Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN MINI RISET

KARAKTERISTIK KERBAU BUNTING


DAN PENGGUNAAN INOVASI TEKNOLOGI REPRODUKSI
INSEMINASI BUATAN PADA PETERNAKAN SAPI PAK JITA SIREGAR

oleh :
KELOMPOK III
ANGGOTA :

1. INDAH TRIPENA PANGGABEAN (4212431016)


2. ELVRIDA MANALU (4212331001)
3. TULUS LUMBAN TOBING (4213131011)

KELAS : PSPK 21 B
DOSEN PENGAMPU : Drs. M. Yusuf Nasution, M.Si
MATA KULIAH : BIOLOGI UMUM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
NOVEMBER 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................. 3
1.3. Tujuan................................................................................................................ 4
1.4. Manfaat.............................................................................................................. 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 5
2.1. Tinjauan Pustaka............................................................................................... 5
2.2. Hipotesis............................................................................................................ 6
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 8
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................................. 8
3.2. Alat dan Objek Penelitian.................................................................................... 8
3.3. Instrumen Penelitian............................................................................................ 9
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................................... 10
4.1. Hasil Wawancara kepada Peternak...................................................................... 10
4.2. Pengamatan Register Induk................................................................................. 12
4.3. Pembahasan.......................................................................................................... 13
BAB V. PENUTUP........................................................................................................ 16
5.1. Kesimpulan.......................................................................................................... 16
5.2. Saran.................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 17
LAMPIRAN (HASIL DOKUMENTASI)...................................................................... 18

| Laporan Mini Riset ii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggunakan
rasa, karsa dan daya cipta yang dimiliki. Salah satu bidang iptek yang berkembang pesat
dewasa ini adalah teknologi reproduksi.Teknologi reproduksi merupakan satu kesatuan
dari teknik-teknik rekayasa sistem reproduksi hewan yang dikembangkan melalui suatu
proses penelitian dalam bidang reproduksi hewan secara terus menerus dan
berkesinambungan dengan hasil berupa alat, metoda ataupun alat dan metoda yang dapat
diaplikasikan dengan tujuan tertentu.
Teknologi reproduksi adalah upaya manusia untuk mengembangbiakkan hewan
ataupun tumbuhan dengan beberapa cara yang diharapkan bisa mengatasi masalah dalam
perkembangbiakan. Teknologi reproduksi pada ternak meliput iInseminasi Buatan (IB),
Transfer Embrio (TE), Fertilisasi In Vitro (FIV), dan manipulasi embrio. Tujuan dari
teknologi reproduksi pada ternak adalah sebagai cara atau alat untuk memperbaiki mutu
genetic ternak. (Ihsan, 2010).
Terdapat banyak sekali teknologi reproduksi yang bisa diterapkan dalam pelaksanaan
kegiatan usaha peternakan yang ditujukan untuk meningkatkan populasi dan produksi.
Beberapa diantaranya telah dipakai di Indonesia namun sebagian besar masih merupakan
teknologi yang lama yang umumnya dikarenakan biaya perlakuannya dan peralatannya
sangat mahal. Saat ini ada kecenderungan penurunan populasi hewan jantan yang unggul,
sehingga teknologi reproduksi dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pada hewan
ternak. Teknologi reproduksi yang telah dimanfaatkan secara luas dalam peningkatan
produktivitas peternakan adalah teknik Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio. Ada pula
teknik kloning pada ternak, namun pemanfaatannya belum seluas dua teknik tersebut.
Inseminasi buatan merupakan teknologi generasi pertama yang bertujuan memanfaatkan
seekor hewan jantan unggul secara maksimal. Sehingga peningkatan jumlah keturunan
dari pejantan unggul dapat diperoleh secara cepat (Ismudiono dkk, 2010). Penemuan-
penemuan teknologi di bidang reproduksi ternak tersebut dapat dimanfaatkan untuk
mengatasi masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi subsector peternakan terutama
dalam meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas ternak baik secara kualitas
maupun kuantitas (Suciani, 2015).

| Laporan Mini Riset 1


Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknologi yang dapat memberikan
peluang bagi pejantan unggul untuk menyebarluaskan keturunannya secara maksimal,
dimana penggunaan pejantan pada kawin alam terbatas dalam meningkatkan populasi
ternak, karena setiap ejakulasi dapat membuahi seekor betina. Inseminasi buatan (IB)
adalah suatu teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu dan
produktivitas ternak. Keuntungan yang dicapai dalam program inseminasi buatan diantara
adalah untuk memperbaiki mutu genetik, efesien dalam pemakaian pejantan, terbukanya
kesempatan untuk menggunakan pejantan unggul secara luas, mencegah penularan
penyakit .mengurangi gangguan fisik yang berlebihan terhadap sapi betina pada waktu
kawin, serta menghemat biaya. Pelaksaaan IB yang baik dapat menjadi salahsatu upaya
meningkatkan produktivitas ternak melalui perbaikan mutu genetik ternak. Keberhasilan
kebuntingan ternak melalui program IB ditentukan beberapa faktor yaitu ternak pejantan,
betina, peternak dan pelaksanaan inseminasi buatan (Lindsay dkk., 1982).
Sapi adalah salah satu ternak yang populasinya cukup banyak di Kabupaten Deli
Serdang. Topografi wilayah Tembung tepatnya kecamatan Percut Sei Tuan memang
sangat bagus untuk peternakan sapi. Ternak sapi lebih unggul dari sapi dalam beberapa
hal, antara lain kolesterol susu lebih rendah 43% dari kerbau, kalsium susu lebih tinggi
65% dari sapi,BSE free species, penghasil daging (the red with a green attinde), rasa
dagingnya tidak beda dari daging sapi jika dimasak, dan sangat jarang mengalami kesulitan
beranak. Selain itu, konversi pakan bermutu rendah, dengan sedikit suplemen menjadi
daging yang baik. Oleh karena itu, sesungguhnya prospek masa depan ternak kerbau
sangat bagus apalagi untuk menopang ketahanan pangan khususnya ketersediaan dan
kucukupan daging tahun 2021 karena selama ini daging sapi dikonsumsi dihampir seluruh
wilayah Indonesia dan sering dikenal sebagai daging kerbau.
Masalah pada sapi adalah tingkat reproduktivitasnya rendah, yang ditandai dengan
umur pubertas yang lebih lambat dan selang beranak yang lebih panjang dibandingkan
dengan sapi. Pubertas pada ternak sapi dicapai pada umur 21 bulan dengan selang beranak
18 bulan, sedangkan pubertas pada kerbau dicapai pada umur 15 bulan dengan selang
beranak 15. Kami, Tim Peneliti, tertarik untuk melakukan penelitian dibidang ternak sapi,
karena beberapa alasan tersebut. Rendahnya tingkat reproduktivitas pada sapi disebabkan
pemeliharaan yang masih tradisional sehingga penanganan reproduksinya belum optimal.
Inseminasi Buatan (IB) adalah salah satu bioteknologi reproduksi alternatif yang dapat
digunakan untuk memperbaiki produktivitas usahaternak sapi di Indonesia. IB merupakan

| Laporan Mini Riset 2


alat yang efisien dan efektif dalam melaksanakan kebijaksanaan pemulian ternak secara
nasional untuk memperbaiki mutu genetik keturunannya secara cepat.
Di Indonesia, IB pada ternak kerbau (swamp buffaloues) pertama kali dilakukan oleh
Toelihere pada tahun 1975 di Tana Toraja, Sulawesi Tenggara. Inseminasi buatan tersebut
dengan menggunakan sperma kerbau belang, hitam-putih (tedong bonga) yang ditampung
dengan menggunakan vagina buatan kemudian diinseminasikan pada 6 kerbau betina.
Setahun kemudian, 4 ekor kerbau yang di-IB tersebut melahirkan (Ismaya, 2014).
Dari latar belakang di atas, maka penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui
bagaimana teknologi reproduksi yang berkembang saat ini dan bagaimana teknologi
reproduksi yang dilakukan oleh peternak.

1.2. Rumusan Masalah


Peternakan ini berada di Jl. Pasar I Tambak Rejok Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli
Serdang Sumatera Utara dan telah didirikan selama 53 tahun. Peternakan ini dikelola
untuk menghasilkan daging. Apakah peternakan ini menerapkan teknologi reproduksi
pada hewan ternaknya? Untuk itu, kami merumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Apakah hewan ternak (sapi) di Peternakan Pak Jita yang diamati mengalami
kebuntingan?
2. Bagaimana ciri-ciri dari hewan ternak (sapi) yang sedang mengalami kebuntingan di
Peternakan Pak Jita?
3. Inovasi teknologi reproduksi apa saja yang telah digunakan di Peternakan Pak Jita?
4. Apa saja keuntungan atau kerugian dari inovasi teknologi reproduksi yang diterapkan
di Peternakan Pak Jita?

1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu.
1. Untuk mendapatkan data untuk mendapatkan jumlah sapi yang mengalami kebuntingan
| Laporan Mini Riset 3
di peternakan.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dari hewan ternak (sapi) yang sedang mengalami
kebuntingan di Peternakan Pak Jita.
3. Untuk mengetahui keberhasilan teknologi reproduksi terhadap ternak sapi. Untuk
engetahui keuntungan dan kerugian dari inovasi teknologi reproduksi yang diterapkan
di Peternakan Pak Jita.
4. Untuk mengetahui keuntungan atau kerugian dari inovasi teknologi reproduksi yang
diterapkan di Peternakan Pak Jita.

1.4 Manfaat
1. Sebagai bahan informasi mengenai hasil dari pengunaaan teknologi reproduksi.
2. Sebagai bahan informasi mengenai pengaruh dari inovasi teknologi reproduksi
terhadap susu / daging / anak yang dilahirkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

| Laporan Mini Riset 4


2.1. Tinjauan Pustaka
 Karakteristik Ternak Bunting
Adapun ciri-ciri ternak yang bunting menjelang kelahiran yaitu
1. Badannya Mengkilat
2. Puting kencang
3. Vulva bengkak
4. Bulunya Limis
5. Mengeluarkan lender berwarna coklat
Ciri lainnya dari ternak yang sedang bunting yaitu tidak kembalinya birahi setelah
dikawinkan (Non Return), tetapi hal ini kemungkinan terjadi karena adanya gangguan
hormonal, artinya ternak tersebut tidak mengalami kebuntingan.

 Teknik untuk Mengetahui Kebuntingan Ternak Sejak Dini


Karena keinginan manusia untuk mengetahui kebuntingan hewannya secara dini
setelah dikawinkan maka ada beberapa teknik untuk mengetahui kebuntingan pada
ternak.
1. Palpasi Rektal
2. Penggunaan Ultrasonographi (USG)
3. Pemeriksaan Konsentrasi Hormon Progesteron
4. Penggunaan Radiografi
5. Pemeriksaan Antigen Embrio.

 Keuntungan Penggunaan IB
Bagi peternak, IB sangat menguntungkan karena tanpa memelihara pejantan
unggul dapat memperoleh bibit (sperma beku) yang unggul, sehingga menghasilkan
keturunan yang unggul. Di samping, itu mencegah meluasnya penyakit kelamin yang
sering ditularkan melalui perkawinan alami. Peternak memperoleh keturunan yang
cepat besar di samping tinggi produksinya (kenaikan berat badan dan prosuksi susu).
Oleh karena itu, dengan adanya program IB, peternak dapat memperoleh keuntungan
yang lebih besar dari usaha peternakannya.
Dengan IB maka penggunaan penjantan yang unggul dapat digunakan secara
maksimal. Sebagai gambaran, jika penjatan kawin secara alami, suatu perkawinan

| Laporan Mini Riset 5


alami hanya akan menghasilkan satu keturunan karena pada sapi dan kerbau jarang
melahirkan kembar. Dengan IB maka potensi untuk meningkatkan seleksi terhadap
pejantan dan keturunannya sangat dimungkinkan sehingga kelak akan bermanfaat
dalam meningkatkan populasi sapi dan kerbau yang berkualitas. Pejantan yang unggul
dengan fertilitas yang tinggi dapat memperpendek jarak beranak (calvin interval) pada
ternak sapi maupun pada kerbau, sehingga efisiensi reproduksi dapat tercapai dan
produktivitas ternak menjadi lebih tinggi sehingga lebih menguntungkan bagi
peternak karena pendapatannya meningkat (Ismaya, 2014).

 Kerugian Penggunaan IB
Apabila jumlah pejantan sedikit atau terbatas maka dimungkinkan dalam suatu
daerah bibit sperma beku (frozen semen) yang ada juga terbatas. Bila ini terjadi dalam
waktu yang lama, dapat menyebabkan terjadinya perkawinan keluarga atau
inbreeding, sehingga menyebabkan produktivitas ternaknya menurun. Namun, hal ini
dapat dibatasi dengan tata laksana yang baik mengenai distribusi sperma beku ke
daerah, misalnya setiap 2 tahun haus ada pergantian bibit sperma beku dalam suatu
daerah. Jika sperma tercemar dengan bibit penyakit kelamin, akan terjadi penyebaran
penyakit secara cepat dan meluas. Jika inseminator kurang terampil maka akan terjadi
pengulangan IB. Apakah inseminator kasar atau ceroboh dalam melakukan inseminasi
dapat menyebabkan luka pada bagian dalam alat reproduksi sapi atau kerbau sehingga
dapat terjadi infeksi. Gangguan pada alat reproduksi dapat menurunkan efisiensi
reproduksi.

2.2 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan sebelumnya, kami dapat
menyimpulkan beberapa hipotesis sebagai berikut.
1. Ho : Hewan ternak (kerbau) di Peternakan Pak Jita yang diamati tidak mengalami
kebuntingan.
H1 : Hewan ternak (kerbau) di Peternakan Pak Jita yang diamati mengalami
kebuntingan.
2. Rumusan masalah kedua tidak dapat dihipotesiskan karena tidak adanya variabel yang
dapat dibandingkan dalam rumusan masalah ini.
3. Untuk rumusan masalah 3 dan 4, kami mengajukan hipotesis yaitu.
Ho : Tidak ada pengaruh dari teknologi reproduksi yang diterapkan di peternakan ini
| Laporan Mini Riset 6
terhadap kualitas anak yang dilahirkan.
H1 : Ada pengaruh dari teknologi reproduksi yang diterapkan di peternakan ini terhadap
kualitas anak yang dilahirkan.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
| Laporan Mini Riset 7
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2021 di Peternakan Sapi Pak Jita yang
berlokasi di Jl. Pasar I Tambak Rejo Kec. Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang
Sumatera Utara.

3.2. Alat dan Objek Penelitian


Alat :
1. Alat tulis dan kertas untuk mencatat hasil dari penelitian.
2. Kamera.
3. Recorder.
4. Laptop untuk mengolah data, baik itu data fisik.
Objek Penelitian :
Kerbau-kerbau dalam keadaan bunting atau tidak bunting di Peternakan Pak Sugianto.

3.3. Instrumen Penelitian


1. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi terkait sistem inovasi teknologi
reproduksi, kuantitas, kualitas, cara pemeliharaan dan pakan yang diberikan pada
sapi sapi di peternakan tersebut. Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui asal
sapi, jenis sapi, bangsa sapi dan bagaimana ciri ciri sapi yang mengalami
kebuntingan sampai yang akan segera melahirkan dengan narasumber sebanyak satu
orang yaitu pengurus peternakan tersebut sehari hari.

2. Observasi
Observasi dilakukan setelah wawancara untuk mengamati keadaan kerbau yang
bunting dan tidak bunting, melihat warna bulu dan karakteristik jenis sapi di
peternakan ini.

3. Prosedur Penelitian
a. Melakukan survey ke lokasi peternakan;
| Laporan Mini Riset 8
b. Melakukan wawancara kepada peternak;
c. Mengamati kondisi hewan ternak;
d. Mengamati hewan ternak yang bunting dan tidak bunting;
e. Mencatat register induk (No. telinga/badan, asal ternak, jenis ternak, bangsa, warna
bulu, diagnosa kebuntingan);
f. Melakukan dokumentasi terhadap ternak yang menjadi sampel penelitian.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
| Laporan Mini Riset 9
4.1. Hasil Wawancara kepada Peternak
1. Nama responden : Jati Siregar
2. Umur : 65 tahun
3. Pekerjaan utama : Peternak
4. Lama beternak : 53 tahun
5. Teknologi Reproduksi yang digunakan : Inseminasi Buatan
6. Lama penggunaan IB : 10 tahun
7. Jenis ternak : Sapi Syawal, Sapi Sementay dan Sapi Eva
8. Warna ternak : Hitam, Coklat & Putih
9. Rata-rata umur induk : 4-5 tahun
10. P : Apakah Bapak bergabung dengan kelompok peternak?
J : Saya tidak bergabung dengan kelompok peternak.
11. P : Apakah Bapak pernah mengikuti pelatihan mengenai peternakan ternak (sapi)
potong?
J : Saya, tidak pernah mengikuti pelatihan mengenai peternakan ternak (sapi)
potong.
12. P : Apakah Bapak memberikan konsentrat pada ternak sapi potong bapak?
J : Saya tidak pernah memberikan konsentrat tertentu kepada ternak, hanya
memberikan rumput biasa.
13. P : Apakah ternak sapi Bapak diberi vitamin, mineral atau tambahan nutrisi?
J : Tidak.
14. P : Apakah Bapak melaksanakan pencatatan (recording) mengenai inseminasi
buatan, kebuntingan, kelahiran dan penyapih anak-anak, status penyakit yang pernah
diderita, pencegahan dan pengobatan penyakit dan catatan lainnya?
J : Pencatatan dilakukan oleh petugas IB, catatannya sudah hilang.
15. P : Apakah Bapak tahu mengenai proses-proses pelaksanaan IB?
J : Semua prosedur IB dilakukan oleh petugas IB, Saya tidak tau-menahu tentang itu.
16. P : Berapa umur induk yang layak untuk melaksanakan reproduksi?
J : Umur 2 tahun sudah bisa bereproduksi.
17. P : Berapa jangka waktu kebuntingan setelah pelaksanaan IB?
J : Jangka waktu kebuntingan setelah IB adalah 21 hari.
18. P : Bagaimana ciri-ciri sapi yang sedang bunting?

| Laporan Mini Riset 10


J : Ciri-cirinya ya setelah 21 hari, dia tidak birahi lagi, perutnya membesar seperti
manusia yang hamil.
19. P : Berapa jangka waktu kehamilan pada ternak sapi?
J : Sama seperti manusia biasanya, sekitar 9 bulan.
20. P : Berapa presentase kesuksesan IB ini, Pak?
J : Ya sekitar 70 %.
21. P : Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kegagalan IB sebesar 30 % tersebut, Pak?
J : Faktor yang menyebabkan kerbau tersebut tidak hamil adalah masa birahi lewat,
bibitnya kadarluwarsa.
22. P : Kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan IB?
J : Waktu inseminasi buatan (IB) yang tepat dilakukan pada hewan ternak kerbau
adalah 1 hari setelah masa birahi.
23. P : Apakah inseminator yang Bapak pekerjakan sudah terdidik dan terlatih untuk
melaksanakan IB?
J : Petugas IB tersebut sudah terdidik, sudah memiliki keterampilan khusus untuk
melakukan inseminasi buatan.
24. P : Keuntungan apa saja yang Bapak dapatkan dari penggunaan IB ini?
J : Keuntungan yang Saya dapatkan dari penggunaan inseminasi buatan pada hewan
ternak itu relatif, kalau semennya bagus, peranakan berhasil dan anak yang
dilahirkan berkualitas.
25. P : Kira-kira, apa kerugian atau kendala yang Bapak rasakan selama penggunaan IB
ini?
J : Kelemahan atau kendala yang dirasakan selama menggunakan inseminasi buatan
pada hewan ternak adalah apabila bibitnya (semen) tidak bagus, tidak terjadi
kebuntingan. Lebih bagus kawin alam.
26. P : Apakah pernah terjadi kelahiran kembar, Pak?
J : Tidak, tidak pernah.
27. P : Apakah Bapak menjual kotoran dari kerbau bapak?
J : Tidak Saya jual, belakangan ini kotoran sapi tidak laku dijual kepasaran, orang
biasa memakai punya sendiri (dari ternak sendiri).
28. P : Apakah Bapak menjual susu dari sapi Bapak?
J : Iya, saya jual

4.2. Pembahasan
| Laporan Mini Riset 11
Peternakan milik Pak Jita, yang berada di Pasar I Tambak Rejo ini telah didirikan
selama 53 tahun.
Ketika melakukan penelitian, kami menemukan sebanyak 8 kerbau milik Pak Jita
sedang mengalami kebuntingan, hipotesis kami sebelum melakukan penelitian ini sudah
terbukti. Beliau mengatakan bahwa ciri-ciri dari ternak yang bunting yaitu ternak tidak
birahi lagi setelah 21 hari, perutnya membesar seperti manusia yang hamil. Hal ini sesuai
dengan ciri-ciri ternak bunting yang diutarakan Ismudiono dkk (2010) yaitu tidak
kembalinya birahi setelah dikawinkan (Non Return).
Kerbau milik Pak Jita biasanya mengalami kebuntingan selama 9 bulan layaknya
manusia pada umumnya. Pak Jita menyebutkan bahwa sapinya yang berusia 2 tahun, sudah
mampu dan layak untuk berproduksi. Pada umur 8-11 bulan biasanaya ternak betina sudah
menunjukan tanda-tanda birahi, ini berarti saluran reproduksinya sudah berkembang
sempurna dan bila terjadi perkawinan dapat terjadi kebuntingan. Waktu ideal untuk
mengawinkan ternak dara untuk pertama kalinya ketika tubuh sudah siap untuk bunting
yaitu sekitar umur 24--30 bulan, dengan masa kebuntingan sekitar 285 hari diharapkan
ketika umur 3 tahun sapi sudah beranak untuk pertama kalinya (Bastian Rusdi dkk, 2016).
Pak Jita telah menggunakan teknologi reproduksi inseminasi buatan selama 10 tahun.
Teknik ini mulai digunakan oleh Pak Jita tanpa dorongan dari akademisi di sekitar
wilayahnya atau dengan kata lain beliau sadar untuk menggunakan teknik ini hanya karena
ajakan teman sesama peternak. Inseminasi Buatan sebenarnya telah berkembang di
Indoenisa sejak tahun 1950-an, untuk IB pada ternak kerbau, pertama kali dilakukan oleh
Toelihere pada tahun 1975 di Tana Toraja, Sulawesi Tenggara. Inseminasi buatan tersebut
dengan menggunakan sperma kerbau belang, hitam-putih (tedong bonga) yang ditampung
dengan menggunakan vagina buatan kemudian diinseminasikan pada 6 kerbau betina.
Setahun kemudian, 4 ekor sapi yang di-IB tersebut melahirkan (Ismaya, 2014).
Waktu inseminasi buatan (IB) yang tepat dilakukan pada hewan ternak sapi adalah 1
hari setelah masa birahi. Jangka waktu kebuntingan setelah dilakukannya inseminasi
buatan adalah 21 hari, disebut begitu karna harus menunggu untuk memastikan apakah
kerbau betina mengalami birahi atau tidak. Faktor terpenting dalam pelaksanaan
inseminasi adalah ketepatan waktu pemasukan semen pada puncak kesuburan ternak
betina. Puncak kesuburan ternak betina adalah pada waktu menjelang ovulasi. Waktu
terjadinya ovulasi selalu terkait dengan periode berahi. Pada umumnya ovulasi
berlangsung sesudah akhir periode berahi. Menurut HAFEZ (1993) bahwa ovulasi pada

| Laporan Mini Riset 12


ternak kerbau terjadi 15-18 jam sesudah akhir berahi atau 35-45 jam sesudah munculnya
gejala berahi (Surya Natal Tambing dkk, 2000).
Bapak ini tidak tahu menahu mengenai proses pelaksanaan IB, Beliau hanya
memanggil petugas IB yang biasa disebut inseminator untuk melaksanakan semua proses
inseminasi. Pemanggilan inseminator dilakukan apabila kerbau betina sedang mengalami
birahi. Inseminator yang Pak Jita pekerjakan disebut sudah terdidik dan terlatih secara
khusus untuk melakukan inseminasi buatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Marthin Sibagariang (2010), jumlah inseminator di Sumatera Utara sudah mencukupi dan
kemampuannyapun sudah memadai.
Keuntungan yang didapatkan Pak Jita selama menggunakan teknologi reproduksi
bergantung kepada semen yang dihasilkan oleh kerbau jantan, kalau semennya bagus
peranakan kerbau berhasil dan anak yang dilahirkan berkualitas. Kerugiannya juga terletak
pada kondisi semen yang dihasilkan, jika semen tidak bagus, tidak terjadi kebuntingan.
Karena memikirkan kerugian tersebut, Pak Jita lebih merasakan kalau kawin alam lebih
baik.
Persentase keberhasilan inseminasi buatan di peternakan ini sebesar 70%. Kegagalan
inseminasi buatan pada umumnya disebabkan oleh masa birahi kerbau betina sudah lewat,
dan bibitnya (semen) kadaluwarsa. Kegagalan reproduksi melalui IB merupakan suatu
interaksi dari berbagai faktor, baik faktor luar maupun faktor dalam hewan itu sendiri
sehingga perlu ditinjau secara epidemologik dengan memandang dunia hewan sebagai
suatu kelompok yang luas. Faktor ketidaksuburan (infertilitas) yang diderita sapi dapat
disebabkan oleh faktor lingkungan atau adanya gangguan hormonal. Faktor lingkungan
dapat dilihat dari makanan, manajemen, penyakit menular dan tidak menular, serta iklim.
Sementara itu, yang disebabkan oleh gangguan hormonal berupa anestrus (gejala sapi tidak
mengalami berahi karena kekurangan hormon estrogen), kista ovaria (adanya kista dalam
indung telur yang diakibatkan kegagalan pematangan sel telur akibat rendahnya
pengeluaran LH/Luteinizing Hormone dan FSH/Follicle Stimulating Hormone) (Fifi
Afiati dkk, 2013).
Sedangkan menurut Toelihere (1997), keberhasilan program IB atau efisiensi
reproduksi dalam program IB pada suatu kelompok ternak ditentukan oleh empat faktor
utama yaitu kualitas semen pejantan, kesuburan ternak betina, keterampilan teknisi dan
pengetahuan zooteknik peternak. Keempat faktor tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi
tergantung secara merata pada semua faktor tersebut. Penurunan drastis pada salah satu

| Laporan Mini Riset 13


faktor akan menurunkan secara drastis pula nilai akhir efisiensi reproduksi (Surya Natal
Tambing dkk, 2000).
M. Yusuf Budi Santoso (2016) dalam tulisannya mengatakan bahwa keterlambatan
birahi kembali pada induk yang sudah melahirkan berhubungan langsung dengan kondisi
pakan yang dikonsumsi. Pada kondisi pemeliharaan peternakan rakyat, pakan yang
diberikan pada sapi hanya mengandalkan pakan hijauan yang ada di padang
penggembalaan, rumput hijau, dan jerami padi. Kejadian ini sama halnya dengan apa yang
dilakukan oleh Pak Jita, Beliau tidak memberikan jenis pakan tertentu kepada ternaknya,
hanya memberikan rumput biasa. Mungkin Pak Jita tidak tahu bahwa dia bukan melewati
masa birahi dari ternak betinya, tapi justru ternak betina yang beliau pelihara mengalami
keterlambatan birahi, yang mana disebabkan oleh kondisi pakan yang dikonsumsi,
sehingga mungkin inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan inseminasi
buatan di peternakan Pak Jita.

BAB V

| Laporan Mini Riset 14


PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, sebanyak 8 ekor kerbau milik Pak Jita
mengalami kebuntingan, dengan ciri-ciri yaitu kerbau tidak birahi lagi setelah 21 hari daan
perutnya tampak membesar layaknya manusia yang hamil. Pak Jita telah menggunakan
teknologi reproduksi inseminasi buatan untuk ternaknya selama 10 tahun. Keuntungan dan
kerugian yang didapat oleh Pak Jita dari penggunaan inseminasi buatan tergantung kepada
semen yang dihasilkan oleh ternak jantan, kalau semennya bagus peranakan kerbau
berhasil dan anak yang dilahirkan berkualitas. Namun, apabila semen yang dihasilkan
tidak bagus, maka tidak akan terjadi kebuntingan. Karena memikirkan kerugian tersebut,
Pak Jita lebih merasakan kalau kawin alam lebih baik.

5.2. Saran
 Bagi peternak
Pemilik ternak diharap ikut serta dalam pelatihan inseminasi buatan. Jangan hanya
berharap pada petugas inseminasi buatan saja. Karena agar pemilik ternak juga tahu
bagaimana proses dari inseminasi buatan itu sendiri. Dan juga bagi pemilik ternak
diharapkan untuk memiliki lahan pakan sendiri demi menghindari persaingan
dengan peternak lainnya.
 Bagi pembaca
Diharapkan supaya lebih paham dan lebih mengenali tentang bagaimana proses dari
inseminasi buatan dan juga menambah wawasan pengetahuan tentang inseminasi
buatan.
 Bagi peneliti
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan mampu untuk lebih lagi mengetahui apa-
apa saja faktor dari inseminasi buatan, pengaruhnya bagi lingkungan, dan juga
keuntungan dan kelebihan dari pembuatan inseminasi buatan tersebut.

| Laporan Mini Riset 15


DAFTAR PUSTAKA

Afiati, Fifi, dkk. 2013. Pembibitan Ternak dengan Inseminasi Buatan. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Elisia, Rini dkk. 2014. Identifikasi Jumlah Folikel Pada Berbagai Ukuran Ovarium Kerbau
yang di Ambil dari Rumah Potong Hewan (RPH). Jurnal Agrotropical. Vol 4 (2).
Ihsan, Mohammad Nur.2010. Ilmu Teknologi Ternak Dasar. Malang: UB Press.
Ismudiono, dkk. 2010. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: ITB.
Ismaya. 2014. Bioteknologi Inseminasi Buatan pada Sapi dan Kerbau. Yogayakarta: Gadjah
Mada University Press.
Octaviani, Nurisa. 2014. Inseminasi Buatan Pada Sapi. Diambil dari
https://www.academia.edu/8831925/Tugas_Teknologi_Reproduksi_dan_Inseminsi_Buata
n_Inseminasi_Buatan_Pada_Sapi_Oleh_Kelas_2012_A hari Sabtu, 9 November 2019
pukul 12.30 wib.
Rusdi, Bastian, dkk. 2016. Calving Interval pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu. Jurnal
Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol. 4 (4).
Santoso, M. Yusuf Budi. 2016. Pengaruh Perbaikan Pakan Terhadap Respon Berahi Pada
Sapi Bali Induk Setelah Melahirkan Melalui Pemberian Konsentrat dengan Level Protein
yang Berbeda. Fakultas Peternakan : Universitas Hasanuddin.
Sibagariang, Marthin, dkk. 2010. Analisis Pelaksanaan Inseminasi Buatan (Ib) pada Sapi dan
Strategi Pengembangannya di Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Agribisnis. Vol. 3 (2).
Suciani. 2015. Teknologi Reproduksi dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Ternak.
Fakultas Peternakan : Universitas Udayana.
Tambing, Surya Natal, dkk. 2000. Optimasi Program Inseminasi Buatan pada Kerbau.
Fakultas Kedokteran Hewan : Institut Pertanian Bogor.

| Laporan Mini Riset 16


LAMPIRAN-LAMPIRAN

Kerbau-Kerbau di Peternakan Pak Jita

| Laporan Mini Riset 17


Kerbau dan 2 Ekor Lembu di Peternakan Pak Sugianto

| Laporan Mini Riset 18

Anda mungkin juga menyukai