui
dan menandatangani surat persetujuannya demi anak, saya
juga tak ingin dicerai. Saya juga takut berdosa karena menolak
keinginan suami, walaupun itu dipoligami. Dalam budaya kami
poligami juga adalah hal wajar. Banyak tekanan yang saya rasakan
hidup berpoligami, tapi saya tak pernah punya keberanian
untuk mengungkapkannya pada suami juga keluarga saya.
Keluarga bahkan hampir tak pernah datang ke rumah karena
kecewa dengan keputusan saya menyetujui pernikahan suami.

Satu saat saya bertemu dengan istri salah seorang teman


suami sesama kepala desa, dia adalah aktivis perempuan dan
anggota organisasi Solidaritas Perempuan Mataram. Beliaulah
yang memperkenalkan SP pada saya yang kemudian menjadi
rumah pengabdian dan tempat saya belajar dan menempa diri.
Sungguh saya sangat terkesan dan tertarik mendengar cerita beliau

76 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


tentang SP saat itu. Apalagi ketika bicara buruh migran, terlihat
kepedulian yang sungguh dari SP terhadap nasib mereka. berawal
dari itu, saya ingin mengenal SP lebih jauh lagi. Saya berkeyakinan
SP akan menguatkan saya dengan berbagai persoalan yang
saya hadapi, sebagai mantan buruh migran dan korban poligami.

Tahun 2014 SP Mataram pertama kali mengundang saya


sebagai peserta dalam kegiatan pendidikan politik untuk calon
legislatif perempuan. Saya mendapatkan banyak pengetahuan
melalui kegiatan ini, menjadi lebih kritis melihat situasi
perempuan dan bagaimana perempuan bersikap menghadapi
Demokrasi. Kebetulan saat itu saya salah satu calon legislatif dari
Partai Bulan Bintang (PBB) untuk mengikuti kemauan suami dan
pemenuhan kuota 30% keterlibatan perempuan dalam partai
politik. Proses pencalegan itupun dibiayai oleh salah seorang
petinggi partai, konsekuensinya suara yang saya peroleh akan
menjadi suara tambahan untuknya. Namun dalam pemilihan
tersebut saya gagal mendulang suara, karena kampanye tak
berjalan baik. Karena janji petinggi partai tak dipenuhi, biaya
yang dijanjikan tak pernah diberikan. Melalui kegiatan itu saya
sadar bahwa perempuan hanya dijadikan pendulang suara
dan dieksploitasi untuk kepentingan politik partai tersebut.

Saya semakin sering mengikuti berbagai kegiatan


yang dilaksanakan SP Mataram. Pengetahuan saja semakin
bertambah, khususnya tentang ketidakadilan dan penindasan
perempuan. Saya ingin keluar dari situasi penindasan yang
terjadi, namun masih ada rasa ketakutan dan ketidakberanian
melawan suami. Suami pernah mengancam saya karena mencoba
melakukan perlawanan dengan mengatakan akan meninggalkan
saya. Saya juga berusaha mempraktikkan pengetahuan yang
saya dapatkan dalam masyarakat karena saya tidak ingin

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 77


ada perempuan lain mengalami hal yang sama dengan saya.
Tak banyak kemajuan di masyarakat, karena mereka melihat
saya sendiri tidak bisa memperjuangkan keadilan untuk diri
sendiri, meskipun begitu saya selalu berusaha dan berusaha.

Sebagai istri seorang kepala desa yang sejuga secara


otomatis menjadi ketua PKK di desa, saya punya banyak
kesempatan untuk berinteraksi dengan masyarakat berbekal
pengetahuan yang saya dapatkan dari SP. Saya mulai berani
bicara di forum-forum, mulai kritis melihat berbagai permasalahan
di desa serta mulai bisa dan berani melakukan dan membantu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.

Status poligami kadang juga membuat saya labil, namun


saya tetap berusaha menguatkan diri. Tetap mengikuti
kegiatan-kegiatan SP maupun kegiatan-kegiatan sosial
lainnya di masyarakat. Antusias yang tinggi dari saya untuk
belajar, dalam Rapat Konsultasi Anggota (RKA) SP Mataram
di akhir tahun 2014 diterima menjadi anggota. Saya belajar
dan menempa diri untuk menjadi kuat dan berani mengambil
keputusan, sekalipun harus bercerai. Saat itu “cerai” amat
menakutkan bagi saya karena tak ingin anak menjadi
korban, itulah alasan kenapa saya masih mencoba bertahan
meski banyak ketidakadilan yang saya terima dari suami.

Bersama SP, saya merasa semakin dikuatkan untuk melawan


kondisi ketidakadilan yang terjadi dan kondisi rumah tanggaku
semakin parah. Dalam kondisi itu kawan-kawan SP Mataram selalu
ada buat saya. Akhir tahun 2016, saya berkelahi dengan istri baru
suamiku yang juga adalah korban dari perbuatan suami. Setelah
kejadian kami diceraikan, namun dua hari kemudian suami rujuk
dengan istri barunya. Saya berusaha untuk tegar menghadapinya

78 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


dan fokus untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Saya menyibukkan diri dengan mengikuti kegiatan-


kegiatan di SP Mataram. Pengetahuan dan kapasitas saya
semakin menguat setelah mengikuti training dan pelatihan,
salah satunya training Feminis. Peluang belajar makin terbuka
buat saya. Saya semakin yakin bahwa saya bisa menjalani
hidup tanpa suami. Sempat terpikir untuk kembali menjadi
buruh migran, tapi urung karena ketika mengikuti training
paralegal dan diskusi-diskusi dengan mantan Perempuan
Buruh Migran. Ada Keputusan Menteri (Kepmen) 260 tahun
2015 tentang pemberhentian pengiriman Tenaga Kerja
Indonesia ke 19 negara Timur Tengah di sektor perseorangan.
Di samping kasus kekerasan yang dialami buruh migran juga
semakin meningkat, dan saya membatalkan keinginan itu.

Dalam Musyawarah Komunitas (Muskom) ke V SP Mataram


tanggal 6-7 Januari 2017, atas dukungan kawan-kawan saya
memberanikan diri mencalon sebagai Koordinator Program
SP Mataram. Saya ingin terus belajar dan meningkatan
serta mengembangakan potensi diri bersama SP Mataram.
Saya pun terpilih menjadi Koordinator Program SP Mataram
untuk periode 2017-2021. Saya merasa bangga dan semakin
tertantang untuk terus belajar. Tantangan terbesar bagi saya
adalah bagaimana meyakinkan keluarga dengan pilihan bekerja
sebagai aktivis sebagai pekerjaan yang mulia. Awalnya mereka
tidak setuju, secara perlahan saya memberikan pemahaman
membuktikan bahwa pekerjaan ini adalah pilihan yang tepat.

Saya ingin melakukan banyak untuk perubahan


perempuan. Bersama SP Mataram saya akan terus melakukan
pengabdian. Semoga tidak ada lagi perempuan yang

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 79


mengalami penindasan dalam kehidupannya, dan semakin
banyak perempuan yang sadar akan situasi penindasan dan
ketidakadilan yang terjadi, dan itu harus disuarakan dan dilawan.

Nizma: Mencari
Keadilan di
Jazirah Arab

Saya dilahirkan pada 9 Januari 1989 di desa Pakuli, sebuah


desa basis buruh migran terbesar dari 7 kecamatan di kabupaten
Sigi. Untuk sampai ke Pakuli bisa ditempuh 1 jam berkendaraan
karena jaraknya hanya 41 kilometer dari ibu kota kabupaten
Sigi. Desa dengan luas 16.000 Ha dihuni oleh 2376 jiwa yang
mayoritas bekerja sebagai buruh tani dan buruh kasar. Ada
juga petani pemilik lahan, tapi jumlah sedikit, sekitar 240 orang.
Penghasilan utama desaku adalah padi, coklat, jagung, dan
kelapa dalam (kopra). Pakuli adalah desa yang juga berbatasan
dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang hanya
berjarak 1 km dari pemukiman penduduk. Tapi kami tidak bisa
mengakses dan mengambil hasil hutan, padahal di hutan cukup
banyak sumber kehidupan bisa memenuhi kebutuhan kami.

Nizma, begitulah saya biasa dipanggil. Sejak usia 6 tahun


saya telah kehilangan ayah untuk selamanya, hanya bergantung
pada mama sejak saat itu, dan saya pun juga membantu mama

80 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


mencari uang dengan berjualan kue keliling kampung sampai
usia 14 tahun. Di saat kebutuhan ekonomi semakin meningkat,
sementara di kampung tidak ada yang bisa dilakukan,
akhirnya saya tertarik untuk menjadi buruh migran setelah
mendengar cerita di kampung kalau bekerja ke Arab Saudi bisa
mendapatkan gaji 600 Real (Setara Rp 2.000.000) pada saat itu.

Tak lama berselang saya dihubungi oleh sponsor, dibujuk


dan diiming-imingi dengan gaji yang besar, dan akhirnya saya
pun tertarik untuk berangkat. Namun terkendala dengan
dokumen diri, saya belum memiliki KTP karena masih usia
anak. Dengan berbagai cara sponsor membuatkan KTP dengan
memalsukan tahun kelahiran, saat itu usiaku dijadikan 23
tahun padahal sebenarnya masih usia anak, 14 tahun. Semua
dokumen disiapkan oleh sponsor dan tidak dibebankan ke saya.

Berangkatlah saya ke Jakarta, untuk menjalankan proses


medical check up, pengurusan paspor, rekomendasi dan
pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) melalui PT Sapta
Saguna. Sebelum pemberangkatan saya mengikuti pelatihan di
BLK (Balai Latihan Kerja) Bekasi selama 2 minggu. Saya diajarkan
bagaimana melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci
pakaian menggunakan mesin cuci, menyetrika, memasak dan
membersihkan rumah. Kemudian saya diberangkatkan ke Saudi
Arabia tepatnya di Riyadh dalam usia 14 tahun pada tahun 2003

Di Riyadh saya tinggal bersama majikan yang memiliki 4 orang


anak dan orang tua laki-lakinya yang berkebutuhan khusus karena
dia tuna netra. Saat pertama datang di rumah majikan saya tidak
mengerti apa yang harus saya lakukan, dalam kebingungan saya
mencoba bertahan karena dorongan keinginan untuk membantu
mama. Hari-hari saya jalani dengan berat, saya harus bekerja mulai

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 81


jam 05.00 pagi dan baru bisa beristirahat menjelang dini hari. Saya
menjalani semuanya sampai kontrak berakhir 2 tahun kemudian.

Kontrak saya selesai tahun 2005, kemudian saya pulang


ke Pakuli. Tapi sekembalinya ke Pakuli, tidak ada yang bisa
saya kerjakan, itu membuat saya tidak nyaman. Pernah
saya coba mencari pekerjaan di Palu, tapi tidak ada yang
mau mempekerjakan saya yang hanya berbekal ijazah SD.
Akhirnya muncul lagi keinginan untuk menjadi buruh migran,
karena 2 tahun bekerja sebagai buruh migran saya bisa
membangun rumah dan membeli tanah kebun. Akhirnya saya
berangkat kembali menjadi buruh migran pada tahun 2006.

Ternyata pengalaman 2 tahun sebagai buruh migran


tak memberi jaminan bahwa kita tidak akan mendapatkan
masalah, tidak mengalami kekerasan dan tidak akan
mengalami pelanggaran hak. Menjadi buruh migran yang
kedua ini tidak sesuai dengan harapan. Saya mendapatkan
majikan yang pelit dan tidak mau membayarkan gaji saya
selama bekerja. Saya mencoba bertahan dengan harapan
gaji saya bisa dibayarkan. Satu tahun 6 bulan bekerja dengan
segala dera dan siksa, bahkan pernah dipukul majikan karena
memperjuangkan hak saya, dan saya hanya menerima hak saya
6 bulan bekerja. Akhirnya saya memutuskan untuk kabur dari
rumah majikan. Bersama 2 teman kami pergi ke salon yang
pemiliknya orang Filipina, namun nasib malang dialami oleh 2
temanku karena ditangkap polisi dan dikembalikan ke majikan.

Kemudian saya mendapatkan majikan baru lagi yang


cukup baik, walaupun pekerjaan yang saya jalani cukup
berat. Rumah majikan berlantai tiga, dan dapur berada di
lantai tiga. Yang paling berat saya rasakan adalah setiap

82 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


saat harus mengangkat tabung gas elpiji 12 kg dari lantai
bawah, namun saya mencoba bertahan, karena takut tidak
dibayarkan gaji kalau tidak mengerjakannya. Kalaupun mau
pergi saya juga tidak memegang dokumen identitas diri.

Semakin hari saya semakin merindukan kampung


halaman dan ingin segera pulang karena deraan semakin
tak tertahankan. Akhirnya saya memutuskan pergi ke Tarhil
Jeddah (tempat pembuatan paspor). Sampai di sana teman
menyuruh saya untuk bekerja dulu satu bulan sambil menunggu
proses pengurusan dokumen dan pemberangkatan kembali
ke kampung halaman. Naas bagi saya, terjadi permasalahan
di rumah majikan sementara saya, dia kehilangan uang dan
emas, dan tuduhan tertuju pada saya. Saya dilaporkan ke polisi
atas tuduhan pencurian yang tidak saya lakukan, kemudian
saya masuk penjara. Selama di penjara saya menerima
cambukan sebanyak 200 kali setiap minggunya. Setiap hari
saya menerima 50 kali cambukan, itu saya jalani selama 6 hari,
dicambuk menggunakan rotan. Hal itu mereka lakukan agar
saya mengaku bahwa saya adalah pelakunya. Saya tetap tidak
mau mengaku karena bukan saya yang melakukan. Tiga tahun
saya mendekam di penjara. Banyak juga orang Indonesia yang
bernasib sama dengan saya di penjara Jeddah sebuah penjara
terbesar di Negara Arab Saudi, bahkan ada di antara mereka ada
yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Salah satu yang saya
temui ada perempuan buruh migran yang terpaksa membunuh
majikannya karena tidak tahan menerima kekerasan dari majikan.

Selama di dalam jeruji, kami yang bernasib sama saling


menguatkan, bukan hanya buruh migran asal Indonesia tapi
juga negara lain. Dalam penjara rasa rindu pada keluarga dan
semakin menyesakkan dada. Saya terus berdoa agar semua

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 83


penderitaan ini segera berakhir dan bisa pulang ke kampung
halaman. Agar orang tua tidak terbebani dengan permasalahan
yang saya hadapi, saya selalu mengabarkan kalau kondisi
saya baik-baik saja dan saat itu tinggal di rumah teman. Tapi
ternyata di kampung sudah tersebar luas kabar bahwa tangan
saya telah dipotong, dan hal itu membuat gundah orangtua.

Akhirnya setelah 3 tahun dipenjara, pelaku pencurian


emas majikan saya ditemukan. Pelakunya adalah keluarga
majikan sendiri, Alhamdulillah akhirnya saya dibebaskan
setelah menjalani penderitaan yang luar biasa, dipaksa
mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan. Setelah proses
di pengadilan selesai, saya bersama petugas kembali ke
penjara untuk pembuatan paspor dan berpamitan dengan
kawan yang lain. Rasa haru melingkupi kami, saling mendoakan
agar ada jalan terbaik buat mereka, saya berpesan kepada
mereka agar tetap kuat dan mempertahankan kebenaran.

Saya pulang ke Pakuli di tahun 2012 dengan cara di


deportasi dari Negara Arab Saudi. Sesampainya di bandara
Mutiara Palu, saya disambut haru oleh keluarga, mama
langsung memeriksa semua anggota tubuh untuk memastikan
bahwa tidak ada satupun yang hilang. Setelah beberapa tahun
di kampung, saya menikah. Selain mengurus rumah tangga,
saya tidak punya aktivitas lain. Pernah muncul lagi keinginan
untuk bekerja ke luar negeri tapi suami tidak mengizinkan.

Bulan Juli 2016 saya berkenalan dengan SP Palu yang


saat itu melakukan diskusi kampung di rumah Ibu Inar, warga
desa Pakuli. Atas saran Ibu Sarah (anggota BPD Pakuli)
saya ikut dalam diskusi itu yang membicarakan persoalan
buruh migran. Di sanalah saya bertemu dengan bertemu

84 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Fitri dan Nona staf di SP Palu, juga Maya Safira dan Kartini
Merdekawati yang memfasilitasi diskusi. Saya sangat
terkesan dengan kepedulian organisasi terhadap perempuan.

Saya banyak berdiskusi dengan Nona dan Fitri tentang


kasus buruh migran. Sejak saat itu saya sering mengikuti
kegiatan yang dilakukan oleh SP Palu di Desa Pakuli, hingga
saya berkesempatan mengikuti Training Pengorganisasian
perempuan buruh migran berperspektif feminis dan
berkenalan dengan ibu Andriyeni. Dalam kegiatan itu
kami saling berbagi pengalaman dan informasi mengenai
kekerasan dan ketidakadilan selama menjadi buruh migran.

Saya selalu aktif mengikuti diskusi bersama SP Palu,


terutama diskusi tentang buruh migran, tentang hak -hak buruh
migran, bagaimana proses penanganan kasus, memahami
ketidakadilan yang dialami perempuan, tentang terbatasnya
akses perempuan di ruang publik dan keluarga bahkan
bagaimana pengontrolan terhadap tubuh perempuan. Saya
menjadi berani berbicara di depan umum dengan kapasitas
yang saya miliki. Saya bertekad akan terus mengampanyekan
perjuangan- perjuangan perempuan di Indonesia. Saya
akan terus belajar dan membantu mantan-mantan buruh
migran yang mengalami persoalan mendapatkan hak-
haknya. Saya berharap SP Palu akan terus memperjuangkan
hak-hak perempuan yang mengalami ketidakadilan dan
penindasan, dan semoga tidak ada lagi buruh migran di luar
negeri yang mendapatkan kekerasan di sana. Saya akan
menjadi bagian dari SP untuk selalu dan terus berjuang.

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 85


Hj Nuriani:
“Perjuangan
Mantan
Perempuan
Buruh
Migran”
Saya Nuriani, satu diantara 218 perempuan buruh migran di
Konawe. Saya berasal dari Desa Dunggua Kecamatan Amonggedo
Kabupaten Konawe. Keseharian kami bekerja sebagai petani,
ke sawah atau ke ladang. Menanam aneka sayur-sayuran,
kacang-kacangan dan tanaman tua seperti jati lainnya di lahan
kami sebagai investasi hari depan. Ada juga yang memelihara
ternak sapi dan mencari ikan di sungai-sungai yang ada di
desa kami, begitupun saya setelah kembali dari negara orang
menjadi buruh migran di Timur Tengah. Namun sejak tahun 2010
desaku mulai dikepung Perkebunan Sawit dan Tambang Nikel.

Tahun 2001, saya berangkat menjadi buruh migran,


sembilan tahun menghabiskan waktu di negara orang, tiga
tahun di Kuwait jadi baby sister, di Tabuk bekerja sebagai PRT
dan di Dammam 1,5 tahun bekerja mengasuh orang tua jompo.
Di Dammam selesai sebelum kontrak habis karena orang tua
yang saya rawat meninggal. Kemudian saya pulang ke Indonesia
namun hanya 2 bulan, saya kembali berangkat menjadi buruh
migran, bekerja sebagai PRT di Al Hasa selama 2 tahun.
Beragam suka duka saya jalani selama bekerja di majikan
yang berbeda. Saat jadi pengasuh anak saya kurang istirahat
dan harus ikut ke mana sang anak pergi, hal itu juga yang bisa

86 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


membawa saya ke Amerika, London dan bahkan bisa umroh
bersama majikan karena anak majikan begitu dekat dengan saya.

Saat bekerja sebagai PRT di Tabuk, saya tidak diberi


kesempatan untuk berkomunikasi dengan keluarga, sehingga
ibu dan keluarga saya telah “baca-baca” kan saya karena
dianggap telah meninggal. Saya juga pernah dimarahi bahkan
hampir selalu oleh anak majikan saat menjadi pengasuh
orang tua jompo karena aduan dari orang tua itu saya telat
memberinya makan atau urusan lainnya. Jam kerja juga tidak
sesuai kontrak, bahkan saat bulan puasa hanya bisa menikmati
satu jam waktu untuk tidur. Di sisi lain sukanya, saya sering
juga dikasih uang dan bahkan emas oleh anak-anaknya ketika
mereka datang melihat orang tuanya atau saat lebaran. Pernah
juga mendapatkan majikan yang pelit, terutama soal makanan.

Saya menjadi buruh migran karena didorong keinginan


untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Karena memang saat
itu kehidupan kami cukup sulit, saya berpikir dengan menjadi
buruh migran saya bisa memperbaiki ekonomi keluarga dan bisa
mempunyai tabungan dari gaji yang saya dapatkan, oleh sebab
itulah saya mendapatkan dukungan dari keluarga. Setelah bekerja
sebagai buruh migran saya bisa memperbaiki ekonomi keluarga.
Waktu saya berangkat, saya berstatus janda dan memiliki dua
orang anak dan mereka saya tinggalkan bersama orang tua saat itu.

Pertemuan dengan Solidaritas Perempuan Kendari

Sekembalinya di kampung halaman, saya menjalani kehidupan


sebagai petani, bertanam sayur-sayuran dan kebutuhan pangan
lainnya. Juga ikut dalam kegiatan-kegiatan di kampung. Hingga
kemudian berkenalan dengan SP Kendari tahun 2010 dalam

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 87


sebuah diskusi kampung. Saat itu saya diajak oleh seorang
teman, ibu Hadia untuk ikut dalam pertemuan tersebut. Diskusi
yang dipandu oleh Husnawati, Hani, dan Rahmah dari SP Kendari
diikuti oleh 20 orang perempuan buruh migran, kebetulan saat
itu diskusinya di rumah saya. Setelah diskusi tersebut saya mulai
menyadari bahwa banyak ketidakadilan yang kami alami sebagai
buruh migran, baik disaat perekrutan, pra pemberangkatan,
penempatan di negara tujuan juga saat pemulangan, namun
saat itu kami tak menyadarinya. Dalam pertemuan itu kami
sepakat untuk membentuk kelompok perempuan buruh
migran desa Dunggua, dan saya terpilih sebagai ketuanya.

Saya sangat terkesan dengan pertemuan itu dan menjadi


terpanggil untuk berjuang dan melawan ketidakadilan itu
khususnya untuk buruh migran. Kawan-kawan SP kendari
juga membantu kami untuk memberikan pemahaman terkait
berbagai persoalan yang dihadapi buruh migran. Kami dengan
sukacita mengikuti setiap diskusi yang dilakukan. Kami ingin
memperjuangkan adanya peraturan daerah yang memberikan
jaminan perlindungan terhadap buruh migran di kabupaten Konawe

Membangun Kesadaran Bersama Buruh Migran Perempuan

Setelah terbentuknya kelompok buruh migran desa


Dunggua, saya bersama kawan-kawan berusaha menghidupkan
kelompok ini dengan berbagai cara, tentu saja tujuan utama kami
adalah memberikan pengetahuan pada masyarakat khususnya
buruh migran, mantan buruh migran juga calon buruh migran
tentang bermigrasi yang aman dan melindungi, dan tentang hak-
haknya sebagai buruh migran juga membangun kesadaran dan
kekuatan kolektif serta semangat untuk terus berjuang. Kami tak
pernah terikat waktu dan tempat untuk berbagi pengetahuan. Di

88 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


saat ada keramaian di kampung, pesta-pesta, duduk santai di
serambi rumah, pertemuan kampung dan momen lainnya kami
manfaatkan untuk berbagi dan saling menguatkan. Tanggapan
baik pun saya dapatkan dari masyarakat, hingga akhirnya
banyak yang ingin bergabung bersama kami. Saya terus
mendorong dan menghidupkan semangat mereka untuk terus
belajar dan meningkatkan pengetahuan. Mendorong perempuan
untuk berani bicara dan menyampaikan persoalan yang dialami,
bahwa perempuan harus bersuara dan memperjuangkan hak-
haknya agar tidak mengalami penindasan dan ketidakadilan lagi.

Saat kami memiliki pengetahuan yang tentu saja


atas dorongan semangat sahabat SP Kendari, kami mulai
memberanikan diri membantu kawan-kawan buruh migran
yang mempunyai persoalan. Kami membuka posko pengaduan
untuk kawan-kawan buruh migran untuk bersama-sama
berjuang dan menangani persoalan yang dialaminya.

Kasus pertama yang kami tangani adalah kasus Ariatin


dan Ibu Muliatin. Saya mencoba menghubungkan mereka
dengan SP Kendari. Bersama SP Kendari kami mempelajari
kasusnya dan mengambil langkah-langkah penyelesaiannya,
hingga ke BNP2TKI dan Kemenlu saya bersama SP
Kendari terlibat dalam setiap prosesnya, bahkan kami juga
bekerjasama dengan SP Makassar, SP Mataram, SP Sumbawa
dan Seknas SP. Dari pengalaman tersebut saya mendapat
pengetahuan banyak, juga teman dari berbagai wilayah.
Satu kebahagiaan bagi saya adalah bahwa kami bisa saling
membantu dan menguatkan, tak terhalang jarak dan waktu.

Belajar Menempa diri dan membangun kepercayaan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 89


Setelah bertemu SP Kendari, banyak jalan dibukakan buat
saya. Jendela pengetahuan terbuka lebar. Kesempatan untuk
meningkatkan pengetahuan diberikan pada saya. Sejak tahun
2014 banyak acara yang saya ikuti, baik di daerah dan nasional.
Beberapa di antaranya saya sudah lupa namanya. Tahun 2016
disalah satu hotel di kota Palu, saya mengikuti training paralegal,
senang dan bahagia rasanya, karena punya kesempatan
meningkatkan pengetahuan dan wawasan juga memperbanyak
kawan dari berbagai komunitas, ada ibu Ipah dari Karawang, Ibu
Rafikah dari Mataram, Ibu Guru dari Sumbawa, dari Makassar
ada Ibu Ramlah juga teman dari Palu. Bertemu mereka semakin
memupuk semangat saya untuk terus berbuat dan berjuang
untuk kawan-kawan buruh migran juga anggota keluarganya

Dalam perjalanannya, saya juga pernah mengalami patah


semangat membangun kelompok, hal itu terjadi pada tahun
2011. Saat itu kami sedang giatnya membangun kemandirian
ekonomi anggota, karena menurut saya kalau hanya diskusi
dan tidak ada usaha yang produktif bagi mereka, hal itu akan
membosankan dan bisa menurunkan semangat mereka
untuk berkegiatan di kelompok. Bersama SP Kendari saya
mencoba mencari peluang usaha untuk mengatasi persoalan
ekonomi anggota. Kami melakukan lobi ke Dinas Perdagangan
dan Koperasi di Konawe untuk bisa mendapatkan bantuan.
Namun kekecewaan menghampiri saya, ketika Dinas Tenaga
Kerja datang ke desa kami dan membatasi keikutsertaan
mantan buruh migran, hanya ada 11 orang perempuan buruh
migran yang bisa ikut dalam kursus selama 3 bulan di penjahit
Fatimah, yang juga akan mendapatkan bantuan mesin jahit.

Rencananya mesin jahit tersebut di simpan di Sanggar


Karang Taruna desa untuk memastikan keberlanjutannya.

90 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Dari kantor Perindagkop saya bawa mesin tersebut ke desa
atas biaya sendiri. Namun ketika saya ada kegiatan di tempat
lain, 10 mesin jahit dan satu mesin obras telah dibagi-bagi oleh
anggota, sungguh saya sakit hati mendengarnya, karena tidak
sesuai dengan harapan saya sebagai ketua kelompok, juga SP
Kendari yang memfasilitasi tersalurkannya bantuan ini. Kita ingin
mesin jahit dan mesin obras ini sebagai modal kelompok untuk
membangun kemandirian ekonomi semua anggota kelompok

Tapi kekecewaan itu tak berlangsung lama, semangat


dan keinginan untuk berbuat baik tak pernah padam di
hati. Kami tetap melakukan diskusi dan belajar bersama di
kelompok, hingga kemudian ibu-ibu berinisiatif meluaskan
gerakan ke daerah lain, tepatnya di kecamatan Wonggeduku.


Saya tidak akan pernah tinggalkan SP sampai akhir
hayat karena SP yang membukakan saya wawasan
dan pengetahuan. Saya dulu di Dunggua. Saya bangga
menjadi perempuan, saya diberikan kepercayaan
oleh Kepala Desa untuk jadi RT. SP memberikan saya
pengalaman bisa bicara dan bisa ketemu dengan orang-
orang yang lebih tinggi pendidikan dan jabatannya dari
kita dan tidak sembarang orang dapat ketemu mereka,
namun saya bisa bertemu mereka.”

Banyak ruang dan kesempatan terbuka buat setelah


bertemu SP Kendari. Banyak pengalaman yang saya dapatkan,
bisa advokasi kasus kawan-kawan perempuan buruh migran
juga advokasi kebijakan pemerintah untuk memberikan jaminan
perlindungan pada perempuan buruh migran, hingga dipercaya
sebagai ketua RT. Pengalaman paling berkesan bagi saya adalah

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 91


saat menjadi narasumber di Konferensi Nasional Perempuan
pada Kongres VII SP di Jogja. Perasaan bangga dan bahagia
saya rasakan saat itu. Bagi saya Solidaritas Perempuan punya
arti yang dalam sekali. SP lah membukakan jalan bagi hidup
saya. Ada banyak warna yang dituliskan SP diatas kanvas
kehidupan saya. Saya ingin terus bersama SP sampai akhir usia.

Menyuarakan Perlindungan Perempuan Buruh Migran


dan Anggota Keluarganya

Dalam setiap kesempatan bertemu dengan pemerintah


tak bosan-bosan saya menyuarakan persoalan yang
dialami oleh perempuan buruh migran untuk jadi perhatian
oleh pemerintah. Tahun 2011, saya bersama 10 orang
perempuan buruh migran berkesempatan melakukan
audiensi dengan Komisi III DPRD Konawe untuk menyuarakan
situasi dan kondisi yang dialami perempuan buruh migran.

Menjatuhkan pilihan pada kerja-kerja sosial dan membela


orang banyak bukanlah hal yang mudah, karena banyak
tantangan dan perlawanan dari masyarakat terutama orang-
orang yang punya kepentingan. Ancaman dan intimidasi bisa saja
ditemui di tengah perjuangan. Disamping persoalan buruh migran
perempuan, kehadiran perkebunan kelapa sawit dan tambang
nikel di desa juga mulai mengancam kehidupan perempuan
karena masyarakat mulai merasakan kekurangan sumber air
bersih. Sebelum hadirnya perkebunan sawit, masyarakat tak
mengalami persoalan dengan ketersediaan air bersih walaupun
musim kemarau panjang dan mereka masih bisa bercocok
tanam. Saluran irigasi sederhana yang ada bisa mengairi sawah
dan tak pernah kering. Tapi sekarang sudah mulai kekurangan
sumber air sejak hadirnya perkebunan sawit pada tahun 2013.

92 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Awalnya masyarakat tidak paham kehadiran perkebunan kelapa
sawit akan memberikan dampak pada kehidupan mereka,
hingga menerima saja kehadiran perkebunan sawit ini dan
banyak mereka yang bekerja sebagai buruh harian lepas dan
pekerja perusahaan. Keresahan masyarakat mulai membuncah
beberapa tahun kemudian, di saat sumber-sumber air mereka
mulai kering pada musim kemarau, mereka kesulitan untuk
mengolah lahan pertanian, sementara kalau musim hujan datang
banjir dengan mudah terjadi, karena memang sudah tidak ada lagi
pohon-pohon yang bisa menahan air hujan melalui akar-akarnya.
Saya sampaikan pada masyarakat bahwa kehadiran perkebunan
sawit telah memberikan dampak yang merugikan bagi
masyarakat, kehadirannya telah merusak sumber penghidupan
perempuan. Dan kami harus melawannya dan berjuang
bersama untuk mengembalikan segala yang menjadi hak kami.

Pejuang Perempuan
Melawan Penindasan
Seksualitas dan
Ketidakadilan

Setiap kali seorang perempuan membela dirinya
sendiri, tanpa menyadarinya, tanpa mengklaimnya,
dia sedang membela semua perempuan.”

Maya Angelou

Budaya patriarki mendominasi nilai kehidupan di masyarakat


yang menyebabkan pola perilaku, kebiasaan, peraturan
perundang-undangan, hingga sektor ekonomi, politik dan agama

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 93


memiliki perspektif patriarki pula. Tentu saja kondisi ini akan
berdampak pada kehidupan perempuan. Perempuan akan menjadi
subordinat, marjinal, rentan mendapatkan kekerasan dan multi
beban dan mengalami banyak diskriminasi. Sejatinya perempuan
dan laki-laki diciptakan sebagai suatu keseimbangan dalam
mewujudkan masyarakat yang dinamis yang saling melengkapi.

Diskriminasi yang dialami perempuan di ranah sosial


dan budaya disebabkan oleh pandangan bahwa ruang gerak
perempuan hanya pada ranah domestik saja, yaitu mengurus rumah
tangga. Dalam ranah publik, perempuan juga dilekatkan dengan
stigma tidak tegas, tidak bisa memgambil keputusan dan membuat
kebijakan sebaik laki-laki. Arus pemikiran patriarki tidak bisa
menyesuaikan dengan perkembangan zaman dengan teknologi
dan pendidikan yang juga bisa diakses oleh perempuan, namun
lebih terpaku pada paradigma perempuan tak punya kapasitas
yang mumpuni seperti laki-laki yang menyudutkan perempuan.

Nilai-nilai patriarki juga berkelindan dengan negara dan


agama yang menempatkan perempuan sebagai objek dari
pembangunan bukan sebagai subjek yang bisa menentukan sikap
dan pilihannya. Patriarki negara yang juga berkelindan dengan
fundamentalisme agama semakin membatasi ruang gerak dan
ruang hidup perempuan. Berbagai kebijakan dibuat oleh negara
maupun aturan adat yang menyasar seksualitas perempuan
sehingga perempuan kehilangan kedaulatan atas tubuhnya,
karena tubuh perempuan dikontrol oleh negara dan budaya dengan
dalih “perlindungan untuk perempuan“ dan atas nama “tanggung
jawab” keluarga untuk kehidupan perempuan karena berbagai
kebijakan diskriminatif yang menyasar seksualitas perempuan.

Sementara itu, terbukanya peluang investasi baik skala

94 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


nasional maupun internasional melalui berbagai mekanisme
perjanjian perdagangan bebas dan kerjasama ekonomi liberal
maupun perampasan sumber-sumber kehidupan perempuan
terus terjadi secara masif telah meminggirkan perempuan
dari akses ekonominya yang berdampak pada kehidupan
perempuan. Kondisi ini melahirkan ketidakadilan dan penindasan
berlapis bagi perempuan. Negara dan Budaya patriarki tidak
memberi ruang pada perempuan untuk mendapatkan akses dan
kontrol yang sama dengan laki-laki terhadap sumber-sumber
kehidupannya. Intervensi negara maju/industri, perusahaan
multinasional/transnasional serta lembaga keuangan
internasional (Bank Dunia, ADB dan AIIB dsb) terhadap pola
dan sistem pembangunan di Indonesia dilakukan melalui
kebijakan, program dan proyek negara. Intervensi ke negara
juga semakin massif dilakukan oleh kelompok fundamentalis
untuk menekan negara dalam mengeluarkan kebijakan yang
diskriminatif dan mengatasnamakan agama dan moralitas
perempuan, di mana kondisi ini semakin menguatkan proses
pemiskinan terhadap rakyat marjinal khususnya perempuan.

Memang dalam situasi pemiskinan, perempuan dan


laki-laki mengalami dampak, namun tentu saja perempuan
mengalami dampak yang jauh lebih besar karena adanya
kontrol dan penindasan seksualitas yang diterimanya, baik
oleh masyarakat maupun oleh negara melalui praktik-praktik
diskriminatif yang menggurita dan bertopeng agama, misalnya
Qanun Jinayat di Aceh, Perda Etika Busana di Kendari,
Perda Cara Berpakaian bagi PNS di Makassar dan peraturan
diskriminatif lainnya. Di Jogja, kontrol seksualitas perempuan
dilakukan oleh kelompok fundamentalis melalui pelaksanaan
pengenaan jilbab, pembubaran diskusi-diskusi perempuan,

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 95


hingga ancaman dan intimidasi terhadap gerakan feminis.
Sementara itu, di Mataram poligami dan perkawinan anak
menjadi bagian budaya dan tidak dianggap sebagai kekerasan.
Padahal, praktik tersebut merupakan bentuk kekerasan dan
kontrol seksualitas perempuan yang juga berdampak pada
kesehatan reproduksi maupun kesehatan psikis. Sementara di
Poso terjadinya konflik antar agama (Islam dan Kristen) sejak
akhir 98 sampai 2001, mengakibatkan terbatasnya ruang gerak
dan ancaman terhadap rasa aman bagi perempuan, bahkan
sampai saat ini. Tak hanya kebijakan diskriminatif, praktik-
praktik sosial juga kerap menyasar seksualitas perempuan dan
menghasilkan penindasan serta kekerasan terhadap perempuan.
Praktik sunat perempuan salah satunya, yang terus ada meski
kebijakan nasional maupun rekomendasi-rekomendasi CEDAW
telah menyatakan pelarangan terhadap sunat perempuan.

Menguatnya intoleransi dan hilangnya nilai penghormatan


terhadap keberagaman seiring dengan politisasi agama telah
menyebabkan penindasan dan kekerasan berlapis terhadap
perempuan, mulai tingkat keluarga, komunitas, tempat kerja,
hingga negara. Berbagai intimidasi, kriminalisasi, larangan keluar
malam, pembubaran diskusi, pemaksaan berpakaian tertentu,
hingga kebijakan-kebijakan diskriminatif semakin membuat
perempuan terbungkam, membatasi ruang gerak dan akses
perempuan atas sumber kehidupannya, serta memperkuat
kekerasan, ketidakadilan dan penindasan yang dialami perempuan.

Ketidakadilan dan terpinggirkannya perempuan dari sumber


kehidupannya telah “memaksa” perempuan memilih alternatif
untuk bermigrasi dan menjadi pekerja migran ke luar negeri baik
secara legal ataupun tidak. Sebagaimana kita ketahui pilihan
ini menjadi pilihan yang sulit dan berat karena bekerja sebagai

96 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


buruh migran sangat rentan dan minim perlindungan oleh negara.

Penindasan terhadap perempuan juga terjadi akibat minimnya


pengakuan dan perlindungan perempuan di dalam berbagai
kebijakan maupun program pemerintah. Pengontrolan negara
dan sosial atas seksualitas perempuan telah terjadi di berbagai
konteks, baik dalam hal kepemilikan dan/atau penguasaan tanah,
kerentanan perempuan buruh migran dan keluarganya, hingga
terlanggarnya hak-hak perempuan petani, perempuan nelayan/
pesisir, perempuan adat maupun perempuan miskin kota.

Kondisi tersebut diperparah dengan aksi-aksi anti


keberagaman yang dilakukan berbagai aktor fundamentalis
dengan menggunakan politik identitas. Kriminalisasi, represi,
dan persekusi atas nama agama, moralitas, dan nasionalisme/
pembangunan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu,
nyatanya digunakan untuk kepentingan tertentu dan mengancam
kehidupan demokrasi di Indonesia serta berdampak lebih parah
pada terjadinya kekerasan berlapis terhadap perempuan.
Kelompok fundamentalis juga menjadikan isu-isu agama
dan moralitas dalam persoalan kebencanaan di Indonesia,
di mana perempuan kerap dijadikan objek pada situasi ini.

Berbagai kondisi diatas mendorong Solidaritas Perempuan


terus melakukan penguatan dan pengorganisasian perempuan
dalam berbagai konteks kehidupan. Melalui komunitas yang
tersebar di 12 wilayah, SP bersama perempuan akar rumput
melakukan berbagai kegiatan sebagai upaya untuk menumbuhkan
kesadaran kritis dan semangat perjuangan untuk melawan segala
bentuk penindasan dan ketidakadilan yang telah merampas
kedaulatan mereka oleh globalisasi dan negara. Melalui kegiatan-
kegiatan telah lahir beberapa perempuan pejuang yang telah

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 97


berani menyuarakan penderitaan mereka akibat kebijakan
negara maupun budaya patriarki yang telah melahirkan
ketidakadilan dan penindasan dalam kehidupan mereka.

Kardiana,
Srikandi Desa
Maronge

Kardiana yang biasa dipanggil Diana, perempuan berumur


23 tahun merupakan anak keempat dari lima bersaudara, satu
di antara saudaranya adalah laki-laki. Terlahir dari keluarga yang
sangat sederhana, untuk merasakan kehidupan yang bisa dibilang
mencukupi kedua orang tuanya harus bersusah payah menafkahi
dan mencukupi kebutuhan hidup Diana dan saudara-saudaranya.

Diana kecil dan saudaranya sering menerima ejekan dan


hinaan dari tetangga karena kemiskinan mereka. Bahkan, tidur
beralaskan tikar pun pernah dirasakannya. Masih segar dalam
ingatannya tentang perlakukan tetangga yang memantati
orang tuanya sebagai penghinaan karena ketiadaan hidup
yang mereka alami dengan berujar bahwa, “hidup kalian akan
begini-begini saja”. Hinaan tersebut dijadikan semangat oleh
orang tuanya dengan bekerja lebih giat membajak sawah dan
mencoba mencari kerang di laut, dan Diana Kecil pun turut
membantu pekerjaan orang tuanya mencari kerang di laut.

98 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Kerang yang mereka dapatkan lalu dijual untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya. Hasilnya pun tak seberapa, setiap
harinya mereka peroleh uang Rp20.000,00 - 30.000,00.

Selepas kakak sulung perempuannya menamatkan


sekolah dasar, dia memutuskan tidak melanjutkan pendidikan
dan “terpaksa” memilih bekerja ke Luar Negeri, tepatnya
ke Arab Saudi karena melihat perekonomian keluarga yang
semakin memburuk. Dari hasil bekerja sebagai buruh migran
kakaknya mengirimkan uang untuk membeli tanah yang
luasnya lebih kurang 30 are (3000 m2) seharga Rp 1.000.000.
Sejak saat itu perlahan ekonomi keluarganya mulai membaik.

Setelah memiliki tanah, dengan rajin orangtuanya


mengolah tanah tersebut, juga tanah warisan saudara kakeknya
seluas 2 hektar untuk dibajak dan dijadikan sawah, karena
lahan tersebut masih dipenuhi pepohonan dan rumput. Saat
ini mereka sudah menikmati hasilnya dan telah mengubah
kehidupan Diana dan keluarganya menjadi lebih baik.

Tahun 2001 Diana masuk sekolah dasar (SD) di SDN 2


Maronge. Hampir setiap harinya Diana akan diboncengi sepeda
oleh bapaknya menuju sekolah, sementara teman dan saudara
perempuannya ke sekolah dengan berjalan kaki. Selepas SD
Diana melanjutkan pendidikan SMPN 1 Maronge. Di sekolah,
Diana termasuk murid yang berprestasi dan aktif mengikuti
kegiatan ekstrakurikuler palang merah remaja (PMR) sehingga dia
disenangi dan disukai guru-gurunya. Diana dan teman-temannya
di kampungnya merupakan perintis pertama yang bersekolah
di SMAN 1 Maronge yang dibangun bertepatan dengan dengan
tamatnya Diana dari SMP. Diana termasuk salah satu murid yang
dipilih gurunya menjadi anggota Organisasi Siswa Intra Sekolah

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 99


(OSIS) di sekolahnya. Setiap kelas hanya 5 orang dipilih menjadi
anggota, Diana salah satunya. Selain di OSIS, Diana juga aktif
mengikuti PMR, bahkan sering mengikuti lomba ke Kota Sumbawa.

Mengenal organisasi sejak bersekolah di SMA yang dimulai


dari pengurus OSIS, merupakan pijakan pertama untuk mencintai
kebersamaan dan berorganisasi. Organisasi menempanya
menjadi pribadi yang peka terhadap lingkungan, mampu
mengungkapkan pendapat, saran dan kritikan. Walaupun hanya
berorganisasi di sekolah dan hanya berinteraksi dengan teman
dan guru namun mampu mengantarkan Diana pada organisasi
yang lebih besar di kemudian hari dan memberikan kesempatan
kepadanya untuk berinteraksi dengan dunia yang lebih luas lagi .

Masa pendidikan di SMA dilalui Diana dengan keriangan


dan penuh semangat, begitu juga saat menghadapi ujian
nasional, karena ada motivasi dan komitmen dari seorang kepala
Desa yang kini sudah almarhum, jika lulus dengan prestasi
terbaik dan juara 1 umum di sekolah maka sang kepala desa
tersebut akan membiayai sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Hal itu sangat berarti bagi Diana karena keinginannya yang
besar untuk bisa sekolah. Ada 3 Perguruan Tinggi ternama
yang sudah dipilihnya jika dia lulus, Universitas Teknologi
Sumbawa (UTS), Universitas Mataram (UNRAM) dan Universitas
Gadjah Mada (UGM). Motivasi tersebut mampu mengantar
Diana meraih prestasi terbaik, yakni juara 1 umum di sekolah.

Sang Kepala Desa pun menepati janjinya, dua hari setelah


dinyatakan lulus, Diana sang juara menerima kunjungan
kepala desa di rumahnya dan memberikan ucapan selamat
dan menanyakan universitas mana yang akan dia pilih. Diana
ingin melanjutkan di Universitas Teknik Sumbawa (UTS) yang

100 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


lebih dekat dari rumahnya, namun perjuangannya menjadi
sia-sia, harapannya musnah seketika karena orangtua
tidak mengijinkannya melanjutkan kuliah, meskipun gratis.
Menurut orang tuanya perempuan tidak perlu sekolah tinggi-
tinggi karena pada akhirnya akan bekerja di sumur, kasur
dan dapur. Diana tidak punya pilihan lain, dengan rasa
kecewa dan putus asa dia mengikuti kemauan orangtuanya.

Dua bulan setelah lulus SMA, Diana mengikuti sebuah


kegiatan yang diadakan oleh Yayasan Koslata di balai desa
yang bercerita banyak tentang buruh migran. Akhirnya Diana
dikontrak oleh Yayasan Koslata selama satu tahun (2013–2014)
setelah beberapa kali mengikuti kegiatan, sebagai paralegal
yaitu pendamping TKI yang berkasus di desa Maronge dengan
honor RP 300.000 /bulan. Mendapatkan pekerjaan tak berarti
Diana terbebas dari tuntutan orangtua yang menginginkan tetap
bekerja ke luar negeri menjadi buruh migran dengan alasan supaya
bisa membantu perekonomian keluarga dan hasil kerja juga bisa
membiayai sekolah nantinya. Umur yang masih muda 17 tahun,
Diana punya rasa takut untuk berangkat dan mencoba melawan
keinginan orangtuanya. Atas pilihannya itu hampir setiap hari dia
mendengar kata-kata bujukan dari mulut keluarga, tetangga dan
masyarakat agar dia mau berangkat. Namun Diana Tak bergeming
dan tutup telinga. Dengan berbagai alasan Diana sampaikan pada
orang tua pergi ke Kota Sumbawa agar bisa menjauh dari mereka.
Dilema dirasakan Diana saat itu, merasa sedih karena begitu
teganya orang tua untuk berangkat ke luar negeri, di satu sisi
hatinya terketuk untuk membantu keluarga untuk memperbaiki
ekonomi dan menepis segala hinaan tetangga karena kemiskinan.

Namun keyakinan untuk bisa bertahan hidup di negara


sendiri menjadi motivasi. Hal itulah yang melahirkan keberanian

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 101


melawan keputusan orang tua. Pernah juga dia didatangi
calo (sponsor) mengiming-imingi penghasilan (uang) dalam
jumlah besar kalau Diana mau bekerja ke luar negeri, namun
tegas Diana menolaknya karena dia tidak mau bernasib
sama seperti perempuan seumurannya yang diberangkatkan
secara undocumented melalui jalur tidak resmi (unprocedural).

Tahun 2014 program Koslata di Sumbawa berakhir, untuk


sesaat berakhir juga interaksi Diana dengan perempuan
buruh migran (PBM) dan anggota keluarganya. Saat itulah
dia dipertemukan dengan Solidaritas Perempuan Sumbawa.
Awalnya Diana hanya terlibat dalam diskusi dan training yang
diadakan oleh SP Sumbawa. Akhir tahun 2014 bergabung sebagai
volunteer untuk mendampingi kasus PBM, hingga kemudian Diana
menemukan kembali dunianya, bekerja bersama PBM. Keseriusan
dalam mendampingi PBM dilihat oleh anggota SP di Sumbawa
hingga kemudian dia didorong untuk menjadi anggota yang
mengantarkannya juga bisa menjadi pengurus di SP Sumbawa
sebagai Koordinator Program Badan Eksekutif Komunitas.

Sejak saat itu banyak kesempatan dan peluang peningkatan


kapasitas diri yang dia dapatkan, mulai dari peningkatan
pemahaman terkait isu PBM juga isu lain yang dikerjakan SP.
Sikap, perilaku dan pola pikirnya juga berkembang ke arah
yang lebih baik. Selain itu, banyak hal yang bisa dilakukannya
untuk perempuan di Sumbawa, proses belajar dilalui Diana
bersama mereka, mulai dari menangani persoalan yang
mereka hadapi, memberikan pemahaman dan berbagi
pengetahuan tentang buruh migran juga melakukan advokasi
mendorong kebijakan yang berpihak pada perempuan.

Diskusi kampung, training, audiensi, advokasi kasus dan

102 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


kebijakan serta kampanye menjadi rutinitas yang dilakukannya
di kampung-kampung bersama perempuan. Walaupun di akhir
Juli 2017 posisinya sebagai koordinator program SP Sumbawa
telah selesai namun semangat juang dan aktivismenya
tak pernah berakhir. Diana tetap menjadi bagian gerakan
SP Sumbawa, mengabdikan diri sebagai salah satu staf di
divisi Kedaulatan Perempuan atas Tanah di SP Sumbawa.

Bagi Diana perjuangan untuk merebut keadilan dan melawan


penindasan bagi perempuan harus terus disuarakan dan tak
pernah berhenti, sampai pada terciptanya keadilan dan kesetaraan
bagi perempuan di semua ranah kehidupan. Pandangan dan opini
orang abaikan saja, jangan mematahkan semangat, seburuk
apapun pandangan mereka, apakah dikatakan perempuan
tidak baik dan sering keluyuran, seperti yang dia rasakan saat
memutuskan tinggal di Sumbawa. Karena menurut Diana
begitulah pola pikir mereka membayangkan kehidupan di kota,
identik dengan pergaulan bebas hingga hamil. Namun dia selalu
memberikan pemahaman pada orang tua tentang apa yang dia
kerjakan dan menjaga kepercayaan yang diberikan orangtuanya.

Bergabung bersama SP Sumbawa menjadikan Diana lebih


dewasa. Banyak pengetahuan dan pengalaman dia dapatkan
dari SP, termasuk bagaimana dengan bijak melihat persoalan
berbagai lapisan penindasan yang dialami oleh perempuan
di setiap sektor. “Perempuan lah banyak terkena dampak
dari kebijakan dan sistem yang dilahirkan oleh pemerintah,“
ungkap Diana. Hal tersebutlah yang memotivasinya untuk
terus berjuang dan melawan ketidakadilan maupun penindasan
yang dialami oleh perempuan. Segala macam rasa dia rasakan
ketika berinteraksi bersama perempuan, suka duka tentu
saja dilaluinya, namun harapan tetap terus dibangun untuk

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 103


bisa melakukan yang terbaik buat perempuan bersama SP
Sumbawa. Diana juga menaruh harapan pada perempuan yang
mengalami ketidakadilan dan penindasan untuk bangkit dan
bersama-sama memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka.


Jangan pernah berhenti berjuang karena masalah
yang dihadapi juga dialami oleh banyak perempuan
lainnya. Lakukanlah tindakan untuk keluar dari
situasi tersebut.

Samsiah,
Perempuan
Pejuang
Teluk Bone


Saya tidak peduli seberat
apapun perjuangan ini, bagi
saya dan perempuan pesisir,
laut adalah segala bagi kami.

(Samsiah, Perempuan
Pejuang Teluk Bone
Cungkeng).

Keseharian Samsiah

Dilahirkan pada 07 Juli 1984 di Bandar Lampung, Teh Siah


begitulah Samsiah sehari-hari dipanggil. Pendidikan terakhirnya
adalah SD, dan saat ini Teh Siah bekerja sebagai pemilih Ikan
kecil (ikan asin). Teh Siah tinggal di rumah apung di Teluk
Bone, Kelurahan Kota Karang, Kecamatan Teluk Betung Kota

104 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Bandar Lampung. Rumah sederhana dan asri itu dia tempati
bersama suami dan seorang anak laki-lakinya yang berusia 11
tahun. Kehidupan keluarga mereka sangat harmonis. Bersama
suami dia selalu berbagi peran dan tanggung jawab dalam
keluarga. Teh Siah bekerja sebagai pemilih ikan kecil (ikan
asin) di pulau Pasaran dengan penghasilan Rp 35.000-40.000
per harinya. Namun ada kalanya Teh Siah dan perempuan lain
tidak bisa bekerja karena tidak ada tangkapan dari pemilik
kapal. Sementara, saat Teh Siang bekerja, sang suamilah yang
banyak mengambil peran untuk mengerjakan pekerjaan rumah
tangga. Bekerja sebagai pemilih ikan kecil dilakoni Teh Siah
hampir setiap hari yang dimulai dari jam 07.30 sampai jam
17.00. Sementara, suaminya bekerja sebagai buruh nelayan.

Pertama kali bertemu Teh Siah saat dia mengikuti


Temu Perempuan Pejuang Pangan di Jakarta pada Maret
2018, kemudian kami bertemu lagi saat berkesempatan
mengunjungi rumah apungnya pada awal Mei 2018 bersama
dua orang teman SP. Bersama 2 temannya, kami berbincang-
bincang lepas tentang kehidupan yang dijalani perempuan
di kampung apung Teluk Bone Cungkeng. Sesekali suaminya
datang menimpali sedikit obrolan sembari menyuguhkan
ikan bakar yang menjadi kudapan makan malam kami.

Teluk Bone Cungkeng, merupakan hunian nelayan yang


dianggap kumuh dan didominasi rumah apung yang di huni
sekitar 64 kepala Keluarga. Tidak ada bukti kepemilikan
lahan yang mereka miliki, juga tidak membayar pajak di setiap
tahunnya. Menurut informasi teh Siah dan perempuan lainnya,
mereka sebenarnya dilarang untuk membangun rumah di
lokasi tersebut. Namun karena tidak ada pilihan lain, mereka
terpaksa membuat huniannya di atas laut (muara). Walaupun

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 105


mereka tahu kerentanan dan risiko yang akan dihadapi sangat
tinggi karena ada wacana melalui program KOTAKU akan
menjadikan Teluk Bone Cungkeng sebagai kawasan wisata
pesisir. Pemerintah kota Bandar Lampung telah memulai langkah
menuju KOTAKU dengan himbauan agar masyarakat menata
rumah dan mewarnai rumah mereka dengan warna yang sama.

Solidaritas Perempuan Sebay Lampung Memberikan


Pencerahan

Samsiah mengatakan mengenal SP Sebay Lampung tahun


2016 melalui tentangganya, ibu Upik ketika SP Sebay Lampung
berdiskusi bersama perempuan Teluk Bone Cungkeng mengenai
reklamasi. Awalnya merasa canggung dan bingung tentang hal
yang didiskusikan. Tapi lama kelamaan Teh Siah dan teman-
temannya merasa nyaman dengan orang-orang SP, yang dirasa
menyadarkan mereka bahwa ada situasi ketidakadilan yang kami
alami akibat kebijakan proyek reklamasi dan proyek investasi
KOTAKU. Karena merasa apa yang didiskusikan sangat dekat
dengan kehidupannya, Teh Siah merasa tertarik untuk ikut
dalam kegiatan SP Sebay Lampung, hingga dia menawarkan
rumahnya untuk dijadikan tempat berkumpul dan berdiskusi
bagi perempuan-perempuan Teluk Bone Cungkeng untuk
membicarakan segala persoalan yang dihadapi oleh perempuan.

Samsiah mengatakan sejak SP Sebay Lampung ada di


Teluk Bone Cungkeng, banyak pencerahan dan pengetahuan
baru yang mereka dapatkan. Mereka jadi lebih memahami
situasi dan persoalan yang mereka hadapi. SP Sebay Lampung
mengajarkan bagaimana mereka harus saling peduli satu
sama lain, sehingga solidaritas dan rasa kebersamaan antara
mereka semakin menguat. SP Sebay Lampung membuka

106 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


mata mereka untuk melihat persoalan mereka lebih kritis,
bahwa sebagai manusia dan sebagai perempuan warga negara
Indonesia mereka punya hak yang sama dengan yang lainnya,
namun karena keterbatasan pengetahuan dan informasi,
mereka tak punya ruang dan kesempatan untuk menyadari
itu, hingga kemudian SP Sebay Lampung menyalakan
cahaya terang bagi Samsiah dan perempuan lainnya.

Bersama SP banyak manfaat yang dirasakan Samsiah. Dia


jadi lebih percaya diri dan berani. SP Sebay Lampung memberikan
kesempatan kepadanya untuk belajar dan meningkatkan
kapasitas diri. Pada Maret 2018 Samsiah bisa hadir dalam
kegiatan temu perempuan pangan di Jakarta yang dihadiri oleh
perempuan dari berbagai wilayah kerja SP yang tersebar di pulau
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Mataram dan Sumbawa. Setelah
mengikuti kegiatan itu Samsiah Semakin termotivasi untuk terus
berjuang merebut dan mempertahankan hak-haknya, terutama
mempertahan hunian mereka dari ancaman penggusuran dan
mempertahankan laut mereka yang selama ini menyokong
kehidupan dan perekonomian masyarakat Teluk Bone Cungkeng.

Menuju Perubahan

Berbekal pengetahuan yang didapatkan Samsiah dari SP


Sebay Lampung Samsiah meneguhkan diri untuk berjuang dan
melawan serta mempertahankan hak mereka sebagai warga
negara yang diakui keberadaannya. “Saya tidak peduli seberat
apapun perjuangan ini, bagi saya dan perempuan pesisir, laut
adalah segala bagi kami,“ kata Samsiah dengan bersemangat.
“SP Sebay Lampung membuat kami sadar akan situasi
ketidakadilan yang kami alami sebagai perempuan pesisir, dan
mengubah cara berfikir saya dan perempuan lainnya di Teluk

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 107


Bone Cungkeng sehingga kami berani mengambil keputusan
dan memiliki inisiatif perlawanan untuk mempertahankan
wilayah pesisir dengan membangun jembatan kami secara
swadaya karena laut adalah segala bagi kami,” ungkap Samsiah
pada SP Sebay Lampung dalam sebuah perbincangan.

Samsiah mengatakan agar SP Sebay Lampung masih


bersama mereka untuk menguatkan perjuangan dan
perlawanan mereka. Dia juga mengatakan bahwa mereka
masih membutuhkan peningkatan kapasitas, baik terkait hak-
hak sebagai warga negara juga sebagai perempuan, juga untuk
terus mendorong dan memotivasi perempuan untuk berani
menyuarakan situasi dan kepentingan mereka. Kesadaran
kritis harus dibangun dan semakin kuat agar mereka makin
menyadari bahwa sebagai perempuan pemilih ikan, mereka juga
adalah nelayan yang sejatinya mereka punya hak yang sama
dengan nelayan laki-laki dan pengakuan itu juga harus mereka
dapatkan dari pemerintah, sehingga ada jaminan perlindungan
dan kehidupan bagi mereka, dan pemerintah tidak bisa lagi abai
terhadap persoalan dan permasalahan yang mereka hadapi.

Samsiah berharapa agar perempuan perempuan


pesisir Teluk Bone Cungkeng terus menguatkan hati dan
meneguhkan perjuangan untuk mempertahankan hunian
dari ancaman penggusuran. Bersama-sama, mereka
membangun pesisir Teluk Bone Cungkeng agar lebih asri,
bersih dan aman. Juga mempertahankan laut sebagai
sumber penghidupan perempuan dan masyarakat.

Kustiyah : Tak Ada Kata Menyerah


untuk Sebuah Perubahan
108 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan
Kustiyah sehari-harinya bekerja sebagai pedagang nasi,
dan saat ini dipercaya mewakili suara warga menjadi sekretaris
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Kekeri dari tahun
2013 sampai tahun 2015. Dia terpilih kembali menjadi BPD,
dengan jabatan sekretaris BPD tahun 2018 sampai 2024.
Kustiyah yang asli Jawa Timur yang menetap di Kekeri telah
mengenal SP Mataram sejak tahun 2004 melalui program
Pendidikan Politik. Program ini memberikan pengetahuan
dan wawasan bagi Kustiyah bagaimana seharusnya bersikap
menghadapi demokrasi elektoral saat itu, bahwa perempuan
harus kritis dan selektif dalam memilih caleg, perempuan
memilih caleg yang memiliki program untuk perempuan.

Bersama SP Mataram, Kustiyah mendapatkan banyak


pengetahuan dan peningkatan kapasitas, bukan hanya di Mataram,
bahkan pernah di Jakarta dan Yogyakarta Kustiyah pernah
mengikutinya. “Berbagai pengetahuan sudah saya dapatkan
dari SP seperti bagaimana memahami feminis, globalisasi yang
menindas perempuan, soal kedaulatan pangan yang harus
diperjuangkan perempuan juga bagaimana mendampingi buruh
migran yang menjadi korban. Kegiatan-kegiatan seperti ini semakin
melatih keberanian saya untuk berbicara dan menyuarakan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 109


situasi yang dialami dan kepentingan perempuan,” ungkapnya.

Keaktifan yang diperlihatkan Kustiyah membuat SP


Mataram melibatkannya sebagai volunteer pada divisi
Perempuan Melawan Perdagangan Bebas Dan Investasi pada
tahun 2008. Setahun menjadi volunteer Kustiyah disahkan
menjadi anggota SP Mataram pada tahun 2009. Karena
ketekunannya akhirnya Kustiyah pada tahun 2013 menjadi staf
tetap di divisinya hingga tahun 2016, bahkan Kustiyah dipercayai
sebagai kepala divisi Penguatan Organisasi SP Mataram.

Pada 26 September 2006, Kustiah dipercaya untuk


mengawal dan menggawangi Community Center (CC Mandiri )
menggantikan posisi ibu Sri Rohmadani. CC Mandiri ini bertujuan
sebagai sarana pusat pengaduan masyarakat terkait pelayanan
publik dengan menyediakan informasi, menerima pengaduan
dan mendampingi kasus Buruh Migran dan Keluarganya.
Namun seiring berjalannya waktu, gerak CC Mandiri ini berubah
menyesuaikan dengan situasi, kondisi dan persoalan yang dialami
masyarakat Kekeri. Awalnya CC Mandiri hanyalah sebagai
pusat pengaduan terkait pelayanan publik, seperti menerima
pengaduan warga yang tidak memiliki dokumen pernikahan dan
mendampinginya agar memiliki dokumen dengan mengikuti
isbat nikah prodeo di Kantor Urusan Agama (KUA), akte
kelahiran, beras miskin, beasiswa miskin dan lainnya. Seiring
berjalannya waktu dan kapasitas yang dimiliki CC Mandiri juga
menerima pengaduan masyarakat terkait pelayanan BPJS dan
penggunaannya serta mendampingi kasus KDRT dan pada anak.

Pengabdiannya sebagai aktivis perempuan menemukan


tantangan, tapi Kustiyah tetap bersemangat dan memotivasi
diri bekerja lebih baik untuk mendampingi perempuan

110 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


korban khususnya korban Trafficking atau kasus buruh
migran lainnya. Suatu hari Kustiyah berhasil memulangkan
2 orang korban trafficking asal desa Monjok Culik
yang dipekerjakan di Udayana Bali sebagai tukang pijit.

Di tahun 2009 Kustiyah berkesempatan mengikuti Training


Kepemimpinan di Solo yang diadakan oleh Solidaritas Perempuan.
Selama training, Kustiyah mendapatkan banyak pengetahuan
dan keterampilan bagaimana menjadi seorang pemimpin. Di
samping itu pemahamannya tentang ideologi, nilai-nilai dan garis
politik SP melalui training itu juga semakin menguat. Pada tahun
yang sama, Kustiyah juga terlibat pada program yang di support
Acces bersama Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) Lombok Barat.
Sebagai CO, Kustiyah bersama JMS melakukan Assesment dan
pemetaan di Desa Gerung, Kekeri, Senteluk dan Babussalam
terkait warga menikah yang tidak berdokumen, membangun
ekonomi kelompok, pelayanan publik dan isbat nikah. Pada
tahun 2011, ia dipercaya lagi sebagai Petugas lapangan mewakili
SP di JMS untuk program peningkatan gerakan kelompok
warga. Pada tahap programnya memfasilitasi terbentuknya 13
CC desa di kabupaten Lombok Barat, tahap 2 memfasilitasi
terbentuknya CC 29 desa di kabupaten Lombok Barat, dan
tahap ketiga memfasilitasi terbentuknya 33 CC di desa di
Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Utara.

Pencapaian yang luar biasa dari seorang Kustiyah


adalah ketika dia mampu menjadi leader di antara orang yang
berpendidikan tinggi pada tahun 2012/2013 karena pada saat
itu dalam pertemuan Gawe Rapah Warga, Kustiyah berhasil
menghadirkan kurang lebih 8000 orang masyarakat yang
akan mengikuti isbat nikah prodeo dan membuat akta nikah
gratis di KUA. Ditahun yang sama, dia juga mendapatkan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 111


penghargaan kader PKK terbaik tingkat Nasional.

Pada saat alih fungsi lahan produktif menjadi area perumahan


semakin massif di Kekeri tahun 2013, bersama kelompok tani
berusaha mempertahankan lahan produktif tersebut. Mereka
mendorong Awiq-Awiq perlindungan lahan dan sumber mata air di
Desa Kekeri. Mereka melakukan advokasi ke pemerintahan desa
agar awiq-awiq ini bisa diundangkan sebagai peraturan desa,
sehingga bisa sebagai payung hukum untuk melindungi lahan
produktif dan sumber pangan masyarakat. Walaupun advokasi
ini tidak mudah, namun Kustiyah tetap berupaya melakukan
lobi dan negosiasi dengan pemerintah desa. Untuk mengawal
perjuangan panjang itu, Kustiyah didorong untuk menjadi
anggota BPD. Walaupun bukan penduduk asli, namun Kustiyah
dipercaya untuk bisa mengemban amanah itu. Kustiyah terus
menyuarakan dan memperjuangkan peraturan desa yang bisa
melindungi lahan produktif masyarakat dengan terus melakukan
lobi pada berbagai pihak untuk mendapatkan dukungan dari
BPD dan Kepala Desa. Namun sayangnya hingga saat ini awiq-
awiq tersebut belum disahkan menjadi sebuah peraturan desa.
Masih butuh perjuangan panjang lagi untuk mewujudkannya.

Kerja keras Kustiyah berbuah manis. Dia pernah mendapatkan


penghargaan dari MNC TV sebagai pejuang perempuan yang
konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan di desa Kekeri
dari 10 orang yang dipilih oleh MNC TV. Tahun 2014 dia diundang
oleh presiden ke Istana Negara untuk menerima penghargaan
PELITA Nusantara atas kerja-kerja yang dilakukannya.
Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar para inovator
tingkat Provinsi NTB mewakili desa Kekeri, dan dipercaya menjadi
BPUPK (Badan Pengawas Keuangan Kecamatan Gunung Sari),
juga mendapatkan Predikat terbaik di Kabupaten Lombok Barat

112 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


dan provinsi NTB untuk Program NICE, yaitu program kerjasama
dinas kesehatan provinsi NTB dengan pemerintah Jerman untuk
peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita, ibu hamil dan menyusui.

Prestasi yang diraihnya tidak menjadikan Kustiyah Jumawa


dan merasa puas untuk terus melakukan perubahan. Dia selalu
memupuk harapan, bersama masyarakat desa Kekeri bisa
mendorong dan mengawal lahirnya sebuah peraturan desa yang
bisa melindungi lahan produktif masyarakat sebagai payung hukum
untuk memberikan jaminan perlindungan kedaulatan pangan
dan kelangsungan kehidupan mereka di masa yang akan datang.

Isna Ragi:
Tubuhku
adalah
Pilihanku

Nama saya Isna Ragi, sehari-hari di kampungku orang panggil


saya Nona, seorang perempuan desa Watutau, Kecamatan Lore
Peore, Poso di Sulawesi Tengah. Diumur saya yang ke-17 tahun,
saya bertemu dengan seorang lelaki, hingga akhirnya kami
saling jatuh cinta. Hari-hari saya lalui dengan penuh kebahagiaan
bersamanya. Dibarengi hasrat ingin menikah dengan sang
pujaan, namun keinginan itu terhalang orang tua yang tidak
merestui pilihanku karena menurut mereka dia bukanlah laki-
laki yang baik, walaupun menurut saya dia sangatlah baik. Rasa

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 113


cinta dan sayang di antara kami semakin dalam, dan kami saling
mengetahui dan memahami karakter masing-masing, Larangan
orangtua tak menjadikan cinta kami terpisah, hingga akhirnya
kami memutuskan untuk menjalin hubungan “pernikahan“ yang
tak direstui orangtua dan dianggap melanggar norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Tak berapa lama saya pun hamil
setelah menjalani hubungan tanpa ikatan perkawinan yang
semestinya. Kondisi kehamilan itupun tak menggugah perasaan
orang tuaku untuk memberikan restunya, tetap bersikukuh
menolak laki-laki pilihanku. Yang bisa saya lakukan adalah
mempertahankan janin yang saya kandung hasil buah cinta kami.

Masa kehamilan saya jalani dengan penuh kesedihan,


perlakuan tidak adil dan menyakitkan banyak saya terima, baik dari
keluarga, masyarakat, pemerintah desa maupun tokoh agama.
Menerima kemarahan keluarga karena telah mencoreng nama
baik keluarga besar. Menerima cibiran dan gunjingan masyarakat
karena kehamilanku, dianggap sebagai perempuan pembawa
sial, perempuan tidak baik, dan lebih parahnya dianggap sebagai
perempuan yang mencoreng nama baik kampung. Perlakukan
yang sama juga saya terima dari gereja. Saya tidak bisa mengikuti
perjamuan kudus selama satu bulan sebelum saya melakukan
pengakuan dosa di depan pendeta karena hamil di luar nikah.
Itulah yang saya terima dari keluarga, masyarakat dan gereja.

Situasi itu sangat membebani pikiran saya, merasa


sendiri dan tak punya tempat mengadu dan berlindung, saya
memasrahkan nasib dan diri pada tuhan dalam menghadapi
derita. Kehamilan yang seharusnya disambut dengan bahagia
dan suka cita, saya lalui dengan gundah gulana. Namun kasih
tuhan masih ada buatku, di tengah kepedihan itu, masih ada
mamak yang peduli. Mamak lah yang menguatkanku, “kau jaga

114 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


kandunganmu sampai kamu melahirkan dengan selamat, setelah
melahirkan kamu boleh pergi kemana saja kamu mau, dengan
syarat kamu tidak mengulang kesalahanmu kembali.” Kata-
kata mamak memberikan semangat buat hidupku, meskipun
kadangkala sempat terpikir untuk mengakhiri hidup, tapi kasih
Tuhan masih menghampiriku. Dia beri saya kekuatan untuk terus
bertahan dan menjaga kehidupan anakku dan bertemu saya,
ibunya. Rasa sedih dan duka seakan sirna begitu saya memandang
wajah polos dan tak berdosa itu. Naluri keibuanku muncul
seketika, ingin merawat dan mengasuhnya dengan baik dan
sepenuh kasih. Tak bisa dipungkiri aku bahagia bersama anakku.

Setelah kelahiran anakku, sudah pasti kebutuhan


hidup juga akan bertambah. Saya harus bekerja untuk
mencukupinya. Saya terpaksa meninggalkan anak yang
masih kecil dan masih menyusui dan memutuskan merantau
ke kota Palu untuk mencari pekerjaan. Anak saya yang
masih berusia 1 tahun dirawat dan diasuh oleh orang tua.

Bersyukur, setelah kelahiran anakku, ayah juga sudah


melunak dan mau menerima kehadiran kami. Teringat saat
hamil saya harus mengikuti semua aturan mereka. Harus ikut
kemanapun mereka pergi, bahkan bermalam dikebunpun harus
saya ikuti. Kebun kami itu sangat jauh dari rumah, melewati bukit
terjal dan menyeberangi sungai dengan rakit, kadang kala saya
yang mengemudikan rakitnya, meskipun dalam kondisi hamil
muda. Saya juga mengerjakan pekerjaan apapun di kebun tanpa
pernah mengeluh. Mungkin ini yang membuat luluh perasaan
orang tuaku hingga bisa menerima keadaanku. Tapi mereka tetap
tidak menerima laki-laki yang menghamili saya. Mereka tidak
mengizinkan saya bertemu dan tinggal bersama dengannya,
karena aturan adat yang demikian kuat yang tidak memberi ruang

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 115


pengampuan pada saya dan pacarku saat itu, meskipun saya sudah
hamil. Masalahku sendiri penyelesaiannya tidak pernah dibawa
ke jalur adat, dan dibiarkan begitu saja, saya hanya menerima
sanksi sosialnya, bahkan saya tidak bisa mengikuti ibadah
tertentu di gereja, seperti jamuan kudus sebelum melakukan
pengakuan dosa dihadapan pimpinan gereja dan jemaat.

Akibat larangan bertemu dari orang tua, hubunganku dengan


pacar tak berjalan baik. Kami jarang bahkan tak bisa bertemu
atau berkomunikasi, padahal saat itu saya sangat merindukan
kehadirannya. Saya hanya memendam kerinduan. Saya mencuri-
curi waktu untuk bertemu teman-temannya sebagai jalan untuk
bisa bertemu dengannya. Mendekati persalinan, saya sempat
stress karena kebutuhan persalinan dan biaya-biaya setelah
kelahiran anak belum ada. Di samping itu tekanan dari saudara-
saudara juga membuat saya terpukul, saya tidak bisa berbuat
apa-apa, hanya menangis. Suatu hari, mama menemukan saya
sedang menangis dan bertanya kenapa saya menangis. Dia
bilang, “Kau jaga kandunganmu dan selesai kau bersalin dan
sehat kau pergi saja, kasih tinggal saja anakmu nanti mama
yang urus asal kau tidak mengulangi perbuatan yang tidak baik.
Terserah kau pergi kemana saja kau mau.” Saat anak berumur
12 bulan saya menitipkannya pada orangtua karena saya ingin
bekerja ingin bertanggung jawab dan memenuhi kebutuhannya.

Diusia 19 tahun dan berbekal ijazah SMA tanpa keahlian


khusus, saya mencoba mengadu nasib di kota Palu. Bekerja
sebagai pelayan di sebuah toko Onderdil Motor dan harus
tinggal di rumah majikan, beruntung majikan saya cukup
baik. Setiap bulan saya menyisihkan gaji untuk biaya
anak dan keluarga di kampung. Setelah tiga tahun tinggal
di rumah majikan saya pun pindah agar bisa mengatur

116 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


waktu untuk menjenguk anak dan keluarga di kampung.

Saat anakku memasuki usia sekolah TK, dia tidak bisa


diterima karena tidak memenuhi persyaratan. Anakku tidak
memiliki akta kelahiran dan tidak tercantum dalam kartu
keluarga. Saya dan orang tuaku mengupayakan sekuat daya
agar dia bisa sekolah. Orangtua berusaha mengurusnya
di kantor desa dan mendiskusikan dengan pemerintah
desa, akhirnya ditemui jalan keluarnya. Dengan berbagai
pertimbangan anakku dimasukan dalam kartu keluarga orang
tuaku dengan status sebagai anak dan menjadi “saudara
kandung” saya dengan Fam yang sama dengan saya, “Ragi.”

Setelah 6 tahun bekerja sebagai pelayan di toko onderdil,


saya memutuskan berhenti. Namun hanya 3 bulan karena majikan
minta saya kembali bekerja, hingga 4 tahun kemudian. Selama
10 tahun bekerja di Palu saya tidak pernah pulang ke kampung,
hanya mengirimkan biaya bulanan untuk anak. Di usianya yang
sudah 10 tahun, dia belum mengetahui sayalah ibu kandungnya.
Sungguh saya merasa bersalah padanya, tidak mengikuti tumbuh
kembangnya seperti orang tua yang lain. Saya bingung dan tidak
tahu bagaimana cara menjelaskan padanya tentang diriku.

Saya berusaha mencari momen yang tepat untuk


menceritakannya. Pada suatu hari saya membeli sebuah
boneka dan gitar untuknya. Saat saya berikan padanya, dia
bertanya kenapa saya memberinya hadiah. Dengan perasaan
berkecamuk saya ceritakan apa yang selama ini menjadi
rahasia dalam hidupnya, bahwa saya adalah ibu kandung yang
melahirkannya. Sesaat dia terdiam sambil menatapku. Selang
beberapa menit dia bertanya kenapa saya meninggalkannya
saat dia kecil. Saya berusaha menjelaskan bahwa saya harus

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 117


bekerja untuk bisa membiayai kebutuhannya. Puji tuhan dia bisa
menerima. Dia tahu bahwa saya bekerja dan berjuang untuknya.

Yang membuat saya sedih adalah ketika mengetahui saat


dia sering dicemooh dan dicibir teman sekolahnya. Apapun
yang dimilikinya selalu dipertanyakan oleh kawan-kawannya,
“dari mana kamu dapatkan pakaian, tas dan HP yang bagus,
kamu kan ga punya papa, kami aja yang punya papa gak
punya, gak pernah diperlakukan seistimewa kamu.” Kata-
kata seperti itu sering diterima anakku. Anakku juga sempat
minder di sekolah ketika temannya sering diantar jemput
orang tua, sementara dia hanya diantar neneknya saja. Anak
saya juga pernah bilang kalau cemoohan yang dia terima tidak
berarti apa-apa karena tak bisa mengalahkan perjuangan saya
untuknya karena saya telah menjadi ibu juga papa baginya.
Bahkan dia berterima kasih dan minta maaf kalau dia sempat
mempertanyakan kenapa saya meninggalkannya waktu itu.

Setelah 10 tahun bekerja, saya memutuskan kembali ke


kampung. Saya menemani dan menghabiskan waktu bersama
anakku. Saya ingin melunasi rasa bersalah dan kealpaan yang
telah mengabaikannya selama 10 tahun. Saya ingin melakukan
yang terbaik buatnya. Saya menemani dia di sekolah hingga dia
lulus SD. Anak saya banyak mengalami masa sulit di sekolah.
Saat dia SMPN, ketika anak yang lain dengan mudah bisa
mendapatkan beasiswa anakku justru tak bisa mendapatkannya
walaupun mereka dari keluarga mampu, sementara beasiswa itu
diperuntukan bagi anak dari keluarga tidak mampu. Saya tidak
tahu apa penyebabnya. Saya berjuang mendapatkan beasiswa
untuk anakku. Mendatangi pemerintah desa untuk mendapat
surat keterangan tidak mampu dan mengantarkan ke sekolahnya,
puji syukur, akhirnya anakku bisa mendapatkan beasiswa.

118 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Setelah anakku SMP, saya memutuskan untuk kembali
bekerja di Palu. Pekerjaan yang paling mudah saya dapatkan
adalah menjadi pelayan toko. Kali ini saya bekerja di toko
HandPhone dan pakaian. Dua tahun saya jalani pekerjaan itu.
Setiap bulan saya tabung uang untuk biaya sekolah anak. Saya
ingin sekali dia bisa sekolah SMA di sekolah di Palu dan bisa
tinggal bersama saya. Akhirnya dia diterima di SMA Yayasan
Balai Keselamatan Palu. Pahit getir hidup di perantauan
kami rasakan berdua, tapi saya tak pernah menyerah.

Jalan perubahan mulai terlihat saat mengenal SP


Palu pada tahun 2014 melalui acara Temu Perempuan
Lore, yang kebetulan dilaksanakan di kampung saya.
Sejak saat itu saya selalu mengikuti setiap diskusi-diskusi
yang dilakukan SP, hingga akhirnya SP palu mengajak
saya bergabung sebagai volunteer. Anak saya yang masih
SMA akhirnya pun sering ikut dalam kegiatan-kegiatan SP.

Setiap hari saya belajar dan memahami organisasi SP,


apa yang menjadi tujuannya. Hampir semua kegiatan SP
Palu saya ikuti, juga saat SP berdiskusi dengan perempuan
akar rumput. Saya mendapatkan banyak pengalaman dan
pengetahuan dari proses itu. Akhirnya saya pun sadar bahwa
begitu banyak persoalan yang dialami perempuan. Perempuan
mengalami ketidakadilan dan penindasan, dan budaya
patriarki adalah dalangnya. SP telah membuka pandang mata
saya dan membangun kesadaran saya untuk bisa keluar dari
situasi ketidakadilan itu. Saya tak boleh diam juga perempuan
yang lain. Kami harus saling menguatkan dan bergandengan
tangan untuk merebut kehidupan yang lebih baik bagi.

Semakin lama saya mengenal SP, saya semakin jatuh

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 119


hati padanya. Banyak juga yang bertanya kenapa saya
mau di SP, karena menurut mereka SP hanyalah LSM yang
kerjanya tidak jelas. Tapi pandangan itu tak pernah membuat
saya mengurungkan langkah, saya semakin kuat dan teguh
pendirian untuk terus menjadi bagian dari SP karena saya
merasa persoalan perempuan amatlah sangat banyak, dan
itu butuh perjuangan dan kekuatan untuk menyelesaikannya.

Nilai-nilai yang dimiliki SP sangat sesuai dengan suara


hati saya, dan semakin memantapkan langkah untuk terus
berjuang dan berbuat, khususnya berjuang untuk perempuan
marjinal dan terpinggirkan. Saya bahagia melihat ketika
perempuan di kampung sudah mulai percaya diri dan berani
bicara untuk menyuarakan situasi yang dialaminya. Walaupun
mereka tidak lulusan sekolah formal, tapi SP memberikan ruang
bagi mereka untuk sekolah dan meningkatkan pengetahuan.

Pada Oktober 2015, saya bergabung dengan SP sebagai


volunteer SP Palu dan sepenuhnya berkegiatan di SP Palu dan
berhenti sebagai pelayan toko. Di SP Palu saya mulai belajar
menggunakan komputer juga berinteraksi dengan banyak
orang, dengan status sosial dan pendidikan yang beragam.
Semangat belajarku tak pernah surut, saya merasa SP
adalah rumah belajar yang tepat buatku. Tak berpendidikan
bukanlah halangan dan rintangan untuk mengubah masa
menjadi lebih baik. Saya bersyukur teman-teman selalu mau
berbagi pengalaman dan pengetahuan, terutama Kartini dan
Fitri yang selalu membantu saya dengan segala keterbatasan
yang saya miliki, termasuk dalam menggunakan komputer.

Pada RKA SP Palu bulan Desember 2016 saya diterima


menjadi Anggota SP Palu. Saya terus belajar memahami nilai-nilai

120 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


dan ideologi organisasi dan berusaha untuk menggunakannya
dalam kehidupan sehari-hari. Saya masih menemukan ada
beberapa situasi yang belum sesuai dengan nilai-nilai dan
ideologi organisasi, tapi saya sadar bahwa kami berproses ke
arah yang lebih baik untuk mewujudkan mandat organisasi.

Saya menyadari bahwa menjadi pemimpin tidaklah mudah,


banyak hal yang harus dipelajari. Namun saya bangga telah
bisa menjadi pemimpin setidaknya buat diri sendiri. Banyak
perubahan yang sangat fundamental terjadi dalam kehidupan
saya sejak bergabung dengan SP. Dari orang tidak punya
kepedulian terhadap orang lain, keras kepala, dan kebiasaan
menyalahkan diri sendiri, kemudian berubah menjadi orang yang
sadar akan situasi ketidakadilan yang saya alami. Hal penting
yang saya yakini adalah tidak ada siapapun yang bisa mengontrol
diri saya, baik tubuh, pikiran, ruang gerak dan hasil kerja,
karena itu adalah hak saya. Sebagai pemilik tubuh saya berhak
menentukan pilihan dan hidup saya, bukan ditentukan oleh
aturan dan norma yang menindas diri saya sebagai perempuan.

Ramlah, Pejuang
Perempuan Tanah
Karaeng
Saya Ramlah, seorang
ibu rumah tangga yang
hidup penuh kesederhanaan
bersama keluarganya
di Kelurahan Bangkala
Kecamatan Manggala Kota
Makassar. Saya anak ke 10

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 121


dari 11 orang bersaudara, Namun 5 orang saudara saya telah
berpulang ke rahmatullah, jadi tersisa 6 orang. Satu orang di
antaranya adalah laki-laki sebagai seorang saudara. Kakak
laki-laki inilah yang mengambil banyak tanggung jawab dan
mengambil peran menjaga dan melindungi keluarga, terutama
pada saudara perempuannya. Sebagai anak perempuan,
segala gerak langkahku selalu diawasi, bahkan tak segan-
segan memukul demi menjaga sebuah nama baik keluarga.
Kami hidup dalam keluarga dengan budaya patriarki yang
kental, bahwa anak perempuan bisa membawa bencana/
malapetaka bagi keluarga. Oleh sebab itu perempuan harus
dikontrol atau diawasi, dan yang diberi wewenang untuk
mengontrol seorang anak perempuan adalah saudara laki-laki.

Hal itu sudah menjadi kebiasaan atau budaya masyarakat


Bugis-Makassar bahwa setiap anak perempuan adalah
pembawa bencana dan yang harus menjaga adalah saudara
laki-laki, meskipun orang tua masih ada. Apalagi dengan kondisi
orang tua yang sudah sakit-sakitan, tanggung jawab keluarga
sepenuhnya diserahkan kepada saudara laki-laki. Olehnya itu,
saudara laki-laki bagi saya adalah orang yang paling saya takuti
melebihi takutnya pada orang tua sendiri. Dimana pun saya
berjalan saya harus melihat situasi apakah saudara laki-laki
saya tidak melihat. Apa yang ku kerjakan selalu berada di dalam
ketakutan bila mengerjakan sesuatu yang menjadi keinginanku
sendiri apakah saudara laki-laki ku merestui dan mengizinkan
apa yang ku kerjakan ini. Sehingga setiap apa yang ingin ku
perbuat harus dengan restu saudara laki-lakiku, bahkan di saat
menyampaikan ke orang tua pun soal keinginanku mereka akan
mengatakan tanya dan sampaikan dulu ke kakakmu (saudara
laki-laki). Kalau dia mengizinkan maka saya boleh melakukan, ini

122 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


menandakan bahwa atas persetujuan saudara laki-laki tersebut
saya baru bisa melakukan sesuatu yang menjadi keinginanku itu.

Memasuki usia ke 15 tahun saya diharapkan lagi menikah


dengan dalih demi nama baik keluarga, karena dengan saya
menikah berarti keluarga sudah terlepas dari tanggung
jawabnya. Tanggung jawab sudah dilimpahkan pada suami
yang menikahi saya. Nama baik keluarga sudah terjaga karena
sudah ada laki-laki yang diberi tanggung jawab untuk menjaga
baik dari sisi lahir maupun batin (menurut keluarga). Oleh sebab
itulah mereka memaksa untuk saya menikah, artinya keluarga
ingin menjaga nama baik keluarga sekaligus melepas tanggung
jawabnya, tanpa bertanya apakah saya senang atau tidak karena
kekhawatirannya jika tidak dinikahkan saya akan melakukan hal-
hal yang tidak diinginkan keluarga dan menjadi perusak nama
baik keluarga. Akan tetapi, saya bisa menghindari keinginan
keluarga dengan alasan masih ingin melanjutkan sekolah sampai
SMA, itupun dengan pertimbangan yang lama dan dengan
beberapa persyaratan yang harus kusetujui baru akhirnya
keluarga pun mengizinkan dengan catatan saya hanya akan
bersekolah, belajar dan tidak boleh pacaran. Semua persyaratan
itu saya sepakati hingga akhirnya bisa bersekolah di tingkat
SMA sampai selesai, saya selesaikan dengan penuh perjuangan.
Selepas SMA keluarga menuntut kembali saya untuk menikah,
namun saya mencoba menghindar lagi dengan menyampaikan
keinginanku bahwa saya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.

Saya nekat mendaftar di sebuah perguruan tinggi Islam


waktu namanya (IAIN Alauddin) yang ada di kota Makassar, dan
Alhamdulillah saya lulus. Untuk membiayai kuliah saya bekerja
karena tidak bisa berharap banyak dari keluarga. Saya sadar
bahwa saya tidak direstui melanjutkan kuliah oleh keluarga

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 123


khususnya saudara laki-laki saya, dan ditambah lagi kondisi
ekonomi keluarga yang pas-pasan. Saat itu orang tua juga
sudah sakit-sakitan. sementara kakak laki-laki saya pun sudah
tidak memungkinkan membantu biaya kuliahku karena pada
dasarnya dia tidak merestui dan mengharapkan saya menikah
saja. Saya bekerja di sebuah BANK swasta, Bank Perniagaan
Umum (BPU) sebagai petugas lapangan dengan gaji pada waktu
itu Rp. 1.500 (1987) jika memenuhi target yah cukuplah untuk
membiayai kuliah, namun saya jarang memenuhi target karena
saya selingi dengan pergi kuliah. Akhirnya saya memutuskan
untuk berhenti kuliah sementara dan fokus untuk bekerja
sekaligus membantu keluarga dan orang tua yang sudah tak
sehat lagi. Setiap saat orang tua harus minum obat karena sudah
sakit-sakit. Saya tidak lama di tempat itu karena dituntut harus
memenuhi target setiap bulan akhirnya, dan bekerja sebagai
pengawas di bagian finishing dengan gaji yang cukup lumayan.
Tahun berikutnya saya mencoba lagi masuk kuliah karena takut
dipaksa lagi menikah kalau sudah tidak kuliah tapi sudah bekerja.

Seiring perjalanan waktu, ternyata menjalani kuliah sambil


bekerja itu betul-betul tidak mudah, tak semudah membalik
telapak tangan. Saya hanya mampu bertahan hingga semester
4. Memasuki semester 5 saya memutuskan berhenti, saya
sudah tertinggal jauh dari teman yang lain, karena terlalu sibuk
dengan pekerjaan. Saya memilih bekerja, sudah tidak bisa lagi
membagi waktu antara kuliah dan bekerja, saat itu bapak juga
telah meninggal. Saya tidak bisa berharap banyak dari ibu karena
masih ada satu saudaraku yang menjadi tanggung jawabnya.

Menghadapi situasi tersebut, ibu dan kakak laki-laki


memaksa saya untuk menikah, mereka sudah mempunyai calon
buat saya dan masih ada hubungan keluarga dari pihak ibu.

124 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Mereka bilang pernikahan ini untuk mendekatkan hubungan
keluarga dan silaturahim kembali karena sudah termasuk
keluarga jauh. Saya berusaha menolak perjodohan itu karena
sudah punya pilihan sendiri, tapi keluarga tidak merestui laki-
laki pilihanku. Saya pun sempat dipukul oleh saudara laki-
lakiku karena menolak perjodohan itu, akhirnya saya pasrah
dan terpaksa menerima meskipun menikah dengan laki-
laki yang menjadi pilihan keluarga adalah hal yang paling
sulit kujalani dalam hidupku dan merasa sangat terbebani.

setelah menikah saya ikut suami, tinggal berjauhan dengan


keluarga. Saya menjalankan hidup berumah tangga seperti
lazimnya rumah tangga lainnya. Saat anak pertama kami
lahir pada tahun 1992 suami saya pinda ke Surabaya bekerja
disebuah perusahaan yang bergerak di pembuatan obat
(konimex) di mana sebelumnya bekerja sebagai buruh pabrik
Cacao di Kawasan Industri Makassar (KIMA), namun pabrik
tersebut ditutup karena pimpinannya korupsi. Kami sekeluarga
pun akhirnya pindah ke Surabaya, dan menetap disana selama
4 tahun, anak kedua kami pun lahir disana pada tahun 1993.

Tahun 1997, kami kembali ke Makassar dan menetap di


kampung suami di kelurahan Bangkala kecamatan Manggala
dan anak ke tiga kami lahir di sana. Kembali menjalani hari-hari
sebagai ibu rumah tangga, rutinitas seperti layaknya ibu rumah
tangga yang lain, sekali waktu membawa anak ke posyandu
untuk menimbang berat badan anak saya yang ketiga, namun
disanalah berawal keterlibatan saya dengan kerja-kerja di
desa. Akhirnya tahun 2003 saya diajak oleh Puskesmas
untuk menjadi salah satu kader Puskesmas, hingga akhirnya
kelurahan juga memberikan kesempatan padaku untuk jadi
kader kader Posyandu, kader PKK dan kader BPS. Akhirnya

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 125


dipercaya sebagai ketua Pokja 4. Sebagai kader BPS saya
bekerja sebagai petugas sensus, baik sensus penduduk, sensus
ekonomi maupun sensus yang lainnya (sensus pertanian).

Karena saya terbiasa bersosialisasi dengan masyarakat


melalui pendataan-pendataan ternyata aktivitas saya menarik
perhatian salah satu partai politik, Saya ditawari menjadi anggota
partai Demokrat, namun saya hanya mampu bertahan satu
tahun, karena dalam rentang waktu itu, saya belajar dan akhirnya
memahami bahwa partai politik itu penuh dengan kepura-
puraan, semuanya sarat dengan kepentingan. Perempuan hanya
sekedar untuk memenuhi kuota saja dan tidak diprioritaskan,
hanya untuk mendulang suara saja. Saya hanya dilibatkan pada
kegiatan – kegiatan kecil saja, saat ada kegiatan besar, yang
diundang adalah orang yang memiliki sumber dana yang besar.
Atau orang yang memiliki banyak sumber daya. Sejak saat itu
saya mengambil sikap untuk keluar dari partai, karena saya
sudah yakin bahwa partai hanya bicara soal kepentingan saja.

Pada tahun 2009, salah satu anggota SP Makassar, Hijrah


Lahaling berkunjung ke wilayah saya hingga sampai kerumah saya
mengajak mengumpulkan masyarakat khususnya perempuan
untuk melakukan diskusi kampung terkait persoalan buruh
migran perempuan di tempat tinggal saya. Di situlah awal mula
saya berkenalan dengan SP Makassar. Diskusi kampung itulah
yang mengawali kerja-kerja saya bersama perempuan, terutama
perempuan mantan buruh migran. Saya terus mengajak mereka
untuk ikut pertemuan dan berdiskusi. Walaupun di awal-awal
saya sempat merasakan ini adalah pekerjaan yang membuang-
buang waktu dan tenaga, karena sekedar berdiskusi saja,
dan yang didiskusikan adalah soal seks, gender, feminis dan
buruh migran, tidak ada nilai ekonomisnya, hal yang menurut

126 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


saya tidak penting untuk dipersoalkan dan didiskusikan,
karena menurut saya pada waktu itu jika ada persoalan
yang dihadapi perempuan bukanlah menjadi urusanku. Dan
kenapa juga mereka mau pergi bekerja sebagai buruh migran.

Namun, dengan berjalan waktu dan seringnya saya mengikuti


diskusi bersama SP Makassar, saya mulai sadar bahwa diskusi–
diskusi seperti ini bisa menambah wawasan pengetahuan juga
bisa berbagi pengalaman bersama masyarakat khususnya
perempuan. Saya mendapatkan informasi dan pengetahuan
dan bisa memahami hak-hak perempuan juga perempuan buruh
migran. Solidaritas Perempuan Makassar selalu mengajak
saya untuk peduli kepada sesama khususnya pada perempuan
karena perempuanlah yang rentan mendapatkan diskriminasi
serta kekerasan apalagi budaya patriarki yang masih sangat
kental, yang masih terjadi sampai pada saat ini. Kebetulan
wilayah tempat tinggal saya merupakan kantong Buruh Migran.

Melalui berbagai kegiatan yang saya ikuti, baik yang


diselenggarakan oleh SP Anging Mamiri (SPAM) maupun
Sekretariat Nasional, akhirnya saya dipercaya sebagai kontak
person hingga menjadi volunteer pada Divisi Perlindungan
Perempuan Buruh Migran dan Keluarganya (P2BM) di SPAM.
Saya mendapatkan kesempatan untuk terus meningkatkan
kapasitas untuk menjadi seorang aktivis. Saya berkesempatan
membantu perempuan buruh migran untuk menangani kasus-
kasusnya khusus persoalan administrasi kependudukan mereka.

Seiring berjalannya waktu saya melihat bahwa banyak


kekerasan dan ketidakadilan yang dialami buruh migran baik
saat keberangkatan, penempatan hingga saat kepulangan.
Mereka banyak mendapatkan berbagai persoalan seperti

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 127


pemalsuan dokumen, gaji yang tidak dibayarkan, tidak memiliki
identitas saat berada di negara tujuan. Setelah purna buruh
migran dan sesampainya di kampung mereka juga menemui
banyak persoalan, seperti tidak punya kartu identitas karena
tercecer saat bekerja di Negara asing, susah mendapatkan akte
kelahiran untuk anak, tidak punya buku nikah dan lain sebagainya.

Salah satu kasus yang pernah saya tangani adalah kasus


trafficking. Ada seorang anak usia yang belum memenuhi
syarat untuk menjadi buruh migran namun sudah dibuatkan
identitas palsu agar dapat berangkat bekerja d perkebunan
sawit di Sabah Malaysia sebagai pemungut biji sawit. Sangat
banyak kasus buruh migran yang saya temukan, khususnya di
wilayah saya. Saya merasa terpanggil untuk peduli pada nasib
mereka. Saya ingin selalu bersama mereka, berjuang bersama
mereka untuk mendapatkan perlindungan sebagai buruh migran
yang selalu didengungkan sebagai pahlawan devisa, tapi nasib
mereka menjadi sia-sia dan tak dilindungi Negara. Saya ingin
berbagi pengalaman dan pengetahuan bersama mereka, untuk
selalu bergandengan tangan dan berjuang melawan segala
macam bentuk ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan.

Saya semakin percaya diri untuk terus bergerak dan


berbuat dengan pengalaman dan pengetahuan yang saya
miliki. Kepercayaan diri itu semakin menguat ketika saya telah
menjadi anggota SPAM, karena kesempatan bekerja bersama
masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan
buruh migran khususnya, semakin terbuka. Informasi menjadi
sangat penting bagi perempuan, karena perempuan termasuk
kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan ketidakadilan,
baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual
juga kekerasan ekonomi. Informasi penting bagi mereka untuk

128 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


menumbuhkan kesadaran mereka mendapatkan hak-haknya
baik sebagai warga negara maupun sebagai perempuan.

Melalui berbagai kegiatan yang saya lakukan bersama


perempuan, telah mulai terlihat perubahan pola pikir pada
beberapa perempuan akar rumput yang selama ini terlibat
dalam diskusi bersama SPAM. Mereka mulai sadar dan
menyuarakan bahwa dirinya adalah korban, kemudian
mereka berani menyampaikan pada orang lain, jangan
sampai menjadi korban dan pelaku kekerasan bagi orang
lain. Suara-suara perjuangan ini saya sampaikan juga pada
pemerintah, agar lebih peduli dan melindungi warganya.

Saat ini, atas inisiatif perempuan akar rumput yang sudah


tercerahkan, telah berdiri kelompok perempuan buruh migran yang
diberi nama “Kelompok Peduli Buruh Migran Bangkala”(KPBMB)
sebagai wadah perempuan mantan buruh migran dan anggota
keluarganya untuk saling berbagi dan menguatkan. Kelompok
ini juga berinisiatif untuk membuat POSKO yang berfungsi
sebagai Posko pengaduan kasus-kasus bagi buruh migran,
khususnya perempuan buruh migran dan keluarganya.

Setelah banyak bersosialisasi bersama perempuan


akar rumput khususnya perempuan buruh migran yang
mengalami kekerasan dan penindasan, saya semakin yakin
bahwa buruh migran, mantan buruh migran dan anggota
keluarganya sangat membutuhkan informasi tentang berbagai
hal yang berhubungan dengan pekerjaan mereka sebagai
buruh migran. Oleh sebab itulah kegiatan yang saya lakukan
mendapat dukungan juga dari keluarga buruh migran. Sungguh
bekerja sebagai aktivis telah menyempurnakan hidup saya.

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 129


Saya sekarang sungguh sangat berbeda dengan saya
sebelum mengenal SP. Sebelum mengenal SP saya adalah orang
yang sangat arogan. Saya juga tidak tahu mengapa saya bersikap
seperti itu, mungkin sebagai pelampiasan amarah karena
perlakukan keluarga terhadap saya di masa lalu. Saya tidak bisa
menerima perlakuan mereka tapi saat itu saya tidak berani untuk
melawannya. Dalam keluarga semua aturan dan kata-kata saya
harus diikuti oleh seisi rumah, baik suami maupun anak-anak.
Namun setelah mengenal SP saya semakin bijaksana dalam
segala hal. Lebih bisa menguasai diri dan emosi sehingga anak-
anak dan suami merasa lebih nyaman. Untuk sebuah keputusan,
saya selalu mendiskusikannya dengan suami atau anak-anak.

Keterlibatan saya di tengah-tengah masyarakat khususnya


mantan buruh migran dan keluarganya dalam diskusi-diskusi
yang kami lakukan bersama SP Anging Mammiri semoga semakin
meningkatkan kesadaran kritis mereka dalam memperjuangkan
hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia sehingga bisa
mengajak lebih banyak lagi perempuan lain untuk ikut berjuang
bersama hingga dapat melahirkan Peraturan daerah (Perda)
sebagai payung hukum untuk para teman, saudara bahkan
keluarga, baik yang sudah mantan maupun yang masih aktif.
Keinginan Saya sekarang adalah mengajak banyak perempuan
dimanapun berada, jadilah perempuan yang tidak pernah menjadi
pelaku kekerasan dan juga tidak menjadi korban kekerasan baik
di ranah domestik maupun publik khususnya di tempat kerja.

Dona Kanseria:
Hidup dalam
Bayang-bayang
Patriarki
130 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan
Saya Dona Kanseria lahir di
Bireun 11 Juli 1979 dari keluarga
yang sederhana. Satu-satunya
anak perempuan dari empat
bersaudara oleh sebab itu orang
tua sangat protektif, ada banyak
hal yang tidak boleh saya lakukan
karena saya perempuan. Ketika
7 tahun saya dititipkan orang ke
nenek dan kakek karena orang tua
saya bekerja di daerah lain hingga
saya berumur 10 tahun. Nenek
dan kakek cukup memanjakan
saya, berbeda halnya ketika
tinggal bersama orang tua yang
mengharuskan saya mandiri.
Dalam keluarga saya, ibu adalah orang yang bertanggung jawab
penuh untuk urusan rumah tangga karena ayah saya sibuk bekerja.

Dalam hal merawat anak, ibu adalah orang tua yang


sangat bertanggung jawab, terutama dalam hal pendidikan. Ibu
rela menghabiskan waktu hanya untuk mengurus kebutuhan
keluarganya. Sementara ayah adalah tipe orang tua yang protektif
terutama pada saya sebagai anak perempuan. Saya sering
mendapatkan perlakuan dan didikan keras darinya. Banyak aturan
yang harus saya ikuti. Saya tidak boleh kemana-mana setelah pulang
sekolah. Keluar rumah hanya untuk urusan sekolah dan mengaji.
Sungguh saya merasa terkekang dan ingin merasakan kebebasan
saat itu, tapi saya tidak punya keberanian untuk melawan.

Saat saya di SMA, saya ingin merasakan kehidupan


yang berbeda sehingga saya mulai aktif dalam kegiatan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 131


ekstrakurikuler sekolah agar saya bisa bergaul dan beradaptasi
dengan teman-teman. Bersyukur ibu memberikan dukungan
atas keinginan saya dengan catatan harus bisa menjaga
diri. Menurut ibu, anak perempuan boleh keluar rumah tapi
harus bisa diri, kehormatan dan tidak membuat malu orang
tua. Di mana pun berada, saya selalu mengingat pesan dan
amanah yang diberikan pada saya. Saya pun bisa menjalankan
kegiatan sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler dengan baik.
Saya tipe orang yang tegas dan bertanggung jawab, sehingga
saya dipercaya sebagai pembina dalam organisasi pramuka.
Bagi saya ini adalah sebuah kehormatan juga kebangggan.

Aceh yang terkenal dengan sebutan serambi Mekah dengan


mayoritas masyarakat beragama Islam, tentulah tidak mudah
membangun kehidupan dengan orang yang berbeda terutama
berbeda suku, bangsa dan agama. Berbeda itu sebenarnya
adalah hal yang lazim terjadi di sekitar kita. Keberagaman
oleh segelintir orang sering dipolitisasi untuk kepentingan
kelompok sehingga sehingga menyebabkan terjadi perpecahan
di tengah masyarakat dan menghilangkan kedamaian.

Persoalan ini juga saya temui di dalam keluarga. Saya mencoba


mendiskusikannya dengan mereka bahwa keberagaman di
Indonesia adalah sesuatu yang harus dihargai, kerana Indonesia
di huni oleh suku, bangasa dan agama yang beragam. Saya
mencoba membicarakan apa saja dengan keluarga, pun masalah
pribadi yang saya hadapi. Hal ini saya lakukan karena menurut
saya keterbukaan dan komunikasi di dalam keluarga penting agar
terbangun hubungan yang baik antara anak dan orang tua. Orang
tua juga tahu apa yang sedang dilakukan oleh anak-anaknya.

Seiring berjalannya waktu, orang tua saya semakin terbuka

132 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


dan mulai mendengar dan menerima pendapat anak-anaknya.
Orang tua mulai memberikan kepercayaan pada saya karena
saya dianggap mampu dan bisa mengambil keputusan dengan
bijaksana. Ketika saya memutuskan untuk menikah itu juga
pilihan saya. Dalam pembagian hak waris saya juga dilibatkan
oleh orang tua walaupun saya anak perempuan tapi mereka
melihat ketegasan dan keberanian serta kebijaksanaan saya
maka saya dilibatkan dalam pembagian waris di keluarga.

Setelah menikah pun saya mendapatkan dukungan


dari suami untuk kerja-kerja yang saya lakukan. Kami selalu
mendiskusikan apa yang akan kami lakukan. Sebelum menikah
saya sudah mendiskusikan dengan calon suami mengenai rumah
tangga yang akan kami bangun. Saya tidak ingin seperti ibu saya
yang harus patuh dan mendengarkan apa kata suami. Suami
mengetahui bahwa sebelum menikah saya bekerja disalah satu
lembaga keuangan yang sering melakukan kunjungan keluar kota
juga sering pulang malam. Di samping itu, saya juga aktif dalam
organisasi kepramukaan yang juga mengharuskan saya banyak
keluar rumah. Dengan semua itu calon suami bisa menerimanya
dan berkomitmen untuk saling bekerja sama mengurus rumah
tangga. Kami menyepakati komitmen itu sehingga kehidupan
rumah tangga kami berjalan baik. Walaupun keluarga suami
saya sangat kepada dengan ajaran Islam dan masih terpengaruh
kuat dengan nilai-nilai patriarki dimana istri harus taat dan
patuh pada suami dan berkewajiban mengurus suami dan
keluarga, tapi suami saya bisa memberikan pemahaman
kepada mereka hingga juga mendukung kerja-kerja saya.

Dalam perjalannya, saya juga pernah merasakan


ketidakberdayaan. Hal itu terjadi saat saya berusia 25 tahun
dan belum menikah. Ketika itu saya menerima pandangan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 133


negatif dari masyarakat karena pekerjaan yang menghabiskan
waktu di luar rumah, dan oleh masyarakat itu itu dianggap
tidak baik. Keluarga saya juga resah dengan stigma itu. Bagi
masyarakat menjaga anak perempuan itu susah maka akan
lebih baik kalau dinikahkan saja. Di tengah ketidakberdayaan
itu, saya terus berusaha meyakinkan orang tua bahwa saya
tetap mematuhi nasehat dan kata-katanya. Saya selalu
menginformasikan pada mereka apa yang saya kerjakan dan
dimanapun saya berada. Akhirnya orang tua mempercayai
dan tetap mengizinkan saya untuk beraktifitas diluar rumah.

Karena sudah mendapatkan dukungan dari orang tua,


saya tidak menghiraukan lagi pandangan-pandangan negatif
masyarakat terhadap saya. Saya mulai terpikir untuk bisa keluar
situasi tersebut. Saya terus menerus memperkuat komunikasi
dengan orang tua. Memberikan pemahaman pada mereka bahwa
anak tidak bisa dikekang karena ketika anak dikekang maka dia
akan lebih berbahaya dan bisa lupa diri. Akhirnya orang tua saya
mulai menyadarinya bahwa sikap keras pada anak tidak baik dan
merugikan. Saya pun membuktikan kepada orang tua bahwa
saya bisa menjaga diri tanpa harus dikekang dan dikontrol.

Pengalaman dalam keluarga, menjadikan saya orang


yang sangat berhati-hati dan kritis termasuk dalam memilih
suami, karena saya tidak ingin seperti ibu saya, hanya menjadi
istri dan mengurus pekerjaan rumah tangga dan merawat
anak saja. Saya masih ingin bekerja ketika sudah menikah.
Saya tidak ingin berada di bawah kekuasaan laki-laki dan tidak
mau menjadi perempuan yang lemah dan dinomorduakan
sehingga laki-laki bisa memperlakukan istrinya sesuka hati.

Perubahan cara pandang dan berpikir kritis ini bisa saya

134 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


lakukan setelah mengenal mengenal SP Bungeong Jeumpa
Aceh di tahun 2013 saat mereka berkegiatan di desa saya.
Saya tertarik dengan kegiatan yang mereka lakukan hingga
akhirnya saya sering mengikuti diskusi-diskusnya. Saya
banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang
persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan, tentang
penindasan, tentang ketidakadilan yang dialami perempuan,
baik dalam pengelolaan sumber daya alam maupun dalam
pengambilan keputusan dalam keluarga juga masyarakat.
Saya jadi memahami bahwa ternyata perempuan juga memiliki
haknya setara dengan laki-laki dalam setiap ranah kehidupan
tapi karena budaya patriarki yang masih kental dimasyarakat
perempuan seiring dipinggirkan dalam ruang-ruang pengambilan
keputusan, baik di keluarga maupun di tengah masyarakat
karena dianggap tidak mampu dan tidak memiliki kapasitas.

Setelah mengikuti banyak kegiatan bersama SP, banyak


perubahan yang saya alami, baik dalam keluarga maupun ketika
bersikap di masyarakat. Komunikasi dengan suami semakin
berjalan dengan baik. Budaya diskusi menjadi karakter keluarga
kami. Saya juga sudah berani bersuara dan menyampaikan
pendapat dalam kegiatan-kegiatan di desa sekalipun berada
berada di antara laki-laki karena saya sudah memahami bahwa
setiap manusia baik laki-laki dan perempuan mempunyai
kedudukan yang sama dan tidak ada perbedaan. Saya jadi
sering terlibat pada rapat-rapat pengambilan keputusan di desa,
bahkan saya dianggap punya kemampuan untuk memimpin
perempuan di lingkungan saya. Saya juga sering mewakili
perempuan dalam kegiatan yang sering dibuat oleh laki-laki.
Bahkan saya juga sudah berani melakukan audiensi bersama
pemerintah untuk menyampaikan permasalahan yang dialami

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 135


oleh perempuan. SP telah memfasilitasi saya untuk mendapatkan
banyak pengetahuan hingga saya juga bisa mengorganisir
perempuan di desa untuk memperjuangkan hak-haknya.

Bagi saya tak sia-sia menjadi anggota SP Bungeong


Jeumpa Aceh. Perubahan besar telah terjadi dalam hidup saya.
Bagi saya visi dan misi SP itu jelas menuju perubahan untuk
kebaikan, karena SP lahir dan berangkat dari penderitaan
masyarakat marjinal khususnya perempuan. SP bersama
perempuan membangun kekuatan dan melakukan perlawanan
terhadap penindasan. Sebagai anggota SP Bungoeng Jeumpa,
saya juga pernah menjadi Dewan Pengawas Komunitas,
bersama pengurus lainnya kami menjalankan mandat
organisasi untuk merebut kembali kedaulatan perempuan.
Selain itu saya juga pernah menjadi staf Penguatan Organisasi
di SP Aceh. SP telah memberikan banyak kesempatan pada
saya untuk meningkatkan kapasitas diri. Satu keberuntungan
lagi bagi saya ketika diberi kesempatan menjadi salah
seorang peserta Sekolah Kepemimpinan Feminis (SKF) di
sekretariat nasional pada tahun 2017 di Jakarta. Selama
4 bulan saya ditempa untuk menjadi seorang pemimpin
feminis setidaknya bagi diri sendiri, jika memungkinkan
tentu menjadi pemimpin feminis di tengah masyarakat.

Saat ini jiwa saya semakin peka merasakan ketidakadilan


yang terjadi di masyarakat dan jiwa saya terpanggil untuk
melakukan perjuangan dan pembelaan terhadap masyarakat
yang mengalami penindasan. Saya tidak bisa diam melihat
ketidakadilan dan penindasan, baik yang disebabkan oleh
kebijakan negara yang mendiskriminasi perempuan yang
berujung pada pengontrolan tubuh seperti yang dialami oleh
perempuan di Aceh karena adanya peraturan daerah yang

136 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


bernuansa syariah, juga penindasan dan ketidakadilan yang
disebabkan oleh kuatnya budaya patriarki yang menomorsatukan
laki-laki yang secara turun temurun diyakini oleh masyarakat.

Budaya patriarki Itulah yang menjadi tantangan besar


bagi saya dalam berjuang. Sebagai perempuan, suara saya
sering tak didengar karena yang utama adalah laki-laki,
apalagi saya adalah pendatang di lingkungan saya, Namun
saya tak patah semangat. Saya tetap melakukan pendekatan
kepada orang-orang yang menbenci dan menentang saya,
karena prinsip saya jangan pernah membenci ketika kita
dimusuhi akan tetapi dekatilah orang tersebut agar dia tahu
dan memahami apa yang kita lakukan dan perjuangkan
hingga akhirnya mereka memberikan dukungan pada
kita. Sampai sekarang saya tetap teguh untuk melakukan
perjuangan bersama perempuan lainnya untuk kedaulatan
kami sebagai perempuan bisa kembali kami dapatkan.

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 137


BAGIAN III
Merawat Pohon-Pohon Perubahan

138 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


“Keberadaan perempuan
(seharusnya) adalah di
tempat di mana banyak
keputusan dibuat.
Perempuan bukan
seharusnya menjadi
pengecualian.”

M
(Ruth Bader Ginsburg)
erawat adalah
proses memberikan
kasih sayang dan
cinta untuk perkembangan yang
lebih baik. Ibarat menanam
sebutir benih, agar benih bisa
menghasilkan buah yang
baik, dia harus dirawat dan
diperhatikan dengan kasih
sayang. Melindunginya dari
serangan hama dan menyediakan
media tanam yang baik tanpa
merusak lingkungan sekitarnya.
Merawat adalah sebuah proses
yang berkelanjutan dengan
membangun harmonisasi antar
yang merawat dan yang dirawat.
Sentuhan emosional yang
bersifat menyayangi, merawat
dan menghidupi terjalin antara
manusia dan buminya. Bumi
menyediakan air, menjernihkan

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 139


udara, menghidupi hewan dan tumbuhan yang semuanya itu
dibutuhkan dalam kehidupan manusia (Vandana Shiva).

Solidaritas Perempuan memandang bahwa perempuan


terpinggirkan, miskin, tertindas dan tereksploitasi seperti
perempuan buruh, buruh migran dan keluarganya, perempuan
petani, perempuan nelayan, perempuan miskin kota, perempuan
sektor informal, juga perempuan ibu rumah tangga adalah
bagian yang tak terpisahkan dari roh dan semangat perjuangan
dan SP akan bekerja bersama mereka untuk menciptakan
kehidupan yang lebih baik yaitu memperjuangkan hak-hak
dan kepentingan mereka. Dari merekalah muncul berbagai
pengetahuan mengenai persoalan perempuan sekaligus
pengalaman Kepemimpinan perempuan dan berbagai inisiatif
perjuangan yang meneguhkan langkah perjuangan SP selama
ini. Oleh sebab itu proses perawatan menjadi bagian yang
penting dari kerja-kerja pengorganisasian yang dilakukan SP
untuk menjaga roh dan semangat perjuangan agar tetap solid
dan terjaga. Bukan tidak mungkin para pahlawan kemanusiaan
akan lahir dari mereka, yang akan memperjuangkan harapan
kaum marjinal khususnya perempuan yang selama ini
terabaikan dan luput dari pandangan negara.

Sejak didirikan pada tahun 1990, SP telah menyiapkan


diri menjadi barisan dalam gerakan perlawanan bagi kaum
marjinal yang mengalami penindasan dan ketidakadilan.
Solidaritas Perempuan memfasilitasi dan menyiapkan ruang
bagi perempuan untuk belajar bersama dan meningkatkan
kapasitas diri untuk memperjuangkan hak-haknya. Solidaritas
Perempuan bekerja dengan sepenuh dan setulus hati untuk
mereka. Berbagi pengetahuan dan pengalaman sebagai upaya
untuk mendorong lahirnya perempuan-perempuan pemimpin

140 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


dan pejuang di komunitas yang kritis dan Tangguh.

Upaya penyadaran dan pendidikan kritis terus menerus


dilakukan SP untuk semua perempuan pemimpin dan
perempuan pejuang di komunitas agar mereka bisa melepaskan
diri dari jerat patriarki dan pandangan monolitik agama yang
banyak membelenggu ruang gerak mereka. Patriarki dan
agama kerap kali memandang perempuan sebagai warga
kelas dua yang tak memiliki kemampuan yang setara dengan
laki-laki, sehingga dia pantas dalam kontrol dan perlindungan.
Padahal sejarah membuktikan bahwa perempuan mempunyai
peran yang luar biasa dalam membangun peradaban manusia
dan membangun kehidupan. Di banyak literasi, perempuan
memiliki konotasi sebagai representasi alam. Perempuan
dan alam tak bisa dipisahkan dalam memelihara kehidupan,
perempuan lah yang mampu dan bisa menjaga segala yang ada
di alam sebagai sumber penghidupan dan kehidupan secara
berkelanjutan.

Namun peran-peran strategis perempuan ini semakin


direduksi bahkan dihilangkan. Kapitalisme dan globalisasi
yang diperkuat negara telah menjadikan perempuan menjadi
orang pinggiran yang dimiskinkan. Kekayaan dan sumber daya
alam mereka dikeruk dengan rakus oleh pemodal sementara
mereka hanya mendapatkan sisa-sisa, untuk itupun intimidasi
dan kriminalisasi mengintai kehidupan mereka. Paradigma
pembangunan dengan paradigma pertumbuhan ekonomi yang
menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas berdasarkan
nilai tukar dan nilai tambah. Kapitalisme bekerja dengan buas
yang tak pernah puas terhadap apa yang dimilikinya terus-
menerus mengeksploitasi sumber daya alam yang tersisa,
sehingga masyarakat hanya menjadi orang pinggiran atau

Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 141


penonton dengan menahan sesak di dada atas kenistaan itu.

Solidaritas Perempuan bersama komunitasnya terus


menerus bekerja bersama dengan perempuan-perempuan
yang sudah tercerahkan, memotivasi dan menguatkan
mereka hingga kemudian juga bisa menularkan pengetahuan,
keberanian dan semangat perlawanan pada perempuan lainnya
dimana pun itu. SP memberi ruang dan akses pada perempuan-
perempuan pemimpin tersebut untuk terus mengembangkan
diri dan mengasah kemampuan sebagai modal bagi mereka
untuk melakukan perubahan sosial di kampung-kampung
dimana mereka tinggal. Cahaya semangat dan perjuangan
yang sudah menyala ini oleh SP dijaga kehangatannya, agar
jangan sampai padam dan mati dan tak menjadi sia-sia. “Tuhan
telah menyalakan obor dalam hatimu yang memancarkan
cahaya pengetahuan dan keindahan; sungguh berdosa jika
kita memadamkannya dan mencampakkannya dalam abu,”
Khalil Gibran mengungkapkan dalam satu karyanya. SP akan
menjaga dan merawat itu agar tak sia-sia, dan menjadi abu
yang gampang diterbangkan angin.

142 Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan


Tutur Perempuan: Tentang Sebuah Perlawanan 143

Anda mungkin juga menyukai