Menurut pemandu Museum Jenderal Ahmad Yani, Sersan Mayor Wawan Sutrisno,
mengungkapkan bahwa pasukan yang datang menyergap masuk melalui pintu belakang dan
membunuh Sang Jenderal saat itu juga. Sementara, yang lain ada yang bertugas untuk
menyekap pasukan penjaga rumah Ahmad Yani, dan yang bertugas mengepung rumah itu.
2. Mayjen R. Suprapto
Mayjen R. Suprapto didatangi oleh rombongan penculik yang menghampiri rumahnya pada
pukul 04.30 pagi. Pasukan itu mengatakan bahwa Suprapto diminta menemui Soekarno saat
itu juga.
Sebagai prajurit yang patuh pada pimpinan tertingginya, Suprapto langsung mengiyakan.
Rupanya, Jenderal asal Purwokerto, Jawa Tengah, ini dibawa ke Lubang Buaya dan dianiaya
dalam keadaan terikat.
3. Mayjen MT Haryono
M.T Haryono diberondong peluru di kediamannya, saat mencoba melawan rombongan yang
datang dan menculiknya. Sayangnya, jumlah lawan terlalu besar, dan banyak peluru yang
akhirnya bersarang di tubuh Haryono. Akhirnya dirinya ambruk dan diseret naik ke atas truk
rombongan penculik. Diduga, pada saat itu Haryono sudah dalam kondisi tidak bernyawa.
4. Mayjen S. Parman
Parman disergap pada tanggal 1 Oktober 1965 sekira pukul 04.00 WIB. Dirinya tidak
menyadari kedatangan rombongan penculik, karena menggunakan seragam Cakrabirawa.
Rombongan itu mengatakan bahwa suasana di luar genting, bahkan mereka ikut masuk ke
kamar tidur saat Parman berganti pakaian. Laki-laki bernama lengkap Siswondo Parman ini
pun dibawa pergi dan diculik.
D.I. Panjaitan diculik pada tanggal 1 Oktober 1965 waktu subuh. Pasukan berseragam yang
datang dengan menggunakan dua buah truk langsung mengepung rumah Panjaitan dari segala
penjuru arah, tapi dirinya mengira pasukan itu ditugasi untuk menjemput dirinya agar bertemu
dengan Soekarno.
Panjaitan pun berpakaian rapi, resmi, lengkap. Namun tanpa diduga, pasukan itu malah
menembaki barang-barang yang ada di rumahnya hingga hancur berserakan. Lalu Panjaitan
turun dari kamarnya di lantai 2 dan menemui rombongan penculik. Jenderal asal Tapanuli itu
sempat melawan, sehingga dirinya ditembak di halaman rumahnya seketika itu juga, dan
langsung dibawa pergi.
Penculikan Sutoyo terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi. Rombongan datang ke rumah
Sutoyo dan mengamankan lokasi di sekitar jalan rumahnya, dan orang dilarang melintas, serta
hansip yang berjaga dibuat tidak berdaya.
7. Lettu Pierre Andreas Tendean
Pierre Tendean adalah keturunan Prancis, yang sebenarnya bukan sasaran penculik. Akan
tetapi, pada tanggal 1 Oktober 1965, dirinya tengah berada di rumah Jenderal A.H. Nasution,
atasannya, yang merupakan target sesungguhnya.
Saat rombongan penculik itu datang dan bertanya kepada Tendean, apakah dirinya adalah
A.H. Nasution, tanpa ragu Tendean menjawab bahwa dialah Jenderal Nasution, meskipun
dirinya tahu apa risikonya. Tindakan itu dilakukan agar sang Jenderal bisa selamat.
Kebangsaan: Indonesia
istri: Yayu Rulia Sutowiryo
Anak: 8
Profesi: Tentara
Pendidikan
HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935
MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
Pendidikan:
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setara SLTP di Yogyakarta
AMS (Algemeene Middlebare School) yang setara SLTA di Yogykarta
Koninklijke Militaire Akademie di Bandung
Penghargaan:
Gelar Pahlawan Revolusi - Keppres No. 111/KOTI/1965
Pendidikan
Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran)
HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum)
ELS (setingkat Sekolah Dasar)
Karir
Mayor TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
Sekretaris Dewan Pertahanan Negara
Sekretaris Delegasi Militer Indonesia
Penghargaan
Pahlawan Revolusi Indonesia - Keppres No. 111/KOTI/1965
Siswondo Parman ditetapkan menjadi Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 dengan
Keppres No. 111/KOTI/1965.
Karir
Komandan batalyon di TKR
Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948
Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.
Penghargaan
Pahlawan Revolusi Indonesia - Keppres No. 111/KOTI/1965
Pendidikan:
Balai Pendidikan Pegawai Negeri Jakarta
AMS
HIS
Karir:
Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara) Purworejo, 1946
Kepala Staf CPMD Yogyakarta, 1948-1949
Komandan Batalyon I CPM, 1950
Danyon V CPM, 1951
Kepala Staf MBPM, 1954
Pamen diperbantukan SUAD I, 1955-1956
Asisten ATMIL di London, 1956
Berpangkat Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD, 1961
Berpangkat Brigjen, 1964
Penghargaan
Pahlawan Revolusi - Keppres No. 111/KOTI/1965
Pendidikan
Sekolah Menengah Atas Bagian B di Semarang
Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad)
Penghargaan
Gelar Pahlawan Revolusi berdasarkan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965, tgl 5
Oktober 1965