SKRIPSI
Oleh :
FAHREVY
N I M : 040600049
TIM PENGUJI
Tahun 2009
Fahrevy
ix + 31 halaman
keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan
lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada
jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena
mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat
sakit. Oleh karena itu, para dokter gigi harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance
mengalami kegawadaruratan.
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, yang tidak henti-
mestinya.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
terdalam kepada semua pihak yang telah mendoakan dan memberikan dukungan moril
dan materil yang tidak ternilai harganya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
1. Drg. Abdullah selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan
2. Drg. Eddy Anwar Ketaren Sp.BM, selaku kepala Departemen Ilmu Bedah Mulut
3. Ayahanda tercinta Drg. Saifuddin Ishak M.Kes dan Ibunda Hj.Atunisa atas segala
kasih sayang, doa, pengorbanan, bimbingan dan dukungan moril serta materil
4. Drg. Wilda Hafni Lubis selaku pembimbing akademik atas bimbingannya selama
Utara
5. Teman-teman yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa serta tempat
berbagi dalam suka dan duka, Candra, Tito, Efril, Fahmi, Tuiq, Kikin, Gostri,
6. Adik-adik dan senior yang telah memberikan semangat, doa, bantuan, dan
masukan serta pengalaman yang tidak ternilai kepada penulis, Reza, Ala, Alit,
Cece, Arbi, Ulfa, Intan, Ami, Abib dan seluruh keluarga besar HMI Komisariat
FKG-USU. Semoga ALLAH Yang Maha Memelihara akan selalu menjaga hati
Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis berharap, semoga skripsi ini dapat
memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi ilmu pengetahuan dan kita semua.
Penulis
(Fahrevy)
NIM : 040600049
Halaman
Gambar Halaman
3 Fraktur Le Fort.................................................................................... 9
simfisis ...............................................................................................
....................................................................................................... 17
subkondilar .........................................................................................
....................................................................................................... 17
Ethmoid ............................................................................................... 18
Halaman
Tahun 2009
Fahrevy
ix + 31 halaman
keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan
lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Trauma pada
jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena
mencakup bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat
sakit. Oleh karena itu, para dokter gigi harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance
mengalami kegawadaruratan.
PENDAHULUAN
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada maksilofaksial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas
adalah penyebab dengan persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada
orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai
batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan
kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat
Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma
maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta menggunakan
penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan terjadinya gangguan saluran
tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal
tersebut terjadi mungkin disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien
dengan batas kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari
diagnosa yang diamati secara klinis baik pada pemeriksaan intra oral maupun ekstra oral,
serta pemeriksaan radiologi dan laboratorium sehingga dokter gigi dapat melakukan
TRAUMA MAKSILOFASIAL
2.1 Defenisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya.2 Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
1. Tulang hidung
3. Tulang mandibula
4. Tulang maksila
6. Gigi
7. Tulang alveolus
2.2 Etiologi
kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas
adalah penyebab utama trauma maksilobasial yang dapat membawa kematian dan
kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar
harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan
orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile).9 Berikut
Tabel 1. Etiologi trauma maksilofasial (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah
mulut. Alih bahasa, Purwanto, Basoeseno, Jakarta: 1987 : 222)
Penyebab Persentase (%)
Dewasa
Olahraga 5-10
Jatuh 5
Lain-lain 5-10
Anak-anak
Jatuh 5-10
jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya
disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma
dari luar.11,10
a. Ekskoriasi
c. Luka bakar
d. Luka tembak
1)
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya ( pengistilahan ) :
I. Tipe fraktur
1. Fraktur simpel
• Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik
fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
2. Fraktur kompoun
• Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu
tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan
beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
3. Fraktur komunisi
• Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru
yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.
• Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan
4. Fraktur patologis
• keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti
Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis
2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )
2. Oblique ( miring )
3. Spiral (berputar)
4. Komunisi (remuk)
a. Angulasi / bersudut
b. Distraksi
c. Kontraksi
d. Rotasi / berputar
e. Impaksi / tertanam
a. Dento alveolar
b. Prosesus kondiloideus
c. Prosesus koronoideus
d. Angulus mandibula
e. Ramus mandibula
f. Korpus mandibula
Gambar 3. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le Fort I,
II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of injury and its
surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5).
3.1 Pengertian
jaringan sekitarnya, baik pada tulang maupun jaringan lunak. Tingginya frekuensi
trauma pada wajah disebabkan karena wajah merupakan daerah yang terbuka dan paling
Pada umumnya prinsip perawatan cedera hanya terdiri atas fiksasi gigi pada
oklusi sentrik, kemudian pada daerah fraktur rahang dilakukan reposisi dan fiksasi antar
fragmen. Fraktur-fraktur yang pada zaman dahulu tidak dapat diidentifikasi sama sekali
atau hanya bersifat dugaan, sekarang ini dengan perkembangan radiologi terkini bisa
ditunjukkan sampai hal yang terkecil. Dengan peralatan yang khusus, membuat
pendekatan peroral pada perawatan fraktur maksilofasial menjadi aman dan layak
dilakukan.4,6,9
dengan trauma yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan
saluran pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih
dahulu. Kemudian baru dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status neurologis
10
pemeriksaan yang berharga untuk menentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan
dapat juga diberi stimulus yang menyakitkan. Disamping itu, lamanya kehilangan
Adapun gejala dan tanda sumbatan jalan napas yang tampak pada pasien yang
- Aliran udara dari mulut atau hidung tidak dapat didengar atau dirasakan.
- Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga serta
berupa cairan, dan bunyi bengek (wheezing) yang menandakan adanya sumbatan
Keadaan di atas merupakan suatu keadaan yang akut, yang disertai dengan
penurunan fungsi respirasi yang mengancam jiwa, dimana terjadi hipoksemia dan
hiperkarbia atau hipoksemia saja.13 Tanda dari hipoksemia antara lain bingung, gelisah,
hiperkarbia antara lain sakit kepala, mengantuk, sedasi, takipnea, dispnea, batuk dan
yang disebut juga mati klinis. Tanda napas dan jantung berhenti adalah sebagai berikut :
10,11,14
5. Tidak teraba denyut arteri besar, yaitu arteri femoralis dan arteri karotis pada
orang dewasa, atau arteri brakialis pada bayi atau anak kecil. Tanda ini muncul segera
Pemeriksaan di luar rongga mulut yakni pada leher dan kepala merupakan
pemeriksaan awal yang bermanfaat. Luka pada wajah dicatat mengenai lokasi, panjang,
dan kedalamannya serta kemungkinan terlibatnya struktur di bawah luka seperti arteri,
saraf, dan glandula saliva (kelenjar ludah). Bagian yang mengalami abrasi dan kontusi
dicatat. Edema fasial diobservasi dan dievaluasi karena ini bisa merupakan tempat yang
yang dimulai dari atas hingga ke bawah. Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari
cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan sutura nasofrontalis dipalpasi secara
bersamaan kanan dan kiri. Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin
dan sutura dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari
mengalami nyeri tekan menunjukkan adanya fraktur atau trauma pada saraf. Arkus
Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya
tengah atau terjadi pergeseran ke arah lateral. Pergerakan mandibula juga dievaluasi
gerakan diperhatikan pada semua arah dan kemudian jarak inter insisal dicatat. Pada
fraktur subkondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang amat sangat atau
kaput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai
dari prosesus kondilaris sampai ke simfisis mandibula. Adanya nyeri tekan dan kelainan
Pemeriksaan trauma pada rongga mulut meliputi pemeriksaan jaringan lunak dan
jaringan keras serta pemeriksaan adanya pembengkakan dan laserasi. Trauma pada
rongga mulut yang berhubungan dengan trauma maksilofasial bervariasi mulai dari
fraktur mahkota dan akar gigi sampai avulsi gigi dari soketnya, serta laserasi mukosa di
rongga mulut dan bibir. Pemeriksaan oklusi gigi geligi juga dilakukan pada pasien yang
mengalami trauma maksilofasial karena fraktur rahang dapat menyebabkan gigi sulit
untuk oklusi (maloklusi). Setiap gigi yang ada harus dilakukan pemeriksaan, apakah
kemungkinan adanya gigi atau protesa yang patah sebaiknya dapat dikeluarkan. 22
oral tidak dapat dilakukan bila daerah tersebut tertutup darah. Bila pasien sadar dan tidak
dirawat di rumah sakit, dapat diberikan larutan obat kumur. Namun biasanya dokter gigi
harus membersihkan darah yang membeku dengan menggunakan kapas atau kain kasa
steril. 4,5,7,9,19
Pada pemeriksaan mandibula, palpasi dilakukan pada bagian sulkus lingualis dan
bukalis dengan hati-hati, karena kemungkinan adanya pergeseran tulang. Daerah yang
diduga fraktur diraba dengan ibu jari dan telunjuk diletakkan di kedua sisi yang diduga
Pemeriksaan radiologi dilakukan jika pemeriksaan klinis intra dan ekstra oral
telah selesai dilakukan. Jika pada pemeriksaan klinis memberikan gambaran adanya
fraktur rahang, maka perlu dilakukan pengambilan radiografi untuk mempertegas hal
Berikut ini beberapa jenis radiografi yang dapat dipakai untuk melihat adanya
fraktur maksilofasial:
1. Foto Anterior-Posterior
2. Foto TMJ
3. Foto Panoramik
6. Water’s View
daerah parasimfisis, sedangkan foto panoramik lebih ditujukan pada fraktur yang terjadi
di mandibula dan maksila. Pengambilan foto oklusal dan periapikal dilakukan jika terjadi
trauma terhadap gigi sehingga gigi mengalami luksasi dan avulsi atau adanya fraktur
kondilar. Pemeriksaan fraktur dapat juga dibantu tomografi komputer atau Computed
Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang luas dan kemungkinan
yang lain, yakni tidak menghasilkan gambaran yang tumpang tindih dan dapat
yang sangat penting dalam menentukan diagnosa yang akurat dari fraktur maksilofasial.
Selain dapat menentukan adanya fraktur, CT juga dapat menunjukkan adanya trauma
intrakranial, misalnya hematom intra atau ekstra-serebral, daerah kontusio dan edema
serebral. 4,7,10, 18
fraktur wajah:
Pada korban trauma sering mengalami hilangnya kesadaran. Pada penilaian awal
dan tahap penatalaksanaan pasien tersebut sering dipakai istilah ABCDE. Adapun tahap-
Hal ini harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami depresi pernapasan akut,
termasuk memastikan aliran udara ke saluran napas atas dan bawah lancar. Pada
pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran, lidah akan jatuh ke belakang
dan menyumbat faring. Hal yang perlu dilakukan adalah mengangkat dagu atau rahang
20
pasien untuk menghembuskan udara ke luar dengan baik dari dalam dada. Pernafasan
yang baik harus meliputi fungsi yang baik dari paru-paru, dinding dada dan diafragma.
Gangguan pernafasan sering dijumpai pada pasien yang mengalami kasus trauma.
Frekuensi napas merupakan indikator yang penting. Pasien dengan frekuensi napas
lebih dari 20 kali per menit harus diperiksa dengan teliti untuk memastikan ada atau
palpasi, perkusi dan auskultasi. Tindakan inspeksi dan palpasi dapat menemukan
kelainan dinding dada yang menggangu pernafasan. Perkusi dilakukan untuk menilai
adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Sedangkan tindakan auskultasi
pernafasan dapat disebabkan oleh adanya luka atau kelainan seperti tension
dan patahnya tulang iga. Jika pernafasan spontan tidak dijumpai, maka tindakan yang
dapat dilakukan adalah ventilasi buatan (Gambar 11). Ventilasi buatan dapat dilakukan
dari mulut ke mulut, mulut ke hidung ataupun mulut ke trakea. Selain tindakan
ventilasi buatan, intubasi endotrakeal juga dapat dilakukan melalui mulut atau hidung.
Pemberian oksigen juga dapat dilakukan dengan memakaikan kantong berkatup yang
dihubungkan ke masker (face mask). Tindakan bedah juga dapat dilakukan untuk
mengatasi gangguan nafas yakni dengan melakukan tindakan surgical airway (crico-
thiroidotomy).3,8,14,24
c. C-Circulation (sirkulasi)
ventilasi yang merupakan faktor penyebab kematian dini yang sering terjadi pada
kasus trauma, penyebab lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah kegagalan
mengembalikan volume darah yang hilang secara adekuat pada pasien yang
mengalami perdarahan hebat. Setiap keadaan hipotensi yang dialami pasien setelah
mendapat trauma harus diduga akibat perdarahan serius.3,8,14 Ada 3 penemuan klinis
kesadaran, warna kulit, dan nadi. Jika volume darah menurun, perfusi oksigen ke otak
kulit juga dapat menunjukkan keadaan penurunan volume darah yakni ditandai oleh
adanya penurunan volume darah yang ditandai oleh nadi yang cepat dan kecil. Namun,
tidak selamanya nadi yang cepat dan kecil disebabkan oleh penurunan volume darah.
Cara pemeriksaan nadi yakni meraba nadi yang besar seperti a. femoralis atau a.
karotis.24 Jika pasien mengalami henti jantung, tindakan yang dapat dilakukan adalah
pijat jantung luar. Pijat jantung luar dilakukan dengan menekan dada pasien secara
lembut dan berirama. Caranya yakni penolong berlutut di samping korban dan
meletakkan sebelah tangannya di atas 1/3 bawah tulang dada pasien. Tangan penolong
yang lain diletakkan di atas tangan pertama. Kemudian penolong menekan dada pasien
kira-kira 4-5 cm. Penekanan yang dilakukan harus diikuti juga dengan pemberian
d. D-Disability (ketidakmampuan)
Tahapan ini menilai status neurologis pasien secara menyeluruh. Hal yang perlu
dilakukan adalah mengamati tingkat kesadaran dan ukuran atau reaksi pupil, serta
penurunan oksigenasi ke otak atau trauma langsung ke otak. Penilaian ukuran atau
e. E-Exposure (paparan)
Pada tahapan ini, hal yang perlu dilakukan adalah melonggarkan atau melepaskan
pakaian pasien agar dapat memeriksa bagian depan dan belakang tubuhnya. Jika sulit
melepaskan pakaian pasien, dapat juga dilakukan dengan memotong pakaian pasien
dengan gunting.3,8,14 Hal yang penting lainnya adalah menutupi tubuh pasien dengan
Penekanan, baik langsung dengan jari ataupun secara tidak langsung dengan
menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan di rongga mulut.
perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah serius, tetapi karena diperlukan
untuk tindakan bedah selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma maksilofasial yang
fraktur yang lain yaitu reposisi, fiksasi, imobilisasi dan rehabilitasi. Reposisi bisa
dilakukan secara tertutup tanpa melihat garis fraktur, maupun terbuka langsung melihat
garis fraktur dengan membuka kulit atau mukosa di atas fraktur yang terjadi. Setelah
reposisi, fragmen fraktur dapat dilakukan fiksasi internal menggunakan kawat atau plat
dan sekrup. Bila perlu imobilisasi maka dapat dilakukan pemasangan fiksasi intermaksila
dengan menggunakan arch bar pada maksila dan mandibula yang kemudian keduanya
menimbulkan penyumbatan jalan nafas pada pasien yang tidak sadar atau setengah sadar.
menghilangkan seluruh fragmen gigi-gigi, tambalan yang pecah dan gigi tiruan. Bila
tersedia suction, beku darah dan ludah harus disedot dan pasien dibaringkan sedemikian
rupa sehingga darah dan sekresi dapat keluar dari rongga mulut. Bila daerah simfisis
terkena fraktur, ada kemungkinan lidah jatuh ke belakang dan menyumbat saluran
pernafasan pada pasien yang kehilangan daya kontrol dari otot intrinsik. Kadang-kadang
jahitan ditempatkan melalui dorsum lidah untuk membantu dalam mengontrol posisi
lidah. Posisi yang paling baik untuk pasien yang tidak sadar adalah berbaring miring
(Gambar 13). Posisi ini juga harus digunakan untuk memindahkan pasien dari unit
terjadinya fraktur. Tindakan penutupan luka dilakukan untuk mencegah masuknya kuman
atau bakteri serta mencegah perdarahan yang lebih banyak lagi. Sebelum menutup luka,
luka harus dibersihkan untuk menghilangkan benda asing dan mencegah terbentuknya
jaringan parut yang buruk. Luka harus dibersihkan perlahan-lahan, bila perlu dengan
antiseptik ringan.5,15,20
Pada sebagian besar kasus trauma, perlu dilakukan splinting sementara dari
fragmen gigi atau tulang dan juga dapat dilakukan pemasangan alat seperti bandage. Bila
Sebagian besar pasien dengan fraktur mandibula tidak terlalu merasa sakit, akan
tetapi bila mandibula bergerak terasa sangat tidak nyaman dan sakit. Keadaan ini
merupakan salah satu indikasi untuk segera melakukan immobilisasi mandibula. Hal ini
diharapkan agar tidak terjadi suatu kerusakan yang lebih parah dan dapat mengurangi
karena bahan ini dapat menekan reflek batuk pada pusat pernafasan dan juga menutupi
rasa sakit.5,7,20
sebaiknya pasien puasa ± 6 jam sebelumya. Setelah operasi selesai, perlu diberikan IVFD
(infus) dan obat-obatan per oral ataupun dapat juga diberikan makanan lunak/cair dengan
menggunakan pipet.5, 20
KESIMPULAN
oleh kecelakaan lalu lintas. Kematian sering terjadi pada jam pertama paska trauma. Hal
ini terutama disebabkan penanganan trauma yang tidak sistematis, cermat, cepat, dan
terpadu.
sistematis dan terorganisir, sesuai dengan skala prioritas penanganan yang akan
meningkatkan kualitas dan kuantitas ketahanan hidup pada pasien trauma maksilofasial.
dari pasien. Keadaan pasien yang dicapai pada awal perawatan harus dipertahankan dan
Perawatan darurat pada trauma maksilofasial oleh dokter gigi hanya mencakup
bantuan hidup dasar (basic life support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan
Transportasi pasien ke rumah sakit harus cepat terutama pada pasien dengan trauma
kompleks yang harus segera mendapatkan perawatan yang lebih baik, baik dari segi
tenaga medis maupun peralatannya, seperti trauma kepala, trauma servikal, trauma
1. Lavy CBD, Barrett DS. Ortopedi dan fraktur sistem apley. 7th ed. Alih bahasa Edi
2. Kumala P, dkk. Kamus saku kedokteran dorland. 25th ed. Dyah Nuswantari, eds.
4. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa. Purwanto, Basoeseno.
1990 : 2 -39
6. London PS. The anatomy of injury and its surgical implication. Oxford :
7. Obuekwe ON, Ojo MA, Akpata O, Etetafia M. Maksilofacial trauma due to road
traffic accident in benin city, Nigeria. Annals Of African Medicine, Vol 2(2) : 2003 :
58-63
8. Nealon TF Jr. Nealon WH. Keterampilan pokok ilmu bedah. 4th ed. Alih Bahasa.
10. Eliastam M, Sternbach GL, Blesler MJ. Penuntun kedaruratan medis. 5th ed. Alih
12. Hussain SS, dkk. Maxilloficial trauma: Current practice in management at pakistan
13. Connolly RC. Trauma Kapitis. In : Aston JN. Kapita selekta traumatologik dan
ortopedik. 3th ed. Alih Bahasa. Petrus Andrianto. Jakarta : EGC, 1994 : 11-12
14. Duddley HAF, eds. Hamilton bailey ilmu bedah gawat darurat. 11st ed. Penerjemah.
1992 : 20-3:125-74:222
15. Ballinger WF, Rutherford RB, Zeidema Gd, eds. The management of trauma.
16. Ramali A. Pamoentjak ST. Kamus kedokteran. Jakarta : Djambatan, 1992 : 17-133:
221
17. Shahim FN, Cameron P, Mc Neil JJ. Maxillofacial trauma in major trauma patients.
18. Greenberg AM. Management of facial fractures. J Dent New York State, 1998 : Vol
64(3) : 42-7
19. Mihalik JP, dkk. Maxillofacial fractures and dental trauma in a high school soccer
goal kepper : A Case Report. Journal of Athletic Training 2005 : Vol 40(2) : 116-9
Years and older. Indian J Dent Res, 2008 : Vol 19(2) : 109-11
21. Exadaktylos Ak, dkk. Sports related maxillofacial injuries : The first maxillofacial
24. American college of surgeons. ATLS, ed. 6. Komisi trauma IKABI, 1997. 15-49.
Nama : FAHREVY
Medan