1. MEA dibentuk supaya ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan
berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta
kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan yang semakin berkurang.
2. Salah satu karakteristik utama dari Deklarasi Cetak Biru KEA adalah (b) kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi (Kawasan Ekonomi yang Kompetitif).
3. Dimana untuk mewujudkan Kawasan Ekonomi yang Kompetitif Cetak Biru juga
menetapkan ketentuan tentang Kebijakan Persaingan Usaha, di mana tujuan
utamanya adalah memperkuat budaya persaingan yang sehat.
4. Mengingat dengan terintegrasinya kawasan ASEAN kedalam satu pasar tunggal,
maka pelaku usaha di negara-negara ASEAN dapat dengan bebas melakukan
transaksi-transaksi bisnis di kawasan ASEAN yang berpotensi melakukan praktek
persaingan usaha tidak sehat.
5. Untuk mencegah free fight liberalism atau liberalisasi mati-matian tanpa ada aturan
maka dibutuhkan hukum persaingan usaha yang membuat semua menjadi terjamin,
semua berdiri pada garis yang sama dan playing field di kawasan ASEAN.
6. Langkah-langkah dan tindakan yang telah digariskan dalam Cetak Biru KEA
mengenai Kebijakan Persaingan Usaha ini sebagai berikut :
(i) Mengupayakan kebijakan persaingan usaha pada seluruh Negara
ASEAN selambat-lambatnya pada 2015;
(ii) Membentuk jaringan otoritas atau badan-badan yang berwenang atas
kebijakan persaingan usaha sebagai forum untuk membahas dan
mengkoordinasi kebijakan persaingan usaha;
(iii) Mendorong program/kegiatan peningkatkan kemampuan bagi Negara
Anggota ASEAN dalam menggembangkan kebijakan nasional persaingan
usaha; dan
(iv) Mengembangkan pedoman kawasan mengenai kebijakan persaingan
usaha selambat-lambatnya pada 2010, berdasarkan pada pengalaman
masing- masing Negara dan praktik-praktik internasional yang terbaik
dalam rangka menciptakan iklim persaingan usaha.
AEGC DAN GUIDLINES
7. AEGC yang dibentuk tahun 2007 (terdiri dari perwakilan dari pihak berwenang dan
lembaga) yang bertanggung jawab untuk kebijakan persaingan dan masalah hukum di
AMS kemudian telah menerbitkan sejumlah referensi dan dokumen untuk memandu
AMS dalam upaya penegakan dan advokasi mereka. Ini termasuk, Pedoman Regional
tentang Kebijakan Persaingan dan Hukum (2010) Regional Guidelines on
Competition Policy and Law, Handbook on Competition Policy and Law (Handbook),
dll.
8. ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy, yang merupakan pedoman atau
referensi bagi negara-negara anggota dalam dan pengenalan tentang kebijakan
persaingan, pembuatan atau merevisi hukum atau kebijakan persaingan usaha.
9. Pedoman ini digunakan sebagai standar bagi negara-negara anggota untuk menyusun
undang-undang persaingan mereka sehingga mereka memiliki peraturan dan
kebijakan yang serupa tentang persaingan.
10. Dalam perkembangannya kemudian, AEGC telah berhasil mengarahkan negara-
negara anggota untuk membentuk hukum persaingan nasionalnya masing-masing. 10
Negara Anggota ASEAN, yang terakhir ASEAN. Sampai saat ini beberapa negara ada
yang melakukan revisi atau perbaikan terhadap UU-nya, salah satunya Indonesia.
11. Terlepas dari perkembangan ini, tantangan tetap ada. Ternyata aspek substantif
hukum, aturan prosedural dan mekanisme penegakan hukum persaingan di banyak
AMS sangat berbeda, karena heterogenitas sistem politik dan ekonomi di kawasan itu,
serta berbagai tingkat kematangan rezim persaingan.
12. Walaupun dalam hal ini sudah terdapat sebuah guidelines yang dibuat AEGC tadi,
namun tetap saja, dikarenakan guidelines hanya mengatur mengenai pedoman-
pedoman saja dan tidak mengikat (dimana seperti yang dituliskan dalam
pembukaannya bahwa pedoman ini hanya bersifat referensi bagi negara-negara
ASEAN). Adanya ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy juga tidak
efektif karena negara anggota ASEAN pun tetap belum memiliki harmonisasi
aturan.
13. Hal ini sangat krusial mengingat saat ini sifat transaksi yang melibatkan lintas batas
negara. Keadaan ini tentu akan menimbulkan persoalan karena antara negara satu
dengan negara yang lain mempunyai suatu aturan persaingan yang berbeda, sehingga
apabila terjadi suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berasal dari
suatu negara anggota ASEAN di wilayah negara anggota ASEAN yang lain maka
akan sulit menentukan hukum negara mana yang akan diberlakukan untuk menindak
pelaku usaha tersebut. (Intinya perbedaan kelembagaan dan yurisdiksi).
14. Maka dari itu selain mendorong Negara anggotanya untuk memiliki kebijakan
persaingan usaha secara nasional, ASEAN dalam era MEA perlu memiliki suatu
kesepakatan terhadap kebijakan persaingan usaha untuk ditetapkan dalam kawasan
regional ASEAN yang dapat dilakukan dengan jalan harmonisasi.
15. Harmonisasi regional kebijakan dan hukum persaingan adalah satu langkah lebih
jauh, setelah ASEAN berhasil memperkenalkan legislasi nasional di masing-masing
Negara Anggota. Hal ini sejalan dengan langkah-langkah strategis ASEAN di bawah
Cetak Biru 2025 dan ACAP 2025.
PENDEKATAN HARMONISASI
19. Beberapa model yang mungkin untuk menciptakan harmonisasi kebijakan persaingan
regional telah diajukan oleh para ahli. Namun, sejauh ini belum ada kesepakatan
mengenai pendekatan model tunggal yang disukai untuk mencapai rezim persaingan
regional yang komprehensif.
20. Secara umum terdapat pendekatan yang terdiri dari 3 bentuk. Bentuk yang pertama
adalah melalui sovereignity model/pendekatan kedaulatan, dimana dalam bentuk
ini pemerintah dapat melakukan koordinasi terhadap penerapan hukum persaingan
usaha nasional masing-masing negara bedasarkan kesepakatan kerjasama bersama.
Bentuk yang kedua, adalah menggunakan metode harmonisasi hukum yang akan
memberikan kesempatan bagi negara untuk mempertahankan pedoman persaingan
usaha negara masing-masing sementara melakukan harmonisasi terhadap hukum
persaingan usaha mereka dengan hukum persaingan usaha negara lain. Bentuk yang
terakhir, seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah dengan dibentuknya suatu
perjanjian internasional yang tentu saja mewajibkan negara untuk menyerahkan
sebagian kedaulatannya terhadap supranasionalitas perjanjian tersebut
1
Bicara cakupan dan kewenangan undang-undang maupun kelembagaan, ASEAN juga sangat
beragam. Ada Negara yang mencakup perlindungan konsumen di undang-undang persaingannya, ada yang
memiliki rezim merjer sukarela dan bahkan, ada tidak memiliki aturan merjer di undang-undangnya. Ada yang
memiliki kewenangan penggeledahan, ada yang tidak. Ada otoritas yang sangat independen, dan ada yang
cukup bergantung pada kementerian di atasnya. Belum lagi kalau kita bicara pengaturan pasal di undang-undang
persaingannya (seperti batasan dominan, pengecualian, dan sebagainya). ASEAN sangat beragam. Sangat unik,
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan kawasan manapun, terlebih Uni Eropa.
21. Nakagawa menjelaskan mengenai tiga metode harmonisasi yang memungkinkan.
1) Pendekatan Regional, harmonisasi dapat dicapai melalui pemenuhan kewajiban
berdasarkan perjanjian yang mengikat secara hukum yang dilembagakan dalam
organisasi internasional (hard law concept). Yang tentu saja mewajibkan negara
untuk menyerahkan sebagian kedaulatannya terhadap supranasionalitas perjanjian
tersebut
2) Kedua, dapat dicapai dengan pembentukan rekomendasi atau pedoman yang tidak
mengikat yang mendorong negara-negara untuk menerapkan langkah-langkah
harmonisasi secara sukarela (soft law concept).
Dalam konteks ASEAN, model soft law ini merujuk pada the ASEAN Regional
Guidelines on Competition Policy Guidelines. Mengacu pada analisis sebelumnya
jika bentuknya tidak mengikat, hasilnya menyisakan ruang yang signifikan bagi
negara-negara untuk menyimpang dari aturan yang sudah ditetapkan.
3) Pendekatan Bilateral membutuhkan pengupayaan harmonisasi oleh negara atas
dasar inisiatif mereka sendiri, berdasarkan konsultasi timbal balik atau koordinasi
kebijakan. Dalam bentuk ini pemerintah dapat melakukan koordinasi terhadap
penerapan hukum persaingan usaha nasional masing-masing negara bedasarkan
kesepakatan kerjasama bersama. Ini juga memberikan kesempatan bagi negara
untuk mempertahankan pedoman persaingan usaha negara masing-masing
sementara melakukan harmonisasi terhadap hukum persaingan usaha mereka
dengan hukum persaingan usaha negara lain.
22. Jadi yang dibahas Cuma yang 1 sama 2 aja.
23. Pendekatan regional dengan membentuk ASEAN Competition Act yang seragam
memang dapat menghindari dua potensi kegagalan dalam penerapan kebijakan
hukum. Pertama, mengenai perbuatan yang dilakukan di jurisdiksi negara lain
(dengan kata lain tidak dianutnya prinsip ekstrateritorial). Kedua terkait nilai
kerugian atau biaya yang dikenakan atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku anti
persaingan di wilayah jurisdiksinya terhadap pihak yang berada di negara lain.
Biasanya, negara-negara mengambil tindakan yang lebih lunak pada warga
mereka sendiri, yang dapat merugikan negara lain. Oleh karena itu, beberapa
negara memberikan pengecualian untuk mengekspor kartel dalam undang-undang
persaingan mereka.
KELEMAHAN PENDEKATAN REGIONAL
24. Tapi pendekatan regional juga memiliki permasalahan. Bahwa negara-negara anggota
harus menyerahkan kedaulatan atau kepentingan nasional mereka kepada komunitas
ekonomi. Ini adalah masalah terbesar bagi ASEAN mengingat kepentingan nasional
dan kemauan politik para pemimpin ASEAN.
25. Jika dibandingkan di EU, tidak sepenuhnya konsep harmonisasi yang diterapkan
dalam EU dapat diaplikasikan ke dalam AEC. Keadaan ini disebabkan karena terdapat
perbedaan antara EU dengan AEC. Perbedaan yang mendasar antar EU dengan AEC
adalah adanya penyerahan kedaulatan oleh negara-negara anggota EU kepada EC
sehingga EC berwenang untuk mengambil keputusan yang otonom yang mengikat
negara-negara anggota EU, sedangkan dalam AEC kedaulatan tertinggi tetap berada
di negara-negara anggota ASEAN.
26. Pendekatan bilateral: dalam pendekatan ini harmonisasi tidak dilakukan dengan
membentuk suatu ketentuan hukum yang bersifat supranasional melainkan terjadi
ketika dua negara setuju untuk mengoordinasikan penerapan hukum persaingan usaha
nasional masing-masing negara, menyempurnakan perjanjian-perjanjian bilateral
bedasarkan kesepakatan kerjasama bersama.
Langkah harmonisasi berdasarkan pendekatan ini dimulai dari penerapan plurilateral
framework oleh kelompok inti dari negara-negara yang kemudian akan diperluas
penerapannya oleh kelompok partisipasi hingga menghasilkan suatu peraturan
persaingan usaha yang sesuai bagi negara-negara di kawasan regional tersebut.
27. Contoh seperti yang diterapkan Pemerintah AS yang menempatkan kerjasama
penegakan hukum persaingan di setiap perjanjian perdagangan bilateral dengan
negara lain. Untuk menghindari penerapan yurisdiksi ekstrateritorial, AS
menetapkan beberapa perjanjian bilateral tentang penegakan hukum
persaingan, termasuk perjanjian bilateral dengan Australia, perjanjian kerja
sama dengan Kanada, dan perjanjian bilateral AS dengan Jerman.
PENDAPAT PRIBADI:
FAKTA DI LAPANGAN
31. Sepertinya di kawasan MEA sendiri, komitmen hingga 2025 diarahkan kepada
pendekatan bilateral. Menjelang 2025, otoritas persaingan usaha ASEAN
mentargetkan diri pada pembentukan suatu kerangka kerja sama yang akan menjadi
referensi pembuatan kerja sama bilateral antara negara di ASEAN, serta
penyusunan pedoman penanganan perkara yang melibatkan dua atau lebih
negara ASEAN. Dan juga KPPU saat ini tengah mendorong percepatan kerja sama
penegakan hukum persaingan usaha antar Negara di ASEAN, dimulai dengan negara
yang memiliki hubungan ekonomi yang erat dengan Indonesia, seperti Malaysia dan
Singapura. Kerja sama ini kedepan akan diarahkan pada upaya peningkatan
komunikasi, pertukaran informasi, dan koordinasi penanganan kasus yang melibatkan
pelaku usaha di negara lain.
SUBSTANTIF
PROSEDURAL
PENEGAKAN HUKUM