Anda di halaman 1dari 3

Nama : Winarsih

NIM : 030974685

PRODI : Ilmu Administrasi Negara

UPBJJ : Serang

Jawaban Tugas 1 ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH

1. APBD disusun melalui cara-cara atau tahap-tahap sebagai berikut:


a. Pertama, pemerintah daerah menyusun RAPBD (Rancangan APBD). RAPBD disusun
pemerintah daerah atas dasar usulan dari setiap perangkat belanja administrasi dan umum
326.928.112 daerah yang diusulkan dalam bentuk RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja).
b. Pemerintah daerah mengajukan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas. Sebelum membahas
RAPBD, DPRD menyosialisasikan RAPBD kepada masyarakat untuk mendapat masukan.
Masukan tersebut dicatat dan akan dibukukan sebagai lampiran.
c. DPRD membahas RAPBD bersama dengan Tim Anggaran Eksekutif.
d. RAPBD yang telah disetujui DPRD disahkan menjadi APBD untuk dilaksanakan.
2. Pelaksanaan APBD merupakan serangkaian langkah yang dimulai dengan aktivitas
penatausahaan (administrasi) dan aktivitas pelaksanaan teknis kegiatan. Dalam penatausahaan,
disiapkan dokumen-dokumen pelaksanaan berupa DPA-SKPD, anggaran kas SKPD, SPD, SPP,
SPM, dan SP2D. Sedangkan aktivitas teknis berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan, seperti
pengadaan (procurement), perjalanan dinas, surat-menyurat, pertanggungjawaban bendahara
(SPJ) dan pelaksana kegiatan (PPTK).
Masalah keagenan dalam pelaksanaan APBD umumnya berkaitan dengan persoalan keagenan
dalam perencanaan dan penyusunan program/kegiatan. serta penetapan alokasi atau plafon
anggaran. Meskipun secara umum masalah keagenan pada tahapan ini ada di aparatur
pemerintah daerah, tidak tertutup kemungkinan anggota legislatif juga terkait secara langsung.
a) Beberapa fenomena atau fakta yang perlu dianalisis lebih jauh adalah:
b) Kelancaran arus dokumen. Dalam sistem dan prosedur penatausahaan, baik respon
terhadap SPP oleh kepala SKPD (dengan menerbitkan SPM), SPM oleh BUD (dengan
menerbitkan SP2D), dan SPJ oleh PPK-SKPD memiliki batas waktu (maksimal), terkecuali ada
ketidaklengkapan dokumen atau masalah lainnya. Namun, ada kalanya ada perilaku moral
hazard yang dipraktikkan: sengaja menunda-nunda meskipun melanggar sisdur, meminta
uang pelicin, karena ada kepentingan lain, dll. So, mengapa terjadi penglambatan proses
oleh aparatur daerah? Berapa kali/persen pelanggaran dilakukan terhadap sisdur yang ada?
c) Penggunaan uang/kas di luar yang telah ditetapkan dalam APBD. Pemberian uang kepada
polisi, jaksa, wartawan, LSM, atau masyarakat biasa, baik sebagai hadiah, upeti, suap,
ataupun uang pelicin (grease money) tidak diperkenankan karena tidak ada alokasi
anggarannya dalam APBD, terutama DPA-SKPD terkait. Biaya ini sering disebut ghost
expenditures (biaya hantu). Pertanyaannya adalah: berapa besaran (jumlah rupiah dan
persentase) uang hantu ini? Apakah alokasi ini sudah diperhitungkan oleh penyusun RKA-
SKPD pada saat merencanakan besaran pagu anggaran kegiatan?
d) Peng-SPJ-an belanja sering dimanipulasi. Misalnya, belanja untuk 5 kali perjalanan dinas,
yang benar-benar direalisasikan hanya 3 kali. Sementara sisanya, 2 kali, di-SPJ-kan secara
fiktif. Contoh lain: pembelian ATK berupa kertas HVS dalam DPA-SKPD sebanyak 100 rim
selama setahun. Yang betul-betul dibeli hanya 70 rim, sementara di-SPJ-kan sebesar 100
rim. So, berapa besaran rupiah/persentase SPJ fiktif untuk belanja barang dan jasa ini?
Apakah dalam perencanaan besaran plafon kegiatan terkait sudah dilakukan mark-up
(terjadi intention to corrupt)? Hal yang sama terjadi untuk belanja makan dan minum…
e) “Setoran” ke atasan. Biasanya ada setoran yang harus diberikan oleh pelaksana kegiatan
(PPTK) dan bendahara kepada atasannya, terutama kepala SKPD. Kadangkala sampai juga ke
Sekda dan kepala daerah. Mengapa harus ada setoran ini? Berapa jumlah/persentasenya?
Apakah hal ini terkait dengan mark-up pada saat penghitungan input di RKA-SKPD?
Bagaimanakah “format” tersebut? Apakah berupa uang, barang, atau “service” tertentu (di
luar kantro)?
f) Kasus “kas daerah kosong”. Pada saat kepala SKPD mengajukan SPM ke BUD, terkadang BUD
tidak bisa menerbitkan SP2D dengan alasan “kas daerah kosong”. Oleh karena sebagian
besar kas daerah diisi dari DAU, yang diturunkan/dicairkan setiap bulan oleh pemerintah
pusat, maka alasan rekening kas daerah kosong (tidak ada uangnya) pastilah mengada-ada.
Hal ini lah yang mejadi alasan mengapa di banyak daerah tidak ada anggaran kas SKPD,
karena BUD tidak ingin “ditagih” oleh SKPD karena “kontrak” yang dibuat dalam anggaran
kas tersebut. So, mengapa terjadi Kasda kosong? Bagaimana persepsi bendahara
pengeluaran SKPD terhadap praktik ini? Apakah praktik ini berpengaruh terhadap
pencapaian realisasi anggaran belanja dan target kinerja? Apakah menurut aparatur di BUD
pemerintah pusat berperan dalam persoalan ini?
g) “Stempel palsu“. Mungkin sedikit agak konyol dan bodoh, tapi faktanya sering terjadi:
bendahara memiliki stempel palsu atau duplikat stempel pihak ketiga yang melakukan
transaksi dengan SKPD. Stempel-stempel ini digunakan untuk mempertanggungjawabkan
(membuat SPJ) pengeluaran-pengeluaran dengan membuat kuitansi palsu, yang seakan-
akan distempeli oleh pihak ketiga.
3. Pengawasan bukan dalam hal ini sekedar untuk mencari kesalahan atau ada untuk melihat mana
yang salah dan mana yang benar akan tetapi dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan.
Hal-hal menyangkut pengawasan pelaksanaan pembangunan didaerah-daerah sebagai berikut :
a. Fungsi pengawasan, pengawasan adalah salah satu fungsi manajemen disamping fungsi-fungsi
masyarakat lainnya, yaitu staf dan perencanaan dan pelaksanaan. b. Prinsip-prinsip
pengawasan, pengawasan merupakan suatu proses yang terus menerus yang dilaksanakan
dengan jalan mengulangi secara teliti dan periodik. Didalam melakukan pengawasan haruslah
diutamakan adanya kerja sama dan dipeliharanya rasa kepercayaan. Sistem pengawasan sangat
menentukan kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak
melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik baik lingkup
maupun tata cara pelaksanaannya. Karena hal-hal seperti memberlakukan prinsip “pengawasan
umum” pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Makin
banyak dan intensif pengawasan makin sempit kemandirian daerah. Makin sempit kemandirian
makin terbatas otonomi. Akan tetapi dalam hal ini, tidak boleh ada sistem otonomi yang sama
sekali meniadakan pengawasan. Hal ini dikarenakan bahwa kebebasan berotonomi dan
pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga
keseimbangan bandul antara kecendrungan desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berayun
berlebihan. UU No. 22 Tahun 1999 tentang keuangan pemerintahan daerah, sangat
mengendorkan sistem pengawasan. Dapat dilihat pada penjelasan umum angka 10, disebutkan :
“….sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk memberi
kebebasan kepada daerah otonomi dalam mengambil keputusan serta memberikan peran
kepada DPRD dalam mewujudkan fungsi sebagai badab pengawas terhadap pelaksanaan
otonomi daerah. Karena itu peraturan daerah yang ditetapkan daerah otonom tidak
memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang”. Berdasarkan hal di
atas yang menarik bahwa, dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa meniadakan syarat
pengesahan (preventief toezicht) dapat mengakibatkan masalah. Dalam artian bahwa,
bagaimanakah kalau peraturan daerah melampaui wewenang (ultra vires)? Maka gugatan ke
pengadilan adalah hal atau cara yang dapat ditempuh. Permasalahan yang lain yaitu bagaimana
kalau tidak ada yang mempersoalkan? Dari penjelasan permasalahan diatas maka sebenarnya,
bukan hal yang tepat untuk meniadakan pranata pengesahan itu yang lebih penting tetapi yang
perlu sekali diatur adalah tata cara pengesahan agar kemandirian tetap terjamin.

Anda mungkin juga menyukai