Anda di halaman 1dari 10

Penanganan Pasien Infark miokard akut inferior

dan infark ventrikel kanan


Kezia kakerissa/102017169

C6

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Abstrak

ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan salah satu dari spektrum Sindrom
Koroner Akut (SKA). Ini adalah suatu kondisi yang mengakibatkan kematian sel miosit
jantung karena iskhemia yang berkepanjangan akibat oklusi koroner akut. STEMI terjadi
akibat stenosis total pembuluh darah koroner sehingga menyebabkan nekrosis sel jantung
yang bersifat irreversible. Faktor - faktor resiko yaitu pasien dengan riwayat hipertensi yang
tidak terkontrol, memiliki riwayat diabetes mellitus sebelumnya, status obesitas, kebiasaan
merokok, maupun makanan yang dikonsumsi. Perkembangan keilmuan saat ini
memperlihatkan bahwa disfungsi ventrikel kanan juga mengakibatkan gangguan
hemodinamik yang signifikan dan membutuhkan tatalaksana yang berbeda dengan
tatalaksana disfungsi ventrikel kiri. Infark ventrikel kanan umumnya bukan merupakan suatu
kasus tunggal, namun seringkali menyertai infark ventrikel kiri. Identifikasi infark ventrikel
kanan pada kondisi tersebut, dapat mempengaruhi tatalaksana yang dilakukan pada suatu
sindrom koroner akut. Elektrokardiogram tetap menjadi alat diagnostik terpenting pada
evaluasi nyeri dada akut dan menuntun penanganan awal pasien cardiac arrest.

Kata Kunci: STEMI, Infrak Ventrikel Kanan, Elektrokardiogram.

Abstract

ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) is one of the spectrum of Acute Coronary


Syndrome (ACS). It is a condition that results in the death of cardiac myocyte cells due to
prolonged ischemia due to acute coronary occlusion. STEMI occurs due to total stenosis of
the coronary arteries causing irreversible necrosis of heart cells. Risk factors are patients
with a history of uncontrolled hypertension, previous history of diabetes mellitus, obesity
status, smoking habits, and food consumed. Current scientific developments show that right
ventricular dysfunction also results in significant hemodynamic disturbances and requires a
different treatment from left ventricular dysfunction. Right ventricular infarction is generally
not a single case, but often accompanies left ventricular infarction. Identification of a right
ventricular infarct in this condition may influence the management of an acute coronary
syndrome. The electrocardiogram remains the most important diagnostic tool in the
evaluation of acute chest pain and guides the initial management of patients with cardiac
arrest.

Key word: STEMI, Right Ventricular Infraction, Electrocardiogram.

Pendahuluan

ST-elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan bagian dari Sindrom


Koroner Akut (SKA) yang pada umumnya diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis
yang mengakibatkan oklusi total pada arteri koroner dan disertai dengan tanda dan gejala
klinis iskemi miokard seperti munculnya nyeri dada, adanya J point yang persistent, adanya
elevasi segmen ST serta meningkatnya biomarker kematian sel miokardium yaitu troponin
(cTn). STEMI menyebabkan kematian 6%-14% dari jumlah total kematian pasien yang
disebabkan oleh SKA. Kejadian infark ventrikel kanan menjadi komplikasi penyulit pada
infark jantung inferior hingga mencapai 50% kasus. Ventrikel kanan memiliki jumlah cardiac
output yang sama dengan ventrikel kiri, namun dengan jumlah masa otot sebesar seperenam
dari ventrikel kiri. Infark ventrikel kanan memperlihatkan prognosis jangka panjang yang
baik, namun dalam jangka pendek akibat komplikasi hemodinamik dan elektrofisiologis
memperlihatkan prognosis yang buruk. Kejadian syok kardiogenik ventrikel kanan memiliki
tingkat mortalitas yang serupa dengan syok kardiogenik pada ventrikel kiri. Derajat gangguan
hemodinamik pada infark ventrikel kanan tidak hanya dipengaruhi oleh derajat iskemia
ataupun disfungsi ventrikel, namun juga interaksi antar ventrikel. Patofisiologi yang unik dari
infark ventrikel kanan menyebabkan penatalaksanaan kondisi ini berbeda dengan
penatalaksanaan infark ventrikel kiri. Diagnosa dini dan akurat mengenai keterlibatan
ventrikel kanan, terutama pada kondisi hipotensi serta melakukan penatalaksanaan khusus
yang berbeda dengan tatalaksana infark ventrikel kiri memiliki peranan penting untuk
mengantisipasi dan mencegah komplikasi.1,2

Penanganan Emergensi Umum

Pendekatan pasien dengan pemeriksaan primer kegawatdaruratan airway, breathing,


circulation, disability and exposure sangat penting dan selalu dilakukan pada semua kasus
emergensi. Pendekatan ini dipakai oleh tenaga medis untuk menilai masalah klinis yang
paling membahayakan jiwa pasien, sehingga bisa diberikan penanganan yang sesuai.4

  Tujuan dari dilakukan ABCDE adalah memberikan pertolongan pertama yang


menyelamatkan jiwa, memecahkan masalah klinis yang kompleks menjadi masalah yang
lebih mudah diselesaikan, dan untuk menambah waktu untuk menegakkan diagnosis dan
perawatan terakhir.3,4

Gambar 2. Penanganan Awal Pasien Emergency Secara Umum.

Infark miokard akut ST elevasi di dinding inferior dan infark ventrikel kanan.

Pada skenario ini yang sesuai dengan manifestasi klinis maupun gelombang EKGnya
adalah Infark miokard akut ST elevasi di dinding inferior dan infark ventrikel kanan.
Seseorang dikatakan mengalami STEMI inferior jika pada elektrokardiografi didapat elevasi
segmen ST > 0,1mV minimal pada dua lead dari lead II, III dan aVF. Sedangkan infark RV
ditunjukkan oleh adanya elevasi segmen ST pada V3R dan/atau V4R > 1 mm1,5,6 disamping
adanya pola QS atau QR > 0,04 detik pada lead V3R dan/atau V4R. Infark ventrikel kanan
dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi, terkait dengan STEMI dinding inferior. Biasanya
gejalanya muncul sebagai triad hipotensi, lapangan paru yang bersih serta peningkatan
tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST ≥1 mV di V1 dan V4R merupakan ciri infark
ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada pasien dengan STEMI inferior yang disertai
dengan hipotensi. Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel kanan,
tekanan arteri pulmonal yang rendah, dilatasi vena hepatica dan jejas dinding inferior dalam
berbagai derajat. Meskipun terjadi distensi vena jugularis, terapi tetap diberikan dengan
tujuan mempertahankan tekanan pengisian ventrikel kanan dan mencegah atau mengobati
hipotensi. Pemberian diuretik dan vasodilator perlu dihindari karena dapat memperburuk
hipotensi. Atrioventrikular perlu dipertahankan dan AF atau blok AV yang terjadi perlu
segera ditangani. Faktor - faktor resiko yang sering terjadi yaitu pada pasien dengan riwayat
hipertensi yang tidak terkontrol, memiliki riwayat diabetes mellitus sebelumnya, status
obesitas, kebiasaan merokok, maupun makanan yang dikonsumsi.5

Patofisiologi Infark Ventrikel Kanan

Patofisiologi Infark Ventrikel Kanan RV merupakan ruang jantung berdinding tipis,


berfungsi pada tekanan dan kebutuhan oksigen yang rendah. Secara anatomi dan fisiologi,
RV didesain untuk melayani tekanan yang rendah dari sirkulasi pulmonal. Massa otot RV
hanya 15% dari massa ventrikel kiri (left ventrikel, LV), dan kekuatan kerja RV hanya 25%
dari kekuatan LV. Tetapi RV mempunyai curah jantung yang sama dengan LV. Cabang
posterior desending dari RCA biasanya memperdarahi dinding bagian inferior dan posterior
RV, serta septum interventrikular posterior; sedangkan cabang marginal memperdarahi
dinding lateral RV. Dinding anterior RV mempunyai suplai ganda, yakni dari cabang konus
RCA dan arteri cabang moderator dari LAD. Oleh sebab itu, infark RV umumnya mengenai
septum posterior dan dinding inferior, posterior RV, tidak pada dinding bebas RV. Kontraksi
dinding anterior RV biasanya masih baik, karena banyaknya kolateral. Aliran darah
kolateralnya juga didapat dari vena thebesian dan difusi oksigen langsung melalui dinding
ventrikel. Korelasi langsung muncul antara sisi anatomi dari oklusi RCA dan luas infark RV,
semakin proksimal oklusi RCA maka semakin luas daerah infark RV. RV seperti kantung
yang dikelilingi oleh LV, dan dipisahkan dari LV oleh septum interventrikularis dan
perikardium. Karena RV merupakan pompa darah dengan tekanan rendah, maka
kontraktilitasnya sangat tergantung pada tekanan diastolik. Ketika kontraktilitas dan fungsi
diastolik terganggu akibat infark RV, maka curah RV akan menurun secara dramatik, tekanan
diastolik RV meningkat secara substansial dan tekanan sistolik turun. Kenaikan tekanan
diastolik RV diikuti oleh kenaikan tekanan atrium kanan dan kongesti vena sistemik. Jika
disfungsi RV juga diikuti oleh disfungsi LV, maka terjadi peningkatan beban akhir
(afterload) RV yang akan memperburuk kondisi RV. Peningkatan tekanan atrium kanan oleh
karena infark RV, merangsang sekresi natriuretik atrial, yang akan memperburuk gejala
klinik infark RV. Penurunan curah RV mengakibatkan penurunan beban awal (preload) LV,
dan hilangnya sikronisasi atrioventrikular. Tekanan atrium kanan yang tinggi pada infark RV
diassosiasikan dengan tingginya angka kematian selama perawatan. Jika sumbatan terjadi
sebelum cabang marginal RCA dan tidak ada cabang kolateral dari LAD, maka ukuran infark
RV biasanya luas. Luasnya infark RV juga tergantung dari berapa banyak aliran yang
melewati vena thebesian.6

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik jarang bersifat diagnostic pada CAD simtomatik. Meskipun tanda-
tanda seperti timbulnya derop S4 baru dan split paradoks s2 dikait kaitkan dengan AMI,
tanda tersebut tidak dapa diandalkan. Pemeriksaan fisik memiliki 2 peran penting yaitu
menyingkirkan sebab nyeri dada yang mengancam nyawa seperti pneumothoraks(resonansi
asimetri pada perkusi), diseksi aorta (denyut asimetri tanda-tanda neurologis) dan emboli
paru (peregangan jantung kanan). Hal kedua yang penting dari pemeriksaan fisik adalah
identifikasi komplikasi iskemia dan infark miokard seperti CHF( distensi vena jugularis,
derap s3, ronki, edema, hipotensi), rupture musculus papilaris dan ruptur miokardium akut
(timbulnya bising baru dengan tanda-tanda CHF berat) dan pericarditis (friction rub).7

Pemeriksaan Penunjang

Gambaran Elektrokardiografi Infrak Ventrikel Kanan Pada Infrak Miokard Inferior

Infark ventrikel kanan sangat jarang terjadi sebagai suatu kondisi tunggal, dan
diperkirakan antara 30% hingga 50% kasus terjadi bersamaan dengan infark miokard
posterior.4 Namun, infark ventrikel kanan seringkali tidak terdiagnosis walaupun seringkali
erat terkait dengan infark miokard posterior, dan kadang infark miokard anterior. STEMI
inferior didefinisikan sebagai elevasi sebesar > 0.1 mV pada pada setidaknya 2 jenis sadapan
diantara sadapan II, III, dan aVF. Infark inferior dapat merupakan manifestasi yang muncul
akibat tersumbatnya arteri koroner kanan (RCA) maupun arteri sirkumfleks kiri (LCx).
Identifikasi lokasi arteri yang tersumbat memberikan informasi penting untuk tatalaksana,
karena pada kasus infark ventrikel kanan akibat tersumbatnya arteri koroner kanan (RCA)
memiliki prognosis yang buruk dan beresiko tinggi adanya gangguan konduksi pada nodus
atrioventrikular, dan juga indentifikasi arteri yang tersumbat dapat membantu untuk
stratifikasi resiko dan perencanaan prosedur tindakan.8

Dengan adanya gambaran perubahan EKG yang terjadi berupa perubahan segmen ST
(baik elevasi ataupun depresi) dengan cut off point > 0,2 mV pada infark dinding anterior,
septal dan lateral, atau > 0,1 mV pada infark dinding inferior, posterior dan RV; minimal
pada 2 lead yang berkaitan).9

Rontgen dada 
Dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung sehubungan dengan disfungsi
ventrikel atau katup.

Ekokardiografi

Ekokardiografi sangat membantu diagnosis infark RV pada kondisi klinis dan EKG
yang tidak mendukung. Ciri khasnya: dilatasi RV dengan gerak asinergi mulai hipokinetik
sampai akinetik, dan gerakan interatrial dan interventrikular yang abnormal, akinesis atau
diskinesis segmen dinding, dan menurunnya fungsi sistolik serta dapat pula ditemukan
adanya pirau dari kanan ke kiri melalui patent foramen ovale. Temuan ini harus dicurigai jika
terdapat hipoksia yang persisten dan tidak memberikan respon baik dengan pemberian
oksigen pada penderita dengan infark RV. Atrium kanan juga dilatasi disertai regurgitasi
katup trikuspid akibat dilatasi annulus trikuspid.5,6

Terapi awal

Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat
MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan:10

1. Tirah Baring

2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri

3. AspIrin 160-320 mg .

Aspirin merupakan tata laksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan dengan reduksi kadar tromboksan A2
dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160 mg - 320 mg di ruang emergensi
dengan daily dose 75 - 162 mg. Diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi
sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.

4. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)


a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik.

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75


mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel.

5. Nitrogliserin (NTG)

Nitogliserin (NTG) sublingual dapat diberikan dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. NTG selain untuk mengurangi nyeri
dada juga untuk menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. NTG harus dihindari pada pasien dengan tekanan
darah sistolik < 90 mmHg atau pasien yang dicurigai mengalami infark ventrikel kanan.
spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di
ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat
diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan
pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. dalam keadaan
tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.

6. Morfin sulfat 1-5 mg intravena

Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tata laksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2 - 4 mg dapat
tingkatkan 2 - 8 mg IV serta dapat di ulang dengan interval 5 - 15 menit bagi pasien yang
tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriol melalui penurunan
simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan
arteri (Irmalita et al., 2015).

7. Beta Bloker

Beta‐blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Jika tidak ada
kontraindikasi, pasien diberi beta‐blocker kardioselektif misalnya metoprolol atau
atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari
rumah sakit. Kontraindikasi terapi beta‐ blocker adalah: hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <100 mmHg, bradikardi <50 denyut/menit, adanya heart block, Riwayat penyakit
saluran nafas yang reversible, Beta-blocker harus dititrasi sampai dosis maksimum yang
dapat ditoleransi.

8. ACE Inhibitor

ACE inhibitor mulai diberikan dalam 24 ‐ 48 jam pasca‐MI pada pasien yang telah
stabil, dengan atau tanpa gejala gagal jantung. ACE inhibitor menurunkan afterload
ventrikel kiri karena inhibisi. sistem renin‐ angiotensin, menurunkan dilasi ventrikel. ACE
inhibitor harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi naik sampai dosis tertinggi yang
dapat ditoleransi. Kontraindikasinya hipotensi, gangguan ginjal, stenosis arteri ginjal
bilateral, dan alergi ACE inhibitor. Elektrolit serum, fungsi ginjal dan tekanan darah harus
dicek sebelum mulai terapi dan setelah 2 minggu

9. Anti Koagulan

LMWH lebih banyak digunakan daripada unfractionated heparin karena untuk


membatasi perluasan thrombosis koroner. Studi ESSENCE menunjukkan enoxaparin
1mg/kg 2 kali/hari lebih baik daripada unfractinated heparin. Biaya enoxaparin lebih
tinggi, tetapi mempunyai aktivitas anti‐faktor Xa lebih besar, tidak memerlukan monitor
terus menerus, dan dapat diberikan dengan mudah sehingga menjadi pilihan terapi yang
cukup popular. Enoxaparin diberikan terus sampai pasien bebas dari angina atau paling
sedikit selama 24 jam, durasi terapi yang dianjurkan adalah 2 ‐ 8 hari.

Tatalaksana Infark Ventrikel Kanan

Tatalaksana Infark Ventrikel Kanan American College of Cardiology/American Heart


Association dan European Society of Cardiology pada tahun 2004 mengeluarkan pedoman
tatalaksana infark akut dengan elevasi ST. 5 Khusus untuk infark inferior dengan infark RV,
anjurannya sebagai berikut:6

1. Reperfusi Untuk infark inferior yang disertai infark RV Terapi reperfusi dini baik
berupa pemberian Trombolitik/ Fibrinolitik dan Percutaneous Transluminal Coronary
Angioplasty (PTCA) primer, terbukti dapat mengurangi luasnya infark, memperbaiki
fraksi ejeksi ventrikel kanan, dan mengurangi kejadian blok AV komplit, sehingga
dapat memperbaiki angka harapan hidup serta kualitas hidup. Sehingga pada infark
inferior dan RV yang terjadi kurang dari 12 jam, dianjurkan untuk dilakukan
trombolitik, alternatif pilihan yang paling baik adalah Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) yang dapat menghasilkan perbaikan hemodinamik lebih cepat.
Coronary artery bypass graft (CABG) perlu dipertimbangkan terutama pada pasen
dengan multivesel disease dan/ atau left main stenosis.

2. Sinkronisasi kontraksi atrium dan ventrikel dan mengatasi bradikardi dengan


menggunakan alat pacu jantung.

3. Pertahankan beban awal (preload) ventrikel kanan Pada infark inferior akut disertai
infark RV dibutuhkan 1-2 liter normal saline dalam 1 jam pertama, dan kemudian 200
ml tiap jam berikutnya. Sesuai hukum Starling, curah jantung berbanding lurus
dengan RVEDP. Pemantauan hemodinamik secara seksama sangat diperlukan pada
saat pemberian cairan intravena ini. Pemantauan pemberian cairan ini sebaiknya
dilakukan dengan kateter arteri pulmonalis. Tujuannya adalah meningkatkan tekanan
atrium kanan (RAP) dan tekanan pulmonary wedge (PCWP), sehingga diharapkan
dapat memperbaiki curah jantung. Pemakaian obat-obat opiad (morfin), nitrat,
diuretik dan ACE inhibitor harus dihindari, karena dapat menurunkan preload.

4. Kurangi beban akhir (afterload) ventrikel kanan yang disertai disfungsi ventrikel kiri.
Pada infark RV yang disertai disfungsi ventrikel kiri, keadaan akan semakin
memburuk karena terjadi peningkatan afterload dan penurunan isi sekuncup RV. Pada
keadaan demikian, pemasangan Intra-aortic balloon counter pulsation (IABP) dan
obat-obatan vasodilator arterial (Natrium Nitroprusid, Hydralazin) sering dibutuhkan
untuk “unload” ventrikel kiri dan kemudian ventrikel kanan.

5. Pemberian inotropik Meskipun pemberian cairan merupakan langkah pertama dalam


tatalaksana hipotensi pada infark RV, inotropik khususnya dobutamin harus segera
diberikan jika curah jantung sama sekali tidak mengalami perbaikan setelah
pemberian cairan 0,5 sampai 1 liter. Dobutamin dapat meningkatkan curah jantung,
indeks isi sekuncup dan fraksi ejeksi RV.

KESIMPULAN

Pada kasus ini menggambarkan Kejadian iskemia/infark ventrikel kanan dapat


muncul hingga setengah dari angka kejadian infark miokard inferior. Infark ventrikel kanan
memiliki kecenderungan peningkatan mortaitas dan morbiditas pada kondisi akut. Namun
dalam jangka panjang, pemulihan ventrikel kanan dapat mendekati normal. Oleh karena itu
pada kasus ini pentingnya dilakukan penegekan diagnosis dan pengobatan optimal dan
berfokus pada pemberian tatalaksana yang tepat agar tidak terjadi kegawatan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Darliana, D., 2010. MANAJEMEN PASIEN ST ELEVASI MIOKARDIAL INFARK


(STEMI). Idea Nursing Journal, 1, pp.14-20.
2. Wagyu, E.A., Rampengan, S.H. & Pangemanan, J., 2013. GAMBARAN PASIEN
INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI ST (STEMI) YANG DIRAWAT DI
BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI. Jurnal e-
CliniC (eCl), 1, pp.1-8
3. Thim T, Krarup NH, Grove EL, Lofgren B. ABCDE – a systematic approach to
critically ill patients. Ugeskr Laeger. 2013;172(47):3264–3266.
4. Nolan JP, Soar J, Zideman DA, et al. European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010. Section 1. Executive summary. Resuscitation. 2014;81(10):1219–
1276.
5. Antman EM, Braunwald E. Acute Myocardial Infarction. In: Braunwald E. editor.
Heart Disease, A textbook of cardiovascular medicine. 6th ed. Philadelphia: WB
Saunders Company, 2001: 1114-271 3.
6. Ryan TJ, Antman EM, Brooks NH, Califf RM, Hillis LD, Hiratzka LF, et al,.2004.
Update: ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation
Myocardial Infarction—Executive Summary. A Report of American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
Circulation. 2004; 110:588-636
7. Mahode AA, Dany F, et al. Vademecum:Kedokteran Emergensi. EGC.2016;29-39.
8. Zehender M, Kasper W, Kauder E, et al. Right ventricular infarction as an
independent predictor of prognosis after acute inferior myocardial infarction. N. Engl
J. Med 1993;328: 981-88
9. Myerburg RJ, Castelanos A. Cardiovascular Collapse, Cardiac Arrest and Sudden
Cardiac Death. In: Braunwald E, Fauci AS, et al, editor. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 16th ed. New York, McGraw-Hill; 2003;256: 1618-24
10. Irmalita et al., 2015. PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT.
Jakarta: Centra Communications.

Anda mungkin juga menyukai