Oleh:
1. Anatomi Fisiologi
Usus besar memanjang dari ujung akhir dari ileum sampai anus. Panjangnya
bervariasi sekitar 1.5 m. Ukuran Usus besar berbentuk tabung muskular berongga
dengan panjang sekitar 1.5 m (5 kaki) yang terbentang dari saekum hingga kanalis
ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6.5
cm (2.5 inci). Makin dekat anus diameternya akan semakin kecil. Usus besar terdiri
dari bagian yaitu caecum, kolon asenden, kolon transversum, kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum.
3. Etiologi
Sebagian orang memang memiliki risiko tinggi terkena kanker kolorektal.
Beberapa faktor risiko tersebut ada yang tidak bisa diubah, seperti usia lebih dari 50
tahun, riwayat menderita polip, riwayat menderita infeksi usus besar (colitis
ulcerative atau penyakit Chron), dan memiliki anggota keluarga yang mempunyai
riwayat polip atau kanker usus besar. Faktor risiko lain adalah pola hidup yang tidak
sehat yang dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal di usia muda dibawah 40
tahun. Salah satunya adalah mengonsumsi daging merah dan daging olahan secara
berlebihan.
Oleh sebab itu, untuk mencegah timbulnya kanker kolorektal, batasi makanan
tinggi lemak termasuk daging merah. Merokok juga merupakan faktor risiko
terjadinya kanker kolorektal. Diperkirakan, satu dari lima kasus kanker usus besar di
Amerika Serikat dihubungkan dengan rokok. Merokok berhubungan dengan kenaikan
risiko terbentuknya adenoma dan peningkatan risiko perubahan adenoma menjadi
kanker usus besar. Faktor risiko tinggi lain adalah pengonsumsian alkohol. Usus
mengubah alkohol menjadi asetildehida yang meningkatkan risiko kanker kolorektal.
Lebih baik konsumsi buah dan sayur yang mengandung probiotik, karena kandungan
seratnya akan mengikat sisa makanan dan membuat feses lebih berat sehingga mudah
dibuang (Kemenkes RI, 2019).
4. Patofisiologi
Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polip
adenoma. Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya masih
terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Polip tumbuh dengan lambat, sebagian besar
tumbuh dalam waktu 5-10 tahun atau lebih untuk menjadi ganas. Ketika polip
membesar, polip membesar di dalam lumen dan mulai menginvasi dinding usus.
Tumor di usus kanan cenderung menjadi tebal dan besar, serta menyebabkan nekrosis
dan ulkus. Sedangkat tumor pada usus kiri bermula sebagai massa kecil yang
menyebabkan ulkus pada suplai darah (Black & Hawks, 2014).
Pada saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar ke dalam lapisan
lebih dalam dari jaringan usus dan organ-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal
menyebar dengan perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan
dinding luar usus. Struktur yang berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor lambung,
duodenum, usus halus, pankreas, limpa, saluran genitourinary, dan dinding abdominal
juga dapat dikenai oleh perluasan. Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering
berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang
jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal. Sel-sel kanker dari tumor
primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik atau sistem sirkulasi ke area
sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang, dan ginjal. “Penyemaian” dari tumor
ke area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi bila tumor meluas melalui serosa atau
selama pemotongan pembedahan (Black & Hawks, 2014).
Sebagian besar tumor maligna (minimal 50%) terjadi pada area rektal dan 20–30
% terjadi di sigmoid dan kolon desending. Kanker kolorektal terutama
adenocarcinoma (muncul dari lapisan epitel usus) sebanyak 95%. Tumor pada kolon
asenden lebih banyak ditemukan daripada pada transversum (dua kali lebih banyak).
Tumor bowel maligna menyebar dengan cara (Black & Hawks, 2014):
a. Menyebar secara langsung pada daerah disekitar tumor secara langsung misalnya
ke abdomen dari kolon transversum. Penyebaran secara langsung juga dapat
mengenai bladder, ureter dan organ reproduksi.
b. Melalui saluran limfa dan hematogen biasanya ke hati, juga bisa mengenai paru-
paru, ginjal dan tulang.
c. Tertanam ke rongga abdomen.
Faktor Genetik Faktor Kolitis Pola gaya hidup
Usia ulsreatif tidak sehat
Penyakit crohn
Riwayat
keluarga Usia >
Radang kronis
menderita 50 Merokok Minum Feses tidak
pada usus
penyakit kanker Tahun beralkohol lembut, menjadi
besar
zat karsinogen
Zat Nikotin
Mutasi sel – sebagai Masuk kedalam
sel dalam sumber Menumpuk
tubuh membentuk
tubuh karsinogen asetaldehida (zat didalam usus
kimia beracun)
Pembelahan Obstruksi usus,
Masuk ke
sel tidak menempel di
dalam Merusak DNA di
sempurna dinding usus
saluran dalam sel induk
pernapasan
Perubahan
Kanker Kolon
Faktor Resiko
Mengubah
Menuju kolon abnormal pada
perilaku sel
dinding usus
Menumpuk
dalam kolon
5. Web Of Caution (WOC)
Meningkatkan
sel karsinogen
Kanker Kolon
Invasi jaringan dan
efek kompresi tumor
Intervensi Intervensi
pembedahan Kemoterapi
7. Klasifikasi
Klasifikasi Ca Colon menurut American Joint Committee on Cancer 2010 dalam
(Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015)
Tabel 1.1 Penilaian metastasis jauh (M) pada Ca Colon
M Penilaian Metastasis
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Tidak ada metastasis jauh
M1a Metastasis terjadi pada satu organ atau sisi (hati, paru, ovarium,
KGB non regional)
M1b Metastasis terjadi pada >1 organ / sisi atau di peritoneum
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kanker kolorektal
adalah sebagai berikut (Sayuti & Nouva, 2018)
a. Pemeriksaan laboratorium klinis
Pemeriksaan laboratorium terhadap karsinoma kolorektal bisa untuk menegakkan
diagnosa maupun monitoring perkembangan atau kekambuhannya. Pemeriksaan
terhadap kanker ini antara lain pemeriksaan darah, Hb, elektrolit, dan
pemeriksaan tinja yang merupakan pemeriksaan rutin. Anemia dan hipokalemia
kemungkinan ditemukan oleh karena adanya perdarahan kecil. Perdarahan
tersembunyi dapat dilihat dari pemeriksaan tinja. Selain pemeriksaan rutin diatas,
dalam menegakkan diagnosa karsinoma kolorektal dilakukan juga skrining CEA
(Carcinoma Embrionic Antigen). Carcinoma Embrionic Antigen merupakan
pertanda serum terhadap adanya karsinoma kolon dan rektum. Carcinoma
Embrionic Antigen adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel
yang masuk ke dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi
untuk memonitor status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini
dan metastase ke hepar. Carcinoma Embrionic Antigen terlalu insensitif dan
nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai skrining kanker kolorektal.
Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa
parameter. Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2,
stadium lanjut dari penyakit dan adanya metastase ke organ dalam. Meskipun
konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen. Nilai CEA
serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah
pembedahan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Patologi Anatomi Pemeriksaan Laboratorium Patologi Anatomi pada kanker
kolorektal adalah terhadap bahan yang berasal dari tindakan biopsi saat
kolonoskopi maupun reseksi usus. Hasil pemeriksaan ini adalah hasil
histopatologi yang merupakan diagnosa definitif. Dari pemeriksaan histopatologi
inilah dapat diperoleh karakteristik berbagai jenis kanker maupun karsinoma di
kolorektal ini.
c. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan yaitu foto polos abdomen atau
menggunakan kontras. Teknik yang sering digunakan adalah dengan memakai
double kontras barium enema, yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam
mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Teknik ini jika digunakan bersama-
sama sigmoidoskopi, merupakan cara yang hemat biaya sebagai alternatif
pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi kolonoskopi,
atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang
mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi
dengan menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika
terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan
daripada barium enema. Computerised Tomography (CT) scan, Magnetic
Resonance Imaging (MRI), Endoscopic Ultrasound (EUS) merupakan bagian
dari teknik pencitraan yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut
pasien dengan kanker kolon, tetapi teknik ini bukan merupakan skrining tes.
d. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa
kolon dan rektum. Prosedur kolonoskopi dilakukan saluran pencernaan dengan
menggunakan alat kolonoskopi, yaitu selang lentur berdiameter kurang lebih 1,5
cm dan dilengkapi dengan kamera. Kolonoskopi merupakan cara yang paling
akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan
keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada
barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi
utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari
0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut
divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik,
striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama
dari kolonoskopi diagnostik.
9. Penatalaksanaan
a. Pembedahan
Salah satu penatalaksanaan surgery pada pasien kanker kolon adalah operasi
kolostomi (pembuatan stoma) (Grace & Borley, 2007). Kolostomi adalah suatu
prosedur pembedahan pengalihan feses dari usus besar dengan menarik bagian
usus melalui sayatan perut lalu menjahitnya di kullit yang sering disebut stoma.
Pembuatan stoma ini dapat bersifat permanen atau sementara tergantung tujuan
dari tindakan dan kondisi kanker yang dialami (White et al., 2012). Letak stoma
tergantung dari letak massa. Ada tiga tempat pembuatan stoma yaitu (Daniels &
Nicoll, 2012):
1) Asending colostomy Jika letak massa pada usus desenden. Konsistensi feses
yang keluar bertektur lebih lembut karena enzyme pencernaan masih keluar
pada bagian ini. Pengeluaran feses tidak dapat diprediksi waktunya.
2) Tranverse colostomy Jika letak massa pada usus transversedan sigmoid.
Konsistensi feses yang keluar bertektur lembut sedikit padat karena enzyme
pencernaan sudah mulai berkurang pada bagian ini. Pengeluaran feses
waktunya tidak terduga.
3) Desending colostomy Jika letak massa pada usus bagian desenden, rektal
dan sigmoid. Konsistensifeses yang keluar berbentuk lebih padat dan
berwarna coklat. Pengeluaran feses lebih teratur. Drainase dari kolostomi ini
lebih baik dibandingkan dengan kolostomi transverse. Pada bagian ini
enzyme pencernaan sudah tidak keluar.
Stoma yang baru setelah post operasi akan bengkak dan berwarna merah
(Porrett & Mcgrath, 2005). Pemeriksaan warna stoma ini penting karena
bertujuan untuk mengobservasi perdarahan pada stoma dan suplai darah ke
stoma. Beberapa saat setelah operasi stoma akan keluar serosanguinouse (White
et al., 2012). Efek samping operasi kolostomi adalah sebagai berikut (Krouse et
al., 2007):
a) Fisik
Stoma akan mempengaruhi penampilan klien karena klien tidak bisa
mengendalikan pengeluaran feses dan flatus. Klien merasa kurang nyaman
dengan kantong stoma yang harus dipakai setiap hari. Stoma mengeluarkan
bau yang kurang sedap dari feses yang dikeluarkan akan mempengaruhi
body image klien. Kadang dari kantong stoma keluar cairan yang membuat
kurang nyaman bagi klien sehingga mempengaruhi hubungan dengan orang
lain. Stoma membuat aktivitas sehari-hari klien terbatas.
b) Psikologi
Stoma memberikan dampak psikologi yang besar pada klien diantaranya
distress spiritual karena klien merasa ibadahnya tidak diterima Tuhan karena
kotoran dari stoma keluar dengan tiba-tiba.7 Klien dengan stoma cenderung
membatasi diri dengan orang disekitarnya karena pengeluaran yang tidak
bisa dikendalikan. Selain distress spiritual stoma mempengaruhi aktivitas
seksual dan mempengaruhi body image klien.
b. Kemoterapi Kemoterapi adalah pengobatan kanker secara farmakologi
menggunakan obat yang bersifat toksik yang dimsukkan melalui pembuluh
darah. Obat kemoterapi ini masuk ke dalam tubuh bersifat sistemik, mengalir
melalui pembuluh darah menuju sel kanker dan organ tubuh yang sehat.
Pemberian obat kemoterapi ini berdasarkan stadium kanker kolon yang diderita
serta kondisi klien dalam pemberian obat kemoterapi (Billiau, 2013).
c. Radoterapi Radioterapi bertujuan membunuh sel kanker dengan menggunakan
ionizing irradiation. Radioterapi mempunyai peran yang tidak begitu besar dalam
pengobatan kanker kolon, karena berpotensi melukai pembuluh darah abdominal.
Raditerapi diberikan sesuai dengan stadium kanker kolon dan kondisi klien.
Radioterapi dapat diberikan dengan terapi tunggal atau dikombinasikan dengnan
pemberian kemoterapi (Billiau, 2013).
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis mengenai seseorang,
keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan merupakan
dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan keperawatan (Dinarti &
Yuli Muryanti, 2017). Diagnosa yang mungkin muncul menurut (PPNI,
2017):
Pre kemoterapi
1) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Intra kemoterpi
1) Risiko Infeksi ditandai dengan efek prosedur invasive
2) Risiko Gangguan integritas kulit ditandai dengan bahan kimia iritatif
Post kemoterapi
1) Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis
2) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan efek tindakan atau
pengobatan (misal. Pembedahan, kemoterapi dan radioterapi)
3) Resiko defisit nutrisi ditandai dengan ketidakmampuan menelan
makanan
c. Intervensi Keperawatan
Intervensi atau perencanaan keperawatan adalah rencana tindakan
untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan pasien. Perencanaan
keperawatan adalah suatu rangkaian kegiatan penentuan langkah-langkah
pemecahan masalah dan prioritasnya, perumusan tujuan, rencana tindakan
dan penilaian asuhan keperawatan pada pasien berdasarkan analisis data dan
diagnosa keperawatan (Dinarti & Yuli Muryanti, 2017).
Rencana Keperawatan Pre kemoterapi
1) Ansietas berhubungan dengan Krisis situasional (D.0080)
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam maka
tingkat ansietas pasien menurun.
Kriteria Hasil:
a) Verbalisasi kebingungan menurun
b) Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi
c) Perilaku gelisah menurun
d) Perilaku tegang menurun
e) Frekuensi pernapasan, nadi dan tekanan darah menurun
Intervensi Ansietas (I.09314):
a) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (misal kondisi, waktu,
stressor)
b) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal)
c) Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
d) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan
e) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
f) Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
g) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
h) Latih teknik relaksasi
i) Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
Rencana keperawatan Intra kemoterapi
1) Resiko infeksi ditandai dengan Efek prosedur invasif (D.0142)
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam maka
risiko infeksi menurun.
Kriteria Hasil:
a) Demam menurun
b) Kemerahan menurun
c) Nyeri menurun
d) Bengkak menurun
Intervensi Pencegahan Infeksi (I.14539):
a) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
b) Batasi jumlah pengunjung
c) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
d) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
e) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
f) Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
2) Risiko kerusakan integritas kulit ditandai dengan bahan kimia iritatif
(D.0139)
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam maka
risiko kerusakan integritas kulit menurun.
Kriteria Hasil:
a) Elastisitas meningkat
b) Hidrasi meningkat
c) Kerusakan jaringan menurun
d) Kerusakan lapisan kulit menurun
d. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan
yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan
kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry, 2011). Komponen tahap
implementasi:
1) Tindakan keperawatan mandiri
2) Tindakan keperawatan kolaboratif
3) Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan.
e. Evaluasi
Evaluasi, yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan
seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan.
Penilaian proses menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan
proses mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi
itu sendiri (Ali, 2009). Evaluasi adalah membandingkan secara sistematik
dan terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan
dengan kenyataan yang ada pada pasien, dilakukan dengan cara
bersinambungan dengan melibatkan psien dan tenaga kesehatan lainnya.
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang
telah dilakukan tercapai (Dinarti & Yuli Muryanti, 2017). Evaluasi disusun
menggunakan SOAP yaitu (Suprajitno dalam Wardani, 2013):
S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh
keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan.
O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan
pengamatan yang objektif.
A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis.
DAFTAR PUSTAKA
Grace, P.A & Borley, N.R. (2007). At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga.
Yayasan Kanker Indonesia. (2018). Harapan Terpadu World Cancer Day 2018.
Buletin YKI, 2(April), 1–54.
Porrett, T & Mcgrath, A. (2005). Stoma Care. USA: Blackwell Publishing Ltd.
Sayuti, M., & Nouva. (2018). Kanker Kolorektal. Yayasan Kanker Indonesia,
2(April), 60.
White, L, Duncan, G, & Baumle, W. (2012). Medical Surgical Nursing. 3rd ed.
USA: DELMAR.