Anda di halaman 1dari 8

B.

Unsur Biotik (Hewan/Tumbuhan)


Ekosistem mangrove merupakan habitat yang produktif dan dapat mendukung
perikanan pesisir seperti udang dan ikan, dan memiliki keanekaragaman jenis biota yang
tinggi. Keanekaragaman biota tersebut meliputi fauna arboreal, terestrial, semi-akuatik,
moluska, krustasea, ikan dan fauna akuatik lainnya. Hal ini menjadikan mangrove sebagai
habitat yang sangat baik untuk menopang pertumbuhan dan reproduksi untuk pelestarian
jenis dalam ekosistem. Selain itu juga merupakan tempat mencari makan (feeding ground),
tempat memijah (spawning ground) serta merupakan daerah asuhan (nursery ground) bagi
berbagai biota laut yang berasosiasi (Nagelkerken et al., 2018).
1.1. Produsen Primer
Daerah perairan merupakan kawasan yang sangat penting untuk berbagai keperluan
dan aktifitas dalam bidang perikanan, pariwisata, industri dan sebagainya. Suatu perairan laut
dapat dikatakan kaya akan sumberdaya perairan jika perairan tersebut memiliki kesuburan
yang tinggi yang dapat dilihat dari produktifitas perairannya antara lain plankton, nutrien dan
bentos. Parameter-parameter ini merupakan indikator kesuburan suatu perairan yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor fisika, kimia maupun biologi. Plankton (khususnya
fitoplankton) merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produktivitas primer
di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi fitoplankton sangat terkait dengan kondisi
oseanografi suatu perairan. Beberapa parameter fisik-kimia yang mengontrol dan
mempengaruhi sebaran fitoplankton antara lain adalah intensitas cahaya, suhu, salinitas, arus,
oksigen terlarut dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Perbedaan parameter fisika-
kimia tersebut secara langsung merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer di
beberapa tempat di laut. Selain itu adanya proses "grazing" oleh zooplankton juga memiliki
peran besar dalam mengontrol konsentrasi fitoplankton di laut (Parsons et al., 2014).
Umumnya sebaran konsentrasi plankton tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari
tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui limpasan air sungai, dan
sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa
tempat masih ditemukan konsentrasi plankton yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan.
Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses sirkulasi massa air yang memungkinkan
terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling.
Sejauh ini telah diketahui eratnya kaitan antara konsentrasi plankton dan produktivitas primer
dengan kondisi oseanografi. Di antara beberapa parameter fisika-kimia tersebut ada yang
belum diketahui secara pasti parameter oseanografi mana yang memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap distribusi plankton. Khususnya pada lokasi dan waktu tertentu, kajian
yang melihat secara simultan beberapa parameter oseanografi dan kaitannya dengan plankton
masih sangat terbatas. Keterkaitan antara sebaran plankton dengan beberapa parameter
oseanografi (fisika-kimia dan biologi) sangat penting untuk diketahui guna mengidentifikasi
parameter fisika-kimia yang memiliki peranan besar terhadap sebaran plankton pada musim
tertentu, serta mengetahui karakteristik massa air di daerah itu (Parsons et al., 2014).
1.1.1. Fitoplankton
Menurut penelitian Radiarta dkk., (2017) bahwa jumlah jenis, kelimpahan dan indeks
biologi ekosistem mangrove Kepulauan Natuna menunjukkan bahwa fitoplankton pada
ekosistem mangrove Pulau Tiga lebih bervariasi dibandingkan dengan ekosistem mangrove
Sedanau. Secara umum kelimpahan fitoplankton di Pulau Tiga (8.204 - 319.264 ind./L) lebih
rendah dibandingkan di Pulau Sedanau (252.051 - 702.772 ind./L). Kelimpahan spesies yang
tinggi ini diindikasikan oleh kelimpahan nutrient yang tinggi terutama N total dan nitrat
(NO3-N). Hal ini memperlihatkan bahwa pada area pengamatan terdapat dominansi
ekosistem oleh spesies tertentu; yang juga ditunjukkan oleh tingginya Indekss Dominansi (D)
pada kedua stasiun tersebut.
Fitoplankton yang mendominasi kedua ekosistem mangrove tersebut adalah
Trichodesmium sp. Menurut Devassy (1984) dalam (Adnan, 1985), blooming Trichodesmium
tidak membahayakan perairan, tetapi justru dapat memperbaiki siklus nutrien di perairan.
Adnan (1985) juga menyatakan bahwa akibat dari ledakan jenis ini perairan akan menjadi
subur, tetapi bila terjadi di dekat pantai terutama di daerah karang maka pembusukan dari
gumpalan fitoplankton ini akan berakibat mematikan karang karena akan mengurangi oksigen
terlarut di perairan. Jumlah jenis fitoplankton di Pulau Tiga dan Pulau Sedanau
memperlihatkan nilai yang bervariasi. Kisaran jumlah jenis fitoplankton yang ditemukan di
perairan Pulau Tiga berkisar 9 - 32 jenis; dan di Pulau Sedanau sekitar 17 - 30 jenis. Indekss
Keragaman (H’) fitoplankton di Pulau Tiga dan Pulau Sedanau (1< H <3), mengindikasikan
bahwa kondisi kedua perairan tergolong berada pada kondisi dengan stabilitas moderat,
dimana kondisi ini memperlihatkan kemungkinan terdapatnya gangguan faktor lingkungan
pada perairan tersebut (Basmi, 2020).
Indekss keseragaman (E) dengan nilai mendekati 1 memperlihatkan keseragaman antar
spesies fitoplankton yang tinggi, menunjukkan bahwa tingkat kelimpahan antar spesies tidak
jauh berbeda sehingga kondisi ekosistem perairan menjadi stabil. Selain itu, indekss
dominansi dengan nilai D yang umumnya mendekati 0 memperlihatkan bahwa secara umum
tidak terdapat dominansi spesies tertentu; kecuali pada dua stasiun bagian selatan Pulau
Lagong. Terdapat hubungan yang signifikan (90%) antara indeks keragaman dan keseragaman
di dua lokasi penelitian. Hal serupa juga dijelaskan oleh Gao dan Song (2015), bahwa
umumnya terdapat hubungan yang positif antara indeks keragaman dengan indeks
keseragaman fitoplankton. Adanya perubahan proses ekologi yang terjadi pada suatu kawasan
meliputi kompetisi dan pemangsaan dapat mempengaruhi nilai indeks keragaman. Selain itu
adanya variabilitas iklim (El-nino dan La-nina) dapat mempengaruhi distribusi dan komposisi
fitoplankton yang terdapat dalam perairan (Richardson dan Schoeman, 2014).
Ekosistem mangrove di sekitar Pulau Tiga merupakan perairan yang relatif jernih dan
dangkal, serta banyak ditemukan sebaran terumbu karang di dasar perairan. Sementara itu, di
kawasan mangrove Pulau Sedanau terdapat lokasi-lokasi dimana kekeruhan perairan tinggi
dan dasar berlumpur, yang disebabkan adanya masukan bahan organik yang terbawa oleh
aliran sungai dari daratan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap kelimpahan dan distribusi
(spasial) fitoplankton (Xu et al., 2017). Selain itu, pada penelitian Fitriya dkk., (2011)
menunjukkan bahwa pada ekosistem mangrove Tambelan, Natuna Provinsi Riau ditemukan
24 jenis. Kelompok diatom mendominasi di keseluruhan perairan ini dengan frekuensi
kejadian mencapai 90 %. Kondisi ini menandakan bahwa lokasi penelitian di sekitar
Kepulauan Tambelan sangat dipengaruhi oleh daratan. Lima jenis diatom umum dijumpai di
perairan ini, yaitu Bacteriastrum, Ditylum, Thalassiothrix, Hemiaulus, Nitzshia, Chaetoceros
dan Skeletonema. Sedangkan dari kelompok dinoflagellata jenis yang umum dan banyak
ditemukan adalah Ceratium. Kelompok diatom (Chaetoceros) mendominasi di perairan
Tambelan. Kondisi ini menandakan bahwa lokasi penelitian di sekitar kedua pulau tersebut
sangat dipengaruhi oleh aktivitas dari daratan. Hasil ini juga terlihat dari tingginya
konsentrasi klorofil-a di perairan dekat daratan jika dibandingkan dengan daerah lepas pantai,
ini menegaskan bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a yang berada di perairan sangat
dipengaruhi oleh masukan nutrien yang tinggi dari aktivitas di daratan sekitarnya.
1.1.2. Zooplankton
Zooplankton memiliki peran penting dalam rantai makanan di lingkungan perairan.
Keanekaragaman dan kelimpahan zooplankton dipengaruhi kualitas oleh lingkungan habitat
mangrove seperti tingkat kekeruhan, kecepatan arus, sifat fisik, dan kimia air. Di samping itu,
populasi zooplankton juga bergantung pada musim, habitat, salinitas, dan kedalaman air
(Mulyadi, 2015). Ordo Crustaceae merupakan zooplankton yang memiliki arti penting di
lingkungan perairan mangrove, hidup dekat dengan substrat dan memakan detritus (Bismark dan
Sawitri, 2010). Krustasea merupakan kelompok fauna makro benthik yang penting di ekosistem
mangrove, khususnya dari kelompok kepiting yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi
dan melimpah (Davie 1994). Kepiting memainkan peranan yang sangat penting dalam ekosistem
mangrove berkaitan dengan aktivitasnya seperti meliang dan mencari makan. Kepiting berperan
dalam memindahkan sejumlah besar sedimen dan merubah karakteristik sedimen, merubah
komposisi mikroflora sedimen, mempengaruhi penambahan air dan kandungan bahan organik
dalam sedimen serta berperan dalam siklus nutrien dan aliran energi (Colpo dan
NegreirosFransozo 2014; Skov dan Hartnoll 2012).
Pada ekosistem mangrove Kepulauan Natuna ditemukan 19 jenis kepiting yang termasuk
dalam enam suku. Suku Sesarmidae memiliki sebaran yang relatif lebih luas dan dijumpai
hampir diseluruh ekosistem mangrove khususnya dari jenis Clistocoeloma sp. Sebaran kepiting
di setiap stasiun menunjukkan kemerataan yang relatif sama dan meskipun berbeda tapi tidak
terlalu signifikan. Terdapat adanya preferensi habitat (pemilihan habitat) berdasarkan faktor
lingkungan seperti substrat tanah yang sangat berpengaruh terhadap jumlah dan jenis kepiting
yang hidup didalamnya (Widyastuti, 2016). Selain itu, di Pulau Sedanau, kelimpahan Nauplius
sp. (zooplankton) 22,2% lebih tinggi dibanding perairan Pulau Tiga (18,8%). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa perairan hutan mangrove Sedanau lebih subur dibanding perairan hutan
mangrove Pulau Tiga Kabupaten Natuna (Heriyanto, 2011).
1.2. Jenis Tumbuhan Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan kawasan perairan yang subur karena pohon-pohon
memiliki potensi sebagai penghasil bahan oganik yang produktif melalui serasah daun-daunnya.
Setelah melalui proses penguraian oleh bakteri dan protozoa maka dihasilkan mineral seperti
nitrogen, fosfor, dan zat hara lainnya. Unsur mineral ini merupakan kunci kesuburan dalam
transfer energi dan rantai makanan. Endapan tumbuh-tumbuhan atau detritus organik tersebut
merupakan sumber bahan makanan bagi organisme seperti jenis zooplankton, udang, ikan,
kepiting, moluska, nematoda, dan amphipoda (Heriyanto, 2011). Pertumbuhan mangrove yang
baik di lokasi ini didukung oleh keberadaan teluk yang menjadi muara banyak sungai. Hal ini
mendukung ketersediaan nutrien yang cukup dan substrat yang ideal untuk tumbuh kembangnya
mangrove. Karakteristik Kepulauan Natuna yang menghadap laut terbuka menyebabkan
ketersediaan nutrien di habitat mangrove sangat rendah, sehingga mangrove kurang mampu
tumbuh dengan baik di wilayah ini. Mangrove hanya tumbuh tipis di tepian sungai dekat muara.
Tumbuhan penyusunan mangrove memiliki karakteristik pohon yang berbeda- beda, baik dari
ukuran, bentuk akar, batang dan daun. Perbedaan tersebut berhubungan dengan adaptasi yang
dilakukan terhadap kondisi habitat yang bersalinitas dan bersifat anaerob (Muarif et al., 2016).
Jenis-jenis mangrove yang tumbuh di kawasan pesisir Kepulauan Natuna antara lain
Aegiceras floridium, Bruguiera gymnorhiza, Ceriops tagal, Casuarina equisetifolia, Excoecaria
agalocha, Heritiera littoralis, Hibiscus tiliaceus , Lumnitzera littorea, Nypa fructicans,
Pandanus tectorius, Phemphis acidula, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,
Rhizophora lamarchii, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, dan Xylocarpus granatum. Jenis
mangrove yang dominan tumbuh di kawasan pesisir Natuna adalah genus Rhizophora, seperti
Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Rhizophora apiculata. Jenis mangrove ini
memiliki akar tunjang sehingga mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang
senantiasa terendam air. Jenis-jenis Rhizophora tersebut tumbuh di bagian depan sepanjang
tepian sungai. Pertumbuhan Rhizophora yang baik terdapat dizona bagian depan disebabkan
sistem perakarannya yang mampu beradaptasi pada daerah tergenang dan mampu menahan
ombak, serta kemampuan adaptasi pada salinitas yang lebih tinggi (Muarif et al., 2016).
Menurut (Giesen et al., 2017) Rhizophora tumbuh optimal pada salinitas 1,2%.
Karakteristik komunitas mangrove di DAS Sungai Binjai Kecamatan Bunguran Barat, Natuna
memiliki perbedaan pada beberapa lokasi. Karakteristik komunitas pertama ditandai dengan
jenis Rhizophora mendominasi, dengan terdapat dua daerah yang menunjukkan dominan
kombinasi antara Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata dan juga terdapat lokasi
dengan komunitas mangrove lebih didominasi oleh Rhizophora apiculata. Karakteristik
komunitas lainnya dicirikan dengan dominansi Sonneratia alba, Xylocarpus granatum, dan Nipa
fructicans (Muarif, 2017).
Kesimpulan:
Pulau Natuna secara geomorfologis dibangun oleh perbukitan rendah bergelombang,
khususnya pada pantai timur (Bunguran Timur) yang relief perbukitan lebih jelas dibanding
pantai barat. Ekosistem mangrove di daerah Bunguran Kepulauan Natuna memiliki tanah secara
umum sudah mempunyai solum lebih dari 1 meter dan dapat dikategorikan sebagai tanah latosol.
Sedangkan pada bagian lainnya, umumnya tanah masih tipis dan batuan dasar pembentuk tanah
masih sangat jelas sehingga dikategorikan sebagai tanah regosol. Unsur biotik yang terdapat
pada ekosistem mangrove Kepulauan Natuna terdiri dari produsen primer (fitoplanton dan
zooplankton) dan jenis tumbuhan mangrove. Jumlah jenis fitoplankton Pulau Tiga dan Pulau
Sedanau memperlihatkan nilai yang bervariasi. Jenis fitoplankton yang mendominasi ekosistem
mangrove Pulau Tiga dan Pulau Sedanau adalah Trichodesmium sp. Sedangkan, zooplankton di
dominasi oleh ordo crustacea yaitu kepiting khususnya dari jenis Clistocoeloma sp. Selain itu, di
perairan Sedanau, kelimpahan Nauplius sp. (zooplankton) 22,2% lebih tinggi dibanding perairan
Pulau Tiga (18,8%). Jenis mangrove yang dominan tumbuh di kawasan pesisir Natuna adalah
genus Rhizophora yang memiliki akar tunjang sehingga mampu beradaptasi dengan baik pada
lingkungan yang senantiasa terendam air. Banyaknya aktivitas manusia akan menjadikan alih
fungsi mangrove untuk permukiman, industri, dan kepentingan ekonomis lainnya menimbulkan
kasus abrasi pantai. Akibat lebih lanjut dari alih fungsi ekosistem mangrove menyebabkan
penurunan hasil tangkapan ikan oleh nelayan, kegagalan panen udang, dan menurunnya daya
dukung pantai.
Saran:
Berdasarkan pada hasil pembahasan dan kesimpulan, maka saran yang dapat kami
kemukakan adalah diharapkan kepada pemerintah daerah dan penduduk sekitar melakukan
reboisasi atau melestarikan kembali ekosistem hutan mangrove Kepulauan Natuna yang telah
rusak dan juga merawat dan menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove dan diharapkan
kepada penduduk setempat hendaknya tidak melakukan pembangunan liar diatas lahan hutan
mangrove agar ekosistem hutan mangrove tetap terjaga kelestariannya. Selain itu, perlu
diberlakukan beberapa kegiatan rehabilitasi mangrove yang berguna untuk meningkatkan akses
informasi kepada masyarakat tentang pentingnya rehabilitasi mangrove karena peranannya
sangat besar bagi daerah pesisir, melakukan training dalam usaha penanaman mangrove, dan
mengadakan pelatihan menyangkut pengusahaan bibit mangrove guna rehabilitasi, terhadap
lahan yang telah mengalami kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA

Kathiresan, K., and B. L. Bingham. 2011. Biology of Mangrove and Mangrove Ecosystems.
Marine Biology, 40 : 81-251.
Colpo, K. D. and Negreiros-Fransozo, M. L. 2014. Comparison of the Population Structure Of
The Fiddler Crab Uca Vocator (Herbst, 1804) from Three Subtropical Mangrove
Forest. Scientia Marina, 68(1) : 139–146.
Skov, M. W., and Hartnoll, R. G. 2012. Paradoxical Selective Feeding On A Low -Nutrient Diet:
Why Do Mangrove Crabs Eat Leaves? Oecologia, 131 : 1–7.
Nagelkerken, I., Blaber, S. J. M., Bouillon, S., Green, P. and Haywood, M. 2018. The Habitat
Function Of Mangroves For Terrestrial And Marine Fauna: A review. Aquatic
Botany, 89 : 155–185
Widyastuti, Ernawati. 2016. Keanekaragaman Kepiting pada Ekosistem Mangrove di Perairan
Lingga Utara dan Sekitarnya, Kepulauan Riau. Zoo Indonesia, 25(1): 22-32
Fitriya, Nurul., Heron S., dan Riris A. 2011. Pola Sebaran Fitoplankton serta Klorofil-a pada
Bulan November di Perairan Tambelan, Laut Natuna.
Muarif. 2016. Potensi, Peluang dan Tantangan Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya
Kelautan dalam Rangka Pembangunan Nasional Berbasis Pengembangan Ekonomi
Kelautan. Seminar Nasional Wawasan Nusantara, p. 17.
Muarif. 2017. Karakteristik Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Kepulauan Natuna. Jurnal
Mina Sains, Vol. 3 (2) : 44-49.
Giesen, W., Wulffraat, S., Zieren, M. and Scholten, L. 2017. Mangrove Guidebook for
Shoutheast Asia. Bangkok: FAO and Wetlands International.
Basmi, J. 2020. Planktonologi: Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Institut
Pertanian Bogor. 60 hal.
Gao, X. and Song, J. 2015. Phytoplankton Distribution and Their Relationship with the
Environment in the Cahngjiang Estuary, China. Marine Pollution Bulletin, 50: 327-
335.
Richardson, A. J. and Schoeman, D.S. 2014. Climate Impact on Plankton Ecosystems in the
Northeast Atlantic. Science, 305 (5690): 1609-1612.
Xu, Y., Li, A.J., Qin, J., Li, Q., Ho, J.G. and Li, H. 2017. Seasonal Patterns of Water
Quality and Phytoplankton Dynamics in Surface Waters in Guangzhou and Foshan,
China. Science of the Total Environment.
Radiarta, I Nyoman., Erlania., dan Joni H. 2017. Kondisi Hidrooseanografi Perairan dan
Hubungannya dengan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Sedanau dan Pulau
Tiga, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Jurnal Segara Vol.13 (3) : 169-180.
Heriyanto, N. M. 2011. Keragaman Plankton dan Kualitas Perairan di Hutan Mangrove. Buletin
Plasma Nutfah Vol.18 (1) : 38-44.
Parson. 2014. The Integration Of Social Work Practice, California: Wardworth.inc.

Anda mungkin juga menyukai