Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIF DAN MENJELANG AJAL

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF DALAM PERSPEKTIF


AGAMA

Disusun oleh :

MELISA ERLIANA PUTRI


1914201072
5 B KEPERAWATAN

DOSEN PENGAMPU :
Ns.Amelia Susanti,M.Kep,Sp,Kep.J

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES


ALIFAH PADANG
PRODI KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga tugas makalah tentang “ Askep Pengkajian Fisik dan Psikologis, Tinjauan Agama
Tentang Perawatan Paliatif” dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini
dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan paliatif yang diampu oleh Ibu
Ns. Amelia Susanti, M.Kep.
Makalah ini dibuat berdasarkan dari beberapa sumber yang telah memberikan materi
tersebut. Makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya maka dari itu
penulis mengharapkan saran dan kritik serta masukan dari pembaca agar makalah ini lebih
sempurna dan memperbaiki tugas penulis berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan menambah pengetahuan baik bagi penyusun maupun pembaca.

Padang, 06 November 2021

Penulis

Padang, 13 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
1.2 Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Keperawatan Paliatif
2.2 Definisi spritual
2.3 Definisi agama
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Spiritual
2.5 Konsep Spiritual
2.6 Konsep perawatan paliatif
2.7 Peran Perawat Paliatif
2.8 Dukungan Terhadap Pasien Paliatif
3.9 Tinjauan Kasus
BAB III
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawatan paliatif merupakan kegiatan pemenuhan kebutuhan fisik, mental,
emosi, sosial, spiritual dan kultural dengan pendekatan tim yang melibatkan
konseling dan kenyamanan serta berpusat pada pasien dan keluarga untuk
meningkatkan kualitas hidup. Pasien dengan penyakit terminal dapat mengalami
distress spiritual, cemas , dan takut akan kematian . Oleh karena itu, pembinaan
kerohanian saat klien menjelang ajal perlu dilakukan. Keagamaan bisa membantu
seorang penderita untuk menentukan keputusan dalam hidup dan kesehatannya dari
sisi pandang spiritual dan religius. Ketika agama sudah menjadi ukuran sentral
dalam hidup, adalah mungkin agama memegang peranan penting menjelang
kematian, terutama bagi pasien yang menganggap agama adalah penting.
Perawatan paliatif dan kegiatan keagamaan dapat menyebabkan pasien
menerima kematiannya dengan mudah dan cepat. Ini akan melepaskan pasien dari
rasa cemas, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi dan perasaan bersalah, yang
akan menghasilkan relaksasi fisik yang meringankan rasa sakit atau gejala lainnya.
Ritual keagamaan menyiapkan kebutuhan psikospiritual yang dalam, dibandingkan
cara non religius.
Bila kelemahan terletak dari segi spiritual, sudah selayaknya untuk berupaya
agar penderitaan dalam hal spiritual dapat diringankan . Peran perawat sangat
konprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat adalah membimbing
rohani pasien yang merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan
dalam upaya memenuhi kebutuhan biologis-psikologis-sosiologis-spritual ,karena
pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui konsep keperawatan paliatif dalam perspektif agama dan spiritual
2. Mengetahui asuhan keperawatan paliatif dalam perspektif
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Perawatan Paliatif


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit
yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui
identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta
masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health
Organization (WHO), 2016). Perawatan paliatif merupakan perawatan yang
berfokus pada pasien dan keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan
mengantisipasi, mencegah, dan menghilangkan penderitaan. Perawatan paliatif
mencangkup seluruh rangkaian penyakit termasuk fisik, intelektual, emosional,
sosial dan kebutuhan spiritual serta untuk memfasilitasi otonomi pasien, mengakses
informasi, dan pilihan (National Consensus Project for Quality Palliative Care,
2013). Pada perawatan paliatif, kematian tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus
dihindari tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus dihadapi sebagai bagian
dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa (Nurwiaya dkk. 2010).
2.2 Definisi Spiritual
Spiritual menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang
berhubungan dengan atau bersifat keiiwaan, rohani dan batin. Spiritual dapat
digambarkan sebagai pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang tentang
bagaimana seharusnya menjalani hidup, menghargai orang lain dengan
menggunakan keyakinan akan kekuatan Yang Maha Esa. Spiritual merupakan
bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam memaknai kehidupan.
Spiritual merupakan upaya seseorang untuk mencari makna hidup.
Mickey (1992) yang dikutip dalam Buku Konsep dan Aplikasi dalam Asuhan
Keperawatan Kebutuhan Spiritual menguraikan spiritual sebagai suatu yang
multidimensi yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial
berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, dimensi agama lebih fokus pada hubungan
seseorang dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Spiritual juga sebagai konsep dua
dimensi, dimensi vertikal sebagai hubungan dengan Tuhan Yang Maha Tinggi yang
menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan
dengan diri sendiri, dengan orang lain dan lingkungan. Terdapat hubungan terus
menerus antara dua dimensi tersebut. Spiritualitas merupakan pola pikir yang
mensintesis kepribadian dan mengarahkan energi untuk menjadi lebih tertib.
Dimensi spiritual tidak bisa dipisahkan dari jiwa dan tubuh, melainkan memberikan
kekuatan integratif. Spiritualitas mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan fisik,
perasaan, pikiran dan hubungan diantara ketiganya. Dimensi spiritual mencoba
menjadi selaras dengan alam semesta, berusaha menjawab tentang yang tidak
terbatas, dan menjadi fokus sandaran pada saat stress emosional, penyakit fisik dan
mental, kerugian, kehilangan dan kematian (Ellison, 1991;Murray & Zentner, 1989;
Passiak, 2012).
2.3 Definisi Agama
Agama (Religion) berasal dari kata to bind together, sehingga secara definitif
agama mengacu pada agregasi komunitas dimana para pengikutnya mempertahankan
sense of belonging melalui keyakinan, ibadah, pengajaran etik, dan tradisi
keagamaan. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah prinsip
kepercayaan kepada Tuhan yang mengandung berbagai kewajiban. Agama adalah
suatu sistem yang terorganisasi dari keyakinan dan ibadah di mana beberapa orang
mengikuti sistem tersebut (Yusuf Ahmad (dkk), 2017).
2.4 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Spiritual
Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang (Taylor,
1997; Craven & Hirnle, 1996; Hamid, 2000) antara lain:
1. Tahap perkembangan
Perkembangan bahasa, sifat dan cara kepribadian telah dimulai seak
berfungsinya panca indera. Sejak bayi dilahirkan apa yang didengar, dilihat,
dicium dan diraba akan disimpan dalam memori dan akan terus berkembang
dalam menjalani tahap tumbuh kembang berikutnya. Konsep baik buruk, boleh
atau tidak, pantas atau tidak, sudah mulai dipelajari pada fase ini, termasuk
konsep spiritualitas seseorang (Yusuf, 2015).
2. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu
Ada begitu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan, kehidupan beragama,
berperilaku kepada orang lain bahkan kehidupan untuk diri sendiri. Oleh karena
itu, keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama dimana individu
mempunyai pandangan, pengalaman terhadap dunia yang diwarnai oleh
pengalaman dengan keluarganya.
3. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial
budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai
moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan
keagamaan.
4. Pengalaman hidup sebelumnya
Peristiwa dalam kehidupan seseorang dapat dianggap sebagai suatu cobaan, ujian
atau bahkan hukuman dari segala amal perbuatan yang telah dilakukan. Ketika
seseorang merasa sudah berhati- hati , sudah beribadah dengan baik, hidup
sesuai perintah dan larangan tetapi masih juga mendapat penderitaan. Mungkin
ini adalah ujian dari Tuhan agar dapat menjadi manusia yang lebih baik, taat, dan
meningkatkan amal ibadah. Setiap yang akan naik kelas pasti akan ada ujian.
Semakin tinggi derajat kedudukan, semakin berat pula ujian yang harus dijalani.
Ketika seseorang sudah mulai lalai dengan perintah Tuhan, kemudian
memperoleh penderitaan. Pengalaman hidup seperti ini, dapat mempengaruhi
konsep spiritualitas seseorang.
5. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan atau bahkan melemahkan keadaan
spiritual seseorang. Tergantung sikap positif atau negatif yang biasa
dikembangkan. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit,
penderitaan, proses penuaan, kehilangan bahkan kematian. Keadaan ini sering
terjadi pada klien dengan penyakit terminal, kronis atau dengan prognosis yang
buruk.
6. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu merasa
terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial.
Kebiasaan hidup sehari- hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri
acara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan.
2.5 Konsep Spiritual Keberagamaan
Keberagamaan, dengan kata dasar “agama” menurut bahasa sansekerta
artinya tidak kacau, diambil dari dua suku kata “a” berarti tidak, “gama” artinya
kacau, agama adalah peraturan yang mengatur manusia agar tidak kacau.
Beberapa pengertian perilaku keberagamaan menurut para ahli, sebagai berikut:
1. Adolf Heuken
Suatu pola menyeluruh semua kemampuan, perbuatan serta kebiasaan
seseorang baik jasmani, rohani, emosional dan sosial.
2. Adeng Mucktar Ghazaly
Pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran
Tuhan, yang tentu saja menjadi bersifat relatif dan sudah pasti kebenarannya
pun menjadi bernilai relatif.
3. Mursal H.M. Taher
Perilaku yang didasarkan atas kesadaran tentang adanya aktifitas keagamaan,
seperti shalat, puasa dan sebagainya. Misalnya aktivitas keagamaan baik dari
dimensi vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) atau dimensi horizontal
(hubungan antara sesama manusia).
4. Raymond F. Paloutzian
Keagamaan adalah banyak/sedikit kesadaran kepercayaan pada tuhan dan
transenden, ketergantungan atau komitmen ini adalah bukti pada diri pribadi
seseorang, pengalaman-pengalaman, keyakinan-keyakinan dan mendorong
seseorang melaksanakan kebaktian keagamaan, perilaku moral dan aktifitas
lainnya.
Dari beberapa pengertian perilaku keberagamaan di atas dapat disimpulkan
bahwa perilaku keberagamaan adalah tingkah laku atau reaksi yang didasarkan
atas kesadaran tentang adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang terwujud dalam
gerakan (sikap) sehingga membentuk karakter individu untuk taat pada nilai-nilai
keagamaan baik secara vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) dan horizontal
(hubungan antara sesama manusia) setelah mendapatkan rangsangan dari luar atau
lingkungannya.
Adapun faktor-faktor yang bisa menghasilkan perilaku keberagamaan, di
dalam buku ilmu jiwa agama karangan Sururin, Robert H. Thouless
mengemukakan faktor-faktor yang menghasilkan perilaku keberagamaan antara
lain:
1. Pengaruh-pengaruh sosial
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap
keberagamaan, yaitu: seperti pendidikan orang tua, tradisi-tradisi dan tekanan-
tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat
dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
2. Berbagai pengalaman
Pada umumnya anggapan bahwa adanya suatu keindahan, keselarasan, dan
kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata memainkan peranan dalam
pembentukan sifat keberagamaan.
3. Kebutuhan faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama
Maksudnya adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara
sempurna, sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan
agama. Kebutuhan tersebut dikategorikan menjadi empat bagian yaitu:
kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk
memperoleh harga diri dan kebutuhan akan adanya kehidupan dan kematian.
4. Proses pemikiran
Manusia adalah makhluk berfikir, salah satu akibat dari pemikiran manusia
bahwa ia membantu dirinya untuk menentukan keyakinan mana yang harus
diterima dan harus ditolak. Faktor tersebut merupakan faktor yang relevan
untuk masa remaja karena remaja mulai kritis dalam menyikapi soal-soal
keagamaan, terutama bagi remaja yang mempunyai keyakinan secara sadar dan
bersikap terbuka
2.6 Konsep Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit
yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui
identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta
masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health
Organization, 2016). Sedangkan menurut Ferrell (2015) Palliative care meliputi
seluruh rangkaian penyakit melibatkan penanganan fisik, kebutuhan intelektual,
emosional, sosial dan spiritual untuk memfasilitasi otonomi pasien, dan pilihan
dalam kehidupan.
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada
pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena
diagnosa penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan
serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana
biasanya dapat dilakukan secara mandiri. Distres spiritual adalah kerusakan
kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup
seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang
lebih besr dari dirinya (Hamid, 2008).
2.7 Perawatan Paliatif dalam Perspektif Agama
Jenis kegiatan perawatan paliatif keputusan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 812/Menkes/sk/VII/2007 tentang kebijakan lingkup kegiatan
perawatan paliatif meliputi:
1. Penatalaksanaan nyeri
2. Penatalaksanaan keluhan fisik lain
3. Asuhan keperawatan
4. Dukungan psikologis
5. Dukungan social
6. Dukungan kultural dan spiritual
7. Dukungan persiapan dan selama masa duka cita
Menurut beberapa studi tentang pasien dengan penyakit terminal, dapat dilihat
bahwa banyak terjadi insiden seperti depresi dan gangguan mental lainnya. Sumber
depresi adalah sekitar isu yang berkaitan dengan spiritualitas dan agama. Pasien di
bawah perawatan paliatif dan mempunyai tingkat depresi tinggi biasanya
mempunyai keprihatinan rohani yang berkaitan dengan kondisi mereka yang
mendekati kematian (Ferrel & Coyle, 2007: 848).
Setiap individu memiliki kebutuhan spiritual yang berbeda, meskipun mereka
tidak melakukan doa pribadi maupun ritual keagamaan, karena kebutuhan spiritual
adalah kebutuhan tentang makna dan tujuan, cinta dan ikatan, serta pengampunan.
Kebutuhan spiritual dan psikososial sering dianggap sebagai hal yang abstrak,
kompleks dan lebih sulit untuk diukur, sehingga kurang menjadi hal yang prioritas
dibandingkan kebutuhan fisik (Stanley & Beare, 2007).
Kebutuhan spiritual yang terpenuhi pada pasien life limiting illness akan
meningkatkan kualitas hidupnya. Kebutuhan spiritual tidak hanya dipenuhi dari
perawat, namun dapat dipenuhi oleh keluarga, tokoh keagamaan maupun kelompok
agama. Dukungan spiritual dari kelompok agama dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien sebesar (43%) (Balboni, et al,2013).
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) (2012)
peran perawat sebagai pendidik kesehatan, perlu memberikan pendidikan
kesehatan kepada pasien dan keluarga agar keluarga dapat melakukan program
asuhan secara mandiri dan bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan
keluarga. Perawatan paliatif meliputi bio-psiko-spiritual, dalam hal ini sebagian
besar perawat berperan dalam pemenuhan bio saja. Namun, pada praktiknya
spiritual merupakan hal yang penting dan tercantum dalam buku Nursing
Diagnoses Definitions and Classification (NANDA) dengan permasalahan distress
spirituality dan impaired religiosity. Peran perawat sebagai caregiver sesuai dengan
buku Nursing Interventions Classifications (NIC) yaitu mendorong pengikutsertaan
pasien dalam ketaatan beribadah dan membantu pasien dalam melaksanakan
ibadah.
2.8 Perawatan dalam Perspektif Agama
1. Islam
Pemenuhan kebutuhan spiritual dapat meningkatkan semangat hidup
klien yang didiagnosa penyakit terminal dan dapat mempersiapkan diri pasien
untuk menghadapi alam yang kekal. Menurut konsep Islam, fase akhir tersebut
sangat menentukan baik atau tidaknya kematian seseorang dalam menuju
kehidupan alam kekal dan perawat sendiri kelak akan diminta
pertanggungjawaban oleh Allah SWT karena upaya pemenuhan kebutuhan
pasien di rumah sakit mutlak diperlukan .
Dalam agama Islam , kematian merupakan awal untuk kehidupan
selanjutnya yaitu di alam kubur . Selama di alam kubur manusia akan
mendapatkan balasan dari amalan selama di dunia , ada 2 balasan yaitu siksa
kubur dan nikmat kubur . Dalam perspektif islam , siksa kubur ditujukan untuk
manusia yang selama hidupnya melakukan perbuatan buruk dan melakukan
perbuatan dosa . Nikmat kubur ditujukan untuk manusia yang selama masa
hidupnya melakukan amalan baik , maka dari itu untuk mempersiapkan kematian
menuju alam kubur manusia mempersiapkan amalan amalan baik seperti dzikir ,
berdoa , puasa , dan amalan baik lainnya .
Bimbingan spiritual agama islam pada perawatan paliatif sangan
penting .Perawat hendaknya meyakini bahwa sesuai dengan ajaran islam dalam
menjalani fase akhir dari kehidupan manusia di dunia terdapat fase sakaratul
maut. Fase sakaratul maut seringkali di sebutkan oleh Rasulullah sebagai fase
yang sangat berat dan menyakitkan sehingga kita diajarkan do’a untuk
diringankan dalam fase sakaratul maut.
Dalam keadaan yang seperti itu peran perawat disamping memenuhi
kebutuhan fisiknya juga harus memenuhi kebutuhan spiritual pasien muslim agar
diupayakan meninggal dalam keadaan Husnul Khatimah. Perawat membimbing
pasien dengan mentalkinkan (membimbing dengan melafalkan secara berulang-
ulang), sebagaimana Rasulullah mengajarkan dalam Hadist Riwayat Muslim,
“Talkinkanlah olehmu orang yang mati diantara kami dengan kalimat
Laailahaillallah karena sesungguhnya seseoranng yang mengakhiri ucapannya
dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya sesungguhnya seseorang yang
mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya maka itulah bekalnya menuju
surga . Selanjutnya Umar Bin Khahab berkata Hindarilah orang yang mati
diantara kami dan dzikirkanlah mereka dengan ucapan Laailahaillahllah, maka
sesungguhnya mereka (orang yang meninggal) melihat apa yang tidak bisa,
kamu lihat”.
2. Katolik
a. Pengobatan Paliatif
Dalam Agama Katolik, tidak ada larangan bagi orang sakit
untuk menjalani dan pengobatan paliatif, selama pengobatan –
pengobatan ini dapat menyembuhkan atau membuatkeadaan menjadi lebih
baik. Hal ini berdasarkan pada landasan ajaran agama Katolik, yaitu Hukum
Cinta Kasih dan KGK 1506 – 1510, dimana Kristus mengajak para murid –
muridnya dan juga gereja untuk menyembuhkan dan merawat para orang –
orang sakit.
b. End of life
Sakramen Pengurapan Orang Sakit perlu diterima tiap saat penyakit
memuncak menjadi gawat,yang menimbulkan keadaan jasmani manusia
sangat mencemaskan.Dengan pengurapan orang sakit, Gereja dalam
keseluruhannya menyerahkan si sakit kepadakemurahan Tuhan, agar Ia
menguatkan dan meluputkannya. Jika si sakit telah melakukan dosa,maka
dosanya itu diampuni. “Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan
orang sakititu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat
dosa, maka dosanya itu akandiampuni”(bdk Yak 5:15). Dalam bahaya
maut, pengurapan orang sakit menguatkan manusia dalam
menghadapiperjuangan terakhir dan menghantarnya kepada persatuan
dengan Tuhan, yang melalui kematiantelah masuk ke dalam kehidupan.
3. Buddha
Ada beberapa kitab yang menegaskan betapa berharganya kesehatan
tersebut, seperti : dapat kita temukan pada 18 prinsip Buddha Amitabha, salah
satu dari prinsip tersebut, menyebutkan : Kesehatan merupakan Harta yang
paling berharga. Sementara itu pada Dhammapada XV : 205, kita dapat
menemukan pula, “Kesehatan merupakan keuntungan terbesar, merasa puas
adalah kekayaan yang paling berharga, dipercaya adalah sanak keluarga yang
baik, Nibbbana adalah kebahagiaan tertinggi.
Berbicara mengenai kesehatan manusia, kita tidak dapat melepaskan tentang
pembentukan manusia. Dalam Dharma manusia terbentuk dari 2 (dua) unsur,
yaitu :
a. Unsur fisik terdiri dari : padat, cair, panas dan udara
b. Unsur Batin terdiri dari : pikiran, perasaan, pencerapan, kesadaran dan
keinginan
Sehingga dari unsur tersebut, kemungkinan sakit yang dialami oleh seseorang
dapat terjadi dari beberapa sebab, antara lain :
a. Terganggu bekerjanya unsur fisik.
Penanganan terhadap hal ini dibutuhkan tenaga medis dan pemakaian
oat-obatan. Seperti orang terjangkit jamur ditubuhnya dan penyakit fisik
lainya. Orang tersebut tidak dapat berpasrah diri pada agama atau
kepercayaan yang dianutnya. Menyerahkan kesembuhan penyakit pada
keajaiban semata. Orang memiliki keyakinan pada agama dan kepercayaan
merupakan hak baik, tetapi kepercayaan secara membuta akan membawa
kerugian bagi diri sendiri. Sehingga kita perlu menyikapi sesuatu yang
terjadi secara bijaksana.
b. Terganggu bekerjanya unsur batin
Penanganan terhadap hal ini dibutuhkan tenaga spiritual. Seperti orang
yang lagi mengalami kesusahan, dia ditinggali selama-lamanya oleh orang
yang sangat dia cintai atau kasihi. Penampakan fisik orang tersebut lelah dan
terlihat sakit. Orang tersebut tidak dapat diberi hanya obat-obatan penenang.
Masalah yang terjadi pada dirinya tidak akan selesai. Akar masalahnya
adalah ketidaksiapan berpisah dengan orang –orang yang dia kasihi dan
cintai. Di sini dibutukan nasehat spiritual agar orang tersebut dapat
tercerahkan.
c. Terganggu bekerjanya unsur fisik dan batin
Penanganan terhadap hal ini selain tenaga medis diperlukan pula
penanganan spiritual. Banyak kita jumpai penyakit batin yang diderita
seseorang ikut mepengaruhi pula kesehatan fisiknya sehingga fisiknya ikut
sakit.
Dalam Anggutara nikaya disebutkan ada 3 (tiga) macam penyakit dan akibatnya:
a. Ada orang sakit tidak perduli apakah dia memperoleh gizi yang sesuai, obat
yang tepat dan perawatan yang memadai atau tidak, dia tidak akan sembuh
dari penyakitnya.
b. Ada orang sakit tidak perduli apakah dia memperoleh semua itu atau tidak,
dia akan sembuh dari penyakitnya.
c. Ada orang sakit yang akan sembuh dari penyakitnya apabila dia memperoleh
gizi yang sesuai, obat yang tepat dan perawatan yang memadai , dia tidak
akan sembuh kalau dia tidak memperolehnya.
Dalam Anggutara nikaya disebutkan ada 5 (lima) kiat agar kita selalu sehat,
yaitu :
a. Mengetahui cara membuat batin menjadi tenang
Dalam Dhammapada disebutkan :
“Pikiran mendahului semua kondisi batin, pikiran adalah pemimpin,
segalanya diciptakan oleh pikiran. Apabila dengan pikiran yang bersih/ suci
seseorang berbicara atau berbuat dengan jasmani, maka kebahagiaan akan
mengikuti si pelaku karenanya, seperti bayangan yang tidak pernah
meninggalkan tubuh seseorang.
Kita bisa melihat betapa besar peran pikiran dalam kehidupan ini. Apa
yang kita pikirkan menentukan hasil perbuatan yang akan kita petik. Seperti
pada Samyutta Nikaya disebutkan :
“Sesuai dengan biji benih yang ditabur demikian pun hasilnya, pembuat
kebajikan akan menerima kebajikan, pembuat kejahatan akan menerima
kejahatan, tertaburlah biji oleh benih dan engkau pula yang menerima
hasilnya..”
b. Mengetahui barang yang dibutuhkan
Penekanan point ini kita bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup
dan bijaksana dalam memilih kebutuhan tersebut.
c. Mengendalikan makanan
Bertambahnya usia mempengaruhi pula cara bekerjanya sel-sel dalam
tubuh kita. Orang tidak boleh memungkiri kenyataan yang ada bahwa
semakin tua orang tersebut semakin lemah dan rentan terhadap penyakit.
Pada masih muda memang dibutuhkan makanan dengan kadar protein dan
lemah terkadang tinggi. Tetapi hal ini tidak berlaku dengan bertambahnya
usia seseorang. Oleh karena itu kita perlu membatasi dan memilah-milah
makanan sesuai dengan usia dan kekuatan fisik.
Orang harus bijaksana dan mengetahui diri sendiri terhadap kekuatan
fisik dan penyakit yang dianutnya. Rasa enak pada makanan adalah relatif
sifatnya. Seperti orang tertentu menyebutkan makanan yang mengandung
unsur gula dan manis adalah makanan yang enak. Tetapi bagi para penderita
gula/ diabetes, makanan tersebut bukan hanya tidak enak untuk dirinya
tetapi dapat memperparah penyakit yang dideritanya.
d. Mengatur waktu
Apabila kita perhatikan cara bekerjanya mesin tertentu, mesin pun tidak
dapat porsi melebihi kapasitasnya. Mesin perlu dirawat dan digantikan
komponen-komponen tertentu setiap waktu karena akan mempengaruhi
keawetan dan cara kerjanya. Begitu pun dengan tubuh kita meskipun kerja
organ tertentu tidak berhenti. Tetapi kita tidak dapat memporsi melebihi
batas maksimal. Kita memerlukan nutrisi dan istirahat yang cukup agar sel-
sel yang rusak dapat diperbaiki dan diganti dengan sel-sel yang baru.
e. Mengendalikan Panca Indera
Panca indera merupakan jendela untuk berhubungan dengan dunia luar.
Dengan adanya panca indera kita bisa mencerap dan mempunyai kesan
terhadap apa yang kita alami. Bekerjanya panca indera ini haruslah
seimbang dengan batas kemampuan dan kebiasaan yang ada. Seperti orang
yang sangat gemar memainkan playstation atau games yang lainya. Apabila
mereka mengikuti hobinya tersebut tanpa ada waktu istirahat. Hal ini akan
mempengaruhi kesehatannya, seperti mata berkurang daya bekerja, makan
yang tidak cukup dan tepat waktu akan mengganggu kesehatan pencernaan
dan lambung, tidak ada gerak tubuh tertentu akan mempengaruhi bekerjanya
organ lainya.
4. Hindu
Menurut Kleiman (1980) sistem perawatan kesehatan dapat dipandang
sebagai sistem kebudayaan karena merupakan suatu kesatuan hirarkis yang tidak
dapat dipisahkan yang menyangkut tentang proses dan mekanisme pengambilan
keputusan keluarga dalam pemilihan sektor-sektor pelayanan kesehatan (health
seekking behaviour) yang tersedia untuk menanggulangi berbagai penyakit yang
dihadapi.
Tindakan penyembuhan secara hirarkis berkaitan erat dengan ide tentang
sebab sakit dan bentuk penggolongan penyakit, serta pemilihan tindakan
pengobatan yang dianggap tepat untuk penyakit tersebut. Kesatuan hirarkis ini
ditujukan terhadap masalah penanggulangan gangguan kesehatan secara tepat
guna. Dengan demikian, dalam setiap sistem perawatan kesehatan kepercayaan
tentang etiologi penyakit merupakan hal yang sangat penting karena azas
penyembuhan dalam semua sistem kesehatan selau didasarkan pada kepercayaan
tentang sebab-sebab terjadinya penyakit tersebut.
Secara komprehensif dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat memiliki
sistem kesehatan sendiri. Dapat dimaklumi apabila Indonesia yang terdiri dari
berbagai kelompok suku bangsa dengan beraneka ragam budaya etnis memiliki
berbagai sistem kesehatan. Masing-masing kelompok suku bangsa tersebut telah
mengembangkan sistem kesehatan mereka yang mungkin satu sama lain
memiliki banyak perbedaan dan persamaan. Akan tetapi pada umumnya
karakteristik sistem kesehatan tradisional mereka dapat dibedakan dengan sistem
kesehatan modern yang berasal dari Barat.
Suku bangsa Bali sebagai salah satu dari ratusan suku bangsa yang
tersebar di Indonesia, secara turun-temurun juga telah mengembangkan sistem
kesehatan atau pengobatan secara tradisional yang populer disebut dengan
pengobatan usada, dan praktisi medisnya disebut dengan balian.
Hingga kini, walaupun ilmu dan teknologi kedokteran sudah mengalami
kemajuan pesat dan sudah sangat dikenal di Bali sejak lama, namun peran dan
eksistensi pengobatan usada (balian) di Bali sebagai sumber alternatif masih
cukup menonjol. Kondisi ini terjadi menurut berbagai kalangan karena
pengobatan usada ini di samping dianggap masih fungsional secara sosial dan
lebih murah biayanya, juga cukup efektifnya untuk menyembuhkan jenis atau
golongan penyakit tertentu.
Menurut Kleinman (1980), dalam masyarakat secara umum dikenal
adanya tiga sektor pelayanan kesehatan sebagai satu sistem medis tersendiri,
yaitu:
a. Sektor pelayanan umum atau rumah tangga (popular sector/home remedies)
b. Sektor kedukunan (folk medical system)
c. Sektor profesional atau kosmopolitan (professional and cosmopolite medical
system)
Ketiga sektor pelayanan tersebut oleh masyarakat dijadikan sebagai
alternatif pilihan manakala mereka mengalami gangguan kesehatan, baik secara
tersendiri maupun secara tumpang tindih, dan atau bersamaan. Pemanfaatan
sektor-sektor tersebut, baik secara tersendiri maupun digabung bersama
dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor tersebut antara lain, yaitu:
a. Persepsi tentang tingkat keparahan penyakit
b. Persepsi tentang etiologi penyakit yang diderita
c. Efektivitas pengobatan yang pernah digunakan
d. Aksesibilitas
e. Keterjangkauan secara ekonomi.
2.9 Kematian Menurut Ajaran Agama
1. Agama Islam
Maut atau mati adalah terpisahnya “roh dari zat, jiwa dari badan atau
keluarnya roh dari badan atau jasmani. Pada akhirnya, maut adalah akhir dari
kehidupan dan sekaligus awal kehidupan (yang baru). Jadi maut bukan
kesudahan, kehancuran atau kemusnahan. Maut adalah suatu peralihan dari suatu
dunia ke dunia lainnya. Maut dialami manusia hanya sekali. Hal ini digambarkan
dalam firman-Nya yang artinya mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya
(surga), kecuali mati di dunia (QS.44-56)”. Umat manusia hidup di dunia ini
sangat terbatas dan tidak bertahan lama. Setiap manusia mesti mengalami akhir
kehidupan itu, yang sering disebut dengan kematian. Hal ini dinyatakan secara
tegas Al-Qur’an pada Surat Ali ‘Imran: 185; “Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Dan baru pada hari kiamatlah disempurnakan pahalamu. Barang
siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia
beruntung. Kehidupan ini tidak lain hanya kesenangan yang memperdayakan”.
Kematian itu sesuatu yang mesti terjadi pada seseorang, walaupun ia
berusaha menghindari kematian atau berusaha bersembunyi dan berlindung di
tempat yang dikira aman. Seseorang tidak dapat lari dan menjauhi kematian.
Kematian merupakan awal atau pintu gerbang menuju kehidupan. Dalam Al-
Qur’an disebutkan bahwa sesungguhnya kematian itu sebenarnya kehidupan.
Artinya, jika seseorang ingin hidup terus menerus, maka ia harus mengalami
kematian terlebih dahulu. Tanpa kematian tidak akan ada kehidupan abadi. Atau
dalam istilah Al-Qur;an, orang yang mati disebutkan “kembali kepada sang
pencipta”. Manusia terbagi atas dua unsur yaitu roh/jiwa dan tubuh (jasad)
adalah unsur tanah/bumi. Roh atau nyawa manusia adalah zat halus, yang pada
waktu mati meninggalkan tubuhnya yang kasar itu. Surat Al-Zumar ayat 47
menggambarkan bahwa kematian sama dengan tidur. Lebih lanjut hadis nabi
Muhammad SAW, mengatakan: “tidur adalah saudara mati”. Di surga tiada mati,
sehingga tiada pula tidur.
Menurut agama Islam, kematian itu adalah perpisahan antara roh dan
jasad (tubuh) dan selanjutnya dikubur, tidak lama kemudian akan rusak dan
hancur menjadi tanah. Setiap orang pasti takut untuk mati karena akan berpisah
dari segala yang disayanginya. Mati berarti pergantian hidup jasad (tubuh)
dengan hidup di akhirat, sebagaimana halnya lahir adalah pergantian hidup
dalam kandungan ibu dengan hidup di alam bebas. Merasakan mati berarti
perasaan bercerai badan dengan rohnya. Imam An-Nasabuni mengatakan bahwa
diri (jiwa) seseorang itu selamanya tetap dan yang berubah-ubah itu hanya
badannya yang kasar. Seseorang itu sejak kecilnya sampai masa tuanya akan
mendapati jiwanya yang muda itu juga sampai tua. Dalam Al-Qur’an Allah
menjelaskan bahwa jika ajal seseorang sudah datang, maka tidak ada seorang
pun yang dapat mengatur atau memajukannya.
2. Agama Kristen
Kitab Suci memandang kematian sebagai hal yang alami (Maz. 49:11-12)
dan sebagai akibat dosa (Kej. 3:19). Kematian adalah musuh terakhir yang harus
dikalahkan (1 Kor. 15:26). Kematian ialah perpisahan antara tubuh dan roh. Jiwa
atau kesadaran tubuh yang tidak memiliki roh (Yoh. 2:2). Tubuh bersifat
sementara atau fana (Rom. 6:12), sedangkan jiwa atau roh kekal (Mat. 10:28).
Karena itu, kematian bukan merupakan akhir dari kisah kehidupan manusia.
Ketika manusia mati, tubuh insanilah yang berakhir atau lenyap, sedangkan jiwa
atau roh manusia tetap hidup. Tidak dapat dikatakan bahwa dengan kematian
segalanya hilang tidak berbekas. Sebab pandangan itu memaksa kita juga
beranggapan bahwa segala bagian kemanusiaan, entah bagian jasmaniah, entah
bagian psikologi atau segala perbuatan dan hasil usaha manusia itu hanya akan
menuju kehancuran belaka.
Jiwa orang-orang yang berada di dalam Kristus akan menerima
keselamatan roh pergi ke sorga (1 Kor. 5:5), sedangkan jiwa-jiwa yang menolak
Yesus akan masuk ke dalam siksaan api neraka (1 Ptr. 3:20). Sesudah itu mereka
dihukum untuk selama-lamanya kelautan api kekal (Why 20:15). Katolik Roma,
percaya bahwa setelah kematian, jiwa orang yang meninggal berada di tempat
penantian, dan jiwa itu dibersihkan sebelum masuk ke dalam sorga. Protestan,
mempercayai bahwa seseorang Kristen akan mati dan jiwanya langsung pergi
bertemu Allah di sorga. Jiwa itu menantikan saat dibangkitkan dan kerajaan
Kristus akan didirikan di dunia.
Ajaran kitab suci mengenai masalah kematian tidak seragam, melainkan
cukup bervariasi, sesuai dengan perubahan pemahaman serta keyakinan bangsa
Israel, umat Yahudi dan jemaat Kristen seiring dengan perkembangan dan
pengetahuan dan kepercayaan manusia sepanjang sejarah kitab suci. Berikut ini
akan dijelaskan secara ringkas ajaran pokok kitab suci mengenai masalah
kematian, yaitu:
a. Kematian sebagai akhir kehidupan
Menurut pandangan ini, kematian merupakan akhir yang normal dari
kehidupan manusia. Sebagai suatu makhluk hidup yang fana, pada akhirnya
manusia memang harus mati (Kej. 3:19). Allah memberikan nafas hidup
kepada manusia (Kej. 2:7), supaya mereka dapat hidup untuk jangka waktu
tertentu, tetapi tidak untuk selama-lamanya (Kej. 3:22), jikalau sudah sampai
pada batas akhir hidupnya, maka manusia akan mati dan pergi
“ menempuh jalan segala yang fana” (Yos. 23:14 ; 1 Raj. 2:2).
b. Kematian sebagai lawan kehidupan
Menurut pandangan ini, kehidupan itu selalu ditandai dengan keberadaan
nafas, sedangkan kematian ditandai dengan ketiadaan nafas. Selama suatu
makhluk masih bernafas, ia dapat bergerak dan berkomunikasi dengan
makhluk-makhluk lain. Tetapi apabila ia sudah tidak bernafas lagi, maka ia
sama sekali tidak dapat lagi bergerak dan berkomunikasi dengan pihak lain.
Dalam pandangan bangsa Israel , hidup berarti bernafas (Kej. 2:7),
sementara mati berarti tidak bernafas lagi (Kej. 35:18).
c. Kematian sebagai perusak kehidupan
Menurut pandangan ini, kematian merupakan suatu kekuatan perusak
kehidupan manusia. Mazmur menggambarkan kematian sebagai suatu
kekuatan perusak dalam bentuk ‘banjir’ yang setiap saat mengancam seperti
‘musuh’ yang menyerbu masuk melalui jendela untuk membinasakan
manusia (Yer. 9:21-22). Hosea melukiskan kematian sebagai ‘binatang buas’
yang mengintip dan siap menerkam mangsanya (Hos. 13:7-8). Kadang pula
kematian digambarkan sebagai malaikat pemusnah, hantu malam, senjata
serangga yang mempunyai sengat: berupa dosa, sehingga dapat
menyebabkan kebinasaan bagi manusia.
d. Kematian sebagai tidur lelap
Menurut pandangan ini, kematian merupakan suatu tidur lelap dan tak
pernah bangun lagi. Yeremia juga melukiskan kematian manusia sebagai
“jatuh tertidur untuk selama-lamanya, tidak akan bangun-bangun lagi” (Yer.
51:39-57). Anggapan ini juga dianut dalam kitab-kitab lainnya.
3. Agama Budha
Dalam Ajaran Buddha, kematian tidaklah perlu ditakuti. Buddha telah
mengajarkan agar menerima kematian sebagai suatu realitas yang tak
terhindarkan. Alih-alih menolak maupun pasrah, Sang Buddha mengajarkan
setiap muridnya untuk menerima kematian yang suatu saat akan terjadi juga pada
diri kita sendiri. Menerima kematian berarti secara sadar menerima kematian
sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijalani sebagai konsekuensi
kelahiran. Siapapun tidak bisa menghindari kematian, seperti yang telah
dinyatakan oleh Sang Buddha dalam Dhammapada 128. Walau kita tidak bisa
mengetahui proses kematian secara pasti, literatur Buddhis cukup banyak
menjelaskan mengenai kematian dan orang-orang yang telah suci atau memiliki
batin yang kuat bisa jadi telah melihat proses kematian mereka sendiri pada
kehidupan lampau dan menjelaskan proses tersebut kepada kita melalui literatur
Buddhis yang diturunkan turun-temurun.Untuk memahami proses kematian
dengan lebih jelas, akan diuraikan sekilas penyebab kematian menurut agama
Buddha. Menurut Ajaran Buddha ada empat penyebab kematian yaitu:
a. Habisnya masa hidup (ayukkhaya)
b. Habisnya tenaga karma atau akibat perbuatan penyebab kelahiran serta
perbuatan pendukung (kammakkhaya)
c. Habisnya usia sekaligus akibat perbuatan (ubhayakkhaya)
d. Kecelakaan, bencana atau malapetaka (upacchedaka)
Menurut Buddhisme Tradisi Therawada, seseorang dapat dikatakan mati
apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam diri seseorang.
Kemunculan kesadaran ajal tersebut hanya sesaat dan kemudian langsung
padam.
Tahap-Tahap Kematian dalam Perspektif Buddha
Tahapan ini disusun untuk melatih diri sendiri dalam menghadapi suatu
kematian yang pasti akan terjadi—cepat atau lambat. Pengelompokkan tahap
dalam menghadapi kematian ini berdasarkan alur waktu. Untuk bisa menghadapi
kematian dengan tenang, damai dan bahagia ada tiga tahap yang harus dijalani.
a. Tahap sebelum kematian
Tahap ini terjadi ketika seseorang masih dalam keadaan sehat, masih
mempunyai banyak persiapan yang dapat dilakukan. Tahapan ini memegang
peranan yang sangat penting karena kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan
ketika dalam keadaan biasa akan berpengaruh besar ketika detik-detik
menjelang kematian seseorang. Persiapan yang dapat dilakukan pada tahap
ini meliputi pelaksanaan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak melakukan perbuatan baik, menghindari tindakan-tindakan salah,
serta melakukan meditasi, khususnya meditasi dan perenungan kematian
(marananussati bhavana).
b. Mendekati Kematian
Tahap ini terjadi ketika seseorang akan meninggal, dalam keadaan sakit
namun kesadaran masih seperti biasa, masih bisa berpikir dengan jelas.
Mungkin sekitar beberapa jam hingga beberapa hari sebelum meninggal.
Pada tahap ini, meditasi atau perenungan kematian yang dilatih akan sangat
bermanfaat menenangkan batin sehingga rasa takut menjadi tidak ada.
Perbuatan baik selama hidup akan sangat membantu pada tahap ini.
Menyebut “Budho” berulang-ulang atau “Sabbe satta bhavantu sukitatta”
atau membaca paritta akan berguna, selain praktik meditasi untuk
menguatkan kesadaran dan menenangkan batin
c. Menjelang Kematian
Tahap ini adalah detik-detik menjelang datangnya ajal. Meditasi atau
pikiran yang diarahkan selama Tahap Mendekati Kematian akan sangat
berguna. Meditasi cinta kasih yang telah dilakukan sebelumnya juga
berguna. Begitu pula pembacaan paritta atau menyebut “Sabbe satta
bhavantu sukitatta” yang telah dilakukan. Keyakinan (saddha) kepada
Buddha yang telah dikembangkan selama hidup akan memberikan rasa
nyaman dan tenang sebelum meninggal.
5. Agama Hindu
Kata “kematian”, (mati; wafat; berpulang, ngalih tanah wayah, pralina;
seda; meninggal dunia; sang putus; sang amantuk; sang lina), disebutkan berarti
hubungan manusia sebagai mahluk hidup dengan dunia nyatanya telah putus
yang biasanya dalam Bahasa Bali berkaitan dengan upacara pitra yadnya disebut
dengan “Pegat Angkihan”dimana do’a pralina diucapkan agar roh berjalan
tenang dan diterima oleh Ida Sang Hyang Wenang / Hyang Widhi untuk dapat
mencapai kesucian dan terlepasnya sang jiwa (atman) dengan sthula sarira
(badan fisik) yang nantinya akan melewati alam Mrtya Loka dengan perlahan-
lahan untuk melepaskan sisa-sisa keterikatan terhadap kehidupan duniawi dan
kekasaran pikiran. Menurut agama Hindu, kematian itu merupakan saat yang
sangat penting, bahkan saat menentukan arti kehidupan seseorang. Kematian
akan memberikan arti pada segala usaha dan kemeriahan yang kita dapatkan kita
hidup. Oleh karena itulah dianjurkan agar orang segera mengingat Tuhan Yang
Maha Esa pada saat meninggal. Kematian bukan akhir dari kehidupan, dengan
alasan demikian Hyang Widhi menganjurkan manusia tidak menyesali kematian
sebaliknya harus berani menghadapinya dan berupaya mencari jalan pembebasan
dari hukum kelahiran dan kematian tersebut (Punarbawa). Tujuan dari umat
manusia yang sebenarnya bukan ke Surya, Bumi, Neraka tapi Moksa bebas dari
kelahiran dan kematian, menyatu dengan Hyang Widhi, Amor Ring Acintya.
Kematian dalam agama Hindu dianalogikan sepertinya orang mengganti
pakaian yang lama artinya tidak layak digantikan dengan pakaian baru. Agama
Hindu mempunyai keyakinan bahwa dengan mengingat dan bersujud pada
Tuhan disaat meninggalkan badan kasar adalah sangat menentukan tempat yang
akan dituju di alam sana . Kesempatan untuk ingat Tuhan pada detik-detik
kematian bukanlah hadiah atas tidak melakukan apa-apa. Ia merupakan hasil dari
pembiasaan menyebut, memanggil, memuja dan menyembah, mengingat,
meneriakkan dan menyerahkan diri menyeluruh kepada Tuhan. Tidak perlu
berbangga diri jika memiliki ketenangan menyambut kematian, tanpa harus
membiasakan diri membawa kesadaran kepada-Nya setiap hari. Hanya dengan
membiasakan kesadaran ingat Tuhan pada saat meninggal akan terjadi, dan ia
akan mampu mengantarkan kita ke tempat yang indah dalam spiritual.
2.10 Perawatan Paliatif dalam Perspektif Spiritual
Spiritualitas merupakan komponen penting dalam perawatan paliatif pada
pasien dengan peyakit kronis dan terminal yang merupakan karakter holistik
yang dapat mempengaruhi dalam meningkatkan kualitas hidup, well being, dan
mengurangi distress pada pasien kanker (Ahmadi, 2015). Dewasa ini
peningkatan kebutuhan pasien spiritual semakin meningkat pada pasien dengan
penyakit kronis terutama ketika pasien dalam tahap akhir kehidupan yang
mengalami pencarian makna dan tujuan hidup. (Ferrel, et al., 2013).
Perawatan spiritual dapat membantu pasien menghadapi penyakit dan
menguatkan mentalnya menjalani hidup sehari- hari dengan penyakitnya
(Yuliyatun, 2014). Peran intervensi spiritual dapat digunakan pada pasien untuk
membantu menghadapi penyakitnya , dapat meningkatkan indikator resilensi
terkait dengan religiusitas aktivitas religius meningkat, lebih mampu mengontrol
emosi, menerapkan pola pikir yang lebih adaptif, koping stress, meningkatkan
pemahaman tentang macam pemikiran negatif yang harus dihindari (Dita, 2018).
Karakteristik aspek spiritual yang muncul pada pasien kondisi kronis
yang melakukan perawatan paliatif, yaitu:
1. Menggunakan aspek spiritual sebagai koping
Menurut Nejat, et al., (2016) menyatakan bahwa mayoritas pasien
penyakit kronis menggunakan agama sebagai sumber daya dalam mengatasi
penyakit. Alasan utama pasien dalam melakukan koping spiritual adalah
untuk mempertahankan peningkatan harga diri, penilaian positif/ menjadi
optimis dan mempertahankan diri yang berdampak terhadap peningkatan
ketenangan pada pasien. (Esmaeili, et al., 2015). Pasien yang mempunyai
skor spiritual yang baik cenderung tidak mengelami depresi dan kecemasan,
pasien yang mempunyai kepribadian religius yang buruk cenderung
mengalami peningkatan depresi (Basri, et al., 2015). Efek positif spiritual
terhadap pasien kronis antara lain meningkatkan kualitas hidup. (Barlow, et
al., 2013).
2. Dukungan komunitas
Penelitian tentang spiritual group terapi menunjukkan adanya manfaat
spiritual group terapi untuk meningkatkan kualitas hidup dan spiritual well
being pada pasien kronis. Hal ini menunjukkan pasien yang mendapatkan
dukungan komunitas religius mendapatkan pelayanan spiritual yang lebih
baik pada akhir kehidupannya (Balboni, et al. 2013). Kekurangan suport
keluarga berhubungan dengan kurangnya level makna dan kedamaian
(Adam, et al., 2014) dukungan keluarga dan komunitas berperan terhadap
kesejahteraan spiritual. Koping spiritual berhubungan positif dengan
komunikasi keluarga dan komunikasi keluarga berhubungan positif dengan
fungsi keluarga yang sehat (Prouty et al, 2015).
3. Transformasi spiritual
Menderita penyakit kronis merupakan peristiwa besar yang dapat
mempengaruhi dan merubah hidup pasien. Penelitian yang dilakukan
terhadap pasien kanker kolon dengan kolostomi mendapatkan respon yang
beragam. (Bulkley, et al, 2013). Proses transformasi spiritual dan makna
hidup pada pasien berbeda- beda. Pada pasien kanker kesejahteraan spiritual
dan kualitas hidup masih stabil antara satu sampai tiga bulan semenjak
terdiagnosis kanker (Bai, et al, 2014). Transformasi spiritual yang terjadi
pada pasien kanker antara lain muncul pertumbuhan spiritual kesadaran
kembali kepada diri sendiri, kecenderungan spiritual, menyadari
kesempurnaan manusia, kedamaian dalam diri, pandangan baru tentang
kematian, kedekatan kepada Tuhan, pasien kanker secara dramatis kembali
kepada spiritualitas dan menggunakan spiritualitas untuk menghadapi
penyakitnya (Mehdi, et al., 2014), muncul identitas/kesadaran spiritual baru
(Renz, et al., 2015), menemukan kedamaian batin, menemukan makna sakit
dan penderitaan, dan beralih menjadi orang yang penuh cinta kasih (Nuraeni,
2015).
4. Ritual spiritual
Kebutuhan spiritual yang paling dibutuhkan dan paling dirasakan pada
pasien dengan penyakit kronis adalah kebutuhan religi. Berdoa dengan orang
lain dan didoakan oleh orang lain merupakan komponen dalam kebutuhan
spiritual yang paling dibutuhkan pasien (Nurseni, 2015; Dewi & La Kahija,
2018). Bentuk ritual spiritual yang dilakukan oleh pasien dengan penyakit
kronis antara lain: kehadiran di tempat pelayanan keagamaan, merasa
nyaman melalui doa bersama, dorongan semangat melalui membaca kitab
suci (Lym, et al, 2013).
5. Tempat-Tempat Pelayanan Paliatif
Berdasarkan Permenkes Nomor 812/ Menkes/ SK/VII/2007 dijelaskan
tempat untuk layanan paliatif meliputi:
a. Rumah Sakit: untuk pasien yang harus mendapatkan perawatan yang
memerlukan pengawawasan ketat, tindakan khusus atau perawalatan
khusus.
b. Puskesmas: untuk pasien yang memerlukan perawatan rawat jalan
c. Rumah singgah / panti (hospice): untuk pasien yang tidak memerlukan
pengawasan ketat, tindakan khusus atau peralatan khsus tetapi belum
dapat dirawat dirumah karena memerlukan pengawasan
d. Rumah pasien: untuk pasien yang tidak memerlukan pengawasan ketat
tindakan khsusus atau peralatan khusus atau keterampilan perawatan
yang tidak mungkin dilakukan oleh keluarga.
2.11 Peran Perawat di Perawatan Paliatif
Fungsi perawat bervariasi tergantung pada area kerjanya, timgkat
pendidikannya, serta tujuan karirnya. Matzo dan Sherman (2014) menyatakan
bahwa peran perawat paliatif meliputi:
1. Praktek di klinis
Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan
mengevaluasi keluhan sertai yang dirasakan oleh pasien. Perawat dengan
anggota tim berbagi keilmuan mengembangkan dan mengimplementasikan
rencana perawatan secara komprehensif. Perawat mengidentifikasi
pendekatan baru untuk mengatasi masalah
2. Pendidik
Perawat memfasilitasi diskusi tentang penatalaksanaan keperawatan di
klinik yang sesuai dengan etik agar semua anggota tim menerima hasil yang
positif. Perawat memperlihatkan dasar keilmuan atau pendidikan yang
meliputi mengatasi penyakit yang diderita pasien, berperan dalam mengatasi
konflik profesi, mencegah dukacita, dan reiko kehilangan.
3. Peneliti
Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaan-
pertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang terintegrasi pdaa
perawatan paliatif
4. Collaborator
Perawat sebagai penasihat dalam mengkaji bio-psiko-sosio-spiritual dan
penatalaksanaannya. Perawat membangun dan mempertahankan hubungan
kolaborasi antar sesame anggota tim perawatan. Perawat memfasilitasi
pengembangan dalam pelayanan, kolaborasi dengan tim medis lainnya, serta
melibatkan keluarga dalam perawatan maupun pengambilan keputusan.
5. Consultant
Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan
paliatif, dan komite untuk menentukan tindakan yang sesuai dalam
memperbaiki kondsi pasien.
Sedangkan menurut Combs (2014) perawat harus menghargai hak-hak
pasien dalam menentukan pilihan, memberikan kenyamanan kepada pasien.
Perawat memiliki tanggung jawab mendasar untuk mengontrol gejala dengan
mengurangi penderitaan dan memberikan support yang efektif sesuai kebutuhan
pasien. Peran perawat sebagai pemberi layanan palliative care harus didasarkan
pada kompetensi perawat yang sesuai dengan kode etik keperawatan
2.12 Dukungan terhadap Pasien Paliatif
Pada umumnya perawatan paliatif didukung dengan dukungan sosial dan
dukungan keluarga. Dukungan keluarga adalah sikap dan tindakan terhadap
anggota keluarga yang sakit dan keluarga memberikan bantuan kepada anggota
keluarga lain baik berupa barang, jasa, informasi, dan nasihat sehingga anggota
keluarga merasa disayangi, dihormati dan dihargai (Friedman, 2013).
Sedangkan menurut Helnilawati (2013) dukungan keluarga adalah dukungan
yang didapatkan dari keluarga ke anggota keluarga, yang dimana dukungan ini
sangat bermanfaat bagi anggota keluarga yang mendapatkan dukungan dan merasa
diperhatikan, di hargai dan di cintai oleh keluarganya. Menurut Friedman (2013)
sumber dukungan sosial keluarga internal adalah sumber dukungan yang
didapatkan dari suami atau istri, saudara kandung atau dukungan dari anak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga (Purnawan, 2008):
1. Tahap perkembangan. Setiap dukungan ditentukan oleh faktor usia dimana
termasuk pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang
usia memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang
berbeda-beda.
2. Spiritual, aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang itu menjalani
kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan, hubungan dengan keluarga atau
teman, dan kemampuan mencari harapan serta arti dalam hidup.
3. Faktor emosional, faktor ini juga dapat mempengaruhi keyakinan seseorang
terhadap adanya dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang
mengalami respon stress cenderung merasa khawatir bahwa penyakit tersebut
dapat mengancam kehidupannya.
3.1 0 Pengkajian Kebutuhan Spiritual Pasien
Menurut Kozier et al, pengkajian kebutuhan spiritual terdiri dari pengkajian
riwayat keperawatan dan pengkajian klinik. Pada pengkajian riwayat keperawatan
semua pasien diberikan satu atau dua pertanyaan misalnya ‟apakah keyakinan dan
praktek spiritual penting untuk anda sekarang?”, bagaimana perawat dapat
memberikan dukungan spiritual pada anda?”. Pasien yang memperlihatkan beberapa
kebutuhan spiritual yang tidak sehat yang beresiko mengalami distres spiritual harus
dilakukan pengkajian spiritual lebih lanjut.
Kozier menyarankan pengkajian spiritual sebaiknya dilakukan pada akhir proses
pengkajian dengan alasan pada saat tersebut sudah terbangun hubungan saling
percaya antara perawat dan pasien. Untuk itu diharapkan perawat meningkatkan
sensitivitasnya, dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan saling percaya,
hal ini akan meningkatkan keberhasilan pengkajian spiritual pasien. Pertanyaan yang
diajukan pada pasien saat wawancara untuk mengkaji spiritual pasien antara lain :
apakah praktik keagamaan yang penting bagi anda?, dapatkah anda menceritakannya
pada saya?, bagaimana situasi yang dapat mengganggu praktik keagamaan anda?,
bagaimana keyakinan anda bermanfaat bagi anda?, apakah cara-cara itu penting
untuk kebaikan anda sekarang?, dengan cara bagaimana saya dapat memberi
dukungan pada spiritual anda?, apakah anda menginginkan dikunjungi oleh pemuka
agama di rumah sakit?, apa harapan-harapan anda dan sumber-sumber kekuatan
anda sekarang?, apa yang membuat anda merasa nyaman selama masa-masa sulit
ini?. Pada pengkajian klinik menurut meliputi :
1) Lingkungan
Apakah pasien memiliki kitab suci atau dilingkungannya terdapat kitab suci atau
buku doa lainnya, literatur-literatur keagamaan, penghargaan keagamaan, simbol
keagamaan misalnya tasbih, salib dan sebagainya di ruangan? Apakah gereja
atau mesjid mengirimkan bunga atau buletin?
2) Perilaku
Apakah pasien berdoa sebelum makan atau pada waktu lainnya atau membaca
literatur keagamaan? Apakah pasien mengalami mimpi buruk dan gangguan
tidur atau mengekspresikan kemarahan pada Tuhan?
3) Verbalisasi
Apakah pasien menyebutkan tentang Tuhan atau kekuatan yang Maha Tinggi,
tentang doa-doa, keyakinan, masjid, gereja, kuil, pemimpin spiritual, atau topik-
topik keagamaan? Apakah pasien menanyakan tentang kunjungan pemuka
agama? Apakah pasien mengekspresikan ketakutannya akan kematian?
4) Afek dan sikap
Apakah pasien menunjukkan tanda-tanda kesepian, depresi, marah, cemas, apatis
atau tampak tekun berdoa?
5) Hubungan interpersonal
Siapa yang berkunjung? Apakah pasien berespon terhadap pengunjung? Apakah
ada pemuka agama yang datang? Apakah pasien bersosialisasi dengan pasien
lainnya atau staf perawat?
Pengkajian data objektif dilakukan perawat melalui observasi. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi,
atau apatis? Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci, atau
buku keagamaan? Apakah pasien sering mengeluh, tidak dapat tidur, mimpi buruk
dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, atau mengekspresikan kemarahannya
terhadap agama? Apakah pasien menyebut nama Tuhan, doa, rumah ibadah, atau
topik keagamaan lainnya? Apakah pasien pernah meminta dikunjungi oleh pemuka
agama? Apakah pasien mengekspresikan ketakutannya terhadap kematian, konflik
batin tentang keyakinan agama, kepedulian tentang hubungan dengan Tuhan,
pertanyaan tentang arti keberadaan nya didunia, arti penderitaan? Siapa pengunjung
pasien? Bagaimana pasien berespon terhadap pengunjung? Apakah pemuka agama
datang menjenguk pasien? Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang lain
dan dengan tenaga keperawatan? Apakah pasien membawa kitab suci atau
perlengkapan sembahyang lainnya? Apakah pasien menerima kiriman tanda simpati
dari unsur keagamaan?. Pengkajian spiritual pasien dimulai dari pasien atau keluarga
pasien dengan cara mendengarkan dan melalui pengamatan termasuk interaksi pasien
dengan perawat, keluarga dan pengunjung lainnya, pola tidur, gangguan fisik, dan
tekanan emosional.
Namun dalam beberapa situasi perawat bertanya lebih mendalam misalnya
tentang pandangan spiritual pasien atau bagaimana pasien mengatasi suatu kondisi
yang sedang dihadapi. Pada pasien tertentu perawat mengakui bahwa pengkajian
spiritual dengan wawancara tidak perlu dilakukan, hanya melalui observasi saja,
perawat berfikir pasien yang sekarat tidak etis untuk dilakukan wawancara. Perawat
dapat mengkaji dan memperoleh kebutuhan spiritual pasien jika komunikasi yang
baik sudah terjalin antara perawat dan pasien, sehingga perawat dapat mendorong
pasien untuk mengungkapkan hal-hal yang terkait kebutuhan spiritual.
3.2 Merumuskan Diagnosa Keperawatan
Peran perawat dalam merumuskan diagnosa keperawatan terkait dengan spiritual
pasien mengacu pada distress spiritual. Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah
yang sering muncul pada pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual
dapat terjadi karena diagnosis penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam
menjalani pengobatan serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual
keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara mandiri.
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni,
musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besar dari dirinya (Hamid, 2008).
Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip
hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan
psikososial (Keliat dkk, 2011).
Berdasarkan definisi diatas distress spiritual memiliki ciri-ciri diantaranya
spiritual pain, pengasingan diri (spiritual alienation), kecemasan (spiritual anxiety),
rasa bersalah (spiritual guilt), marah (spiritual anger), kehilangan (spiritual loss),
putus asa (spiritual despair). Distres spiritual selanjutnya dijabarkan dengan lebih
spesifik sebagai berikut :
1. Spiritual Pain
Spiritual pain merupakan ekspresi atau ungkapan dari ketidaknyamanan
pasien akan hubungannya dengan Tuhan. Pasien dengan penyakit terminal atau
penyakit kronis mengalami gangguan spiritual dengan mengatakan bahwa pasien
merasa hampa karena selama hidupnya tidak sesuai dengan yang Tuhan
inginkan, ungkapan ini lebih menonjol ketika pasien menjelang ajal.
2. Pengasingan Diri (spiritual alienation)
Pengasingan diri diekspresikan pasien melalui ungkapan bahwa pasien
merasa kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien dengan penyakit
kronis merasa frustasi sehingga bertanya : dimana Tuhan ketika saya butuh Dia
hadir?
3. Kecemasan (spiritual anxiety)
Dibuktikan dengan ekspresi takut akan siksaan dan hukuman Tuhan,
takut Tuhan tidak peduli, takut Tuhan tidak menyukai tingkah lakunya. Beberapa
budaya meyakini bahwa penyakit merupakan suatu hukuman dari Tuhan karena
kesalahan kesalahan yang dilakukan semasa hidupnya.
4. Rasa Bersalah (spiritual guilt)
Pasien mengatakan bahwa dia telah gagal melakukan hal-hal yang
seharusnya dia lakukan dalam hidupnya atau mengakui telah melakukan hal-hal
yang tidak disukai Tuhan.
5. Marah (spiritual anger)
Pasien mengekspresikan frustasi, kesedihan yang mendalam, Tuhan
kejam. Keluarga pasien juga marah dengan mengatakan mengapa Tuhan
mengijinkan orang yang mereka cintai menderita.
6. Kehilangan (spiritual loss)
Pasien mengungkapkan bahwa dirinya kehilangan cinta dari Tuhan, takut
bahwa hubungannya dengan Tuhan terancam, perasaan yang kosong. Kehilangan
sering diartikan dengan depresi, merasa tidak berguna dan tidak berdaya.
7. Putus Asa (spiritual despair)
Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk memiliki suatu
hubungan dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia. Secara umum orang-orang
yang beriman sangat jarang mengalami keputusasaan.
3.3 Menyusun Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan membantu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam
diagnosa keperawatan. Rencana keperawatan merupakan kunci untuk memberikan
kebutuhan spiritual pasien dengan menekankan pentingnya komunikasi yang efektif
antara pasien dengan anggota tim kesehatan lainnya, dengan keluarga pasien, atau
orang-orang terdekat pasien. Memperhatikan kebutuhan spiritual pasien memerlukan
waktu yang banyak bagi perawat dan menjadi sebuah tantangan bagi perawat di sela-
sela kegiatan rutin di ruang rawat inap, sehingga malam hari merupakan waktu yang
disarankan untuk berkomunikasi dengan pasien.
Pada fase rencana keperawatan, perawat membantu pasien untuk mencapai
tujuan yaitu memelihara atau memulihkan kesejahteraan spiritual sehingga kepuasan
spiritual dapat terwujud. Perencanaan keperawatan sesuai dengan diagnosa
keperawatan berdasarkan NANDA meliputi :
1) Mengkaji adanya indikasi ketaatan pasien dalam beragama, mengkaji sumber-
sumber harapan dan kekuatan pasien, mendengarkan pendapat pasien tentang
hubungan spiritual dan kesehatan, memberikan privasi, waktu dan tempat bagi
pasien untuk melakukan praktek spiritual, menjelaskan pentingnya hubungan
dengan Tuhan, empati terhadap perasaan pasien, kolaborasi dengan pemuka
agama, meyakinkan pasien bahwa perawat selalu mendukung pasien.
2) Menggunakan pendekatan yang menenangkan pasien, menjelaskan semua
prosedur dan apa yang akan dirasakan pasien selama prosedur, mendampingi
pasien untuk memberikan rasa aman dan mengurangi rasa takut, memberikan
informasi tentang penyakit pasien, melibatkan keluarga untuk mendampingi
pasien, mengajarkan dan menganjurkan pasien untuk menggunakan tehnik
relaksasi, mendengarkan pasien dengan aktif, membantu pasien mengenali
situasi yang menimbulkan kecemasan, mendorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, dan persepsi.
3) Membantu pasien untuk beradaptasi terhadap perubahan atau ancaman dalam
kehidupan, meningkatkan hubungan interpersonal pasien, memberikan rasa
aman.
3.4 Implementasi Keperawatan
Membantu berdoa atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan
keperawatan terkait spiritual Islam pasien. Berdoa melibatkan rasa cinta dan
keterhubungan. Pasien dapat memilih untuk berpartisipasi secara pribadi atau secara
kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka agama Islam. Pada situasi ini peran
perawat adalah memastikan ketenangan lingkungan dan privasi pasien terjaga.
Keadaan sakit dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk berdoa. Pada
beberapa rumah sakit pasien dapat meminta perawat untuk berdoa dengan mereka
dan ada yang berdoa dengan pasien hanya bila ada kesepakatan antara pasien dengan
perawat. Karena berdoa melibatkan perasaan yang dalam, perawat perlu
menyediakan waktu bersama pasien setelah selesai berdoa, untuk memberikan
kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaannya.
Menurut Kozier et al, perawat perlu juga merujuk pasien kepada pemuka agama.
Rujukan mungkin diperlukan ketika perawat membuat diagnosa distres spiritual,
perawat dan pemuka agama dapat bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan spiritual
pasien. Implementasi perawat harus peduli, penuh kasih, gembira, ramah dalam
berinteraksi, dan menghargai privasi.
3.5 Evaluasi
Untuk melengkapi siklus proses keperawatan spiritual pasien, perawat harus
melakukan evaluasi yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai. Hal ini
sulit dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih kompleks.
Membahas hasil dengan pasien dari implementasi yang telah dilakukan tampaknya
menjadi cara yang baik untuk mengevaluasi spiritual care pasien.
Respon spiritual pada tahun 2004 pada tahap evaluasi perawat menilai
bagaimana efek pada pasien dan keluarga pasien dimana diharapkan ada efek yang
positif terhadap pasien dan keluarganya, misalnya pasien dan keluarganya
mengungkapkan bahwa kebutuhan spiritual mereka terpenuhi, mengucapkan
terimakasih karena sudah menyediakan pemuka agama.
4.1 Tinjauan Kasus
Pengkajian
a) Identitas Pasien
Nama : Ny. Q
Umur : 28 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Tanjung
Diagnosa : Ca Serviks stadium IIIB
BB sebelum sakit : 60 kg
BB saat sakit : 55 kg
b) Riwayat penyakit dahulu :
Pasien belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya
c) Riwayat kesehatan sekarang :
pasien mengeluh mual dan tidak nafsu makan setelah kemoterapi kelima
dilakukan.
d) Riwayat kesehatan keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit yang sama sebelumnya
e) Pemeriksaan fisik :
- Pendengaran normal
- Penglihatan normal
- Persepsi sensori baik
f) Pasien dapat berkomunikasi dengan baik dan menganggap penyakitnya
merupakan teguran dari Allah atas dosa-dosanya di masa lalu. Pasien memiliki
optimism untuk sembuh.
Analisa Data

DAT ETIOLOGI DIAGNOSA


A KEPERAWATA
N
Data subyektif : Ca Serviks Distress Spiritual
Pasien mengaku rajin
menjalankan ibadah Kepercayaan
sholat sebelum sakit, terhadap Tuhan
tapi semenjak sakit menurun
pasien
Jarang ibadah
jarang melakukan
sholat. Distress
Data obyektif :
Pasien terlihat jarang Spiritual
melakukan

ibadah sholat
Data subyektif : Ca Ketidakseimbang
Pasien mengeluh an nutrisi kurang
mual dan tidak nafsu Serviks dari kebutuhan
makan setelah tubuh
kemoterapi kelima Kemoterap
dilakukan
Data obyektif : i Mual
Berat badan pasien
mengalami penurunan Muntah

Nafsu makan menurun


Ketidakseimbang
an nutrisi kurang
dari
kebutuhan tubuh

Diagnosa Keperawatan
1. Distress spiritual berhubungan dengan penurunan kepercayaan terhadap Tuhan
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan nafsu makan

Dx : Distress spiritual

Definisi : kerusakan kemampuan dalam mengalami dan


mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang
lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari
dirinya
Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan Dukungan Spiritual Dukungan Spiritual
tindakan keperawatan
(I.09276) (I.09276)
selama 3 x 24 jam
klien dapat mengatasi - Identifikasi ketaatan - untuk
Distress Spiritualnya
dalam beragama mengetahui
dengan kriteria hasil :
a. Mengungkapkan - Diskusikan seberapa tinggi
harapan masa
tentang keyakinan pengetahuan
depan yang
positif. tentang makna pasien dalam
b. Mengungkapkan
dan tujuan hidup beragama
arti hidup
c. Mengungkapk jika perlu - Bicarakan
an optimis
- Fasilitasi dengan pasien
d. Mengungkapkan
keyakinan dalam melakukan kegatan tentang keyakinan
diri
ibadah dan tujuan
e. Mengungkapka
n keyakinan - Ajarkan metode hidupnya
kepada orang
relaksasi, meditasi, - Beri pasien
lain
f. Menentukan dan imajinasi dukungan spiritual
tujuan hidup
terbimbing dalam bentuk
- Atur kunjungan fasilitas
- Membimbing pasien
rohaniawan (missal untuk lebih tenang dan
ustad, pendeta, room, menurunkan tingkat
biksu) stress
- Mendatangkan para
Dukungan pemuka agama untuk
Perkembangan membantu masalah
Spiritual (I.09269) spiritual
- Fasilitasi
Dukungan
mengidentifik
Perkembangan
asi masalah
Spiritual (I.09269)
spiritual
- Memberikan
- Fasilitasi
pelayanan
hubungan
tentang masalah
persahabatan
spiritual
dengan orang lain
- Memberikan
dan pelayanan
pelayanan dengan
keagamaan
pemuka agama
- Anjurkan membuat
yang pasien anut
komitmen spiritual
- Membuat
berdasarkan
pasien
keyakinan dan nilai
berkomitmen
- Rujuk pada
dalam keyakinan
pemuka agama
spiritual
atau kelompok
- Menyarankan
agama bila perlu
pasien untuk
Manajemen mengkonsultasikan
stress (I.09293) masalah spiritualnya
- Identifikasi dengan pemuka
tingkat stress agama
- Pahami reaksi
Manajemen
marah terhadap
stress (I.09293)
stressor
- Mengkaji
- Anjurkan
seberapa tinggi
mengatur waktu
tingkat stress
untuk mengurangi
pasien
stress
- Memahami
pengaruh marah
terhadap tingkat
stressor
- menyarankan
pasien untuk
menghilangkan
pikiran yang membuat
stress

Dx : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebuthan metabolik


Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Setelah dilakukan NIC Label NIC Label
asuhan keperawatan >> >>
selama 5×24 jam Nutrition Nutrition
diharapkan manageme manageme
pemenuhan nt nt
kebutuhan pasien - Kaji status - Pengkajian penting
tercukupi dengan nutrisi pasien dilakukan untuk
kriteria hasil : - Jaga kebersihan mengetahui status
NOC Label >> mulut, anjurkan nutrisi pasien
Nutritionl status untuk selalu sehingga dapat
 Intake melalukan oral menentukan
nutrisi hygiene. intervensi yang
tercukupi. - Delegatif diberikan.
 Asupan pemberian nutrisi - Mulut yang
makanan dan yang sesuai dengan bersih dapat
cairan kebutuhan pasien : meningkatkan
tercukupi diet pasien diabetes nafsu makan
NOC Label >> mellitus. - Untuk membantu
Nausea dan - Berian informasi memenuhi kebutuhan
vomiting severity yang tepat terhadap nutrisi yang
 Penurunan pasien tentang dibutuhkan pasien.
intensitas kebutuhan nutrisi - Informasi yang
terjadinya yang tepat dan diberikan dapat
mual muntah sesuai. memotivasi
 Penurunan - Anjurkan pasien pasien untuk
frekuensi untuk mengkonsumsi meningkatkan
terjadinya makanan tinggi zat intake nutrisi.
mual besi seperti sayuran - Zat besi dapat
muntah. hijau NIC Label >> membantu tubuh
Nausea sebagai zat
management penambah darah
- Kaji frekuensi sehingga mencegah
mual, durasi, terjadinya anemia
tingkat keparahan, atau kekurangan
faktor frekuensi, darah
presipitasi yang NIC Label >>
menyebabkan Nausea
mual. management
- Anjurkan - Penting untuk
pasien makan mengetahui
sedikit demi karakteristik mual
sedikit tapi dan faktor-faktor
sering. yang menyebabkan
- Anjurkan pasien mual. - Apabila
untuk makan selagi karakteristik mual
hangat dan faktor
- Delegatif
pemberian terapi
antiemetik :
Ondansentron 2×4 penyebab mual
(k/p)
Sucralfat 3×1 CI diketahui maka dapat
menetukan intervensi
yang diberikan.
- Makan sedikit demi
sedikit dapat
meningkatkn intake
nutrisi.
- Makanan dalam
kondisi hangat dapat
menurunkan rasa mual
sehingga intake nutrisi
dapat ditingkatkan.
- Antiemetik dapat
digunakan sebagai
terapi farmakologis
dalam manajemen
mual
dengan menghamabat
sekres asam lambung.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan
keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah,
dan menghilangkan penderitaan. Perawatan paliatif mencangkup seluruh rangkaian
penyakit termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial dan kebutuhan spiritual serta
untuk memfasilitasi otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan (National
Consensus Project for Quality Palliative Care, 2013). Sedangkan Spiritual
merupakan bagian dari kekuatan yang ada pada diri seseorang dalam memaknai
kehidupan. Spiritual merupakan upaya seseorang untuk mencari makna hidup. Ada
berbagai faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang menurut seseorang
(Taylor, 1997; Craven & Hirnle, 1996; Hamid, 2000)
Tahap perkembangan, meliputi Perkembangan bahasa, sifat dan cara kepribadian
telah dimulai sejak berfungsinya panca indera. Sejak bayi dilahirkan apa yang
didengar, dilihat, dicium dan diraba akan disimpan dalam memori dan akan terus
berkembang dalam menjalani tahap tumbuh kembang berikutnya.
Selain itu peran keluarga juga berpengaruh terhadap spiritualitas seseorang
karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama dimana individu
mempunyai pandangan, pengalaman terhadap dunia yang diwarnai oleh
pengalaman dengan keluarganya.
Etnik dan budaya juga berperan. Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh
latar belakang etnik dan sosial budaya. Sebagai contoh pada umumnya seseorang
akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak akan belajar pentingnya
menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan
peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan.
Peristiwa dalam kehidupan seseorang juga berpengaruh dalam spiritual
seseorang, pengalaman dapat dianggap sebagai suatu cobaan, ujian atau bahkan
hukuman dari segala amal perbuatan yang telah dilakukan. Krisis dan perubahan
juga berpengaruh dalam spiritualitas, karena dapat menguatkan atau bahkan
melemahkan keadaan spiritual seseorang. Sebagai contoh yaitu ketika seseorang
menderita penyakit akut, seringkali membuat individu merasa terisolasi dan
kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Kebiasaan hidup sehari-
hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti
kegiatan keagamaan. Tergantung sikap positif atau negatif yang biasa
dikembangkan.
Berdasarkan pemaparan para ahli dapat disimpulkan bahwa perilaku
keberagamaan adalah tingkah laku atau reaksi yang didasarkan atas kesadaran
tentang adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang terwujud dalam gerakan (sikap)
sehingga membentuk karakter individu untuk taat pada nilai-nilai keagamaan baik
secara vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) dan horizontal (hubungan antara
sesama manusia) setelah mendapatkan rangsangan dari luar atau lingkungannya.
Dalam konteks ini peran perawat juga dibutuhkan dalam membantu pemenuhan
kebutuhan spirital pasien dengan mendampingi dan mensupport keluarga dan klien
dan bekerja sama dengan tim pemuka agama yang ada di rumah sakit,untuk
membantu memfasilitasi klien dalam beribadah dan berkonsultasi.

3.2 Saran
Sebagai tenaga profesional keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada pasien paliatif
dengan Ca Kolon, perawat perlu mengetahui konsep perawatan paliatif dan asuhan keperawatan
yang akan dilakukan pada pasien paliatif. Kita sebagai mahasiswa keperawatan , yang nantinya
akan menjadi tenaga kesehatan di rumah sakit juga seharusnya mempelajari dan
mengembangkan pengetahuan asuhan keperawatan pasien paliatif.
DAFTAR PUSTAKA

Adeng Muchtar Ghazaly. 2004. Agama dan Keberagamaan Dalam Konteks


Perbandingan Agama. Jakarta. Pustaka Setia.
Baihaqi, A. 2001. Mendidik Anak Dalam Kandungan, Jakarta: Darul Ulum Press.
Cemy, F. N. (2012). Palliative Care Pada Penderita Penyakit Terminal. Gaster | Jurnal
Ilmu Kesehatan, 7(1), 527–537.
Cohen, J., Deliens, L., 2012. A public health perspective on end of life care. England:
Oxford University Press.
Combs, E., DiBiase, J.R., Freeman, N., et al. 2014. Joint Position Statement – The
Palliative to Care and The Role of the Nurse. Canada: CNA, CHPCA, & CHPCA-
NG.
De Roo, M., Leemans, K., Cohen, J. et al. 2013. Quality Indicators for Palliative Care:
Update of a Systematic Review. J. Pain Symptom Manage. 46, 556–572
Edwards A, Pang N, Shiu V, Chan C. The understanding of spirituality and the potential
role of spiritual care in end-of-life and palliative care: A meta-study of qualitative
research. Palliative Med. 2010; 24:753–70. [PubMed].
Ferrell, B., Connor, S.R., Cordes, A., et al. 2007. The National Agenda for Quality
Palliative Care: The National Consensus Project and the National Quality Forum.
J. Pain Symptom Manage. 33, xvi 737–744
Freeman. (2013). Perawatan Paliatif. Journal of Chemical Information and Modeling,
53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Geneva: World Health Organisation; 1998. World Health Organisation. WHOQOL and
spirituality, religiousness and personal beliefs: Report on WHO consultation.
Hamid DN, Yani A. Buku ajar aspek spiritual dalam keperawatan. Jakarta: Widya
Medika. 2008
Heuken, Adolf. 1999. Tantangan Membina Anak, Jakarta: Gramedia.
Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama. Bandung: Pustaka Setia.
Kepmenkes. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
812/Menkes/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Palliative Care Menteri Kesehatan
Indonesia
Kozier B, Berman A, Snyder SJ. Fundamental of nursing: Concept, process, and
practice. New Jersey: Pearson Prentice Hall. 2004
Matzo, Mariane., Sherman, Deborah Witt. 2014. Palliative Care Nursing: Quality Care
to End of Life. 4th edition. New York. Springer Publishing Company
Margaret, L.C. 2013. Nurse to nurse: Palliative care. Jakarta: Salemba Medica
Paloutzian, Raymond F. 2002. Invitation to The Psikology Of Religion. 2nd edition.
Boston: Allin And Bacon, P.12.
Prisada Hindu Dharma Indonesia Pusat ( Hindu Dharma Council of Indonesia) Diakses
melalui https://phdi.or.id/artikel/sistem-pengobatan-usada-bali Pada tanggal 2
Maret 2020 pukul 18.55
Ross L. Why the increasing interest in spirituality within healthcare? In: McSherry W,
Ross L, editors. Spiritual assessment in healthcare practice. Cumbria: M and K
Publishing; 2010. p. 10.
Rosyadi, Imron(dkk). 2019. Literatur Review Aspek Spiritualitas/Religiusitas dan
Perawatan Berbasis Spiritual/ Religius pada Pasien Kanker. Jurnal Kesehatan
Karya HusadaVol.7(1) 109-115.
SDDHI Surabaya( Sarjana dan profesional budhis Indonesia) Diakses melalui
https://siddhi-sby.com/2008/12/21/kesehatan-menurut-dharma/ pada tanggal 2
Maret 2020 Pukul 18.50
Taher, Mursal H.M. 1977. Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan. Bandung: Al-Ma’arif.
Hlm.121
Willy & Walshe M. O’C. 2015. “Ajaran Buddha dan Kematian”. Yogyakarta. Insight
Vidyasena Production
Wirta, I Gusti Made. 2019. Kematian Menurut Agama Hindu.
http://swarahindudharma.com/kematian-menurut-agama-hindu/ diakses 02 Maret
2020
Yusuf, Ahmad (dkk). (2017). Konsep dan Aplikasi dalam Asuhan Keperawatan :
Kebutuhan Spiritual. Jakarta: Mitra Wacana Media

Anda mungkin juga menyukai