Anda di halaman 1dari 24

Pendekatan Diagnosis Kasus Penyakit Akibat kerja dan Penalaksaananya

Nelly Baharlianti
102017008
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jln. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat, Indonesia

Nellynelly752@gmail.com

Abstrak
Penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan,
proses maupun lingkungan kerja. Ketika bekerja, seseorang dapat saja mendapatkan pajanan
yang kemudian menyebabkan terjadinya penyakit akibat kerja. Pajanan yang dapat menyebabkan
penyakit akibat kerja meliputi pajanan fisik, kimia, biologi, psikososial, dan ergonomi. Salah
satu penyakit akibat kerja yang disebabkan karena pajanan ergonomi adalah CTS. Dalam
menegakan apakah CTS atau penyakit lainnya yang diderita oleh seseorang merupakan penyakit
akibat kerja atau tidak, maka diperlukan identifikasi penyakit akibat kerja yang meliputi
penentuan diagnosis klinis, penentuan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini,
penentuan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut, penentuan
apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut,
menentukan apakah ada faktor – faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi, mencari adanya
kemungkinan lain yang dapat menjadi penyebab penyakit, dan kemudian membuat keputusan
apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya.

Kata kunci: Carpal Tunnel Syndrom, penyakit akibat kerja, identifikasi penyakit akibat kerja.

Abstract

Occupational diseases are diseases caused by work, work tools, materials, processes and the
work environment. When working, a person may get exposure which then causes work-related
diseases. Exposures that can cause occupational diseases include physical, chemical, biological,
psychosocial, and ergonomic exposures. One of the occupational diseases caused by ergonomics
exposure is CTS. In establishing whether CTS or other diseases suffered by a person is an
occupational disease or not, it is necessary to identify occupational diseases which include
determining a clinical diagnosis, determining the exposure experienced by the workforce so far,
determining whether the exposure can indeed cause the disease, determining whether the
amount of exposure experienced is large enough to cause the disease, determining whether there
are other factors that may be influencing, looking for other possibilities that can be the cause of
the disease, and then making a decision whether the disease is caused by the work.

Keywords: Carpal Tunnel Syndrome, occupational diseases, identification of occupational


diseases.

Pendahuluan
Berdasarkan peraturan mentri tenaga kerja No. Per.05/MEN/1996 tentang Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja harus terciptanya tempat kerja yang aman, efisien
dan produktif. Maka dari itu kesehatan dari para pekerja harus dijamin agar terbentuknya kondisi
yang produktif di tempat kerja. Tetapi pekerja memiliki resiko terhadapat masalah kesehatannya
yang disebabkan dari lingkungan kerja, perilaku kerja serta faktor lainnya.
Penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan atau lingkungan pekerjaan yang termasuk
hubungan kerja adalah Penyakit Akibat Kerja (PAK). Penyakit akibat disebabkan karena adanya
pajanan tertentu selama menjalankan suatu pekerjaan. Pajanan yang dapat terjadi yang kemudian
dapat menyebabkan penyakit akibat kerja adalah pajanan fisik, kimia, biologi, ergonomi dan
psikososial. Pada fisik meliputi Suhu ekstrem, bising, pencahayaan, vibrasi, radiasi dan tekanan
udara. Lalu pada kimia, Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas, larutan,
kabut, partikel nano dan lain-lain. Sedangkan pada biologi meliputi Bakteri, virus, jamur,
bioaerosol dan lain-lain. Lalu pada psikososial Beban meliputi kerja kualitatif dan kuantitatif,
organisasi kerja, kerja monoton, hubungan interpersonal, kerja shift, lokasi kerja dan lain-lain.
dan yang terakhir pada ergonomi yaitu Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja
statis, gerak repetitif, penerangan, Visual Display Terminal (VDT) dan lain-lain. Masalah pada
ergonomi yang paling sering sendiri adalah beban kerja dan malposisi sewaktu bekerja yang
kemudian dapat menyebabkan gangguan pada tulang seperti low back pain. Aplikasi atau
penerapan ergonomi sendiri meliputi posisi kerja, proses kerja, tata letak tempat kerja,
mengangkat beban. Posisi kerja terdiri dari posisi duduk dan posisi berdiri. Posisi duduk yang
baik adalah posisi dimana kaki tidak terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama
bekerja. Sedangkan posisi berdiri yang baik adalah dimana posisi tulang belakang vertikal dan
berat badan tertumpu secara seimbang pada dua kaki. Kemudian pada proses pekerja, para
pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi waktu bekerja dan sesuai dengan
ukuran antropometrinya. Kemudian tata letak tempat kerja yang baik bagi pekerja adalah dengan
display yang harus jelas terlihat pada waktu melakukan aktivitas kerja. Kemudian ketika
mengangkat bebat dalam pajanan ergonomi ketika bekerja meliputi dengan beban kepala, bahu,
tangan, punggung, dll. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan cedera tulang punggung,
jaringan otot dan persendian akibat gerakan yang berlebihan.
Pekerjaan dan atau lingkungan kerja dapat meyebabkan penyakit akibat kerja. Salah satu
penyakit akibat kerja yang ditimbulkan dari gerakan berulang adalah keluhan atau gangguan otot
rangka atau yang lebih dikenal dengan istilah Musculoskeletal Disorders (MSDs) atau
Cumulative Trauma Disorder (CTD). Pekerjaan tersebut dapat berupa kegiatan tangan yang
berulang secara terusmenerus. Gangguan musculoskeletal ini dapat mengenai sendi, otot dan
saraf. Salah satu jenis Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah Carpal Tunnel syndrome (CTS)
(Rohmah, 2016:73).

Penyakit ini akibat pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan tangan atau
kesalahan posisi tangan yang tidak ergonomis dalam jangka waktu yang sangat lama, monoton
dan paparan terhadap getaran, misalnya: sekretaris, 4 penjahit, perakitan alat dekorasi pemaketan
barang dan lain-lain (Koesyanto , 2014:110). Carpal Tunnel syndrome lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria dengan perbandingan 3:1. Sindrom ini mempunyai angka kejadian yang
cukup tinggi. Pada tahun 1992, De Krom di Belanda melaporkan insidensi carpal tunnel
syndrome sebanyak 0,6% untuk pria dan 9,2% untuk wanita pada populasi dewasa (Andi Basuki
dan Sofiati Dian, 2010:94).

Carpal Tunnel syndrome (CTS) merupakan salah satu penyakit yang dilaporkan oleh
badan statistik perburuhan di negara maju sebagai penyakit yang sering dijumpai di kalangan
pekerja industri. National Health Interview Study (NHIS) memperkirakan prevalensi Carpal
Tunnel syndrome (CTS) 1,55%. Sebagai salah satu dari 3 jenis penyakit tersering di dalam
golongan Cumulative Trauma Disorder (CTD) pada ekstremitas atas, prevalensi Carpal Tunnel
syndrome (CTS) 40%, tendosinovitis yang terdiri dari Trigger Finger 32% dan De Quervan’s
Syndrome 12%, sedangkan epicondilitis 20%. Lebih dari 50% dari seluruh penyakit akibat kerja
di USA adalah Cumulative Trauma Disorder (CTD), dimana salah satunya adalah Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) (Salawati dan Syahrul, 2014:30). Pusat statistik kesehatan di Amerika Serikat
memperkirakan terdapat lebih dari 2 juta kasus Carpal Tunnel Syndrome (CTS), menjadikan
penyakit ini sebagai bentuk kerusakan akibat cidera berulang (repetitive stress injury) yang
sering terjadi di Amerika Serikat (Andi Basuki dan Sofiati Dian, 2010:96).

Skenario
Seorang laki-laki berusia 45 tahun dating ke klinik perusaan dengan keluhan telapak
tangan kanan dirasakan nyeri dan kesemutan yang bertambah berat sejak 1 minggu yang lalu.

Anamnesis

Pada kasus ini, didapatkan hasil anamnesis berupa pekerjaan pasien adalah sebagai admin
kantor yang bekerja didepan komputer sudah selama 10 tahun dengan jam kerja 7 jam/hari
selama 6 hari/minggu dimana pasien melakukan input data dan analisa data dengan mengetik
diatas keyboard komputer dengan gerakan berulang dan posisi tangan yang janggal dan pasien
tidak menggunakan pad. Untuk riwayat penyakit sekarang didapatkan kesemutan timbul pada
saat pasien tidak beraktivitas seperti bangun tidur pagi, penjalaran kesemutan sampai ke lengan
bila pasien mengibaskan tangannya. Nyeri sejak 1 bulan yang lalu, bertambah berat 1 minggu
yang lalu dan nyeri dirasakan > 15 menit dan nyeri dirasakan bertambah saat melakukan
aktivitas, melakukan pergerakan pada kedua tangan, saat bangun tidur & memegang suatu objek.
Pasien juga ada riwayat mengkonsumsi obat penghilang nyeri dan vitamin untuk saraf namun
tidak memberikan efek ataupun perubahan. Untuk riwayat penyakit dahulu atau trauma tidak
ada. Dan tidak ada riwayat penyakit keluarga lainnya.

Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan kasus ini memperoleh hasil pemeriksaan fisik berupa Range of movement
yaitu pergerakan terbatas dan pada pemeriksaan tinnel phalen terdapat nyeri.

Pemeriksaan Penunjang

Pada kasus ini, untuk mendiagnosis carpal tunnel syndrome, akan ditanyakan gejala yang
dialami pasien, serta memeriksa saraf sensorik dan kekuatan otot tangan pasien. Bisa juga
dilakukan dengan menepuk atau menekuk pergelangan tangan pasien untuk melihat apakah hal
tersebut memicu munculnya gejala CTS. Selain pemeriksaan fisik, akan dilakukan beberapa
pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis CTS. Berikut ini adalah beberapa
pemeriksaan yang bisa dilakukan seperti Tes darah dimana tes ini dilakukan jika CTS diduga
disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya rheumatoid arthritis. Berikut dapat dilakukan
pemeriksaan Foto Rontgen Prosedur pada pemindaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
ada hal lain yang menyebabkan pergelangan tangan terasa sakit. Pemeriksaan selanjutnya dapat
dilakukan USG pada prosedur ini dilakukan untuk melihat jaringan dan tulang. Dapat juga
dilakukan MRI dimana pemindaian ini dilakukan untuk melihat jaringan lunak pada pergelangan
tangan dan yang terakhir dapat dilakukan Elektromiografi Tes untuk menguji kecepatan hantaran
listrik yang dialirkan ke saraf tangan, hasil tes ini bisa memperlihatkan seberapa banyak
kerusakan pada saraf tangan pasien.

Indentifikasi Diagnosis Okupasi

Diagnosis okupasi dapat ditegakkan setelah melalui 7 langkah diagnosis okupasi. Hasil
akhir dari diagnosis okupasi sendiri ada 4 yaitu penyakit akibat kerja (PAK) Tujuh langkah
diagnosis okupasi yang dimaksud terdiri dari diagnosis klinis, pajanan yang dialami, hubungan
pajanan dengan penyakit, pajanan yang dialami cukup besar, peranan faktor individu, faktor lain
di luar pekerjaan, dan terakhir diagnosis okupasi.

1. Diagnosis klinis
Untuk menegakkan diagnosis klinis, perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang lengkap. Jika dokter yang bertugas merupakan dokter
perusahaan, maka bisa dilakukan pemeriksaan tempat kerja. Namun, jika bukan dokter
perusahaan maka lingkungan tempat kerja bisa ditanyakan melalui anamnesis kepada
pasien. Pada anamnesis, perlu ditanyakan riwayat pekerjaan secara lebih terperinci,
seperti sudah berapa lama bekerja sekarang, riwayat pekerjaan sebelumnya, alat kerja,
bahan kerja, waktu bekerja dalam sehari, APD yang dipakai, dan lain-lain.2

Berdasarkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien
tersebut, diduga pasien tersebut menderita CTS (Carpal Tunnel Syndrome) atau sering juga
disebut Sindrom lorong karpal adalah kondisi yang membuat tangan mengalami sensasi
kesemutan, mati rasa, nyeri, atau lemah. Sindrom ini terjadi ketika saraf di dalam
pergelangan tangan terhimpit atau tertekan. Pada pasien tersebut diketahui telah mengalami
keluhan nyeri sejak 1 bulan sehinga didapatkan juga kesemutan timbul pada saat pasien tidak
beraktivitas seperti bangun tidur pagi, penjalaran kesemutan sampai ke lengan bila pasien
mengibaskan tangannya. Adanya juga nyeri dirasakan > 15 menit dan nyeri dirasakan
bertambah saat melakukan aktivitas, melakukan pergerakan pada kedua tangan, saat bangun
tidur & memegang suatu objek.3
2. Pajanan

Diagnosis klinis dapat disebabkan oleh satu atau beberapa pajanan yang dialami oleh seorang
pekerja. Untuk mengetahui pajanan yang dialami pekerja perlu dilakukan anamnesis lengkap
mengenai pekerjaan pasien tersebut, mencakup deskripsi semua pekerjaan secara kronologis
dan pajanan yang dialami, periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan, produk yang
dihasilkan, bahan yang digunakan, cara bekerja, proses kerja, riwayat kecelakaan kerja, dan
alat pelindung diri (APD) yang digunakan. Hal ini dapat ditunjang dengan data yang objektif,
seperti informasi bahan dan alat yang digunakan saat bekerja, catatan perusahaan mengenai
informasi pajanan atau kunjungan ke tempat kerja.2

Pada kasus ini, pasien diketahui bekerja sebagai admin kantor selama 10 tahun dengan
durasi kerja 7 jam/hari selama 6 hari/minggu. Diketahui pekerjaan pasien mengetik diatas
keyboard komputer memasukan input data dan juga anlisa data dengan gerakan berulang dan
posisi tangan yang janggal dan pasien tidak menggunakan pad. Dari hasil anamnesis tersebut
diduga pasien tersebut terkena pajanan ergonomi dimana ergonomi merupakan gabungan dari
dua kata Yunani, yaitu ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti aturan. Secara harafiah,
ergonomi dapat diartikan sebagai ilmu yang berhubungan dengan aturan – aturan dalam
pekerjaan. Ergonomi sendiri merupakan suatu cabang ilmu yang memanfaat informasi –
informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan manusia dalam rangka membuat sistem
kerja yang efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien. Ergonomi dapat diterapkan dimana saja dan
kapan saja, baik di lingkungan rumah, lingkungan kerja, maupun lingkungan sosial lainnya.4

Ilmu ergonomi mempelajari beberapa hal yang meliputi lingkungan kerja (kebersihan,
tata letak, suhu, pencahayaan, sirkulasi udara, desain peralatan, dan lainnya), persyaratan
fisik dan psikologis (mental) pekerja untuk melakukan sebuah pekerjaan (pendidikan,
postur badan, pengalaman kerja, dan lainnya), bahan – bahan / peralatan kerja yang
berisiko menimbulkan kecelakaan kerja (pisau, barang pecah belah, zat kimia, dan
lainnya), dan interaksi antara pekerja dengan peralatan kerja (kenyamanan kerja,
kesehatan dan keselamatan kerja, kesesuaian ukuran alat kerja dengan pekerja, standar
operasional prosedur, dan lainnya). Ruang lingkup ergonomi terdiri dari ergonomi fisik,
kognitif, lingkungan, dan organisasi. Ergonomi fisik utamanya berkaitan dengan anatomi
tubuh, antropometri, fisiologi, dan hal – hal yang terkait dengan aktifitas fisik. Ergonomi
kognitif berkaitan dengan proses mental seseorang. Ergonomi lingkungan kerja berkaitan
dengan masalah – masalah faktor fisik lingkungan kerja, seperti suhu, kelembaban,
kebisingan, kecepatan angin, dan pencahayaan. Sedangkan ergonomi organisasi berkaitan
dengan optimalisasi sistem sosioteknik, termasuk kajian tentang struktur organisasi,
kebijakan, dan proses kerja.4

3. Hubungan pajanan
Berdasarkan kasus ini, diketahui pajanan yang dialami oleh pekerja atau
pasien tersebut adalah pajanan ergonomi dimana secara lebih spesifik adalah pajanan
ergonomi fisik yang meliputi anatomi tubuh, antropometri, fisiologi, dan hal – hal lain
yang terkait dengan aktifitas fisik.4 Berdasarkan pengertian tersebut, maka keluhan yang
paling memungkinkan timbul sebagai akibat dari pajanan tersebut adalah keluhan
musculoskeletal salah satunya yaitu CTS (Carpal Tunnel Syndrome)5 Seperti yang telah
diketahui sebelumnya, pasien tersebut bekerja sebagai admin kantor di dimana admin
kantor sendiri adalah pekerjaan yang cukup melelahkan dengan berbagai tugas seperti
melakukan input data dan juga menganalisa data dan tanggung jawab yang harus
dilakukan oleh seorang admin kantor. Pada keterangan pasien, diketahui sudah selama 10
tahun dengan jam kerja 7 jam/hari selama 6 hari/minggu atau dengan kata lain bekerja
seharian penuh sehingga kelelahan yang diakibatkan oleh pekerjaan tersebut akan terasa
semakin nyata.
Keluhan muskuloskeletal sendiri adalah keluhan pada bagian – bagian otot
skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai berat.
Keluhan musculoskeletal biasanya terjadi karena adanya kontraksi otot yang berlebihan
akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang
panjang.6 Keluhan otot akan terjadi bila kontraksi otot melebihi 20% yang menyebabkan
peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh
besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme
karbohidrat terhambat, dan sebagai akibatnya penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri pada otot.7
Seringnya keluhan musculoskeletal dihubungkan dengan adanya beban kerja yang
berat atau kontraksi otot yang berlebihan, maka keluhan ini sering dihubungkan dengan
pekerjaan admin kantor yang dianggap memiliki tekanan yang cukup besar pada sistem
musculoskeletal sehingga meningkatkan potensi adanya keluhan pada bagian tersebut.
Hal ini dapat diperparah dengan adanya pajanan yang secara terus menerus tanpa henti
atau tidak memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat sehingga tubuh tidak memiliki
waktu yang cukup untuk memulihkan kondisinya kembali.8 Pada pasien diketahui bahwa
pasien juga bekerja full time 7 jam/hari tanpa shift sehingga bisa meningkatkan
kemungkinan hubungan antara pajanan dengan penyakit.
4. Besar pajanan
Penentuan dari besarnya pajanan dilakukan melalui anamnesis tentang pekerjaan yang
lengkap, mencakupi jumlah jam terpajan per hari, masa kerja, pemakaian APD, besarnya
pajanan secara kualitatif ataupun kuantitatif, dan adanya kecukupan besar pajanan
(kecukupan dosis) yang menyebabkan adanya diagnosa klinis. Penentuan besarnya
pajanan juga dapat dilakukan dengan melihat referensi karakteristik besar pajanan pada
industry atau pekerjaan tertentu, dosis minimal, dan masa kerja minimal. Apabila
penyakit yang dialami pekerja disebabkan oleh beberapa pajanan sekaligus, maka
besarnya pajanan tidak bisa dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) saja, tetapi
perlu juga melihat efek saling menguatkan beberapa pajanan dalam menimbulkan
penyakit.2

Berdasarkan skenario, diketahui pasien bekerja sebagai admin kantor selama 7 jam/hari
selama 6 hari/minggu dimana hal ini cukup mendukung adanya pajanan yang cukup besar
untuk mengakibatkan keluhan tersebut apabila diperkuat dengan kondisi dimana pasien
sudah bekerja sebagai admin kantor di hotel tersebut selama 10 tahun.

5. Faktor individual
Faktor individu yang berperan terhadap timbulnya penyakit antara lain jenis kelamin,
usia, kebiasaan, riwayat penyakit keluarga (genetik), riwayat atopi, dan penyakit
penyerta. Adanya faktor individu dapat menjadi perancu diagnosis penyakit akibat kerja,
namun belum tentu meniadakan adanya penyakit akibat kerja. 2 Sedangkan pada pasien
dalam kasus ini, diketahui tidak ada riwayat penyakit keluarga, riwayat atopi, dan
penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi diagnosa klinis tersebut.

Faktor eksternal
Faktor lain di luar tempat kerja yang dapat menjadi perancu diantaranya seperti
hobi dan kegiatan lain yang dilakukan di luar pekerjaan. Adanya faktor lain diluar tempat
kerja dapat menjadi perancu diagnosis penyakit akibat kerja, namun belum tentu
meniadakan adanya penyakit akibat kerja.2 Pada pasien dengan kasus ini, tidak diketahui
adanya faktor lain tersebut sehingga hal ini masih perlu dipertanyakan atau dilakukan
reanamnesis lebih lanjut.

6. Diagnosis Okupasi
Berdasarkan analisis 6 langkah diatas, maka dapat disimpulkan apakah penyakit tersebut
termasuk penyakit akibat kerja atau bukan penyakit akibat kerja. Ada 4 diagnosis okupasi
yang dapat ditegakkan, yaitu penyakit akibat kerja (PAK) atau disebut juga occupational
diseases, penyakit yang diperberat pajanan di tempat kerja, belum dapat ditegakkan karena
membutuhkan informasi tambahan, dan bukan PAK. Diagnosis PAK dapat ditegakkan jika
langkah 1 – 4 positif sedangkan langkah 5 & 6 negatif. 2 Pada kasus ini, langkah 1 – 4 positif,
langkah 5 negatif namun langkah 6 juga negatif. Maka, diagnosis PAK masih belum bisa
ditegakkan dimana masih dibutuhkan informasi tambahan berupa faktor lain di luar
pekerjaan, seperti hobi dan kegiatan lain yang dilakukan oleh pasien tersebut. Jika langkah 6
dinyatakan negatif, maka diagnosis PAK dapat ditegakkan.9

Working Diagnosis
Carpal Tunnel Syndrome
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah penekanan saraf medianus pada pergelangan tangan yang
menimbulkan rasa nyeri, paresthesia, numbness, dan kelemahan sepanjang perjalan saraf
medianus (Chung dkk., 2010). Neuropati ini disebabkan oleh terperangkapnya saraf medianus
pada area carpal tunnel, yang dibatasi oleh tulang-tulang carpal dan juga transverse carpal
ligament. Di area carpal tunnel terjadi peningkatan tekanan sehingga terjadi penurunan fungsi
saraf medianus pada tingkatan tersebut (Ibrahim dkk., 2012). Keluhan yang timbul berupa
kesemutan pada jari jari tangan I sampai setengah jari IV bagian telapak tangan, numbness,
nyeri, dan kelemahan otot. Angka kejadian CTS sekitar 90% dari
berbagai neuropati lainnya. Setiap tahunnya kejadian CTS mencapai 267 dari 100.000 populasi
dengan prevalensi 9,2% pada perempuan dan 6% pada laki-laki. Di Inggris, angka kejadinnya
mencapai 6%-17% yang lebih tinggi dari pada Amerika yaitu 5% (Ibrahim dkk., 2012). Penderita
umumnya usia 40-60 tahun, perempuan tiga kali lebih beresiko daripada laki-laki (Wipperman
dan Potter, 2012)

Etiologi
CTS terjadi karena menyempitnya ruang tunnel atau kelemahan pada saraf medianus. Pekerjaan
yang berulang-ulang atau repetition merupakan faktor terbesar yang memicu terjadinya CTS.
Penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa pekerjaan dengan penggunaan pergelangan
tangan dengan tekanan yang tinggi dan pengulangan yang banyak lebih beresiko sebesar 5,6%
terjadinya CTS dibandingkan pada pekerjaan yang tekanan dan pengulangan rendah hanya 0,6%
(Aroori dan Spence, 2007). Pada kondisi hamil juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya CTS,
biasanya terjadi pada trismester III dan terjadi secara bilateral (Bahrami dkk., 2005). Posisi
tangan yang salah juga memicu tejadinya CTS, supinasi penuh 900 dan fleksi
metacarpophalangeal (MCP) lebih beresiko dibandingkan dengan posisi sendi 450 pronasi dan
45 0 fleksi MCP. Hal ini terjadi karena perubahan tendon yang mempengaruhi peningkatan
volume tekanan carpal tunnel (Aroori dan Spence, 2007).

Gejala Carpal Tunnel Syndrome


Gejala Carpal Tunnel Syndrome dapat muncul secara mendadak, namun kebanyakan kasus
muncul bertahap. Nervus medianus pada pergelangan tangan 94% berfungsi sensorik sedangkan
6% berfungsi motorik sehingga adanya disfungsi dari nervus medianus pada awalnya akan
memberikan gejala sensorik. Pada tahap lanjut akan muncul gejala motorik (Andi Basuki dan
Sofiati Dian, 2010:99). Gejala awal biasanya berupa parestesia, kurang merasa (numbness) atau
rasa seperti terkena aliran listrik pada jari dan setengah sisi radial jari 4 walaupun kadang-kadang
dirasakan mengenai seluruh jari-jari. Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari.
Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari sehingga
sering membangunkan penderita dari tidurnya namun semakin lama akan dirasakan sepanjang
hari (Goodyer, 2001:120). Keluhan penderita Carpal Tunnel Syndrome yang sering membawa
penderita untuk berobat adalah baal, kesemutan atau nyeri pada terutama pada jari tengah dan
jari manis, area yang murni disarafi oleh nervus medianus. Beberapa 26 penderita mempunyai
gejala jari terasa bengkak atau tebal. Tidak jarang penderita mengeluhkan gejala sampai ke batas
siku atau bahkan sampai ke bahu dan lama kelamaan akan terasa baal didaerah tersebut.
Anamnesis yang khas pada syndrome ini adalah hilangnya gejala nyeri bila penderita mengibas-
ibaskan tanganya yang dikenal dengan tanda flick. Bila tidak ditangani dengan baik maka
progresivitas penyakit akan berjalan terus sehingga muncul kelemahan. Bila sudah terjadi
gangguan motorik, pada anamnesis didapatkan sulit untuk menggenggam barang. Pada keadaan
berat dapat ditemukan atrofi pada otot tenar telapak tangan (Andi Basuki dan Sofiati Dian,
2010:99)

Patofisiologi
Kasus CTS sebagaian besar disebabkan karena kompresi pada ruang carpal tunnel. Susunan ossa
carpal dan transverse carpal ligament membentuk carpal tunnel (terowongan karpal) yang mana
pada ruang tersebut diisi oleh sembilan flexor tendon dan saraf medianus. Sebelum masuk ke
area carpal tunnel, cabang yang mensarafi area palmar cutaneus membawa serabut sensorik otot
thenar. Setelah keluar dari area carpal tunnel, cabang dari otot thenar menginervasi m.abductor
pollicis brevis, 8 m. opponens pollicis, dan m. lumbrical I serta II. Selain itu juga mensarafi
m.flexor pollicis brevis. Pada cabang yang lain mensarafi jari I, II, III dan setengah jari IV
(Pasnoor dan Dimachkie, 2011). Akibatnya timbul gangguan motorik dan sensorik pada bagian
palm, phalange I, II, III dan lateral phalange IV. Beberapa teori menjelaskan gejala dan proses
terperangkapnya saraf medianus. Teori-teori tersebut yaitu mechanical compression, micro-
vascular insufficiency, dan vibration theories. Mechanical compression menjelaskan faktor
penyebab terjadinya CTS karena strain, overuse, dan pekerjaan yang berulang-ulang pada
pergelangan tangan yang menyebabkan terjadinya kompresi atau penekanan pada saraf medianus
sehingga perjalanan saraf ke jari I-IV terhambat. Sedangkan pada teori micro-vascular
insufficiency berpendapat bahwa berkurangnya asupan darah yang terdiri dari oksigen dan
nutrisi untuk saraf menyebabkan kemampuan transmisi impuls saraf menurun. Karakteristik
yang akan dirasakan adalah tingling, numbness, dan acute pain. Beberapa pendapat menyatakan
iskemik memiliki peran penting sebagai pemicu terjadinya CTS. Berdasarkan hasil penelitian,
iskemik menyebabkan peningkatan tekanan pada carpal tunnel yang menimbulkan kelemahan
otot dan berkurangnya sensibilitas karena konduktivitas saraf yang terganggu, selain itu juga
terasa nyeri dan parestesia. Teori terakhir yaitu vibration theories, menyebutkan gejala CTS
dapat menghasilkan efek jangka panjang akibat penggunaaan alat yang menimbulkan vibrasi
pada saraf medianus di carpal tunnel (Aroori dan Spence, 2007). Teori-teori yang telah
menjelaskan tetang terjadinya CTS akan menimbulkan tanda dan gejala yang akan dirasakan
oleh penderita. Akan tetapi setiap penderita memiliki tanda dan gejala yang berbeda-beda.
Menurut Ibrahim, dkk (2012) tanda dan gejala CTS dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahap
yaitu:
a. Tahap pertama, pasien mengalami gangguan tidur pada malam hari terasa kebas dan bengkak
pada tangan. Beberapa merasakan nyeri berat yang terasa dari pergelangan sampai bahu seperti
tertusuk yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada pergelangan tangan sampai jarijari
(brachialgia paraesthetica nocturna). Saat dilakukan flick sign akan memprovokasi keluhan.
Selain itu, di pagi hari terasa kaku pada jari-jari.
b. Tahap kedua, gejala muncul sepanjang hari terutama saat melakukan aktivitas statis dalam
waktu yang lama atau pekerjaaan berulang ulang pada pergelanagan tangan. Sehingga benda
yang ada dalam genggaman akan jatuh karena tidak dapat merasakan lagi akibat motor deficit.
c. Pada tahap akhir ini, muncul atropi pada otot thenar dan respon saraf medianus menjadi
lambat akibat kompresi pada carpal tunnel. Pada fase ini sensoriknya mulai berkurang, terasa
sakit pada otot thenar, kompresi semakin berat, kelemahan dan atropi pada m. abductor pollicis.

Penatalaksanaan Carpal Tunnel Syndrome


Terapi untuk Carpal Tunnel Syndrome dapat berupa tindakan konservatif atau operatif.

Terapi Konservatif
1. Istirahatkan pergelangan tangan dari tindakan fleksi dan ekstensi yang berulang selama
dua sampai enam minggu. Dengan mengistirahatkan pergelangan tangan diharapkan akan
terjadi perbaikan pada jaringan yang mengalami inflamasi sehingga penekana pada nervus
medianus berkurang.
2. Pemberian obat antiinflamasi nonsteroid.
3. Pemasangan splin (bidai) pada posisi netral perngelangan tangan. Bidai dapat dipasang
terus menerus atau hanya pada malam hari selama dua sampai tiga minggu.
4. Injeksi steroid dapat mengurangi gejala dengan menghambat proses inflamasi.
5. Kontrol cairan, misalnya dengan pemberian diuretika
6. Vitamin B6 (piridoksin)
7. Fisioterapi setelah delapan minggu dapat mengurangi nyeri secara bermakna
dibandingkan dengan penggunaan bidai (Zairin Noor, 2013: 342).
Terapi Operatif

Tindakan operasi pada Carpal Tunnel Syndrome (CTS) disebut neurolisis nervus medianus pada
pergelangan tangan. Operasi hanya dilakkukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan
dengan terapi konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya atrofi otot-
otot thenar. Pada Carpal Tunnel Syndrome (CTS) bilateral biasanya operasi pertama dilakukan
pada tangan yang paling nyeri walaupun dapat sekaligus dilakukan bilateral. Biasanya tindakan
operasi Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dilakukan secara terbuka dengan anestesi lokal, tetapi
sekarang telah dikembangkan teknik operasi secara endoskopi. Operasi endoskopi
memungkinkan mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal, tetapi
karena terbatanya lapangan operasi, tindakan ini lebih sering menimbulkan komplikasi operasi
seperti cedera pada saraf. Beberapa penyebab Carpal Tunnel Syndrome (CTS) seperti adannya
massa atau anomali maupun tenosinovitis pasca Carpal Tunnel Syndrome (CTS) terowongan
karpal lebih baik di operasi secara terbuka (Zairin Noor, 2013: 343).

Hirarki Pengendalian Resiko Bahaya


Pada kegiatan pengkajian resiko, hirarki pengendalian (hierarchy of control) merupakan
salah satu hal yang sangat diperhatikan. Pemilihan hirarki pengendalian memberikan manfaat
secara efektifitas dan efisiensi sehingga resiko menurun dan menjadi resiko yang bisa diterima
(acceptable risk) bagi suatu organisasi. Secara efektifitas, hirarki kontrol pertama diyakini
memberikan efektifitas yang lebih tinggi dibandingkan hirarki yang kedua. Hirarki pengendalian
ini memiliki dua dasar pemikiran dalam menurunkan resiko yaitu menurunkan probabilitas
kecelakaan atau paparan serta menurunkan tingkat keparahan suatu kecelakaan atau paparan.10
Rencana pengendalian risiko bahaya meliputi eliminasi, subtitusi, rekayasa teknik, isolasi,
pengendalian administrasi, dan APD.
Eliminasi merupakan suatu pengendalian resiko yang bersifat permanen dan harus dicoba
untuk diterapkan sebagai pilihan prioritas utama. Eliminasi dapat dicapai dengan memindahkan
obyek kerja atau sistem kerja yang berhubungan dengan tempat kerja yang tidak dapat diterima
oleh ketentuan, peraturan atau standar baku K3 atau kadarnya melebihi Nilai Ambang Batas
(NAB) yang diperkenankan. Cara pengendalian yang baik dilakukan adalah dengan eliminasi
karena potensi bahaya dapat ditiadakan.
Cara pengendalian substitusi adalah dengan menggantikan bahan-bahan dan peralatan
yang lebih berbahaya dengan bahan-bahan dan peralatan yang kurang berbahaya atau yang lebih
aman.
Pengendalian rekayasa teknik termasuk merubah struktur obyek kerja untuk mencegah
seseorang terpapar potensi bahaya. Cara pengendalian yang dilakukan adalah dengan pemberian
pengaman mesin, penutup ban berjalan, pembuatan struktur pondasi mesin dengan cor beton,
pemberian alat bantu mekanik, pemberian absorber suara pada dinding ruang mesin yang
menghasilkan kebisingan tinggi, dan lain-lain.
Isolasi Cara pengendalian yang dilakukan dengan memisahkan seseorang dari obyek
kerja, seperti menjalankan mesin-mesin produksi dari tempat tertutup (control room)
menggunakan remote control.
Pengendalian Administrasi (Admistration Control) Pengendalian yang dilakukan adalah
dengan menyediakan suatu sistem kerja yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang terpapar
potensi bahaya yang tergantung dari perilaku pekerjanya dan memerlukan pengawasan yang
teratur untuk dipatuhinya pengendalian administrasi ini. Metode ini meliputi penerimaan tenaga
kerja baru sesuai jenis pekerjaan yang akan ditangani, pengaturan waktu kerja dan waktu
istirahat, rotasi kerja untuk mengurangi kebosanan dan kejenuhan, penerapan prosedur kerja,
pengaturan kembali jadwal kerja, training keahlian dan training K3. Dan terakhir APD yang
digunakan untuk membatasi potensi bahaya terhadap tubuh pekerja.10
Pencegahan Carpal Tunnel Syndrome

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan keluhan Carpal Tunnel Syndrome diantaranya
adalah sebagai berikut :

1. Penerapan prinsip-prinsip ilmu ergonomi, peralatan kerja, prosedur kerja dan lingkungan
kerja sehingga dapat diperoleh kinerja pekerja yang optimal.

2. Rotasi kerja pada jangka waktu tertentu dengan merotasi pekerja pada tugas berbeda yang
mempunyai risiko berbeda.

3. Postur kerja yang baik sangat enting untuk mencegah Carpal Tunnel Syndrome contohnya
pada penjahit. Tinggi meja beserta perrmukaaan dan kursi yang digunakan harus mendukung
secara ergonomis. Permukaan meja jahit harus rata, halus, dan mempunyai cukup ruang untuk
meletakkan lengan depan sehingga tidak membuat tangan cepat lelah. Jarak antara kursi dan
meja jahit harus disesuaikan sehingga lutut dapat membentuk sudut anatara 90°- 110°.
Ketinggian kursi juga harus disesuaikan sehingga pinggul dan punggung dapat membentuk sudut
antara 90°-110°. Kursi yang digunakan hendaknya dapat diatur ketinggiannya sehingga badan
bersikap tegak dan tidak mudah lelah (Jerusalem, 2011:67).

4. Latihan pada tangan dan pergelangan tangan yang sederhana selama 4-5 menit setiap jam
dapat membantu mengurangi risiko berkembangnya atau mencegah Carpal Tunnel Syndrome.
Peregangan dan latihan isometrik dapat memperkuat otot pergelangan tangan dan tangan, leher
serta bahu, sehingga memperbaiki aliran darah pada daerah tersebut. Latihan harus dimulai
dengan periode pemanasan yang pendek disertai periode istirahat dan bila mungkin menghindari
peregangan berlebihan pada otot tangan dan jari. Melakukan periode istirahat saat bekerja dan
memodifikasi pekerjaan dapat membantu memecahkan permasalahan Carpal Tunnel Syndrome.

5. Pemakaian alat pelindung diri berupa sarung tangan khusus yang terbuat dari karet elastis,
agar dapat menyangga dan membatasi pergerakan pergelangan tangan (Salawati dan Syahrul,
2014:35).

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan

Berdasarkan pasal 1 angka 31 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


menyatakan bahwa kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau
keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja,
yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam
lingkungan kerja yang aman dan sehat.

Karyawan dikatakan sejahtera jika mendapatkan sesuai haknya salah satunya di ikutkan dalam
program atau kebijkan yang ada di dalam BPJS Ketenagakerjaan yaitu dengan mendapatkan
jaminan sosial berupa Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan
Kematian (JKM), dan Jaminan Pensiun, yang termuat dalam PP. No. 44 Tahun 2015, PP. No. 45
Tahun 2015, PP. No. 60 Tahun 2015 dan PERMENAKER No. 19 Tahun 2015, untuk
perhitungan iuran BPJS Ketenagakerjaan sesuai Undang Undang yang berlaku dihitung
berdasarkan persentase dari upah keseluruhan sebulan yang diterima tenaga kerja. Pembagiannya
sendiri antara lain untuk JHT iuran diambil sebesar 3.70% sebagai tanggungan pengusaha dan
2.00% tanggungan tenaga kerja, JK hanya memungut iuran 0.30% menjadi tanggungan
pengusaha, JKK besarnya 0.24-1.74% (5 tarif) sebagai tanggungan pengusaha. Persentase
tersebut dihitung untuk upah kerja selama satu bulan yang terakhir, jika upah dibayar harian
maka sama dengan sehari, dikalikan 30. Lalu apabila upah dibayarkan secara borongan atau
satuan maka upah dihitung dari rata-rata 3 bulan terakhir.

Sebagai Lembaga Negara yang bergerak dalam bidang asuransi sosial BPJS Ketenagakerjaan
yang dahulu bernama PT Jamsostek (Persero) merupakan pelaksana Undang-undang Jaminan
sosial Tenaga Kerja. sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Jamsostek berubah
menjadi BPJS Ketenagakerjaan sejak tanggal 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan Pemeliharaan
Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan merupakan program pemerintah dalam kesatuan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk
BPJS Kesehatan mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januari 2014

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan adalah Lembaga yang bertugas
sebagai pelaksana untuk Asuransi karyawan dengan istilah yang digunakan untuk merujuk pada
tindakan, sistem, atau bisnis memberikan perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial)
untuk keselamatan jiwa, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-
kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kecelakaan kerja, sakit, di
mana melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti
polis yang menjamin perlindungan tersebut. yang termuat dalam PP. No. 44 Tahun 2015, PP. No.
45 Tahun 2015, PP. No. 60 Tahun 2015 dan PERMENAKER No. 19 Tahun 2015.

Peranan secara yuridis BPJS ( Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ) Ketenagakerjaan dalam
pelaksanaan Program-program yang utama atau pokok yaitu terdapat dalam aturan yang ada
yaitu terdiri dari :

1. JAMINAN HARI TUA (JHT)

Program Jaminan Hari Tua (JHT) diselenggarakan dengan sistem Tabungan Hari Tua, yang
iurannya di tanggung pengusaha dan tenaga kerja, kemanfaatannya sesuai dengan iuran
terkumpul ditambah hasil pengembangannya. Untuk pembayarn preminya yaitu : Dengan jumlah
tanggungan seluruhnya : 5,7% dari upah. bentuk pengutipannya di bayarkan Pekerja 2% serta
3,7% untuk pemberi kerja.
2. JAMINAN KECELAKAAN KERJA (JKK)

Program ini memberikan kompensasi/santunan dan penggantian biaya perawatan bagi tenaga
kerja yang mengalami kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental,
dimulai berangkat kerja sampai kembali ke rumah atau menderita sakit akibat hubungan kerja.
Kategori Pekerja Penerima Upah yang masuk dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
serta premi yang harus di bayarkan sesuai kepesertaan di Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan.
Memberikan perlindungan atas risiko-risiko kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja,
termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau
sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. Iuran dibayarkan oleh pemberi
kerja yang dibayarkan (bagi peserta penerima upah), tergantung pada tingkat risiko lingkungan
kerja. Diberikan kepada : kecelakaan yang terjadi akibat hubungan kerja, Penyakit yang timbul
akibat hubungan kerja, Kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju
tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa dilalui, terjatuh, tertabrak, terpukul,
dll.

Manfaat yang diberikan, antaralain;

1. Pelayanankesehatan (perawatandanpengobatan), antara lain:


 pemeriksaandasardanpenunjang;
 perawatantingkatpertamadanlanjutan;
 rawatinapdengankelasruangperawatan yang setaradengankelas I
rumahsakitpemerintah;
 perawatanintensif (HCU, ICCU, ICU);
 penunjang diagnostic;
 pengobatandenganobatgenerik (diutamakan) dan/atauobatbermerk (paten)
 pelayanankhusus;
 alatkesehatandan implant
 jasadokter/medis;
 operasi;
 transfusidarah (pelayanandarah); dan
 rehabilitasimedik.
2. Santunanberbentukuang, antara lain:
a) Penggantianbiaya pengangkutan peserta yang
mengalamikecelakaankerja/penyakitakibatkerja, kerumahsakitdan/ataukerumahnya,
termasukbiayapertolonganpertamapadakecelakaan;.
 Angkutandarat/sungai/danaudigantimaksimal Rp1.000.000,- (satujuta rupiah).
 Angkutanlautdigantimaksimal Rp1.500.000 (satusetengahjuta rupiah).
 Angkutanudaradigantimaksimal Rp2.500.000 (duasetengahjuta rupiah).
b) SementaraTidakMampuBekerja (STMB), denganperincianpenggantian, sebagaiberikut:
 6 (enam) bulanpertamadiberikansebesar 100% dariupah.
 6 (enam) bulankeduadiberikansebesar 75% dariupah.
 6 (enam) bulanketigadanseterusnyadiberikansebesar 50% dariupah.
c) SantunanKecacatan
 CacatSebagianAnatomissebesar = % sesuaitabel x 80 x upahsebulan.
 CacatSebagianFungsi = % berkurangnyafungsi x % sesuaitabel x 80 x upahsebulan.
 Cacat Total Tetap = 70% x 80 x upahsebulan.
d) Santunankematiandanbiayapemakaman
 SantunanKematiansebesar = 60 % x 80 x upahsebulan,
sekurangkurangnyasebesarJaminanKematian.
 BiayaPemakaman Rp3.000.000,-.
 Santunanberkalaselama 24 bulan yang dapatdibayarsekaligus= 24 x Rp200.000,- =
Rp4.800.000,-.
3. Program KembaliBekerja (Return to Work) Berupapendampingankepadapeserta yang
mengalamikecelakaankerjadanpenyakitakibatkerja yang berpotensimengalamikecacatan,
mulaidaripesertamasukperawatan di rumahsakitsampaipesertatersebutdapatkembalibekerja.
4. KegiatanPromotifdanPreventifUntukmendukungterwujudnyakeselamatandankesehatankerjas
ehinggadapatmenurunkanangkakecelakaankerjadanpenyakitakibatkerja.
5. RehabilitasiBerupaalat bantu (orthese) dan/ataualatganti (prothese) bagiPeserta yang
anggotabadannyahilangatautidakberfungsiakibatKecelakaanKerjauntuksetiapkasusdenganpat
okanharga yang ditetapkanolehPusatRehabilitasiRumahSakitUmumPemerintahditambah
40% (empatpuluhpersen) darihargatersebutsertabiayarehabilitasimedik.
6. Beasiswapendidikananakbagisetiappeserta yang meninggalduniaataumengalamicacat total
tetapakibatkecelakaankerjasebesar Rp12.000.000,- (duabelasjuta rupiah) untuksetiappeserta.
7. Terdapatmasakadaluarsaklaim 2 tahunsejakkecelakaanterjadidantidakdilaporkanoleh
perusahaan.2

3. JAMINAN KEMATIAN (JKM)

Jaminan Kematian (JKM) yang di bayarkan kepada ahli waris dari peserta yang meninggal dunia
bukan karena kecelakaan kerja (meninggal karena sakit, kecelakaan di luar hubungan kerja, dll)
untuk santunan premi yang di bayarkan oleh pengusaha yaitu 30% dari UMK setara dengan nilai
Rp. 4.254.00 Kategori Pekerja Penerima Upah dan Bukan Penerima Upah yang masuk dalam
Program Jaminan Kematian (JKM) serta premi yang harus di bayarkan sesuai kepesertaan di
Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan. Program Jaminan Kematian (JKM) adalah dapat
memberikan manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal
dunia bukan akibat kecelakaan kerja : 1. Iuran untuk Program Jaminan Kematian ( JKM) adalah
sebagai berikut: a. Bagi peserta penerima gaji atau upah sebesar 0,30% (nol koma tiga puluh
persen) dari gaji atau upah sebulan. b. Iuran JKM bagi peserta bukan penerima upah sebesar Rp
6.800,00 (enam ribu delapan ratus Rupiah) setiap bulan. 2. Manfaat Jaminan Kematian
dibayarkan kepada ahli waris peserta, apabila peserta meninggal dunia dalam masa aktif
(manfaat perlindungan 6 bulan tidak berlaku lagi.

4. JAMINAN PENSIUN (JP)

Peserta Program Jaminan Pensiun adalah pekerja/karyawan yang terdaftar dan telah membayar
iuran, Program Jaminan Pensiun (JP) adalah jaminan sosial yang bertujuan untuk
mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan
memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap
atau meninggal dunia. Manfaat pensiun adalah sejumlah uang yang dibayarkan setiap bulan
kepada peserta yang memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap atau kepada ahli waris
bagi peserta yang meninggal dunia, kategori Pekerja Penerima Upah dan Bukan Penerima Upah
yang masuk dalam Program Jaminan Pensiun (JP) serta premi yang harus di bayarkan sesuai
kepesertaan di Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan peserta merupakan pekerja yang bekerja
pada pemberi kerja selain penyelenggara negara.
Gambar 1. BPJS Ketenagakerjaan

TINDAKAN PERUSAHAAN

Berdasarkan program return to work menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 153 ayat (1) huruf (j) yang berisi, "pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan alasan pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.” Selain itu, pengusaha juga wajib mempekerjakan
kembali pekerja yang bersangkutan.
PENCEGAHAN KECELAKAAN KERJA

Pencegahan Kecelakaan Kerja Untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja perlunya


diperhatikan keselamatan kerja. Keselamatan kerja pada dasarnya adalah usaha manusia dalam
melindungi hidupnya dengan cara melakukan tindakan preventif dan pengamanan terhadap
terhadap terjadinya kecelakaan kerja ketika kita sedang bekerja. Pencegahan kecelakaan kerja
dapat dilakukan dengan:

1. Pengamatan resiko bahaya di tempat kerja Dalam hal ini diperlukannya informasi yang
berhubungan dengan banyaknya dan tingkat jenis kecelakaan yang terjadi ditempat kerja.
Untuk mengetahuinya diperlukan sebuah pengamatan data tentang resiko bahaya di
tempat kerja, diantara dengan melakukan pengukuran resiko kecelakaan yaitu dengan
mencatat tingkat jenis kecelakaan yang terjadi sehingga dapat mengetahui hari kerja yang
hilang atau kejadian fatal pada setiap pekerja. Selain itu diperlukan penilaian resiko
bahaya yaitu dengan mengindikasikan faktor bahaya yang menyebabkan kecelakaan,
tingkat kerusakandan kecelakaan yang terjadi. Seperti bekerja di ketinggian maka harus
mengetahui resiko terjaduh atau bekerja di pemotongan maka harus mengetahui bahaya
resiko terpotong karena berhadapan dengan benda tajam.
2. Pelaksanaan SOP secara benar di tempat kerja Standar operasional prosedur adalah
pedoman kerja yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan benar dan berurutan sesuai
dengan intruksi yang tercantum dalam SOP. Jika tidak sesuai dengan ketentuan SOP
maka dapat menyebabkan kegagalan proses produksi, kerusakan peralatan dan
kecelakaan.
3. Pengendalian faktor bahaya di temapat kerja Sumber pencemaran dan faktor berbahaya di
temapat kerja sangat ditentukan oleh proses produksi, metode yang digunakan, produk
yang dihasilkan dan peralatan yang digunakan. Dengan mempertimbangkan tingkat
resiko bahaya yang akan terjadi maka dapat diperkirakan cara mengurangi resiko bahaya
kecelakaan. Pengendalian faktor bahaya dapat dilakukan dengan: a) Mengurangi
pencemarn atau resiko bahaya yang terjadi akibat proses produksi, mengganti bahan
berbahaya yang digunakan dalam proses produksi dengan bahan yang kurang berbahaya.
b) Memisahkan pekerja dengan faktor berbahaya yang ada di temapat kerja, membuat
peredam untuk mengisolasi mesin supaya tingkat kebisingannya berkurang, memasang
pagar pengaman mesin agar pekerja tidak langsung kontak dengan mesin, pemasangan
ventilasi dan lain-lain. c) Pengaturan secara administrative untuk melindungi pekerja,
misalnya menempatkan pekerja sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya,
pengaturan shift kerja, penyediaan alat pelindung diri yang sesuai.
4. Peningkatan pengetahuan tenaga kerja terhadap keselamatan kerja Tenaga kerja
merupakan sumber daya utama dalam proses produksi yang harus dilindungi, karena itu
untuk memperkecil terjadinya kecelakaan maka perlu memberikan sebuah pengetahuan
kepada tenaga kerja tentang pentingnya pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja
saat melakukan aktivitas kerja. Peningkatan pengetahuan tenaga kerja dapat dilakukan
dengan memberikan sebuah pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja di awal saat
bekerja dan dilakukan secara berkala agar selalu mengalami peningkatan dalam wawasan
pengetahuan selesamatan dan kesehatan kerja.
5. Pemasangan peringatan bahaya kecelakaan di tempat kerja Ditempat kerja banyak
ditemukan faktor bahaya kerja, untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja maka
perlu dipasang rambu-rambu peringatan dapat berupa papan peringatan, poster, batas area
aman dan lain sebagainnya.
Kesimpulan

Berdasarkan kasus pada skenario tersebut pasien menderita Carpal Tunnel syndrome dimana
karena kompresi nervus medianus di terowongan karpal. Kompresi diyakini dimediasi oleh
beberapa faktor seperti ketegangan, tenaga berlebihan, hyperfunction, ekstensi pergelangan
tangan berkepanjangan atau berulang. bisa ditegakkan sebagai diagnosis PAK (Penyakit Akibat
Kerja) karena Diketahui dengan masa jam kerja selama 10 tahun dan 7 jam sehari dalam kerjaan
yang mempengaruhi keluhan pasien tersebut. Dalam hal ini, bisa dilakukan tindakan
konservatif atau operatif

Daftar pustaka

1. Agustin, Cris PM, 2012, Masa Kerja, Sikap Kerja Dan Kejadian Sindrom Karpal Pada
Pembatik, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.7, No.2:170-176.
2. Andi Basuki dan Sofiati Dian, 2010, Neurology in Daily Practice:Neurologi Dalam
Praktik Sehari-hari. Bandung: Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
UNPAD/RS.Hasan Sadikin.
3. Bahrudin, Moch, 2011, Carpal Tunnel Syndrome (CTS), Jurnal, Volume 7, No 14,
Januari 2011, hlm. 78-87.
4. Goodyer, Paul, 2001, Techniquies in Musculoskeletal Rehabilitation, Singapore: Mc
Graw-Hill Companies, Inc
5. Zairin Noor H, 2013, Buku Ajar Gangguan Muskuluskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
6. Tarwaka, 2011, Ergonomi Industri Dasar-Dasar Pengetahuan Ergonomi Dan Aplikasi Di
Tempat Kerja, Surakarta: Harapan press.
7. Tarwaka. 2015, Keselamatan, Kesehatan Kerja Dan Ergonomic (K3E) Dalam Perspektif
Bisnis. Surakarta: Harapan press.
8. Okti FP. Keselamatan dan kesehatan kerja. Jakarta: FKM Universitas Indonesia; 2008
9. Harrington JM. Buku saku kesehatan kerja. Jakarta: EGC;2003.h.9-10
10. Suardi R. Sistem manajemen k-3 dan manfaat penerapannya dalam sistem manajemen
keselamatan dan kesehatam Kerja. Jakarta: Penerbit PPM, 2007. h.15-6, 23-34
11. Mayendra O. Kecelakaan kerja. Jakarta: FKM Universitas Indonesia; 2009

Anda mungkin juga menyukai