Anda di halaman 1dari 27

Laki-laki 70 tahun dengan keluhan nyeri dada sejak 30 menit yang lalu

Kellyn 102018057
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat : Jl. Arjuna Utara No.6 jakarta barat 11510
Kellyn.2018fk057@civitas.ukrida.ac.id
Abstrak
STEMI merupakan penyebab mortalitas dengan laju mortalitas awal 30 hari setelah serangan
adalah 30%. STEMI terjadi akibat aterosklerotik pada arteri koroner atau penyebab lainnya
yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
miokardium. Pada kondisi awal akan terjadi ischemia miokardium, namun bila tidak
dilakukan tindakan reperfusi segera maka akan menimbulkan nekrosis miokard yang bersifat
irreversible. Diagnosis awal yang cepat serta penanganan yang tepat setelah pasien tiba di
ruang IGD dapat membatasi kerusakan miokardial dan meminimalkan komplikasi yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Pada pasien STEMI, dampak yang ditimbulkan tidak hanya
gangguan fisiologis dan psikologis saja, namun juga menimbulkan dampak ekonomi akibat
meningkatnya kebutuhan biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit serta biaya
pemulihan kesehatan selama pasien di rumah. Oleh karena itu, perlu kerjasama yang baik
antara berbagai profesi seperti dokter, perawat dan team kesehatan lainnya dalam mengatasi
masalah pasien.
Kata kunci: STEMI, manajemen STEMI.
Abstrak
STEMI is the cause of mortality with the early rate 30 days after the attack as much as 30%.
STEMI occurs as the result of atherosclerotic of coronary arteries or other causes that can
induce that imbalance between supply and need of myocardial oxygen. In the early condition,
ischemic myocardium will occur and if reperfusion treatment is not given immediately, it will
create irreversible myocardial necrotic. The early, quick diagnose and the right treatment
when the patients are admitted in emergency room can decrease myocardial damage and
minimize the complication that can worsen the patient condition. In STEMI patients, the
effect that appear is not only physiological and psychological problem, but also create
economical problem as the result of treatment cost, hospitalization, and recovery cost while
the patients at home. Therefore, good cooperation among health providers such as doctors,
nurses, and others is needed.
Keywords: STEMI, STEMI management.

1
Pendahuluan

Infark miokard akut (IMA) atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung adalah suatu
keadaan dimana suplai darah pada suatu bagian jantung terhenti sehinga sel otot jantung

1
mengalami kematian. Infark miokard sangat mencemaskan karena sering berupa serangan

2
mendadak, umumnya pada pria usia 35-55 tahun, tanpa ada keluhan sebelumnya.

Menurut laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab
kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat
penyakit ini di seluruh dunia. Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit infark miokard

3
merupakan penyebab kematian pertama dengan angka mortalitas 220.000 (14%). Direktorat
Jendral Yanmedik Indonesia meneliti, bahwa tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung
yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa.
Kasus terbanyak adalah penyakit jantung iskemik, yaitu sekitar 110.183 kasus. Case Fatality
Rate (CFR) tertinggi terjadi pada Infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti oleh

4
gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%).

Sindrom koroner akut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi Unstable Angina (UA), ST-
segmen Elevation Myocardial Infarct (STEMI) dan Non ST-segment Elevation Myocardial
Infart (NSTEMI). IMA adalah tipe STEMI sering menyebabkan kematian mendadak,
sehingga merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan tindakan medis

5
secepatnya.

Oklusi total arteri koroner pada STEMI memerlukan tindakan segera yaitu tindakan reperfusi,
berupa terapi trombolitik, fibrinolitik maupun Percutaneous Coronary Intervention (PCI),

6
yang diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam. Pada pasien STEMI yang
datang terlambat (>12jam) dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri
dada yang khas infark (ongoing chest pain).

2
DEFINISI

STEMI ( ST Elevasi Miokard infark) adalah suatu keadaan gawat darurat jantung
yang terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus
pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika thrombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injury vascular. STEMI adalah cermin dari pembuluh
darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti,
otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati. Diagnosis STEMI
ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris tipikal berupa rasa tertekan/berat di daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, nyeri epigastrium, disertai keluhan penyerta seperti
keringat dingin, sesak napas, mual/muntah, dan pada pemeriksaan EKG didapatkan elevasi
segmen ST persisten di dua sadapan bersebelahan.

PEMERIKSAAN FISIK
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4
dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat
sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan
suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.1
Kemudian pada pemeriksaan fisik lain, dapat dilihat;2
 Apakah pasien tampak sakit berat?
 Apakah pasien kesakitan, tertekan, nyaman, muntah, cemas, berkeringat, pucat, sianosis,
atau takipnea?
 Apakah perfusi pasien cukup ataukah perifer teraba dingin?
 Adakah stigmata kolesterolemia atau merokok?
 Adakah anemia atau sianosis atau parut bedah (misalnya bekas CABG)?
 Nadi: perhatikan kecepatan, irama, isi, dan sifat. Apakah nadi perifer teraba dan sama
kuat?
 TD: apakah sama di kedua lengan?
 JVP: meningkat atau tidak?

3
 Gerak dada: apakah mengembang simetris?
 Apakah nyeri timbul/diperberat bila dada ditekan?
 Auskultasi: apakah lapang paru bersih? Adakah bunyi tambahan—ronki, rub, atau
wheezing? Periksa bunyi jantung untuk mencari murmur, gesekan perikard, dan irama
gallop.
 Periksa edema perifer, pergelangan tungkai, dan sakrum. Abdomen: adakah nyeri tekan,
tahanan, nyeri lepas, bising
 usus, organomegali, aneurisma? Adakah keluaran urin? SSP: adakah kelemahan, defisit
fokal?
 EKG sangat vital dalam diagnosis MI

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi
pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-
10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk
mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien dengan STEMI inferior.
EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.1
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus
tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak
ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil
atau Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan
gelombang Q disebut infark non Q. sbelumnya istilah infark miokard transmural digunakan
jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark
(mural/ transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/ nontransmural.1

4
Gambaran spesifik pada rekaman EKG3

Daerah infark Perubahan EKG


Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan
resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.
Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan
resiprokal (depresi ST) V1 – V6, I, aVL.
Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6.
Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF,
terutama gelombang R pada V1 – V2.
Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior

Lokasi Infark Q-wave / Elevasi ST A. Koroner


Anteroseptal V1 dan V2 LAD

Anterior V3 dan V4 LAD

Lateral V5 dan V6 LCX

Anterior ekstrinsif I, a VL, V1 – V6 LAD / LCX

High lateral I, a VL, V5 dan V6 LCX

5
Posterior V7 – V9 (V1, V2*) LCX, PL

Inferior II, III, dan a VF PDA

Right ventrikel V2R – V4R RCA


Gelombang R yang tinggi dan depresi ST di V 1 – V2 sebagi mirror image dari perubahan
sedapan V7 – V9.
LAD    = Left Anterior Descending artery; PL = PosteriorDescending Artery.4
LCX    = Left Circumflex.; RCA= Right Coronary Artery.
Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuto peningkatan CKMB, pada pasoen dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera meungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.1
Peningkatn nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-
24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB.1,5
 cTn: ada 2 jenis cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah
5- 14 hari, sedangkan cTnI setelah 5- 10 hari.1,5
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu1,5:
 Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4- 8 jam.
 Creatinine kinasi (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.
 Latic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.

Ekokardiogram

6
Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding ventrikuler
dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat luasnya iskemia bila
dilakukan waktu dada sedang berlangsung.6

Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan
pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada
arteri koroner.6

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

STEMI ditandai oleh adanya ketidakseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan


oksigen miokard yang disebabkan oleh dibawah ini :

1. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada pada plak
aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta komponennya dari plak
yang rupture mengakibatkan infark kecil di distal.

2. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen arteri
koroner epikardium.

3. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme/thrombus terjadi pada sejumlah
pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan stenosis ulang setelah intervensi
koroner perkutan.

4. Faktor resiko

Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat
seiring bertambahnya usia. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi
dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas
kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial.

EPIDEMIOLOGI
Saat ini, kejadian STEMI sekitar 25-40% dari infark miokard, yang dirawat di rumah
sakit sekitar 5-6% dan mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-18% (O’Gara et al., 2013). Sekitar

7
865.000 penduduk Amerika menderita infark miokard akut per tahun dan sepertiganya
menderita STEMI (Yang et al., 2008). Pada tahun 2013, ± 478.000 pasien di Indonesia
didiagnosa penyakit jantung koroner. Saat ini, prevalensi STEMI meningkat dari 25% hingga
40% berdasarkan presentasi infark miokard (Depkes RI, 2013). Penelitian oleh Torry et
al tahun 2011-2012 di RSU Bethesda Tomohon, angka kejadian STEMI paling tinggi dari
keseluruhan kejadian SKA yaitu 82%, sedangkan untuk NSTEMI hanya 11% dan 7% pasien
angina pektoris tidak stabil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah
Denpasar pada tahun 2012-2013, STEMI juga merupakan kejadian tertinggi dari keseluruhan
SKA yaitu sebesar 66,7% (Budiana, 2015). Sumatera Barat merupakan provinsi dengan
prevalensi penyakit jantung tertinggi ke-4 di Indonesia yaitu 15,4% setelah provinsi Sulawesi
Tengah (16,9%), Aceh (16,6%) dan Gorontalo (16,0%) (Delima et al., 2009).
Berdasarkan hasil penelitian di RS Khusus Jantung Sumatera Barat pada tahun 2011-2012,
menyatakan bahwa kejadian SKA terbanyak adalah STEMI dengan persentas

PATOFISIOLOGI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika
trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang
dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivitas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten).

Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein


IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang

8
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin. Pada
kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.

Komplikasi

1. Gagal Jantung

Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi miokardium.
Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel
dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular,
terutama pada dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa
dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat
berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi
dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis gagal jantung
secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari oleh gejala-gejala khas seperti
dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-
bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi.

Peningkatan marka jantung seperti BNP dan N-terminal pro-BNP menandakan


peningkatan stress dinding miokardium dan telah terbukti berperan dalam menentukan
diagnosis, staging, perlunya rawat jalan atau pemulangan pasien dan mengenali pasien yang
berisiko mengalami kejadian klinis yang tidak diharapkan. Selain itu, nilai marka jantung
tersebut dipengaruhi beberapa keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia, iskemia,
disfungsi ginjal, usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang dijalani. Sejauh ini belum
ada nilai rujukan definitif pada pasien-pasien dengan tanda dan gejala gagal jantung setelah
infark akut, dan nilai yang didapatkan perlu diinterpretasikan berdasarkan keadaan klinis
pasien.

Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor terkuat untuk mortalitas


setelah terjadinya STEMI. Mekanisme terjadinya disfungsi ventrikel kiri dalam fase akut
mencakup hilangnya dan remodeling miokardium akibat infark, disfungsi iskemik (stunning),
aritmia atrial dan ventrikular serta disfungsi katup (baik yang sudah ada atau baru).

9
Komorbiditas seperti infeksi, penyakit paru, gangguan ginjal, diabetes atau anemia seringkali
menambah gejala yang terlihat secara klinis. Derajat kegagalan jantung setelah infark dapat
dibagi menurut klasifikasi Killip yang dapat dilihat di bagian Stratifikasi Risiko dalam bab
NSTEMI.

Penilaian hemodinamik dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik lengkap,


pemantauan EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan pengukuran urine output setiap jam.
Pasien yang dicurigai menderita gagal jantung perlu dievaluasi segera menggunakan
ekokardiografi transtorakal atau Doppler. Ekokardiografi merupakan alat diagnosis utama
dan perlu dilakukan untuk menilai fungsi dan volume ventrikel kiri, fungsi katup, derajat
kerusakan miokardium, dan untuk mendeteksi adanya komplikasi mekanis. Evaluasi Doppler
dapat memberikan gambaran aliran, gradien, fungsi diastolik dan tekanan pengisian.
Pemeriksaan Roentgen dada dapat menilai derajat kongesti paru dan mendeteksi keadaan
penting lain seperti infeksi paru, penyakit paru kronis dan efusi pleura.

Pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan cara-cara konvensional yang
terdeteksi sedang mengalami iskemia, elevasi segmen ST atau LBBB baru, perlu
dipertimbangkan revaskularisasi lanjut.

Pasien dengan jejas miokardium luas dalam fase akut dapat menunjukkan tanda dan
gejala gagal jantung kronik. Diagnosis ini memerlukan penatalaksanaan sesuai panduan gagal
jantung kronik. Beberapa pasien dengan gagal jantung kronik simtomatis di mana fraksi
ejeksi berkurang atau terdapat dis-sinkroni elektrik yang ditunjukkan dengan pemanjangan
QRS memenuhi kriteria implantasi defibrilator kardioverter, cardiac resynchronization
therapy (CRT), atau defibrilator terapi resinkronisasi jantung.

2. Hipotensi

Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg.
Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh
hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat
menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output.

3. Kongesti paru

10
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal, berkurangnya
saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap
diuretik dan/atau terapi vasodilator.

4. Keadaan output rendah

Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang burukdengan


hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat
menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel
kanan.

5. Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut

Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah
infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11 ±5 hari sejak infark miokard akut
melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut
sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik),
sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5%
(≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%.

Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal (<48 jam) atau VT yang
berkelanjutan pada pasien dengan infark miokard akut masih kontroversial. Pada pasien
dengan infark miokard akut, VF/VT yang terjadi awal merupakan indikator peningkatan
risiko mortalitas 30 hari (22% vs 5%) dibandingkan dengan pasien tanpa VF/VT. ACE-I atau
ARB mengurangi mortalitas 30 hari pasien-pasien ini. Studi-studi lain menyatakan bahwa
pemberian penyekat beta dalam 24 jam pertama setelah infark miokard akut pada pasien
dengan VF/VT yang berlanjut dikaitkan dengan berkurangnya mortalitas tanpa diikuti
perburukan gagal jantung.

Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari kondisi berat
yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom,
hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa. Keadaan-
keadaan tersebut memerlukan perhatian dan penanganan segera. Blok AV derajat tinggi
dulunya merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kematian akibat jantung dibandingkan

11
dengan takiaritmia pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% setelah infark
miokard.

6. Aritmia supraventrikular

Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan sering dikaitkan
dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi
selama beberapa menit hingga jam dan seringkali berulang. Seringkali aritmia dapat
ditoleransi dengan baik dan tidak memerlukan pengobatan selain antikoagulasi. Dalam
beberapa kasus laju ventrikel menjadi cepat dan dapat menyebabkan gagal jantung sehingga
perlu ditangani dengan segera. Kendali laju yang cukup diperlukan untuk mengurangi
kebutuhan oksigen miokardium, dan dapat dicapai dengan pemberian penyekat beta atau
mungkin antagonis kalsium, baik secara oral maupun intravena.

Beberapa (namun tidak semua) penelitian menyatakan bahwa terjadinya fibrilasi atrium
dalam keadaan infark miokard akut merupakan prediktor independen untuk all-cause
mortality, dan tidak tergantung dari pengobatan yang diberikan. Fibrilasi atrium tidak hanya
meningkatkan risiko stroke iskemik selama perawatan namun juga selama follow-up, bahkan
pada AF paroksismal yang telah kembali menjadi irama sinus saat pasien dipulangkan. Pasien
dengan AF dan faktor risiko untuk tromboembolisme perlu menjalani terapi antikoagulasi
oral secara benar. Karena AF biasanya memerlukan antikoagulasi, pemilihan stent DES saat
re-stenosis perlu dipertimbangkan secara hati-hati terhadap risiko perdarahan serius yang
dikaitkan dengan kombinasi tiga terapi antitrombotik yang berkepanjangan.

Takikardia supraventrikular jenis lain amat jarang terjadi, self-limited dan biasanya
membaik dengan manuver vagal. Adenosin intravena dapat dipertimbangkan untuk keadaan
ini bila kemungkinan atrial flutter telah disingkirkan dan status hemodinamik stabil. Selama
pemberian, EKG pasien perlu terus diawasi. Bila tidak diindikasikontrakan, penyekat beta
juga dapat berguna. Bila aritmia tidak dapat ditolerir dengan baik, kardioversi elektrik dapat
diberikan.

7. Aritmia ventrikular

12
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari pertama fase akut dan
aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau fenomena R-on-T umum
ditemukan. Mereka dianggap tidak dapat dijadikan prediktor untuk terjadinya VF dan tidak
memerlukan terapi spesifik.

Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama idioventrikular yang terakselerasi.


Irama tersebut terjadi akibat reperfusi, di mana laju ventrikel <120 detak per menit dan
biasanya tidak berbahaya. VT yang tidak berlanjut (<30 detik) bukan prediktor yang baik
untuk VF awal dan dapat ditoleransi dengan baik, biasanya tidak memerlukan pengobatan.
Kejadian yang lebih lama dapat menyebabkan hipotensi dan gagal jantung dan dapat
memburuk menjadi VF. Tidak ada bukti bahwa pengobatan VT yang tidak berlanjut dan
tanpa gejala dapat memperpanjang hidup, sehingga pengobatan untuk keadaan ini tidak
diindikasikan, kecuali bila terjadi ketidakstabilan hemodinamik. VT yang berlanjut atau
disertai keadaan hemodinamik yang tidak stabil memerlukan terapi supresif.

Fibrilasi ventrikel memerlukan defibrilasi segera. Meskipun ditunjukan bahwa lidokain


dapat mengurangi insidensi VF pada fase akut infark miokard, obat ini meningkatkan risiko
asistol. VF yang berlanjut atau VF yang terjadi melewati fase akut awal (di mana takiaritmia
tersebut terjadi bukan karena penyebab yang reversibel seperti gangguan elektrolit atau
iskemi transien/reinfark) dapat berulang dan dikaitkan dengan risiko kematian yang tinggi.
Meskipun kemungkinan iskemia miokard perlu selalu disingkirkan dalam kasus aritmia
ventrikel, perlu ditekankan bahwa revaskularisasi tidak dapat mencegah henti jantung
berulang pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri abnormal yang berat atau dengan VT
monomorf yang berlanjut, bahkan bila aritmia yang terjadi awalnya merupakan akibat dari
iskemia transien.

8. Sinus bradikardi dan blok jantung

Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal STEMI, terutama pada infark
inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan oleh karena opioid. Sinus bradikardi
seringkali tidak memerlukan pengobatan. Bila disertai dengan hipotensi berat, sinus
bradikardi perlu diterapi dengan atropin. Bila gagal dengan atropin, dapat dipertimbangkan
penggunaan pacing sementara.

13
Blok jantung derajat satu tidak memerlukan pengobatan. Untuk derajat dua tipe I (Mobitz
I atau Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya dikaitkan dengan infark inferior dan
jarang menyebabkan efek hemodinamik yang buruk. Apabila terjadi perubahan
hemodinamik, berikan atropin dahulu, baru pertimbangkan pacing. Hindari penggunaan
agen-agen yang memperlambat konduksi AV seperti penyekat beta, digitalis, verapamil atau
amiodaron. Blok AV derajat dua tipe II (Mobitz II) dan blok total dapat merupakan indikasi
pemasangan elektroda pacing, apalagi bila bradikardi disertai hipotensi atau gagal jantung.
Bila gangguan hemodinamik yang terjadi berat, hati-hati dalam pemberian pacing AV
sekuensial. Pada pasien yang belum mendapatkan terapi reperfusi, revaskularisasi segera
perlu dipertimbangkan.

Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi di atas bundle of HIS, dan
menghasilkan bradikardia transien dengan escape rhythm QRS sempit dengan laju lebih dari
40 detak per menit, dan memiliki mortalitas yang rendah. Blok ini biasanya berhenti sendiri
tanpa pengobatan. Blok AV terkait infark dinding anterior biasanya terletak di bawah HIS (di
bawah nodus AV) dan menghasilkan QRS lebar dengan low escape rhythm, serta laju
mortalitas yang tinggi (hingga 80%) akibat nekrosis miokardial luas. Terjadinya bundle
branch block baru atau blok sebagian biasanya menunjukkan infark anterior luas, dan
kemudian dapat terjadi blok AV komplit atau kegagalan pompa.

Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok bifasik atau trifasik atau countershock elektrik.
Bila elektroda pacing terpasang, perlu dicoba dilakukan pacing. Apabila tidak, lakukan
kompresi dada dan napas buatan, serta lakukan pacing transtorakal.

Elektroda pacing transvena perlu dimasukkan bila terdapat blok AV lanjut dengan low
escape rhythm seperti yang telah dijelaskan di atas, dan dipertimbangkan apabila terjadi blok
bifasik atau trifasik. Rute subklavia sebaiknya dihindari setelah fibrinolisis atau bila terdapat
antikoagulasi, dan dipilih rute alternatif. Pacing permanen diindikasikan pada pasien dengan
blok AV derajat tiga persisten, atau derajat dua persisten terkait bundle branch block, dan
pada Mobitz II transien atau blok jantung total terkait bundle branch block awitan baru.

9. Komplikasi kardiak

Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior, iskemia
berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan faktor risiko terjadi komplikasi

14
kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari setelah
STEMI, meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan meningkatnya pemberian
terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan
memerlukan deteksi dan penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal
dua kali sehari) dapat menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral
atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi
segera. CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang
memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis yang berat.

10. Regurgitasi katup mitral

Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi ventrikel kiri,
gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordae tendinae. Keadaan ini
biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan
murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu diperhatikan dalam konteks ini. Diagnosis
ini dicurigai dengan pemeriksaan klinis dan perlu segera dikonfirmasi dengan ekokardiografi
darurat. Edema paru dan syok kardiogenik dapat terjadi dengan cepat.

11. Ruptur jantung

Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah infark
transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular dengan disosiasi
elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian akan terjadi secara
cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan ekokardiografi. Apabila tersumbat
oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut yang terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan
perikardiosentesis dan operasi segera.

12. Ruptur septum ventrikel

Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi dengan cepat
dengan gagal jantung akut dan mumur sistolik yang kencang yang terjadi pada fase subakut.
Diagnosis ini dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang dapat membedakan keadaan ini
dengan regurgitasi mitral akut dan dapat menentukan lokasi dan besarnya ruptur. Left-to-
right shunt yang terjadi sebagai akibat dari ruptur ini dapat menghasilkan tanda dan gejala
gagal jantung kanan akut awitan baru. Operasi segera dikaitkan dengan laju mortalitas yang

15
tinggi dan risiko ruptur ventrikel berulang, sementara operasi yang ditunda memungkinkan
perbaikan septum yang lebih baik namun mengandung risiko terjadinya pelebaran ruptur,
tamponade dan kematian saat menunggu operasi. Mortalitas keadaan ini tinggi untuk semua
pasien dan lebih tinggi lagi pada pasien dengan kelainan di inferobasal dibandingkan dengan
di anteroapikal.

13. Infark ventrikel kanan

Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi, terkait dengan STEMI
dinding inferior. Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang
bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST ≥1 mV di V1 dan V4R
merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada pasien dengan
STEMI inferior yang disertai dengan hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya
menunjukkan dilatasi ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena
hepatika dan jejas dinding inferior dalam berbagai derajat. Meskipun terjadi distensi vena
jugularis, terapi tetap diberikan dengan tujuan mempertahankan tekanan pengisian ventrikel
kanan dan mencegah atau mengobati hipotensi. Pemberian diuretik dan vasodilator perlu
dihindari karena dapat memperburuk hipotensi. Irama sinus dan sinkronisitas atrioventrikular
perlu dipertahankan dan AF atau blok AV yang terjadi perlu segera ditangani.

14. Perikarditis

Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin majunya terapi
reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara lain nyeri dada berulang,
biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur
dan pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan biasanya ringan
dan progresif, yang membedakannya dengan re-elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti pada
re-oklusi koroner akibat trombosis stent, misalnya. Pericardial rub yang terus- menerus dapat
mengkonfirmasi diagnosis, namun sering tidak ditemukan, terutama apabila terjadi efusi
perikardial berat. Ekokardiografi dapat mendeteksi dan menentukan besarnya efusi, bila ada,
dan menyingkirkan kecurigaan efusi hemoragik dengan tamponade. Nyeri biasanya
menghilang dengan pemberian aspirin dosis tinggi, paracetamol atau kolkisin. Pemberian
steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari karena dapat menyebabkan penipisan

16
jaringan parut dan pembentukan aneurisma atau ruptur. Perikardiosentesis jarang diperlukan,
namun perlu dilakukan apabila terdapat perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda
tamponade. Bila terjadi efusi perikardial, terapi antikoagulan yang sudah diberikan (misalnya
sebagai profilaksis tromboemboli vena) perlu dihentikan kecuali apabila benar-benar
diindikasikan pemberiannya.

15. Aneurisma ventrikel kiri

Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral, dapat


mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma ventrikel kiri.
Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi gangguan sistolik dan diastolik dan,
seringkali, regurgitasi mitral. Ekokardiografi Doppler dapat menilai volume ventrikel kiri,
fraksi ejeksi, derajat dan luasnya abnormalitas gerakan dinding, dan mendeteksi trombus
yang memerlukan antikoagulasi. ACE-I/ARB dan antagonis aldosteron telah terbukti
memperlambat proses remodeling dalam infark transmural dan meningkatkan kemungkinan
hidup, dan perlu diberikan segera sejak keadaan hemodinamik stabil. Pasien seringkali akan
menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung kronik dan perlu ditangani dengan sesuai.

16. Trombus ventrikel kiri

Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang terutama karena kemajuan
dari terapi reperfusi, penggunaan obat-obatan antitrombotik dalam STEMI, dan berkurangnya
ukuran infark miokardium akibat reperfusi miokardium yang segera dan efektif. Meskipun
beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat infark miokard anterior
memiliki trombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini dikaitkan dengan
prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang luas, terutama bagian anterior
dengan keterlibatan apikal, dan risiko embolisme sistemik. Penelitian-penelitian yang relatif
tua menunjukkan bahwa pemberian antikoagulasi pada pasien-pasien dengan abnormalitas
gerakan dinding anterior besar mengurangi terjadinya trombus mural.

PROGNOSIS
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA:

17
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana; S3 gallop, kongesti
paru dan syok kardiogenik. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik
indeks jantung dan pulmonary capillary-wedge pressure.1

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika pada pramedis di
ambulans yang sudah terlatih untuk mengintepretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pasa pemberian terapi. Di Indonesia
saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.1,16
2. Tatalaksanan di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup : mengurangi /
menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi
reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruang yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.1

Tatalaksana Umum
1. Oksigen
Suplemen Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.1
2. Nitrogliserin

18
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan smapai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga
dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena
infark atau pembuluh kolateral.1
3. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada
a. Morfin
Morfin sangan efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.1
b. Aspirin
Inhibisi cepat sikooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.1,16
c. Penyekat beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan
100 mg tiap 12 jam.1,6
4. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahanaspirin dan penyekat beta. Pemberian inhibitor ACE
harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung.1,16

Terapi Reperfusi Farmakologis1


Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan disfungsi dan
dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi hiperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau
door-to-balloon (atau medical contact-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90
menit.

19
Obat fibrinolitik yang dapat diberikan untuk terapi reperfusi adalah streptokinase (SK),
Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase), reteplase (retavase), Tenekteplase (TNKase).

Definisi
Syok Kardiogenik adalah suatu sindrom klinis dimana jantung tidak mampu
memompakan darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhaan metabolisme tubuh
akibat disfungsi otot jantung.
Shock kardiogenik merupakan sindrom gangguan patofisiologik berat yang
berhubungan dengan metabolisme seluler yang abnormal, yang umumnya disebabkan
oleh perfusi jarigan yang buruk. Disebut juga kegagalan sirkulasi perifer yang
menyeluruh dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat.17
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan
yang diakibatkan oleh gagal jantung rendah preload dikoreksi. Tidak ada definisi yang
jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai
dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau berkurangnya
tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg) dan atau penurunan pengeluaran urin
(kurang dari 0,5 ml/kg/jam) dengan laju nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau
tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas antara sindrom curah jantung
rendah dengan syok kerdiogenik.
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal
jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung
kehilangan kekuatan kontraktilitasnya,menimbulkan penurunan curah jantung dengan
perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal). Derajat syok
sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun syok kardiogenik biasanya sering
terjadi sebagai komplikasi MI, namun bisa juga terajdi pada temponade jantung, emboli
paru, kardiomiopati dan disritmia.18
Syok kardiogenik adalah dyok yang disebabkan karena fungsi jantung yang tidak
adekuat, seperti pada infark miokard atau obstruksi mekanik jantung, manifestasinya
meliputi hipovolemia, hipotensi, kulit dingin, nadi yang lemah, kekacauan mental, dan
kegelisahan.19

20
Etiologi
1. Gangguan kontraktilitas miokardium.
2. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti paru dan/atau
hipoperfusi iskemik
3. Infark miokard akut (IMA)
4. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary,ruptur septum,
atau infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi (menimbulkan/mempercepat)
syok kardiogenik pada pasien dengan infark-infark yang lebih kecil
5. Valvular stenosis
6. Myocarditis ( inflamasi miokardium, peradangan otot jantung)
7. Cardiomyopathy ( myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak diketahui
penyebabnya )
8. Trauma jantung
9. Temponade jantung akut
10. Komplikasi bedah jantung

Patofisiologi
Syok kardiogenik merupakan kondisi yang terjadi sebagai serangan jantung pada fase
termimal dari berbagai penyakit jantung. Berkurangnya ke aliran darah koroner
berdampak pada supply O2 kejaringan  khususnya pada otot jantung yang semakin
berkurang, hal ini akan menyababkan iscemik miokard pada fase awal, namun bila
berkelanjutan  akan menimbulkan injuri sampai infark miokard. Bila kondisi tersebut
tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan kondisi yang dinamakan syok
kardiogenik. Pada kondisi syok, metabolisme yang  pada fase awal sudah mengalami
perubahan pada kondisi anaerob akan semakin memburuk sehingga produksi asam
laktat   terus meningkat dan memicu timbulnya nyeri hebat seperti terbakar maupun 
tertekan yang menjalar sampai leher dan lengan kiri, kelemahan fisik juga terjadi sebagai
akibat dari penimbunan asam laktat yang tinggi pada darah. Semakin Menurunnya
kondisi pada fase syok otot jantung semakin kehilangan kemampuan untuk berkontraksi
utuk memompa darah. Penurunan jumlah strok volume mengakibatkan berkurangnnya
cardiac output atau berhenti sama sekali.  Hal tersebut menyebakkan suplay darah
maupun O2 sangatlah menurun kejaringan, sehingga menimbulkan kondisi penurunan
kesadaran dengan akral dinging pada ektrimitas, Kompensasi dari otot jantung dengan

21
meningkatkan denyut nadi  yang berdampak pada penurunan tekanan darah Juga tidak
memperbaiki kondisi penurunan kesadaran. Aktifitas ginjal juga terganggu pada
penurunan cardiac output,yang berdampak pada penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR ). Pada kondisi ini pengaktifan system rennin, angiotensin dan aldostreron akan ,
menambah retensi air dan natrium menyebabkan produksi  urine  berkurang( Oliguri <
30ml/ jam) .   Penurunan kontraktilitas miokard pada fase syok yang menyebabkan
adanya  peningkatan residu darah di ventrikel, yang mana  kondisi ini akan semakin
memburuk pada keadaan regurgitasi maupun stenosis valvular .Hal tersebut dapat
mennyebabkan bendungan vena pulmonalis oleh akumulasi cairan maupun refluk aliran
darah  dan akhirnya memperberat kondisi edema paru

Manifestasi Klinis
Keluhan Utama Syok Kardiogenik :
1. Oliguri (urin < 20 mL/jam).
2. Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).
3. Nyeri substernal seperti IMA.

Tanda Penting Syok Kardiogenik :


1. Tensi turun < 80-90 mmHg.
2. Takipneu dan dalam.
3. Takikardi.
4. Nadi cepat, kecuali ada blok A-V.
5. Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru.
6. Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar.
7. Sianosis.
8. Diaforesis (mandi keringat).
9. Ekstremitas dingin.
10. Perubahan mental.

Komplikasi
1. Cardiopulmonary arrest
2. Disritmia
3. Gagal multisistem organ
22
4. Stroke
5. Tromboemboli

Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
Mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan aksis, iskemia dan
kerusakan pola.
2. ECG
Mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi atrium, ventrikel
hipertrofi, disfungsi penyakit katub jantung.
3. Rontgen dada
Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan mencerminkan dilatasi atau
hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah atau peningkatan tekanan
pulmonal.
4. Scan Jantung
Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan jantung.
5. Kateterisasi jantung
Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan membantu membedakan gagal
jantung sisi kanan dan kiri, stenosis katub atau insufisiensi serta mengkaji potensi
arteri koroner.
6. Elektrolit
Mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan fungsi ginjal, terapi
diuretic.
7. Oksimetri nadi
Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika CHF memperburuk PPOM.
8. AGD
Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia dengan
peningkatan tekanan karbondioksida.
9. Enzim jantung
Meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan jantung,misalnya infark
miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK dan Dehidrogenase
Laktat/LDH, isoenzim LDH)

23
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis Syok Kardiogenik :
1. Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi.
2. Berikan oksigen 8 – 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg
3. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada harus diatasi
dengan pemberian morfin.
4. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi.
5. Bila mungkin pasang CVP.
6. Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.

Medikamentosa :
1. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri
2. ansietas, bila cemas
3. Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi
4. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit
5. Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak
adekuat Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m.
6. Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan amrinon IV.
7. Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m
8. Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan  oksigenasi jaringan. Digitalis
bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.

24
Kesimpulan
Berdasarkan kriteria WHO, adanya spesifik nyeri dada dan ST elevasi pada hasil EKG maka
diagnosis pada pasien ini dapat ditegakkan yakni STEMI. Elevasi segmen ST dari EKG
terdapat pada lead II,II, dan avF maka lokasi infark berada pada inferior. Pada kasus didapat
kumpulan gejala akibat gagal perfusi yang disebabkan oleh gangguan fungsi jantung yang
mengarah ke syok kardiogenik akibat komplikasi dari sindrom koroner akut STEMI inferior.

25
Daftar Pustaka
1. Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard dengan Elevasi ST. Idrus Alwi(eds). Buku ajar
IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1741-54.
2. Gleadle Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2007.h.166;170-71;112-3
3. Hudak, Gallo, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, EGC : Jakarta; 1995
4. Dharma Surya. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. EGC: Jakarta; 2009
5. Kee JL. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostic. Edisi 6. Jakarta. EGC:
2007. h.149-5;295-7
6. Sudoyo Aru W, et all. Angina Pektoris Tak Stabil. Hanafi B. Trisnohadi(eds). Buku ajar
IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1728-32.
7. Isselbacher, et all. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam (eds 13). Volume 3.
Jakarta: EGC;2008.h.1201-44.
8. Sudoyo Aru W, et all. Angina Pektoris Stabil. A. Muin Rahman(eds). Buku ajar IPD. Jilid
2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1735-9.

26
9. Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. A. Muin Rahman(eds).
Buku ajar IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2009.h.1757-65.
10. Sudoyo Aru W, et all. Perikarditis. Marulam M. Panggabean(eds). Buku ajar IPD. Jilid 2.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1725-26.
11. Sudoyo Aru W, et all. Miokarditis. Idrus Alwi, Lukman H. Makmun(eds). Buku ajar IPD.
Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2009.h.1711-3.
12. Corry Catharina Silaen. Perbandingan Kadar Adiponektin Antara Angina Pektoris Stabil
Dengan Sindroma Koroner Akut. Makalah. Medan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK
Universitas Sumatera Utara;2008.
13. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins. Buku ajar patologi robbins. Edisi ke-7.
Jakarta: EGC; 2007.h.408-15
14. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2005.h.578-87.
15. H Gray, Keith D, Morgan. Lecture Notes Kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta:
Erlanga;2005.h.107-50
16. Diana Lyrawati. Sindrom Koroner Akut - Farmakologi. 30 Oktober 2010. Diunduh dari:
http//yrawati.files.wordpress.com.pdf
17. Arjatmo Tjokronegoro dan Utama Hendra. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam II. In
18. Bruner & Suddarth (2001),Keperwatan Medikal Bedah.EGC.Jakarta
19. Dorland. Kamus Saku Kedokteran Dorland, ed.25. Jakarta: EGC. 1998
20. Hochman JS, menon venu. Clinical manifestations and diagnosis of cardiogenic shock in
acute myocardial infarction. UpToDate. Wolters Kluwer Health. Juni 2013

27

Anda mungkin juga menyukai