PENDAHULUAN
Kemampuan mendengar adalah karunia tuhan yang tiada tara nilainya. Tanpa
pendegaran sangatlah sulit menjalani kehidupan. Kemajuan teknologi saat ini telah
memasuki hampir seluruh sendi-sendi kehidupan manusia, akan tetapi setiap
perkembangan kronolgo tentu akan memberikan dampak baik yang bersifat positif atau
negatif.
Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga
oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber bunyi atau suara
dan gelombang tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya, dan
manakala bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki oleh karena mengganggu atau
timbul di luar kemauan orang yang bersangkutan, maka bunyi-bunyian atau suara
demikian dinyatakan sebagai kebisingan. Bunyi adalah sesuatu yang tidak dapat
dihindari dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tempat kerja. Bunyi meskipun
merupakan bagian dari kerja, ada pula bunyi yang tidak diinginkan, misalnya teriakkan
orang atau bunyi mesin diesel yang melebihi ambang batas pendengaran. Bunyi yang
ditangkap melalui telinga merupakan bagian dari kerja misalnya bunyi teleponm bunyi
mesin cetak dan sebagainya. Sering kali bunyi tersebut meskipun bagian dari kerja
telinga, tetapi secara tidak diinginkan atau kehendak, misalnya teriakkan orang, bunyi
mesin diesel yang melebihi ambang batas pendengaran. Bunyi yang tidak diinginkan
atau kehendaki inilah yang disebut bising atau kebisingan.
Kebisingan merupakan salah satu faktor bahaya fisik yang sering dijumpai di tempat
kerja. Terpapar oleh kebisingan yang berlebihan dapat merusak kemampuan untuk
mendengar (menjadi tuli) dan juga dapat memengaruhi anggota tubuh yang lainnya,
termasuk jantung. Selain merusak tubuh, kebisingan di tempat kerja menyebabkan
kurangnya fokus. Dampak-dampak tersebut sangat berbahaya dan harus dihindari.
Oleh karena itu, praktikum Fisika Lingkungan tentang Kebisingan bertujuan untuk
praktikan dapat mengetahui faktor yang dapat memengaruhi kebisingan. Mengetahui
hasil pengamatan tingkat kebisingan dan dibandingkan dengan KEP. 48/MENLH/1996.
Mengetahui pengaruh kondisi jalan dengan tingkat kebisingan berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan.
Bunyi adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari, termasuk
tempat kerja bunyi yang ditangkap melalui telinga merupakan bagian dari kerja
misalnya bunyi telepon, bunyi mesin cetak, dan sebagainya. Bunyi meskipun
merupakan bagian dari kerja, ada pula bunyi yang tidak diinginkan, misalnya teriakkan
orang atau bunyi mesin diesel yang melebihi ambang batas pendengaran. Bunyi yang
tidak diinginkan atau dikehendaki inilah yang sering disebut bising atau kebisingan
(Notoatmodjo, 2011).
Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga
oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber bunyi atau suara
dan gelombang tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya, dan
manakala bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki oleh karena mengganggu atau
timbul di luar kemauan orang yang bersangkutan, maka bunyi-bunyian atau suara
demikian dinyatakan sebagai kebisingan. Kebisingan adalah bunyi atau suara yang
keberadaannya tidak dikehendaki (noise is unwanted sound). Pada rangka perlindungan
kesehatan tenaga kerja kebisingan diartikan sebagai semua suara/bunyi yang tidak
dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang
pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Heinz, 2011).
Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki oleh manusia dan merupakan faktor
lingkungan yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan. Berdasarkan
KepmenLH RI No. 48 Tahun 1996 tentang Nilai Ambang Batas Tingkat Kebisingan
menyatakan bahwa kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu usaha atau
kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan, termasuk ternak, satwa, dan sistem
alam. Setelah polusi udara dan air, polusi suara di perkotaan dianggap sebagai jenis
pencemaran lingkungan yang paling serius ketiga oleh WHO. Umunya, polusi suara di
daerah perkotaan dihasilkan melalui sumber yang berbeda, diantaranya lalu lintas jalan,
konstruksi dan kegiatan komersial, industri, bandara dan daerah perumahan (Dewanty,
2015).
Mesin memiliki kebisingan dengan suara berkekuatan tinggi. Dampak negatif yang
ditimbulkannya adalah kebisingan yang berbahaya bagi karyawan. Kondisi ini dapat
mengakibatkan gangguan pendengaran yang dikenal dengan Noise Induce Hearing
Loss. Gangguan pendengaran akibat bising atau Noise Induce Hearing Loss merupakan
gangguan pendengaran yang timbul akibat paparan berulang dan lama bisa menahun
yaitu setelah bekerja lebih dari 10- 15 tahun (Mulia, 2010).
Menurut Sedarmayanti (2010), secara garis besar jenis lingkungan kerja terbagi menjadi
dua yakni lingkungan kerja fisika dan non fisik.
a. Lingkungan kerja fisik.
Lingkungan kerja fisik yaitu semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di
sekitar tempat kerja dimana dapat memengaruhi karyawan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Lingkungan kerja fisika sendiri dapat dibagi dalam dua
kategori, yakni:
1) Lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (seperti: pusat
kerja, kursi, meja, dan sebagainya).
2) Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan
kerja yang memengaruhi kondisi manusia, temperatur, kelembaban,
kebisingan, pencahayaan, dan lain-lain.
b. Lingkungan kerja non fisik
Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan
dengan hubungan kerja, baik dengan atasan maupun dengan sesama rekan kerja,
ataupun dengan bawahan.
Terdapat berbagai macam persepsi terkait dengan kebisingan itu sendiri. Diantara
definisi tersebut yaitu bising dalam kesehatan kerja diartikan sebagai suara yang dapat
menurunkan pendengaran baik secara kualitatif (peningkatan ambang pendengaran)
maupun secara kuantitatif (peningkatan spektrum pendengaran). Berkaitan dengan
faktor intensitas, frekuensi, durasi, dan pola waktu (Heinz, 2011).
Menurut Heinz (2011), berdasarkan atas sifat dan spectrum frekuensi bunyi, bising
dapat dibagi atas lima:
Bising yang kontinyu dengan spectrum frekuensi yang luas. Bising ini relative tetap
dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. Misalnya mesin,
kipas angin, dan dapur pijar.
a. Bising yang kontinyu dengan spectrum frekuensi yang sempit. Bising ini juga
relative tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja (pada
frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz). Misalnya gergaji serkuler, katup gas.
b. Bising terputus-putus (intermitten). Bising di sini tidak terjadi secara terus
menerus, melainkan ada periode relative tenang. Misalnya suara lalu lintas,
kebisingan di lapangan terbang.
c. Bising implusif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40
dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Misalnya
tembakan, suara ledakan mercon, dan meriam.
c. Bising implusif berulang. Sama dengan bising implusif, hanya saja disini terjadi
secara berulang-ulang. Misalnya mesin tempa.
2.3 Ukuran Kebisingan
Alat standar untuk pengukuran kebisingan adalah sound level meter (SLM). Sound level
meter dapat mengukur tiga jenis karakter respon frekuensi, yang ditunjukkan dalam
skala A, B, dan C. Skala A ditemukan paling mewakili batasan pendengaran manusia
dan respons telinga terhadap kebisingan, termasuk kebisingan lalu lintas. Pemerintah,
melalui surat keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No: Kep-48/ MENLH/ XI/
1996, tanggal 25 November 1996, tentang kriteria batas tingka kebisingan maksimum
untuk outdoor adalah 55 dBA (Djalante, 2010).
Nilai Ambang Batas (NAB) atau baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat
kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan
sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan. Satuan tingkat intensitas bunyi adalah desibel (dB). Sound level meter
(SLM) adalah alat standar untuk mengukur intensitas kebisingan. Prinsip kerja alat
tersebut adalah dengan mengukur tingkat tekanan bunyi. Tekanan bunyi adalah
penyimpangan dalam tekanan atmosfir yang disebabkan oleh getaran partikel udara
karena adanya gelombang yang dinyatakan sebagai amplitudo dari fluktuasi tekanan.
SLM menunjukkan skala A, B dan C yang merupakan skala pengukuran tiga
jeniskarakter respon frekuensi. Skala A merupakan skala yang paling mewakili batasan
pendengaran manusia dan respon telinga terhadap kebisingan. dB (A) adalah satuan
tingkat kebisingan dalam kelas A, yaitu kelas yang sesuai dengan respon telinga
manusia normal. Kebisingan akibat lalu lintas dan kebisingan yang dapat mengganggu
pendengaran manusia termasuk dalam skala A yang dinyatakan dalam satuan dB (A)
(Suskiyanto, 2011).
Paparan terhadap bising yang cukup keras tidak di lingkungan industri saja, namun juga
dapat timbul dari aktivitas rekreasi seperti konser musik atau arena bermain. Pada jenis-
jenis musik seperti jazz, blues, dan country memiliki kebisingan yang dapat mencapai
80-101 dB. Intensitas yang melebihi dari 85 dB dan terpapar dalam waktu yang lama
pada manusia dapat menyebabkan gangguan pada pendengaran (Yulianto, 2013).
BAB 3
METODE PRAKTIKUM
Pengambilan data Fisika Lingkungan tentang Kebisingan dilaksanakan pada hari Sabtu,
7 April 2018 pukul 06.30 – 09.00 WITA dan 19.00 – 21.00 WITA seta pengolahan data
dilakukan pada hari Senin, 4 Mei 2020 sampai dengan hari Kamis, 7 Mei 2020.
Pengambilan data Fisika Lingkungan dilaksanakan di Jalan Panglima Batur, Jalan KH.
Khalid, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan Temanggung, Samarinda.
3.2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada pengukuran praktikum Fisika Lingkungan tentang
Tingkat Kebisingan adalah:
a. Sound Level Meter
b. GPS dengan spesifikasi Map Garmin
c. Stopwatch
d. Meteran 50 m
e. Payung
f. Kamera
g. Kalkulator
3.2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum Fisika Lingkungan tentang Tingkat
Kebisingan adalah:
a. Baterai
b. Alat tulis
c. Form pengisian
Adapun cara kerja yang digunakan pada praktikum Fisika Lingkungan tentang Tingkat
Kebisingan adalah:
a. Ditentukan titik-titik yang akan dilakukan pengambilan data, 3 titik dalam satu ruas
jalan.
b. Diukur nilai maksimum kebisingan pada suatu titik dalam waktu 5 – 10 menit untuk
setiap detik.
c. Dicatat nilai maksimum pada titik tersebut ke dalam tabel.
d. Diplotkan nilai kebisingan pada selang waktu, yaitu: L1, L2, L3, yakni pukul 06.00
– 09.00 WITA, 13.00 – 16.00 WITA, dan 19.00 – 22.00 WITA.
e. Dihitung nilai LS (tingkat kebisingan pada rentang keseluruhan) menggunakan
rumus.
TINGKAT
KEBISINGAN
Gambar 3.1 Bagan Alir Tingkat Kebisingan
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Perhitungan
4.2.1.1 Titik 1
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik awal dipagi hari = 70,9 dB
Rata-rata kebisingan pada titik awal disiang hari = 77,0 dB
Rata-rata kebisingan pada titik awal dimalam hari = 78,2 dB
Ditanya : LS awal?
Jawab : LS awal = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x70,9+ 3x100,1x77,0 + 3x100,1x78,2)
= 10 log 1/3 (250151714)
= 10 log 83383903,8
= 79,2 dB
4.2.1.2 Titik 2
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik kedua dipagi hari = 72,4 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua disiang hari = 74,6 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua dimalam hari = 79,6 dB
Ditanya : LS kedua?
Jawab : LS kedua = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x72,4+ 3x100,1x74,6+ 3x100,1x79,6)
= 10 log 1/3 (412258222)
= 10 log 137419406
= 81,3 dB
4.2.1.3 Titik 3
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik kedua dipagi hari = 77,5 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua disiang hari = 82,9 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua dimalam hari = 77,2 dB
Ditanya: LS ketiga?
Jawab : LS ketiga = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x77,5+ 3x100,1x82,9+ 3x100,1x77,2)
= 10 log 1/3 (911098016)
= 10 log 303699336
= 84,8 dB
4.2.2.2 Titik 2
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik kedua dipagi hari = 78,0 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua disiang hari = 76,9 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua dimalam hari = 80,9 dB
Ditanya : LS kedua?
Jawab : LS kedua = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x78,0 + 3x100,1x76,9+ 3x100,1x80,9)
= 10 log 1/3 (705301480)
= 10 log 235100491
= 73,6 dB
4.2.2.3 Titik 3
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik kedua dipagi hari = 79,2 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua disiang hari = 78,5 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua dimalam hari = 79,0 dB
Ditanya : LS ketiga?
Jawab : LS ketiga = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x79,2 + 3x100,1x78,5+ 3x100,1x79,0)
= 10 log 1/3 (318032543)
= 10 log106010847
= 80,2 dB
4.2.3.2 Titik 2
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik kedua dipagi hari = 72,4 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua disiang hari = 74,5 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua dimalam hari = 78,8 dB
Ditanya : LS kedua?
Jawab : LS kedua = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x72,4+ 3x100,1x74,5+ 3x100,1x78,8)
= 10 log 1/3 (364258785)
= 10 log 121419594
= 80,8 dB
4.2.3.3 Titik 3
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik kedua dipagi hari = 77,4 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua disiang hari = 80,5 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua dimalam hari = 77,7 dB
Ditanya : LS ketiga?
Jawab : LS ketiga = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x77,4+ 3x100,1x80,5+ 3x100,1x77,7)
= 10 log 1/3 (678120893)
= 10 log 226040295
= 83,5 dB
4.2.3.4 Rata-Rata Titik 3
4.2.4.2 Titik 2
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik kedua dipagi hari = 72,8 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua disiang hari = 74,6 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua dimalam hari = 73,3 dB
Ditanya : LS kedua?
Jawab : LS kedua = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x72,8+ 3x100,1x74,6 + 3x100,1x73,3)
= 10 log 1/3 (348867842)
= 10 log 116289280
= 80,6 dB
4.2.4.3 Titik 3
Diketahui : Rata-rata kebisingan pada titik kedua dipagi hari = 74,0 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua disiang hari = 78,3 dB
Rata-rata kebisingan pada titik kedua dimalam hari = 75,5 dB
Ditanya: : LS kedua?
Jawab: ; LS kedua = 10 log 1/3 (3x100,1xdB1 + 3x100,1xdB2 + 3x100,1xdB3)
= 10 log 1/3 (3x100,1x74,0+ 3x100,1x78,3 + 3x100,1x75,5)
= 10 log 1/3 (384625502)
= 10 log 128208499
= 81,07 dB
4.2.4.4 Rata-Rata Titik 3
4.3 Pembahasan
Bunyi yang tidak diinginkan atau dikehendaki inilah yang sering disebut bising atau
kebisingan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kebisingan lingkungan
sebagai kebisingan dari semua sumber dengan pengecualian kebisingan di tempat kerja.
Noise adalah semua suara yang tidak diinginkan atau serangkaian suara yang
menyebabkan gangguan atau dapat berdampak pada kesehatan. WHO mengakui bahwa
polusi suara merupakan masalah yang semakin meningkat. Tingkat kebisingan diukur
dalam desibel (dB). Semakin keras kebisingan, semakin tinggi desibel. Desibel dapat
disesuaikan dengan pendengaran manusia. Tingkat kebisingan dijelaskan dalam desibel
A (dBA). Efek kebisingan bervariasi sesuai dengan kebisingan tempat seseorang
terpapar. Mendengarkan musik dengan suara keras dalam waktu lama (75 dBA selama
delapan jam sehari selama bertahun-tahun) dapat menyebabkan gangguan pendengaran.
Tubuh juga dapat merespons tingkat kebisingan yang lebih rendah: tidur dapat
terganggu oleh suara bising di luar ruangan sebesar 40 dBA.
Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, bising dapat dibagi atas lima. Bising
yang kontinyu dengan spectrum frekuensi yang luas. Bising ini relative tetap dalam
batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. Misalnya mesin, kipas
angin, dan dapur pijar. Bising yang kontinyu dengan spectrum frekuensi yang sempit.
Bising ini juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja
(pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz). Misalnya gergaji serkuler, katup gas. Bising
terputus-putus (intermitten). Bising di sini tidak terjadi secara terus menerus, melainkan
ada periode relative tenang. Misalnya suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang.
Bising implusif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB
dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Misalnya
tembakan, suara ledakan mercon, dan meriam. Bising implusif berulang, sama dengan
bising implusif, hanya saja disini terjadi secara berulang-ulang. Misalnya mesin tempa.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kebisingan. Pertama adalah kondisi lalulintas
yang dapat mencakup volumenya per jam, perpecahan arah lalu lintas, persentasi truk,
dan kecepatan. Data lalu lintas yang digunakan untuk prediksi tingkat suara tahun yang
ada dan tahun desain harus mewakili Design Hour Volume (DHV) atau volume per jam
maksimum, di mana pun yang menciptakan tingkat suara tertinggi. DHV biasanya
terjadi pada pagi dan / atau sore hari dimana kondisi lalu lintas mencapai puncaknya
dari jam 7:00 - 9:00 pagi dan 4:00 - 6:00 sore. Apapun kondisi yang digunakan,
maksudnya adalah untuk menentukan volume lalu lintas per jam yang mungkin terjadi
secara teratur, hari demi hari. Perpecahan arah lalu lintas di jalan raya termasuk faktor
utama. Tingkat kebisingan ditentukan dengan menggunakan pembagian arah. Saat
mengevaluasi apakah ada dampak kebisingan di kedua sisi jalan, persentase lalu lintas
tertinggi harus ditetapkan ke jalur yang paling dekat dengan sisi yang dievaluasi dan
persentase yang lebih rendah ke jalur di arah yang berlawanan lebih jauh jauh.
Penggunaan persentase truk yang besar atau merupakan penyebab umum dalam prediksi
tingkat kebisingan. Kecepatan rata-rata harus konsisten. Secara umum, kecepatan rata-
rata tidak boleh melebihi batas kecepatan yang dipasang.
Pada praktikum fisika lingkungan kali ini, terdapat beberapa fungsi dari alat dan bahan.
Sound Level Meter berfungsi sebagai alat yang dipakai untuk mengukur kebisingan.
GPS berfungsi untuk menentukan titik koordinat praktikum. Meteran 50 meter
berfungsi untuk mengukur tempat praktikum yang akan digunakan. Stopwatch berfungsi
untuk menghitung waktu. Payung berfungsi untuk melindungi alat dari panas dan
gangguan-ganguan lainnya. Kamera berfungsi memotret proses dan hasik praktikum.
Kalkulator berfungsi untuk menghitung hasil praktikum. Baterai berfungsi untuk
mengisi daya SLM. Alat tulis berfungsi untuk mencatat hasil praktikum. Form
pengisian berfungsi untuk mengisi data yang diperlukan.
Gambar 4.1 Sound Level Meter
Pada dasarnya, sound level meter mampu mendeteksi getaran yang terjadi. Getaran yang
dihasilkan sebuah benda akan menimbulkan terjadinya perubahan tekanan udara, yang
selanjutnya akan ditangkap oleh sistem peralatan kemudian jarum analog akan
menunjukkan angka yang merupakan indikator tingkat kebisingan suatu benda dan
dinyatakan dengan nilai dB. Agar dapat menangkap kebisingan suatu benda, maka alat
diarahkan ke sumber suara setinggi telinga. Sound Level Meter memiliki beberapa
komponen antara lain mikrofon serta sirkuit elektronik seperti attenuator, skala
indikator, dan 3 jaringan respon frekuensi dan amplifier. 3 jaringan tersebut telah
dilakukan standarisasi agar dapat memberikan pendekatan yang tepat saat melakukan
pengukuran tingkat kebisingan. Alat ini juga memiliki LCD panel, yang berfungsi
sebagai pembacaan alat.
Praktikum ini dilakukan pengukuran di empat tempat yaitu Jalan Panglima Batur, Jalan
KH. Khalid, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan Temanggung. Praktikum ini dilakukan
pengukuran kebisingan dan penentuan titik koordinat. Praktikum dilakukan pada pagi,
siang dan malam pada 3 titik dimana pengukuran dilakukan 20 kali per masing-masing
titik pada waktu tertentu. Pengukuran di Jalan Panglima Batur pada pagi hari, titik awal
mendapat rata-rata 75,4, titik kedua mendapat rata-rata 70,1 dan titik ketiga
mendapatkan rata-rata 68,3. Pada siang hari, titik awal mendapatkan rata-rata 75,8 titik
kedua mendapatkan rata-rata 71,2 dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 73,8. Pada
malam hari, titik awal mendapat rata-rata 76,4, titik kedua mendapat rata-rata 78,5 dan
titik ketiga mendapat rata-rata 80,5. Pengukuran di Jalan KH. Khalid pada pagi hari,
titik awal mendapatkan rata-rata 77,3, titik kedua mendapatkan rata-rata 78,005, dan
titik ketiga mendapatkan rata-rata 79,22. Pada siang hari, titik awal mendapatkan rata-
rata 77,33, titik kedua mendapatkan rata-rata 76,85, dan titik ketiga mendapatkan rata-
rata 78,51. Pada malam hari, titik awal mendapatkan rata-rata 79,93, titik kedua
mendapatkan rata-rata 80,95, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 79,07. Pengukuran
di Jalan Jendral Sudirman pada pagi hari, titik awal mendapatkan rata-rata 69,68, titik
kedua mendapatkan rata-rata 72,42, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 77,4. Pada
siang hari, titik awal mendapatkan rata-rata 76,87, titik kedua mendapatkan rata-rata
74,49, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 80,58. Pada malam hari, titik awal
mendapatkan rata-rata 78,12, titik kedua mendapatkan rata-rata 78,81, dan titik ketiga
mendapatkan rata-rata 77,71. Pengukuran di Jalan Temanggung pada pagi hari, titik
awal mendapatkan rata-rata 71,62, titik kedua mendapatkan rata-rata 72,85, dan titik
ketiga mendapatkan rata-rata 74,05. Pada siang hari, titik awal mendapatkan rata-rata
78,35, titik kedua mendapatkan rata-rata 74,67, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata
78,32. Pada malam hari, titik awal mendapatkan rata-rata 73,18, titik kedua
mendapatkan rata-rata 73,31, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 75,55. Selanjutnya
adalah dilakukan pengukuran koordinat pada tiap tempat. Jalan Panglima Batur pada
titik 1 mendapat X = 9944527, Y = 516373, pada titik 2 mendapat X = 9944526, Y =
516378. Jalan KH. Khalid pada titik 1 mendapat X = 9944527, Y = 516373, pada titik 2
mendapat X = 9944526, Y = 516378. Jalan Jendral Sudirman pada titik 1, mendapat X
= 9944529, Y = 516343, pada titik 2 mendapat X = 9944529, Y = 516340. Jalan
Temanggung pada titik 1 mendapat X = 9944517, Y = 516358, pada titik 2 mendapat X
= 9944511, Y = 516359.
Perbandingan kelompok antara kelompok 6 dan 7 memiliki beberapa perbedaan.
Pertama adalah perbedaan tempat. Kelompok 6 melakukan pengukuran di Jalan
Panglima Batur, Jalan KH. Khalid, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan Temanggung
sedangkan kelompok 7 melakukan pengukuran di Jalan AW. Syahranie, Jalan Wahid
Hasyim II, Jalan P.M Noor, dan Jalan Wahid Hasyim I. Perbedaa kedua adalah pada
kelompok 6 dilakukan pengukuran di 3 titik sedangkan pada kelompok 7 pengukuran
dilakukan hanya pada 2 titik. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan bedanya
kebisingan karena tiap tempat memiliki perbedaan volume kendaraan yang berlalu-
lalang. Selain itu, kelompok 7 di Jalan A.W Syahranie pada pagi titik 1 mendapat rata-
rata 78,9, titik 2 80,4. Pada siang titik 1 mendapat rata-rata 73,4, titik 2 76,1. Pada
malam titik 1 mendapat rata-rata 80,24, titik 2 76,4. Pada jalan Wahid Hasyim 2 pada
titik 1 mendapat rata-rata 74,06, titik 2 74. Pada siang hari titik 1 mendapat rata-rata
76,02, titik 2 mendapat rata-rata 80,8. Pada malam hari titik 1 mendapat rata-rata 76,05,
titik 2 mendapat rata-rata 80,01. Pada jalan P.M Noor di pagi hari, titik 1 mendapat rata-
rata 79,2, titik 2 mendapat rata-rata 75,8. Pada siang hari, titik 1 mendapat rata-rata
74,6, titik 2 mendapat rata-rata 72,6. Pada malam hari, titik 1 mendapat rata-rata 80,5,
titik 2 mendapat rata-rata 79,0. Sedangkan pada kelompk 6 pengukuran di Jalan
Panglima Batur pada pagi hari, titik awal mendapat rata-rata 75,4, titik kedua mendapat
rata-rata 70,1 dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 68,3. Pada siang hari, titik awal
mendapatkan rata-rata 75,8 titik kedua mendapatkan rata-rata 71,2 dan titik ketiga
mendapatkan rata-rata 73,8. Pada malam hari, titik awal mendapat rata-rata 76,4, titik
kedua mendapat rata-rata 78,5 dan titik ketiga mendapat rata-rata 80,5. Pengukuran di
Jalan KH. Khalid pada pagi hari, titik awal mendapatkan rata-rata 77,3, titik kedua
mendapatkan rata-rata 78,005, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 79,22. Pada siang
hari, titik awal mendapatkan rata-rata 77,33, titik kedua mendapatkan rata-rata 76,85,
dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 78,51. Pada malam hari, titik awal mendapatkan
rata-rata 79,93, titik kedua mendapatkan rata-rata 80,95, dan titik ketiga mendapatkan
rata-rata 79,07. Pengukuran di Jalan Jendral Sudirman pada pagi hari, titik awal
mendapatkan rata-rata 69,68, titik kedua mendapatkan rata-rata 72,42, dan titik ketiga
mendapatkan rata-rata 77,4. Pada siang hari, titik awal mendapatkan rata-rata 76,87,
titik kedua mendapatkan rata-rata 74,49, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 80,58.
Pada malam hari, titik awal mendapatkan rata-rata 78,12, titik kedua mendapatkan rata-
rata 78,81, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 77,71. Pengukuran di Jalan
Temanggung pada pagi hari, titik awal mendapatkan rata-rata 71,62, titik kedua
mendapatkan rata-rata 72,85, dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 74,05. Pada siang
hari, titik awal mendapatkan rata-rata 78,35, titik kedua mendapatkan rata-rata 74,67,
dan titik ketiga mendapatkan rata-rata 78,32. Pada malam hari, titik awal mendapatkan
rata-rata 73,18, titik kedua mendapatkan rata-rata 73,31, dan titik ketiga mendapatkan
rata-rata 75,55.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Sebaiknya pada praktikum selanjutnya, praktikum tidak hanya dilakukan di jalan raya,
tetapi juga tempat-tempat lainnya seperti perumahan atau pemukiman, ruang terbuka
hijau, industri, rumah sakit atau sejenisnya, dan lain-lain agar praktikan bisa
membedakan tingkat kebisingan di tempat yang berbeda dengan aktivitas yang berbeda
pula.
DAFTAR PUSTAKA
2. Djalante, S., 2010, Analisis Tingkat Kebisingan di Jalan Raya yang Menggunakan
Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas (APILL) (Studi Kasus: Simpang Ade Swalayan),
Jurnal SMARTek, Vol. 8, No. 4, Diakses pada tanggal 5 Mei 2020 pukul 19.23
WITA.